SROKE HEMORAGIK
B. Etiologi/Penyebab
Menurut Smeltzer dan Bare (2012) stroke biasanya diakibatkan oleh salah
satu dari empat kejadian dibawah ini, yaitu :
1. Trombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.
Arteriosklerosis serebral adalah penyebab utama trombosis, yang adalah
penyebab paling umum dari stroke. Secara umum, trombosis tidak terjadi secara
tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau paresthesia pada
setengah tubuh dapat mendahului paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
2. Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak
dari bagian tubuh yang lain. Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah
atau cabang-cabangnya yang merusak sirkulasi serebral (Valante et al, 2015).
3. Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak. Iskemia terutama karena
konstriksi atheroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak (Valante et al,
2015).
4. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan
ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Pasien dengan perdarahan dan
hemoragi mengalami penurunan nyata pada tingkat kesadaran dan dapat menjadi
stupor atau tidak responsif. Akibat dari keempat kejadian di atas maka terjadi
penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau
permanen fungsi otak dalam gerakan, berfikir, memori, bicara, atau sensasi.
D. Patofisiologi
Oksigen sangat penting untuk otak, jika terjadi hipoksia seperti yang terjadi
pada stroke, di otak akan mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan
kerusakan permanen yang terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit (AHA, 2015).
Pembuluh darah yang paling sering terkena adalah arteri serebral dan arteri karotis
interna yang ada di leher (Guyton & Hall, 2012). Adanya gangguan pada peredaran
darah otak dapat mengakibatkan cedera pada otak melalui beberapa mekanisme,
yaitu:
1. penebalan dinding pembuluh darah (arteri serebral) yang menimbulkan
penyembitan sehingga aliran darah tidak adekuat yang selanjutnya akan terjadi
iskemik.
2. Pecahnya dinding pembuluh darah yang menyebabkan hemoragi.
3. Pembesaran satu atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.
4. Edema serebral yang merupakan pengumpulan cairan pada ruang interstitial
jaringan otak (Smeltzer dan Bare, 2012).
Penyempitan pembuluh darah otak mula-mula menyebabkan perubahan pada
aliran darah dan setelah terjadi stenosis cukup hebat dan melampaui batas krisis
terjadi pengurangan darah secara drastis dan cepat. Obtruksi suatu pembuluh
darah arteri di otak akan menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak
normal sekitarnya masih mempunyai peredaran darah yang baik berusaha
membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis yang ada. Perubahan yang
terjadi pada kortek akibat oklusi pembuluh darah awalnya adalah gelapnya warna
darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan dilatasi arteri dan arteriola
(AHA, 2015).
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Machfoed (2011), pemeriksaan diagnostik untuk stroke hemoragi
adalah:
1. Tes laboratorium : tes faal koagulasi, darah lengkap.
2. Pemeriksaa CT Scan kepala harus segera (kurang dari 12 jam) dilakukan pada
kasus dugaan perdarahan subaraknoid. Bila hasil CT Scan tidak menunjukan
adanya perdarahan subaraknoid, maka langsung dilanjutkan dengan tindakan
pungsi lumbal untuk menganalisa hasil cairan serebrospinal dalam kurun waktu 12
jam. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan spektrofotometri cairan serebrospinal
untuk mendeteksi adanya xanthochromia.
3. Pemeriksaan angiografi selektif dilakukan pada penderita perdarahan subaraknoid
untuk mengetahui adanya gambaran aneurisma. Angiografi dan venografi :
dilakukan pada perdarahan intraserebral di usia muda.
4. Pemeriksaan MRA dan CT Angiografi hanya dilakukan bila angiografi
konvensional tidak dapat dilakukan. Pemeriksaan MRI tidak dianjurkan untuk
mendeteksi perdarahan subaraknoid.
H. Penatalaksanaan Stroke
1. Fase akut Fase akut stroke berakhir 48 sampai 72 jam. Pasien yng koma pada
saat masuk dipertimbangkan memiliki prognosis buruk. Sebaliknya pasien sadar
penuh mempunyai prognosis yang lebih dapat diharapkan. Prioritas dalam fase
akut ini adalah mempertahankan jalan nafas dan ventilasi yang baik (Smeltzer dan
Bare, 2012).
