Anda di halaman 1dari 5

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Uni Eropa sejak didirikan telah memberikan perdamaian, stabilitas dan

kemakmuran, membantu meningkatkan standar hidup dan meluncurkan mata

uang tunggal Eropa yaitu Euro. Dengan kebijakan luar negeri dan keamanan yang

dibuat, Uni Eropa telah mewakili negara-negara anggotanya di dunia, termasuk

mengatasi tantangan yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri dan memastikan

keamanan dan kemakmuran warga Negara Uni Eropa. Kegiatan eksternal Uni

Eropa telah merambah kedunia yang lebih luas, termasuk di dalamnya

mewujudkan perdamaian, demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, dan

kemerdekaan.

Kerajaan Inggris memiliki kedaulatan yang diatur oleh Britania Raya dan

administrasi pemerintahan Inggris. Kerajaan Inggris yang merupakan sebuah

system ketergantungan kawasan-kawasan jajahan Inggris, kawasan perlindungan,

dan wilayah lainnya. Sistem ini terus berkembang hingga abad ke-20 dengan

munculnya gagasan "Persemakmuran Inggris”. Pokok gagasan ini sebagian besar

terdiri atas swadaya. Mengatur ketergantungan yang mengakui kedaulatan Inggris.

Persemakmuran Inggris kini merupakan persatuan negara-negara yang berdaulat.

Kedaulatan nasional merupakan factor penting perlawanan Britania Raya

terhadap tantangan eksternal yang ditimbulkan oleh keanggotaan pada Uni Eropa.

69
Di antara berbagai alasan mundurnya Britania Raya, alas an utama tetaplah pada

keinginan rakyatnya untuk mempertahankan kedaulatan. Meskipun Britania Raya

telah menunjukkan upaya dalam mengembangkan berbagai metode dan

mekanisme control untuk menegakkan kedaulatannya sambil melanjutkan

kerjasama dengan Uni Eropa, sulit untuk menyangkal bahwa ada kesenjangan

yang terus tumbuh antara kedaulatan de jure Parlemen dan supremasi de facto

hokum Uni Eropa dalam hokum Inggris.

Perdana Menteri David Cameron menginisiasi Referendum Brexit, yang

mengguncang ekonomi dan perpolitikan Inggris baik sebelum maupun setelah

dilakukannya pemungutan suara antara “bertahan” atau “keluar” dari keanggotaan

Uni Eropa. Meningkatnya jumlah kaum euroskeptis dan populis mengalahkan

kaum nasionalis yang banyak mendominasi kawasan Skotlandia dan Irlandia

Utara, dimana hasil pemungutan suara disana mayoritas memilih untuk tetap

bergabung dengan Uni Eropa.

Dalam Pasal 50 Perjanjian Lisbon menyatakan bahwa Negara anggota Uni

Eropa dapat menarik status keanggotaanya dari Uni Eropa secara sukarela tanpa

tekanan dari negara lain. Perjanjian ini yang kemudian dimanfaatkan Britania

Raya pada era Perdana Menteri Theresa May. Referendum Brexit melewati tiga

era Perdana Menteri yang berbeda yaitu era David Cameron (2010 – 2016), era

Theresa May (2016 – 2019), dan kini diwarisikan kepada Perdana Menteri Boris

Johnson. Cameron mengundurkan diri karena gagal dengan keyakinan dan

kampanyenya agar Inggris “remain” dalam Uni Eropa. Brexit kemudian

70
diwariskan kepada Theresa May, yang juga mundur dari posisinya karena gagal

meyakinkan parlemen untuk menyetujui kesepakatan penarikan dengan Uni Eropa

serta gagal memenuhi tenggat waktu yang diberikan Uni Eropa. Kini dilanjutkan

oleh Perdana Menteri Boris Johnson, seorang “Brexiteers” garis keras

meyakinkan masyarakat Inggris di awal pemerintahannya akan membawa Inggris

mundur dari Uni Eropa baik dengan “deal” maupun “no deal” sebelum tenggat

waktu yang ditentukan Uni Eropa saat ini yaitu tanggal 31 Januari 2020.

Sambutan Uni Eropa terhadap pernyataan tersebut sama kerasnya dengan

memberikan tiga pilihan yang tegas terhadap PM Johnson yaitu:

1. Britania Raya melalui PM Boris Johnson mencabut pemicu Pasal 50

Perjanjian Lisbon untuk membatalkan Brexit;

2. Menyetujui Brexit dengan Kesepakatan Perjanjian Brexit yang telah dibuat

dengan PM sebelumnya- Theresa May.

