Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian ini berangkat dari isu Brexit yang dibahas di beberapa penelitian

ilmiah di dalam dan luar negeri. Penulis menjadikan penelitian-penelitian

terdahulu berikut ini sebagai sumber informasi dan data yang dipakai untuk

membantu penelitian ini, diantaranya:

1. Jurnal yang dibuat oleh Rakyan Rachman Bimoseno pada tahun 2015

tentang “Signifikansi Rencana Referendum 2017 Terhadap Masa Depan

Inggris dan Uni Eropa”. Kajian ini menarik kesimpulan bahwa rencana

Inggris untuk keluar dari Uni Eropa merupakan ide buruk, apalagi jika

dilakukan di era globalisasi. Dampak yang timbul selama proses

keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan sangat buruk karena dapat memicu

ketidakstabilan ekonomi dan politik serta hukum. Belum lagi soal

undang-undang dan hukum yang harus ditata ulang, masalah imigran

yang jumlahnya semakin meningkat- apakah Inggris akan memperketat

kebijakan imigrannya dan bagaimana dengan imigran yang sudah

menetap disana? Menurut Bimoseno, referendum yang dicetuskan David

23
Cameron merupakan sebuah proses yang bahkan dia sendiri tidak dapat

mengontrolnya.17
2. Skripsi yang dibuat oleh Mashita Dewi Tidore tentang “Dinamika

Referendum Inggris di Uni Eropa, Studi Kasus: Referendum Brexit”

tahun 2017. Tidore dalam skripsinya ingin menggambarkan tentang

dinamika referendum keanggotaan Inggris di Uni Eropa hingga respon

negara-negara Uni Eropa terhadap hasil referendum tersebut. Skripsi ini

dibuat dengan metode Analisis Deskriptif. Data yang dikumpulkan

merupakan hasil studi pustaka terhadap sejumlah buku, jurnal, artikel

ilmiah, dokumen, dan surat kabar. Tidore menyimpulkan dalam

skripsinya bahwa referendum keanggotaan Ingris di Uni Eropa telah

mengubah ideologi masyarakat. Rakyat dan pemerintahan Inggris setuju

untuk mengakhiri keanggotaannya di Uni Eropa pada tanggal 23 Juni

2016 sebagai akibat dari meningkatnya ideologi Euroskeptic rakyat di

Inggris. Hasil referendum Brexit mencerminkan keinginan Inggris untuk

menjadi negara yang independen dan terlepas dari kendali organisasi

supranasional yang bertentangan dengan kepentingan nasional Inggris.18


3. Niken Pratiwi pada tahun 2017 juga menulis skripsi tentang Brexit yang

berjudul “Pengaruh Tory Political Cabinet Terhadap Keputusan

Referendum British Exit (Brexit)”. Dalam penelitiannya Pratiwi

membahas tentang dinamika politik domestik Inggris dan penetapan

referendum Brexit yang disebabkan oleh adanya groupthink yang

17
Bimoseno, Rakyan Rachman. 2015. “Signifikansi Rencana Referendum 2017 Terhadap Masa
Depan Inggris dan Uni Eropa”. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
18
Tidore, Mashita Dewi. 2017. “Dinamika Referendum Inggris di Uni Eropa, Studi Kasus:
Referendum Brexit”. Makassar: Universitas Hasanuddin.

24
memengaruhi keputusan David Cameron sehingga ia mengeluarkan

keputusan yang berisiko terhadap hubungan Inggris dengan Uni Eropa

yakni dengan mengadakan referendum Brexit.19

Penelitian-penelitian tersebut sama-sama membahas tentang referendum

Inggris terhadap keanggotannya di Uni Eropa atau lebih dikenal dengan istilah

British Exit (Brexit). Penulis tetap tertarik untuk melakukan studi tentang

“Mundurnya Inggris Dari Keanggotaan Uni Eropa Melalui Referendum Brexit

2016” karena hingga saat penelitian ini dilakukan, tenggat waktu “deal” atau “no

deal” masih berjalan hingga tanggal 31 Januari 2020. Hal tersebut memberikan

ruang bagi peneliti untuk menganalisa perubahan pada kebijakan-kebijakan

pemerintahan Inggris. Penulis dalam penelitian ini berfokus pada kebijakan-

kebijakan Inggris di masa pemerintahan Boris Johnson yang berkaitan dengan

referendum Brexit serta kondisi politik, sosial, dan ekonomi selama masa

transisinya.

2.2. Landasan Konsep dan Teori

Landasan konsep dan teori adalah fondasi dalam sebuah penelitian. Seperti

yang diungkapkan oleh Sugiyono (2010), bahwa landasan teori itu perlu

ditegakkan agar penelitian itu memiliki dasar yang kokoh, dan bukan sekedar

19
Pratiwi, Niken. 2017. “Pengaruh Tory Political Cabinet Terhadap Keputusan Referendum
British Exit (Brexit)”. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

25
perbuatan coba-coba (trial and error)20. Berikut adalah landasan konsep dan teori

yang penulis gunakan dalam penelitian ini.

2.2.1. Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan

ini dapat dilihat dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi,

militer, dan sosial-budaya. Kepentingan juga didasari suatu “power” yang ingin

diciptakan sehingga negara dapat memberikan dampak langsung bagi

pertimbangan negara agar dapat pengakuan dunia. Peran suatu negara dalam

memberikan bahan sebagai dasar dari kepentinga nasional tidak dipungkiri akan

menjadi kacamata masyarakat internasional sebagai negara yang menjalin

hubungan yang terlampir dari kebijakan luar negerinya. Dengan demikian,

kepentingan nasional secara konseptual dipergunakan untuk menjelaskan perilaku

politik luar negeri dari suatu negara.21

Konsep kepentingan nasional bagi Hans J. Morgenthau memuat artian

berbagai macam hal yang secara logika, kesamaan dengan isinya, konsep ini

ditentukan oleh tradisi politik dan konteks kultural dalam politik luar negeri

kemudian diputuskan oleh negara yang bersangkutan.22 Dalam kepentingan

nasional, terdapat pembedaan yang mendasar yakni; kepentingan nasional yang

bersifat vital atau esensial juga kepentingan nasional yang bersifat non-vital atau

sekunder. Kepentingan nasional yang bersifat vital biasanya berkaitan dengan

20
Sugiyono. 2010. “Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&L”
Bandung: Alfabeta.
21
Sitepu, P. Antonius. 2011. “Studi Hubungan Internasional”. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 163
22
Sitepu, P. Antonius. 2011. Op,Cit. Hal.165

26
kelangsungan hidup negara tersebut serta nilai-nilai inti (core values) yang

menjadi identitas kebijakan luar negerinya. Sedangkan kepentingan nasional non-

vital atau sekunder tidak berhubungan secara langsung dengan eksistensi negara

itu namun tetap diperjuangkan melalui kebijakan luar negeri. 23 Kepentingan vital

menjelaskan seberapa jauh kepentingan tersebut ada dan digunakan, dimana lebih

kepada keadaan darurat suatu negara sehingga harus segera diputuskan. Berbeda

dengan kepentingan non-vital yang digunakan karena prosesnya berlangsung lama

namun hasilnya dan fungsinya dapat dirasakan lebih baik dikemudian hari dengan

jangka waktu yang lama.

Tujuan penggunaan konsep kepentingan nasional adalah untuk

menjelaskan perilaku politik luar negeri Inggris dalam memperjuangkan

kelangsungan hidup dan eksistensi negaranya di antara negara-negara anggota Uni

Eropa. Konsep ini cocok untuk diasosiasikan dengan Inggris yang mengundurkan

diri dari keanggotaannya di Uni Eropa.

2.2.2. Konsep Organisasi Internasional

Organisasi internasional adalah suatu proses; organisasi internasional juga

menyangkut aspek-aspek perwakilan dari tingkat proses tersebut yang telah

dicapai pada waktu tertentu. Organisasi internasional juga diperlukan dalam

rangka kerja sama menyesuaikan dan mencari kompromi untuk menentukan

23
Jemadu, Aleksius. 2008. “Politik Global dalam Teori dan Praktik”. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hal. 67-69

27
kesejahteraan serta memecahkan persoalan bersama serta mengurangi pertikaian

yang timbul.24

Konsep orginasasi internasional cocok untuk diasosiasikan dengan Uni

Eropa dan Inggris. Tujuan didirikannya Uni Eropa cukup banyak tergambar dalam

konsep organisasi. Sedangkan konsep politik luar negeri dapat membantu

menjelaskan tentang kebijakan-kebijakan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa,

kebijakan masa transisi, perbatasan Irlandia Utara, dan lain-lain.

2.2.3. Konsep Kerjasama Multilateral

Kerjasama multilateral atau dalam bahasa Inggris “multilarism” berada

pada satu ujung spektrum, berdasarkan pada norma dan aturan yang

mempertahankan prediktabilitas dalam sistem internasional dan dipertahankan

(secara relatif) dengan baik oleh kepemimpinan kuat suatu negara dan negara-

negara sekutunya. Di ujung lain dari spektrum ini, kita menemukan bilateralisme

dan unilateralisme: bilateralisme mengeksplorasi bagaimana serangkaian standar

internasional dapat dimodifikasi oleh kesepakatan dua negara, dan unilateralisme

menggambarkan situasi di mana negara yang kuat seorang diri (tanpa persetujuan

rekannya) mengambil langkah-langkah tertentu yang tidak sesuai dengan norma

atau aturan internasional yang ada.25

24
Suherman, Ade Maman, 2003. “Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional
Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi”. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, hal. 45
25
Tago, Atsushi. 2017. “Multilateralism, Bilateralism, and Unilateralism in Foreign Policy”.
Diakses pada tanggal 17 Januari 2020,
https://oxfordre.com/politics/view/10.1093/acrefore/9780190228637.001.0001/acrefore-
9780190228637-e-449

28
Dalam kerjasama multilateral terdapat perjanjian multilateral. Yang

dimaksud dengan perjanjian multilateral adalah perjanjian yang dibuat atau

diadakan oleh lebih dari dua negara. Biasanya perjanjian ini mangatur hal-hal

yang menyangkut kepentingan umum. Artinya tidak saja mengatur kepentingan

negara-negara yang mengadakannya, melainkan juga menyangkut kepentingan

negara lain yang tidak turut (bukan peserta) dalam perjanjian multilateral

tersebut.26 Penulis menggunakan teori ini untuk menjelaskan jenis-jenis kerjasama

multilateral yang terjalin selama proses Brexit dan pasca-Brexit.

2.2.4. Teori Kedaulatan

Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat

penting peranannya. Menurut sejarah, asal kata kedaulatan berasal dari bahasa

Inggris yang dikenal dengan istilah sovereignity. Tiap negara memiliki sifat

kedaulatan yang melekat padanya, karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri

hakiki dari suatu negara. Bila dikatakan suatu negara berdaulat, maka makna yang

tergantung adalah negara itu mempunyai suatu kekuasaan tertinggi dan secara de

facto menguasai.27

Menurut Nkambo Mugerwa28, kedaulatan memiliki tiga aspek utama yaitu:

ekstern, intern, dan teritorial.

26
Rustandi, Ahmad dan Zul Afdi Ardian. 1988. “Tata Negara Jilid 2”, hal. 176
27
Suherman E., 1984. “Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara”. Bandung: Penerbit Alumni, hal.
4
28
Nkambo Mugerwa dalam Boer Mauna. 2005. “Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan
Fungsi dalam Era Dinamika Global”. Bandung: PT. Alumni, hal. 24-25

29
a. Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara

bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-

kelompok lain tanpa kekangan, tekanan, atau pengawasan dari negara lain.
b. Aspek intern kedaulatan adalah hak atau kewenangan eksklusif suatu

negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja

lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang

diinginkan serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.


c. Aspek teritorial kekuasaan berarti kekuasaan nan eksklusif suatu negara

atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut

(negative/positif).

Teori ini membantu penulis untuk menjelaskan tentang permasalahan

keanggotaan di Uni Eropa menganggu kedaulatan Inggris dan membantu penulis

menerangkan dampak Brexit di dalam negeri, yakni munculnya aksi liberalisme di

Skotlandia & Irlandia Utara yang mengancam kedaulatan Inggris.

2.3. Kerangka Analisa

Dari penjelasan konsep dan teori yang penulis jabarkan sebelumnya

penulis mencoba menyederhanakan pemanfaatan teori-teori tersebut ke dalam

kerangka analisa. Inggris, dalam mencapai tujuan dalam dan luar negerinya telah

melakukan upaya-upaya, termasuk dengan bergabung dengan organisasi

internasional Uni Eropa. Dalam perkembangannya, kerjasama multilateral

dengan Uni Eropa sudah mulai dikaji ulang di dalam pemerintahan Inggris.

30
Dalam kerjasama multilateral dengan Uni Eropa terdapat standar-standar

aturan yang mengatur negara-negara yang tergabung didalamnya. Bagi mayoritas

rakyat Inggris yang memilih agar Inggris keluar dari Uni Eropa, kerjasama

tersebut sudah mengganggu kedaulatan negara Inggris. Mereka ingin

pemerintahan Inggris kembali menjadi pemegang tertinggi kekuasan atas

negaranya serta secara de facto pun demikian. Inggris ingin berdaulat kembali

baik secara ekstern, intern, maupun terirorial.

Proses Brexit melalui tiga periode Perdana Menteri yang berbeda yaitu PM

Cameron, PM May, dan PM Johnson. Pada masa PM Cameron, referendum Brexit

dilakukan. Tidak ada kesepakatan antara Uni Eropa dan Pemerintah Inggris pada

periode ini karena PM Cameron mengundurkan diri karena tidak berhasil

mempertahankan Inggris di Uni Eropa. Proses Brexit diserahkan kepada PM

selanjutnya- Theresa May.

Pada era pemerintahan PM May, surat pengunduran diri Inggris ke Uni

Eropa resmi dikirim dan proses kesepakatan perjanjian penarikan dengan Uni

Eropa dimulai. Hasil kesepakatan tersebut tidak mendapatkan dukungan mayoritas

dari Parlemen Inggris terkait poin kesepakatan tentang perbatasan Irlandia Utara.

Partai Konservatif yang dipimpin PM May kalah dalam pemilu karena dianggap

tidak becus mengurusi perjanjian penarikan Uni Eropa sehingga muncul gerakan

untuk mundur dari Uni Eropa tanpa perjanjian penarikan (no deal). Beberapa

tekanan politik menyebabkan PM May mengundurkan diri dari posisinya dan

mendelagasikan Brexit kepada PM selanjutnya Boris Johnson.

31
Awalnya, PM Johnson mengkampanyekan Brexit tanpa perjanjian

penarikan namun hal itu tidak mungkin dilakukan karena akan memicu

permasalahan ekonomi dan sosial. Jika Brexit dilakukan tanpa kesepakatan

perjanjian dengan Uni Eropa, maka akan terjadi perubahan yang tiba-tiba pada

biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan dalam dan luar

Inggris. Permasalahan kependudukan juga akan menjadi sorotan. Risiko-risiko

tersebut dapat mengurangi popularitas PM Johnson yang akan menghadapi pemilu

dalam waktu dekat. PM Johnson kemudian menegosiasi ulang perjanjian

penarikan yang dibuat pada masa pemerintahan PM May dengan Uni Eropa,

terutama yang terkait dengan perbatasan Irlandia Utara. Kesepakatan antara PM

Johnson antara Uni Eropa terkait perjanjian penarikan yang dibuat mendapatkan

dukungan Parlemen Inggris, hal ini terkait kemenangannya pada pemilu yang

mendapatkan mayoritas suara dalam Parlemen. Perjanjian tersebut juga sudah

disetujui oleh Parlemen Uni Eropa sendiri, juga oleh House of Commons. Saat ini

perjanjian tersebut tinggal menunggu persetujuan House of Lords.

32
Mundurnya Inggris dari Keanggotaan Uni Eropa
Melalui Referendum Brexit 2016

Konsep Organisasi Internasional dan


Kerjasama Multilateral dengan Politik Luar Negeri
Uni Eropa Menunjuk pada meningkatkan perdagangan
Inggris bergabung dengan dengan Uni Eropa & menjaga perdamaian
Masyrakat Ekonomi Eropa - EEC
Konsep Kerjasama Multilateral
(1975)
Menunjuk pada usaha Inggris untuk mencapai
kepentingan nasionalnya

Konsep Kepentingan Nasional


Menunjuk kepada kekuatan Inggris dalam
memperjuangkan kelangsungan hidup dan eksistensi
Referendum Brexit negaranya.
52% setuju untuk mundur
dari Uni Eropa Teori Kedaulatan
Menunjuk kepada keinginan Inggris untuk memiliki
kedaulatan mengatur negaranya sendiri.

Brexit dengan Brexit Tanpa


Pencabutan Pemicu
Kesepakatan Penarikan Kesepakatan Penarikan
Pasal 50 Perjanjian
Lisbon Era Theresa May “no deal”

Brexit dengan
Kesepakatan Penarikan
yang Dibuat PM Johnson
& Uni Eropa

33

Anda mungkin juga menyukai