2. Fase rehabiliasi
fase rehabilitasi stroke adalah fase pemulihan pada kondisi sebelum stroke.
Program pada fase ini bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fungsional
pasien stroke, sehingga mampu mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari
adekuat (Smeltzer dan Bare, 2012).
I. Kemampuan Activity Daily Living (ADL) Pasien Stroke
Gangguan akibat stroke sering menimbulkan gejala sisa yang berupa
hemiplegia (kelumpuhan pada setengah anggota tubuh) dan hemparesis (kelemahan
otot) yang dapat menjadi kecacatan menetap yang selajutnya membatasi fungsi
seseorang dalam melakukan ADL. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan
aktivitas sehari-hari setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasi stroke fase
relabilitasi (Rosiana, 2009). Pada saat rehabilitasi pasien dapat dirawat di rumah
sakit, pusat rehabilitasi, maupun rumahnya sendiri bergantung pada beberapa faktor,
termasuk status ketergantungan pasien stroke. Salah satu alat ukur tingkat
ketergantungan pasien stroke adalah Barthel Indeks (BI) yang dirumuskan oleh
Mahoney, F.I. dan Barthel D.W. untuk mengukur ketergantungan ADL, yang hasil
ukurnya yaitu ketergantungan total (skor 0 – 20), ketergantungan berat (25 – 40),
ketergantungan sedang (skor 45 – 55), ketergantungan ringan (skor 60 – 95), dan
mandiri (skor 100) (Syairi, 2013).
Pasien stroke yang akan kembali ke rumah seharusnya di motivasi untuk
mengerjakan aktivitas perawatan dirinya sendiri semampunya, setidaknya klien bisa
melakukan ADL dasar yaitu, makan, berpakaian, mandi, berdandan, toileting, kontrol
kontinensia, transfer (berpindah), dan mobilisasi (Bogousslavsky, 2005). Pasien juga
di sarankan menggunakan kedua sisi tubuh dalam melakukan ADL tersebut,
contohnya apabila sisi kanan yang terkena, pasien dapat diajarkan untuk
menggunakan tangan kirinya untuk semua aktivitas namun, pastikan juga tangan
yang sakit diikutsertakan dalam semua kegiatan. Semakin cepat dibiarkan
melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien menjadi mandiri. Hanya aktivitas
yang dapat menimbulkan risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu
ditolong oleh keluarga (Rosiana, 2009).
J. Penatalaksanaan keperawatan
Pengkajian menurut Wilkinson & Skinner (2000), pada klien dengan
kegawatdarutan stroke antara lain:
1. Primary Survey
a. Airway maintenance
Menurut Thygerson (2011), tindakan pertama kali yang harus dilakukan
adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara
untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien
yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka. Menurut
Wilkinson & Skinner (2000), pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan
bantuan airway dan ventilasi. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan
oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar. Perlu diperhatikan dalam
pengkajian airway pada pasien antara lain :
1) Kepatenan jalan nafas pasien
2) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
a) Adanya snoring atau gurgling
b) Agitasi (hipoksia)
c) Penggunaan otot bantu pernafasan
d) Sianosis
3) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas
dan potensial penyebab obstruksi
4) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
e; Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien
sesuai indikasi :
a) Chin lift/jaw thrust
b) Lakukan suction (jika tersedia)
c) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
d) Lakukan intubasi
b. Breathing dan oxygenation
Menurut Wilkinson & Skinner (2000), pada kasus stroke mungkin terjadi akibat
gangguan di pusat napas (akibat stroke) atau oleh karena komplikasi infeksi di
saluran napas. Pedoman konsensus mengharuskan monitoring saturasi O2 dan
mempertahankannya di atas 95% (94-98%). Pada pasien stroke yang
mengalami gangguan pengendalian respiratorik atau peningkatan TIK, kadang
diperlukan untuk melakukan ventilasi.