3. MenyetujuiBrexittanpaKesepakatanPenarikan / “No Deal”

Parlemen yang terpecah kedalam faksi-faksi yang berbeda menambah

kesulitan “deal” dan “no deal” Brexit. Pilihan yang telah ditawarkan Uni Eropa

tegas menyatakan bahwa kesepakatan penarikan yang telah disetujui tidak dapat

diubah. Hal ini menjadi ujian akan kedaulatan Britania Raya serta akan memicu

aksiliberalisme di Skotlandia yang sudah beberapa kali ingin merdeka, dan

Irlandia Utara yang dalam kesepakatan tersebut tetap dalam kawasan pasar

tunggal Uni Eropa. Sementara jika Britania Raya memilih mundur tanpa

kesepakatan penarikan atau “no deal”, goncangan ekonomi tidak akan terelakkan.

71
Hal ini akan menjadi masalah besar terhadap investor Inggris yang berada di

kawasan Uni Eropa dan sebaliknya. Biaya-biaya akan bertambah besar, kebijakan

akan berubah, pasar akan bingung. Dan keputusan untuk mundur tanpa

kesepakatan perjanjian ini bukan pilihan yang bijak bagi PM Johnson mengingat

pemilihan umum yang telah dijadwalkan pada saat itu. Kekacauan ekonomi akan

merusak citra yang dibutuhkannya untuk memenangkan pemilu.

PM Johnson menunjukkan perilaku politik luar negeri Britania Raya

dengan melakukan negosiasi ulang dengan Uni Eropa terkait kesepakatan

penarikan Brexit. Dan kini kesepakatan penarikan antara Pemerintah Inggris dan

Uni Eropa sudah dibuat. Kesepakatan tersebut meliputi:

1. Masa Transisi.

Pada masa ini tidak ada kebijakan atau aturan yang berubah kecuali status

keanggotaan Negara Inggris di Uni Eropa sudah dicabut. Masa transisi ini

berakhir hingga 31 Desember 2020.

2. Hak Warga Negara Uni Eropa.

Dalam kesepakatan penarikan itu membahas hak-hak warga Uni Eropa

yang tinggal di Inggris selama masa transisi dan sesudah masa transisi.

3. Penyelesaian finansial.

Kewajiban-kewajiban Inggris berupa investasi dan dana pension staf akan

tetap dibayarkan pada saat jatuh tempo.

4. Perbatasan Irlandia Utara.

72
Kesepakatan tentang ini menetapkan bahwa Irlandia tetap dalam wilayah

kepabeanan Inggris, tapi dalam praktiknya akan ada semacam perbatasan

dengan Uni Eropa.

Setelah melewati pemungutan suara dan disetujui oleh mayoritas parmelen

Inggris, kesepakatan penarikan kini sedang disidangkan di “House of Lords”,

majelis tinggi Inggris. Jika majelis tinggi setuju dengan kesepakatan tersebut,

maka dalam waktu dekat Parlemen Eropa juga akan melakukan pemungutan suara

terkait kesepakatan tersebut.

Hanya setelah Brexit maka Uni Eropa dan Inggris dapat mulai

menegosiasikan rincian hubungan masa depan keduanya. Ini akan mencakup

persetujuan kondisi apa yang akan berlaku untuk perusahaan yang berbasis di Uni

Eropa yang ingin melakukan bisnis di dan dengan Inggris setelah periode transisi.

Negosiasi juga akan terjadi pada hak-hak warganegara dan kerjasama keamanan.

Akan ada lebih banyak kejelasan tentang hubungan baru antara Uni Eropa dan

Inggris hanya setelah fase negosiasi ini selesai.

Perjanjian baru akan mulai berlaku setelah periode transisi, yang akan

berakhir pada 31 Desember 2020. Perjanjian baru ini juga harus disetujui oleh

masing-masing Negara anggota, parlemen Inggris dan Parlemen Eropa. Jika tidak

ada kesepakatan yang dicapai tentang hubungan masa depan antara Inggris dan

Uni Eropa, akan ada 'tidak ada kesepakatan' Brexit setelah masa transisi.

73

Anda mungkin juga menyukai