c. Circulation
Wilkinson & Skinner (2000), shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya
perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Diagnosis shock didasarkan pada
temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas
dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Pengkajian
circulation menurut Muttaqin (2008) pada klien stroke biasanya didapatkan
renjatan (syok) hipovolemik, tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan
bisa terdapat hipertensi massif dengan TD >200 mmHg.
d. Disability
pemeriksaan neurologis. Menurut Muttaqin (2008), tingkat kesadaran klien
dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran. Pada
keadaan lanjut, tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat
letargi, stupor, dan semikomatosa.
Apabila klien sudah mengalami koma, maka penilaian GCS sangat penting
untung menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan
pemberian asuhan.
2. Secondary Assessment
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam
artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik. 1;
Anamnesis Menurut Rudd dalam Emergency Nursing Association (2009),
a. Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga:
A: Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M: Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat).
P: Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya)
L: Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian).
E: Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cidera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama).
b. Pemeriksaan fisik
1) Kulit kepala Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
pigmentasi, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala.
2) Mata Ukuran pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana refleks
cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus,
apakah konjungtivanya anemis atau tidak.
3) Hidung Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman.
4) Telinga Periksa adanya nyeri, penurunan atau hilangnya pendengaran.
5) Mulut
Inspeksi : pada bagian mukosa terhadap tekstur, warna, kelembaban.
6) Toraks
a) Inspeksi : peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.
b) Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri pada klien dengan
tingkat kesadaran compos mentis.
c) Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.
d) Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien stroke
dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Tidak didapatkan bunyi
nafas tambahan pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis.
7) Abdomen
a) Inspeksi : adakah distensi abdomen, asites.
b) Auskultasi : bising usus.
c) Perkusi : untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan).
d) Palpasi : untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali, splenomegali.
8) Ektremitas
Pada saat inspeksi lihat adanya edema, gerakan, dan sensasi harus
diperhatikan, paralisis, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing
finger serta hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d
5-15 detik).
c. Pengkajian
Nervus Kranial menurut Muttaqin (2008).
1) Syaraf Olfaktorius (N.I)
Biasanya tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
2) Syaraf Optikus (N.II)
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik primer diantara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial sering terlihat
pada klien dengan hemiplegi kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai
pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan
pakaian ke bagian tubuh.
3) Syaraf Okulomotorius (N.III), Trokealis (N.IV), dan Abdusens (N.VI)
Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis sesisi otototot okularis
didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang
sakit
4) Syaraf Trigeminalis (N.V)
Pada beberapa keadaan stroke mengakibatkan paralisi saraf trigeminus,
didapatkan penurunan koordinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan
rahang bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoidus
internus dan eksternus
5) Syaraf Fasialis (N.VII)
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris, otot wajah tertarik
ke bagian sisi yang sehat.
6) Syaraf Vestibulokoklear (N.VIII)
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
7) Syaraf Glosofaringeus (N.IX) dan Vagus (N.X)
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
8) Syaraf Asesorius Spinal (N.XI)
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
9) Saraf Hipoglossus (N.XII)
Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi. Indra
pengecapan normal.
RESUME KEPERAWATAN PASIEN MEDIK
RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS SARI MULIA
I. Identitas Klien
1. Nama :Ny. R
2. Jenis Kelamin :Perempuan
3. Umur :81 tahun
4. Pendidikan :-
5. Pekerjaan :-
6. Alamat :Banjarmasin
7. Status Perkawinan :Kawin
8. Agama :Islam
9. Suku / Bangsa :Banjar
10. Tgl Masuk RS :19 Februari 2020
11. Diagnosa Medis :Susp. Stroke Hemoragic 2nd attack
12. No. Rekam Medik : XXX Commented [BRS1]: Isi Aja gak papa
TD: 240/90 mmHg, Nadi 110x/menit, CRT >3detik, membran mukosa nampak Commented [BRS15]: Warna kulit bagian ektremitas dan
wajah? MAP?
pucat, akral hangat saat diraba pada ekstermitas. Commented [BRS16]: Ritme? Kekuatan pulsasi?
4. Disability
GCS : E1M1V2
Kesadaran menurun
Pupil isokor
Reflek cahaya +/+
V. Data Fokus
1. Inspeksi
Leher : Ada peningkatan vena JVP
Paru : Pengembangan dada simetris, nampak ada retraksi dinding dada
Nafas tidak teratur, penurunan refleks batuk dan menelan
Jantung : Ictus cordis tidak nampak
Abdomen : Tidak ada bekas luka, tidak ada asites
2. Palpasi
Paru : vokal premitus tidak terkaji
Jantung : batas jantung tidak jelas
Abdomen : tidak ada pembesaran hepar
3. Perkusi
Paru : tidak terkaji
Jantung : suara pekak
Abdomen : kembung, Redup
4. Auskultasi
Paru : suara nafas vesikuler
Jantung : tidak ada suara jantung tambahan
Abdomen : bising usus menurun (8x/menit)
5. Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 240/90mmHg
Nadi : 110x/mnt (Kualitas: kuat; Ritme:Reguler)
Respirasi : 38x/mnt (Effort: tampak meggunakan otot bantu nafas, ada
cuping hidung, ada retraksi dinding dada; Ritme: Irreguler)
Suhu : 37,30C
Tingkat Kesadaran : E1 V1 M2
DS: keluarga pasien Gangguan perfusi Setelah dilakukan NIC - Baringkan klien Pasien tampak tidak
mengatakan pasien jaringan cerebral b.d tindakan keperawatan - Baringkan klien (tirah (tirah baring) total sadarkan diri GCS =
tidak dapat interupsi aliran darah - Status neurologis baring) total dengan dengan posisi E1 M1 V2
merespon dalam batas normal posisi tidur terlentang tidur terlentang Infus Ns 20 tpm
DO: pasien tampak - Tanda – tanda vital tanpa bantal. tanpa bantal. TD = 240/90 mmHg
lemah normal - Monitor tanda-tanda - Monitor tanda- N = 110 kuat, regular Commented [BRS24]: Liat BK untuk diagnose tersebut.
data penegakan diagnose masih sangat lemah karena hanya
- Peningkatan status neurologis tanda status R = 41x/ menit beberapa. Anda bisa memasukkan hasil pemeriksaan, data lab,
maupun data hasil pemeriksaan diagnostik
kemampuan koknitif dengan GCS. neurologis dengan ireguler
- Monitor tanda-tanda GCS. SpO2 = 80%
vital, seperti tekanan - Monitor tanda- Pupil isokor
darah, nadi, suhu, dan tanda vital, seperti
frekuensi pernapasan tekanan darah,
serta hati-hati pada nadi, suhu, dan
frekuensi sistolik. frekuensi
- Berikan cairan per pernapasan serta
infus dengan perhatian hati-hati pada
ketat. frekuensi sistolik.
- Monitor AGD bila - Berikan cairan per
diperlukan pemberian infus dengan
oksigen. perhatian ketat.
- Berikan transfusi darah
yang telah mempunyai sel
sel darah san pengangkatan
platelet (plasma segar yg
dibekukan)
-Lakukan pemberian infus
pada produk sintetis yang
serupa pada protein dalam
darah
-Kolaborasi pemberian
anticoagulant (seperti
heparin dan warfarin)
Catatan Perkembangan Commented [BRS25]: Jangan copas
Gangguan perfusi 19/02/2020 S = Keluarga pasien mengatakan pasien tidak merespon keluarga
jaringan cerebral 11.00 WITA O = Pasien tampak tidak sadarkan diri GCS = E 1 M 1 V 2
Infus Ns 20 tpm
Pupil isokor
Kejang (-)
A = Masalah belum teratasi
P = - Baringkan klien (tirah baring) total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal.
Gangguan perfusi 19/02/2020 S = Keluarga pasien mengatakan pasien tidak ada respon
jaringan cerebral 11.30 WITA O = Pasien tampak tidak sadarkan diri GCS = E 1 M 1 V 2
Infus Ns 20 tpm
Pupil isokor
Kejang (-)
A = Masalah belum teratasi
P = - Baringkan klien (tirah baring) total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal.
Gangguan perfusi 19/02/2020 S = Keluarga pasien mengatakan pasien tidak ada respon
jaringan cerebral 12.00 WITA O = Pasien tampak tidak sadarkan diri GCS = E 1 M 1 V 2
Pupil isokor
Kejang (-)
A = Masalah belum teratasi
P = - Baringkan klien (tirah baring) total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal.
Gangguan perfusi 19/02/2020 S = Keluarga pasien mengatakan pasien tidak ada respon
jaringan cerebral 14.00 WITA O = Pasien tampak tidak sadarkan diri GCS = E 1 M 1 V 2
Pupil isokor
Kejang (-)
A = Masalah belum teratasi
P = - Baringkan klien (tirah baring) total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal.
Gangguan perfusi 19/02/2020 S = Keluarga pasien mengatakan pasien tidak ada respon
jaringan cerebral 14.30 WITA O = Pasien tampak tidak sadarkan diri GCS = E 1 M 1 V 2
Pupil isokor
Kejang (-)
A = Masalah belum teratasi
P = - Baringkan klien (tirah baring) total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal.
Gangguan perfusi 19/02/2020 S = Keluarga pasien mengatakan pasien tidak ada respon
jaringan cerebral 15.00 WITA O = Pasien tampak tidak sadarkan diri GCS = E 1 M 1 V 2
Pupil isokor
Kejang (-)
A = Masalah belum teratasi
P = - Baringkan klien (tirah baring) total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal.
- Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
- Monitor tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi pernapasan
serta hati-hati pada frekuensi sistolik.
- Berikan cairan per infus dengan perhatian ketat.
- Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen.
- Monitor AGD, ukuran pupil,ketajaman, kesimetrisan dan reaksi
4 Ketidakefektifan pola 19/02/2020 S = keluarga pasien mengatakan pasien sesak nafas
nafas 15. 30 WITA O = nafas pasien tampak cepat
TD = 162/94 mmHg
N = 106 x/menit kuat, reguler
R = 39 x/ menit ireguler
SpO2 = 99%
A = Masalah belum teratasi
P = - monitor tanda-tanda vital
- Monitor pernafasan
- Terapi oksigen
- Mengatur posisi
Gangguan perfusi 19/02/2020 S = Keluarga pasien mengatakan pasien tidak ada respon
jaringan cerebral 15.30 WITA O = Pasien tampak tidak sadarkan diri GCS = E 1 M 1 V 2
Pupil isokor
TD = 162/94 mmHg
N = 106 x/menit kuat, reguler
R = 39 x/ menit ireguler
SpO2 = 99%
Kejang (-)
A = Masalah belum teratasi
P = - Baringkan klien (tirah baring) total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal.
Gangguan perfusi 19/02/2020 S = Keluarga pasien mengatakan pasien tidak ada respon
jaringan cerebral 16.00 WITA O = Pasien tampak tidak sadarkan diri GCS = E 1 M 1 V 2
Pupil isokor
TD = 181/103 mmHg
N = 111 x/menit kuat, reguler
R = 26 x/ menit ireguler
SpO2 = 99%
Kejang (-)
A = Masalah belum teratasi
P = - Baringkan klien (tirah baring) total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal.
Gangguan perfusi 19/02/2020 S = Keluarga pasien mengatakan pasien tidak ada respon
jaringan cerebral 15.30 WITA O = Pasien tampak tidak sadarkan diri GCS = E 1 M 1 V 2
Pupil isokor
TD = 205/ 113 mmHg
N = 112 x/menit kuat, reguler
R = 25 x/ menit ireguler
SpO2 = 99%
Kejang (-)
A = Masalah belum teratasi
P = - Baringkan klien (tirah baring) total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal.