Anda di halaman 1dari 16

Ilham Ramadhani - 201710360311056

Zahirah Lutfiyah El Fahmi- 201710360311095

Octa Ricky Saputra- 201710360311106

Democratization: Concepts, Ways, and Typologies

A. Rumusan Masalah
- Bagaimana proses perubahan rezim politik menuju demokrasi melalui
demokratisasi?
- Bagaimana implementasi transisi rezim politik di Indonesia pada jaman
Soeharto menuju demokrasi menyeluruh?

B. Tujuan Pembahasan
- Untuk mengetahui bagaimana proses perubahan rezim yang lebih
demokratis
- Untuk mengetahui implementasi perubahan rezim dari zaman Soeharto
menuju demokrasi menyeluruh

C. Pembahasan

Pengertian Transisi Demokrasi

Dalam Kamus bahasa Latin, “Transisi” berasal dari kata trans dan cendo. Trans
sendiri berarti di seberang, di sebelah sana, dibalik, menyebrangi, sedangkan cendo
berarti melangkah ke sesuatu yang lain, berpindah. Apabila terminologi
“transition” ini digabungkan, dengan istilah “power”, maka paduan kata itu akan
menjadi power transition yang berarti “peralihan kekuasaan”. Sedangkan jika
dipadukan dengan kata demokrasi menjadi transition to democracy yang berarti
perubahan ke demokrasi atau peralihan ke demokrasi. apabila kata “transition” itu
dipadukan dengan kata democraticy akan menjadi transition to democracy yang
berarti perubahan ke demokrasi atau peralihan ke demokrasi. Dengan demikian
transisi demokrasi disini bisa diartikan sebagai suatu masa peralihan dari kekuasaan
otoriter ke kekuasaan demokratis atau dari sistem pemerintahan otoriter ke sistem
pemerintahan demokratik.
Proses transisi menuju demokrasi kini telah menarik perhatian para ilmuwan
politik khususnya studi pembangunan politik. Ada sejumlah pendekatan konspetual
di sini untuk dapat meneropong proses transisi menuju demokrasi. Menurut Adam
Przeworksi (1991)1 menggunakan konsep “hardliners” dan “sofliners” dalam
mengembangkan model gametheoretic dalam menganalisa kejatuhan sebuah rezim
autoritarian.Studi akan masa transisi ini kemudian menoleh kepada penekanan sisi
masyarakat. Penekanan kepada peran masyarakat ini akhirnya memunculkan
kesimpulan lain. Faktor struktural yang sebelumnya menjadi pusat perhatian
bergeser ke faktor elit. Di sini perilaku elit menjadi variabel signifikan dalam
menjelaskan tumbangnya sebuah rezim otoriter. Teori yang menekankan pada
faktor elit tersebut pada beberapa hal sebenarnya berakar dari akar pemikiran,
pertama, aktor kunci dalam proses transisi adalah elit politik, baik yang di dalam
pemerintahan maupun oposisinya dan tidak lagi kelompokkelompok kepentingan,
organisasi massa, gerakan sosial atau kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.
Kedua, aktor-aktor tersebut secara tipikal dibedakan menurut orientasi mereka
terhadap perubahan rezim seperti moderat-ekstrem; dan menurut kepentingan yang
berakar pada struktur dan kondisi ekonomi maupun peranan institusionalnya.
Ketiga, aktor-aktor tersebut berperilaku strategis, tindakan-tindakan mereka
dipengaruhi oleh tingkat penilaian mereka terhadap musuh maupun sekutunya
sendiri. Keempat, demokrasi merupakan hasil dari negosiasi, baik secara eksplisit
maupun implisit. Dengan penekanan pada faktor elit, maka teori transisi menuju
demokrasi menaruh perhatian besar dalam hal model, strategi maupun taktik.

Dalam sebuah masa transisi tidak dapat dipastikan apakah masa sesudah
transisi selalu menjadi lebih baik dari masa sebelum transisi. Jadi keadaan yang
akan terjadi setelah transisi berlangsung adalah sesuatu ketidakpastian. Transisi
politik bisa saja menghasilkan sebuah pencerahan bagi demokrasi dengan
berakhirnya sebuah rezim otoriter yang sudah berlangsung sangat lama. Transisi
juga dapat berkembang menjadi konfrontasi sengit dan meluas, yang membuka
jalan bagi rezim-rezim revolusioner yang ingin memperkenalkan perubahan drastis
dari kenyataan politik yang ada2, berarti masa transisi merupakan masa yang sulit

1
Prezworksi, A. (1991). Democracy and the market: Political and economic reforms in Eastern Europe
and Latin America. Cambridge: University Press.
2
O'Donnell, G., & Schmitter, P. C. (1993). Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan
Ketidakpastian. Jakarta: LP3ES.
diprediksikan. Pada saat massa transisi keadaan politik suatu negara akan
mengalami keadaan yang tidak stabil, sehingga semua kemungkinan bisa saja
terjadi.

Dalam kasus kontemporer yang khas, awal proses ditandai oleh krisis dalam
rezim nondemokratis, diikuti oleh kehancuran akhirnya. Jika transisi menuju
demokrasi dimulai dengan semacam krisis untuk pemerintahan otoriter yang
meyakinkan para penguasa untuk meninggalkan kantor, maka fase ini berakhir
dengan instalasi, berdasarkan pemilihan umum yang bebas, dari pemerintahan
baru. Tetapi proses transisi demokrasi yang berhasil tidak berakhir di sana. Rezim
baru akan sering menjadi demokrasi terbatas, lebih demokratis dari rezim
sebelumnya tetapi belum sepenuhnya demokratis. Beberapa fase "pendalaman
demokrasi" mungkin diperlukan sebelum tahap terakhir tercapai. Dan kemudian
rezim masih harus dikonsolidasikan, yang dikatakan terjadi ketika semua aktor
politik utama melihat demokrasi sebagai "satu-satunya permainan di kota." Ada
sering kali tumpang tindih antara fase-fase ini. Perhatikan bahwa fase-fase yang
diuraikan di sini tidak perlu dinegosiasikan dengan cara yang mulus dan
linier3.Mungkin ada krisis dan kemunduran. Dan hasil dari perubahan rezim tidak
harus berupa demokrasi. Pola khas untuk banyak negara berkembang memang
merupakan salah satu dari penggergajian sistem yang kurang lebih otoriter dan
demokrasi lemah. Terlebih lagi, proses penuh menuju demokrasi terkonsolidasi
mungkin memakan waktu lama, seringkali beberapa dekade.

Transisi itu dibatasi di satu sisi, oleh dimulainya suatu proses perpecahan
sebuah rezim otoritarian, dan disisi lain, transisi dibatasi oleh pengesahan beberapa
bentuk demokrasi, dan kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter.
sehingga memaksa suatu negara untuk memulai pembentukan tatanan rezim
demokrasi.Maka dari itu, dalam sebuah proses transisi demokrasi, atran main
politik menjadi tidak bisa diprediksi dan tidak menentu karena instabilitas yang
terjadi. Semua itu bisa disebabkan oleh aktor-aktor politik dan kelompok
kepentingan akan bertarung untuk menentukan sebuah aturan main politik agar
dapat menerapkan dan mendukung kepentingan suatu kelompok itu sendiri. Hal ini

3
Sorensen, G. (2008). Processes of Transition and Consolidation . In Democracy and Democratization
(p. 46). United States of America: Westview Press.
berarti mereka mempunyai jalan untuk maju ke masa pemerintahan selanjutnya
karena aturan ada ditangan mereka.

Dengan demikian, berarti proses penetapan aturan ataupun prosedur-prosedur


politik akan mengalami proses tarik ulur yang sangat ketat dan waktu yang lama.
Hal ini disebabkan oleh karena semua kelompok politik sedang memperjuangkan
kepentingannya masing-masing pada saat masa transisi yang sangat rawan
terjadinya perubahan. Karena hal tersebut, maka dibutuhkan sebuah kesepakatan
politik antara kelompok kepentingan yang bermain dalam menentukann prosedur
dan aturan-aturan politik tersebut. Namun, bila kesepakatan antara kelompok
kepentingan itu tidak bisa terwujud, maka akan banyak pertikaian diantara
kelompok kepentingan yang bisa terus terjadi. Dan tidak menutup kemungkinan
bahwa rezim yang lama akan bisa berkuasa kembali. Satu hal yang dapat kita
ketahui pada saat transisi politik sudah mulai bergerak yaitu ketika penguasa
otoriter mulai memodifikasi peraturannya sebagai jaminan yang lebih kuat bagi
kelangsungan kekuasaannya di masa yang akan datang.

Tipe dan Proses Transisi Demokrasi

Didalam sebuah buku tentang Demokratisasi oleh Samuel P.Huntington


menjelaskan bahwa proses transisi demokratisasi mempunyai 3(tiga) jenis 4 , yaitu
:

1. Transformasi
Terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori proses perwujudan
demokrasi. Dalam transformasi, pihak-pihak yang berkuasa dalam rezim
otoriter mensponsori perubahan dan memainkan peran yang menentukan dalam
mengakhiri rezim itu dan mengubahnya menjadi sebuah sistem yang
demokratis. Sebagai contoh transisi demokratisasi di Taiwan di awal tahun
1990-an mengikuti jalur ini dimana pemerintah Kuomintang
menyelenggarakan sebuah pemilu demokratis untuk menghadirkan demokrasi
di negara pulau itu.
2. Replacement(Pergantian)
Terjadi ketika kelompok Oposisi mempelopori proses perwujudan
demokrasi di mana kemudian Rezim Otoriter tumbang atau digulingkan.

4
Huntington, S. P. (1991). The Thrid Wave : Democratization in The Late Twentieth century. Journal
of Democracy, page 13-26.
Replacement merupakan sebuah transisi yang matang dan lemah, proses ini
sangat tergantung dengan kontinuitas perjuangan dari mereka yang memiliki
komitmen yang kuat dengan pembangunan demokrasi. Dan dalam kasus
Indonesia dan juga sepertinya Mesir replacement ini menampakkan wajah yang
tidak sempurna. Namun jika Indonesia dan Mesir memiliki cukup banyak
tersedia kelompok sosial yang konsen dengan demokrasi, maka replacement ini
akan menjadi matang. Namun apabila kelompok sosial itu sedikit maka
berpeluang besar bahwa Transisi Demokrasi ini berbalik arah menjadi
Otoritarianisme Baru
3. Transplacement
Terjadi jika demokratisasi merupakan hasil dari tindakan yang
dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok pemerintah dan kelompok
oposisi. Kelompok konservatif dalam rezim berada pada posisi yang seimbang
dengan pemerintah, tetap pemerintah sendiri hanya bersedia merundingkan
perubahan, dan tidak mau memprakarsai perubahan rezim. Hal ini sangat
berbeda dengan adanaya dominasi kelompok konservatif yang menimbulkan
pergantian. Hal ini juga bisa diartikan dengan sebuah proses negosiasi
berlangsung antara pemerintah dan oposisi untuk menentukan transformasi
sistem politik bertahap menuju sistem politik lebih demokratis.Di Palma (1990)
menyebutnya sebagai perubahan yang dinegosiasikan, dimana elit baik
pemerintahan maupun dari masyarakat sipil merundingkan perubahan politik.
Polandia adalah salah satu contoh, di mana Serikat Buruh Solidaritas yang
dipimpin Lech Walesa berunding dengan militer untuk mencapai demokrasi.
Apa yang terjadi di Polandia adalah transisi menuju demokrasi melalui
negosiasi.

Installasi Demokrasi

Instalasi demokrasi merupakan suatu proses dimana institusi-institusi


demokrasi tumbuh dan berkembang. Instalasi demokrasi di Indonesia ditandai
dengan lahirnya amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 serta
pembentukan sejumlah institusi demokrasi lainnya. Instalasi demokrasi juga
seiring dengan maraknya politik anomali yang ditandai pada proses dan
prosedurnya. Pada dasarnya, sistem demokrasi sudah berjalan sebagaimana
mestinya, namun ruang demokrasi dimanfaatkan oleh orang-orang kuat, politik
kekerabatan, dinasti politik, dan oligarki. Kekuatan politik sipil sudah tereduksi
karena esensi politik dikekang oleh besarnya kekuatan partai politik dan sistem
politik.

Konsolidasi Demokrasi

Ada banyak sekali penjelasan-penjelasan mengenai demokratisasi dan


praktiknya itu sendiri. Menurut Samuel P. Huntington,5 Dalam Pelaksanaan
demokratisasi terdapat tiga tahapan diantaranya yaitu yang pertama adalah
Berakhirnya rezim otoriter. Kemudian yang kedua yaitu Pemasangan atau instalasi
instrument-instrumen demokrasi. Dan yang ketiga adalah Konsolidasi demokrasi.

Konsolidasi demokrasi merupakan proses penyatuan daripada beberapa


elemen sebagai usaha untuk memfasilitasi demokratisasi politik secara bersamaan.
Konsolidasi Demokrasi juga bisa kita artikan sebagai suatu proses panjang yang
membentengi kemungkinan pembalikan demokratisasi, menghindari erosi
demokrasi, menghindari keruntuhan demokrasi, yang diteruskan dengan
melengkapi kekurangan demokrasi, pendalaman demokrasi dan mengorganisir
demokrasi secara berkelanjutan.6

Konsolidasi demokrasi merupakan sebuah tahapan yang akan dilalui apabila


demokrasi di sebuah negara sudah berjalan dengan ideal contohnya tidak ada
perubahan dalam pelaksanaan Pemilu. Konsolidasi adalah sebuah tahap yang

5
Huntington, S. P. (1995). Gelombang Demokrasi Ketiga. Jakarta: Grafitti.

6
Palma, G. D. (1997). Kiat Membangun Demokrasi: Sebuah Esai Tentang Transisi Demokrasi. Jakarta:
Yayasan Sumber Agung.
paling sulit untuk dilalui, bahkan negara Amerika Serkat membutuhkan waktu 200
tahun agar demokrasi di negaranya dapat terkonsolidasi dengan baik.

Suatu negara dapat terjadi adanya konsolidasi demokrasi apabila negara


tersebut didukung atau didorong oleh Pengalaman demokrasi dari negara tersebut,
adanya kesejahteraan pada suatu negara yang maksudnya adalah apabila negara
tersebut semakin sejahtera, maka semakin besar pula peluang demokrasi di negara
tersebut terkonsolidasi, dan yang terakhir adalah adanya Interaksi atau hubungan
dengan negara lain. Sebuah demokrasi juga akan terkonsolidasi apabila para actor
politik dan kelopmok-kelompok kepentingan berfikir bahwa tindakan demokrasi
adalah sebuah alternative untuk meraih suatu kekuasaan.

Konsolidasi dari sebuah demokrasi justru akan memiliki langkah dan proses
yang lebih panjang setelah transisi demokrasi tersebut. Menurut Goran Hayden,7
ada beberapa pendekatan dalam konsolidasi demokrasi. Yang pertama adalah
pendekatan agen-elite yang memfokuskan studinya pada interaksi elite politik,
baik itu melalui pemimpin, penyelenggara negara hingga politisi. Para elite harus
memiliki sikap, piihan, tindakan, dan keyakinan yang kuat pada demokrasi dan
membangun consensus bersama untuk konsolidasi demokrasi.

Yang kedua adalah pendekatan teori budaya politik. Adanya penekanan bahwa
budaya politik demokratis adalah sebagai syarat bagi tumbuhnya sebuah
demokrasi dengan memiliki dua cirri focus yaitu focus relasi horizontal dan focus
relasi vertical. Secara horizontal, demokrasi mengajarkan tentang pluralisme yang
dala artian masyarakat itu memiliki semangat untuk saling menghargai sebuah
perbedaan satu sama lain. Kemudian, secara vertical demokrasi mengajarkan
bahwa hubungan antara pemerintah dengan rakyat itu bukan berdasarkan
klientelisme, paternalism, dan aptrimonalisme, melainkan berdasar kepada suatu
prinsip kewarganegaraan.

7
Hayden, G. (2002). Development and Demokracy: An Overview. In O. Elgstrom, & G. Hayden,
Development and Democracy: What Have We Learn and How? (p. 2). London: Routledge.
Kemudian yang ketiga, yaitu adanya pembangunan ekonomi dan demokrasi.
Sebuah bentuk dukungan demokrasi adalah adanya pertumbuhan ekonomi yang
meningkat. Kemudian yang terakhir adlah adanya struktur-massa, dalam proses
demokratisasi, demokrasi lebih terfokus pada gerakan-gerakan masyarakat yang
dimana hal itu termasuk dalam kajian civil society pada proses demokratisasi.

Implementasi

Selama masa transisi, apabila terdapat peraturan-peraturan dan prosedur-


prosedur yang efektif, itu cenderung berada dalam genggaman pemerintahan
otoriter. Secara longgar atau ketat, tergantung pada kasus dan taraf transisi
tersebut. Para pengusa ini berusaha mempertahankan kekuasaan sewenang-
wenang untuk menentukan aturan-aturan dan hak-hak, yang di dalam kondisi
demokrasi yang bagus umumnya dilindungi secara baik oleh undang-undang dan
berbagai lembaga independen. Sebuah tanda tipikal yang menandai dimulainya
suatu masa transisi adalah ketika para penguasa otoriter ini dengan alasan apapun
mulai memodifikasi peraturan-peraturan mereka sendiri sebagai jaminan yang
lebih kuat bagi hak-hak individu dan kelompok. Menjadi pertanda bagi dimulainya
transisi ketika kemunculannya memicu sejumlah konsekuensi (yang seringkali
tidak direncanakan), yang pada akhirnya memainkan peran penting dalam
menentukan ruang lingkup dan keluasan proses yang berjalan.

Pada gerakan reformasi yang terjadi di tahun 1998 berhasil melengserkan


Soeharto dari kursi kekuasaannya. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak
tahun 1997 menjadi faktor utama dari gerakan reformasi ini. Adanya
ketidaksanggupan pemerintahan Orde Baru dalam mengatasi masalah ini
membuat rakyat semakin tidak memiliki kepercayaan terhadap rezim Orde Baru.
Adanya krisis dan tekanan dari rakyat Indonesia tidak melunturkan keinginan
Soeharto dalam melindungi hak istimewa keluarganya dan jaringan patronase
yang menjadi landasan rezimnya daripada menyodorkan langkah-langkah untuk
membatasi keruntuhan ekonomi akibat krisis tersebut. Sembari Soeharto sibuk
mecari bagaimana caranya yang memungkinkan anak-anak dan kronik-kroniknya
menyiapkan diri bagi pembaruan yang telah ditetapkan oleh IMF, nilai tukar
rupiah semakin hari semakin menurun. Tidak hanya itu, sistem perbankan
berantakan, pengusaha manufaktur bangkrut dan pengangguran semakin hari
semakin meningkat. Dengan adanya masalah pernurunan perekonomian,
ketegangan sosial malah semakin naik dan malah menjurus kearah kerusuhan
massal di Jakarta pada bulan Mei di tahun 19988. Dengan adanya kerusuhan
massal ini membuat suasana di Jakarta semakin mencekam.

Ribuan mahasiswa dan para media melakukan gerakan reformasi ini


dikarenakan banyaknya rasa kecewa yang diperlihatkan oleh rakyat Indonesia
mengenai persoalan bangsa ini. Gerakan reformasi ini menuntut turunnya
Soeharto dari kursi kekuasaannya. Demonstrasi tidak hanya berlangsung di pusat
namun di berbagai daerah pun telah terjadi hal yang sama. Di tengah demonstrasi
yang terjadi, kedudukan Soeharto sebagai presiden semakin hari semakin
melemah, hal ini dikarenakan banyaknya desakan dari para rakyat Indonesia.
Militer yang selama kurang lebih 32 tahun telah menjadi alat kekuasaan Soeharto
tidak sepenuhnya lagi mendukung soeharto bahkan Jenderal wiranto pun
mengatakan bahwa mereka tidak mampu lagi untuk mempertahankan Soeharto9.
Keadaan ini juga semakin bertambah buruk, ini ditunjukan dengan mundurnya
beberapa menteri dari kabinet pemerintahan Soeharto. Akhirnya soeharto pun
mundur dari jabatannya sebagai presiden dengan kemunduran Soeharto pula
menandakan bahwa itu merupakan akhir dari rezim Orde Baru yang berjalan
kurang lebih selama 32 tahun lamanya.

Dengan turunnya Soeharto menjadi pemimpin pada saat itu, secara otomatis
Wakil Presiden B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden selanjutnya. Habibie yang
kemudian menamakan pemerintahannya sebagai Orde Reformasi untuk
membedakannya dengan Orde Baru. Rakyat yang selama masa Orde Baru merasa

8
Harold Crouch “Mengubah Hubungan Sipil Militer di Indonesia” dalam A. Makmur Makka(Ed),
DemokrasiTak Boleh Henti, (Jakarta: The Habibie Center), 2002, hal. 91
9
Ibid hal. 92
terkungkung dalam keotoriteran pemerintah, akhirnya memiliki harapan baru
untuk mencapai sebuah kehidupan politik yang lebih demokratis. Indonesia pada
saat itu berada dalam transisi demokrasi, dimana kebebasan politik rakyat menjadi
tidak terelakan. Pada intinya, sebagai ajakan yang baru keluar dari otoritarian Orde
Baru Soeharto, Orde Reformasi lebih merujuk kepada tumbuhnya demokratisasi
di seluruh bidang, khususnya politik. Secara umum ada konsensus bahwa aturan
main pada masa era Soeharto harus diubah drastis dengan transparansi dan
akuntabilitas sebagai inti reformasi. Termasuk di dalamnya perubahan peraturan
yang berkaitan dengan Pemilihan Umum, perwakilan di MPR/DPR, partai politik,
pemerintahan daerah termasuk masa jabatan presiden.

Selama masa transisi ini, Habibie melakukan pembaruan-pembaruan penting


berupa pemberian kebebasan. Misalnya kebebasan membentuk partai politik,
kebebasan pers, kebebasan membetuk serikat buruh dan sebagainya. Pada masa
pemerintahan Habibie inilah, diselenggarakan pemilihan umum yang bebas dan
adil pada tahun 1999 dengan peserta 48 partai politik, pertama kalinya dalam
sejarah Indonesia di laksanakan pemilihan umum yang bebas dan adil setelah
tahun 1955. Partai politik peserta pemilu 1999 mencerminkan sprektrum politik
Indonesia pada masa transisi. PDIP mewakili kelompok oposan Orde Baru dengan
Megawati sebagai tokohnya, Partai Golkar yang dipimpin Akbar Tanjung
mewakili kekuatan sisa-sisa Orde Baru, PKB dengan Gusdur. sebagai tokohya dan
PAN dengan tokohnya Amien Rais yang mewakili kelompok Islam
moderat/reformis serta PPP. Akhirnya keberhasilan Habibie pasa saat
melaksanakan pemilu di tahun 1999 secara relative damai, adil dan demokratis
sehingga membuka peluang besar bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan
proses transisi ketahap demokratisasi.

Habibie yang tidak memiliki kemewahan politik seperti yang diperoleh


Soeharto. Kekuasaanya yang sangat rapuh, dan tidak jarang di dalam menjalankan
kekuasaanya ia memperlihatkan gejala “manajemen ketakutan” karena siapa saja
tampaknya diberi konsesi. Ada beberapa alasan yang menjadikan kepresidenan
Habibie sangat lemah. Pertama, legitimasi kekuasaanya dipertanyakan oleh
banyak orang. Kedua, munculnya persepsi yang sangat kuat dikalangan
masyarakat bahwa Habibie merupakan warisan Soeharto yang perilaku dan
kebijaksanaanya akan sama persis dengan Soeharto. Ketiga, Habibie tidak
memiliki basis massa yang kuat untuk membangun kekuasaan, karena Habibie
bukanlah politisi dalam arti yang sebenarnya. Keempat, timnya yang dianggap
tidak kuat dan sebagian besar masih merupakan warisan Soeharto10.

Melalui pola transisi yang di kemukakan oleh Huntington, bila


diimplementasikan pada kasus di Indonesia. Tekanan terhadap rezim otoriter
Soeharto itu terutama muncul dari gelombang gerakan mahasiswa, dan bukan dari
oposisi yang terlembaga melalui partai-partai politik. Seperti yang diketahui,
bahwa aktor utama dan yang terpenting di balik tumbangnya rezim Soeharto para
mahasiswa yang menyuarakan aspirasi rakyat mengenai desakan perubahan
politik atau reformasi yang bersifat menyeluruh melalui berbagai aksi demontrasi
yang menyebar hampir di semua kota perguruan tinggi di Indonesia11. Partai-partai
politik relatif tidak mengambil bagian secara signifikan dalam proses kejatuhan
Soeharto karena sebagi produk rezim Orde Baru, elit partai-partai tidak di percaya
bahwa Soeharto bisa dipaksa mundur akibat tekanan mahasiswa dan masa melalui
berbagai aksi demontrasi dan unjuk rasa.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tekanan oposisi yang datang dari
mahasiswa dan massa demonstran tampaknya bukan satu-satunya faktor penyebab
keruntuhan otoritarianisme Orde Baru. Akan tetapi, kerutuhan rezim otoriter Orde
Baru tampaknya juga disebabkan oleh gabungan faktor-faktor tekanan mahasiswa
dan massa demonstran, krisis ekonomi, delegitimasi Soeharto selaku pemimpin

10
Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2006,
hal.308-314.
11
Donal K Emmerson (ed). Indonesia Beyond Soeharto: Negara, ekonomi, Masyarakat, Transisi,
(Jakarta:Gramedia), 2001, hlm. 521-613.
Orde Baru, dan penarikan diri unsur-unsur utama pendukung rezim, yakni militer
dan DPR/MPR yang didominasi Golkar.

Apabila dilihat dari perspektif teori O’Donnell dan Schmitter proses transisi
menuju demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah di mulai sejak Presiden Habibie
membuka kebebasan pers, melepaskan para tahanan politik, dan melakukan
reformasi atas Undang-undang bidang politik. Namun karena Habibie reproduksi
Orde Baru, begitu pula DPR masih merupakan produk pemilu manipulatif rezim
Soeharto sehingga belum ada perubahan struktur kekuasaan dan
pertanggungjawaban penguasa hasil pemilu demokratis, maka yang terjadi lebih
merupakan liberalisasi ketimbang demokratisasi.

Tahap demokratisasi, menurut O’Donnell dan Schmitter, ditandai oleh


perubahan struktur pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu yang adil, jujur
dan demokratis. Ditinjau dari perspektif O’Donnell dan Schmitter maupun
Huntington, proses transisi menuju demokrasi di Indonesia sesungguhnya telah
dimulai oleh rezim Habibie melalui berbagai kebijakan liberalisasi politik. Namun
demikian, fase demokratisasi atau proses menjadi demokrasi baru terjadi ketika
Pemilu 1999 yang relatif adil dan demokratis menghasilkan pamerintah dan
parlemen baru yang terpilih melalui pemilu yang sama.

Langkah-langkah kebijakan yang diambil rezim Habibie mencakup dua


komponen dasar bagi pembentukan sistem demokrasi, yaitu perluasan hak-hak
politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberries)12. Apabila jelas bahwa
selama lebih dari 30 tahun Soeharto dua komponen dasar tersebut tidak pernah
diberikan kepada masyarakat. Walaupun Habibie berhasil mengendalikan
liberalisasi politik sebagai tahap awal dari proses transisi menuju demokrasi,
namun ia gagal mempertahankan kekuasaanya karena terlanjur dipandang sebagai

12
Raymond Duncan Gasti, “The Comparative Survey of Freedom: Experience and Suggestion”, dalam
Alex Inkeles, ed. On Measuring Democracy: its Consequences and Concominants. New Brunswick:
Transaction Publisher, 1993. Hlm. 21-46, dalam Tesis Syamsuddin Haris, Konflik presiden
Abdurahman wahid Fisip UI,2002. Hlm. 26.
reproduksi rezim otoritarian Soeharto. Liberalisasi politik yang berlangsung
dibawah pemerintahannya cenderung tidak dipandang sebagai gagasan genuine
yang berasal dari dirinya pribadi. Habibie tidak akan membebaskan pers,
kebebasan untuk berserikat jika tidak mendapat tekanan yang luar biasa besarnya
dari kelompok oposisi yang dipelopori oleh para mahasiswa.

Tidak ada suatu pola atau model tunggal peralihan rezim otoriter menuju
pemerintahan demokratis, secara umum proses transisi demokrasi di Indonesia,
khususnya peralihan dari Soeharto ke Habibie, mendekati model kedua yang
diajukan oleh Huntington, yakni apa yang disebut sebagai pergantian
(replacement). Walaupun demikian kejatuhan Soeharto sendiri bukan semata-
mata produk tunggal gerakan oposisi yang dipelopori para mahasiswa, tetapi juga
karena penarikan diri 14 orang menteri kabinet, penarikan dukungan DPR dan juga
tentara pada situasi chaos pasca kerusuhan 13-14 Mei 1998.

Sementara itu selama periode pemerintahan Habibie, proses transisi mendekati


model pertama yang diajukan seperti Huntington, yaitu suatu transformasi karena
pemerintahan transisi Habibie akhirnya mempelopori pembaharuan undang-
undang politik, membuka kebebasan pers, membebaskan para tahanan politik
meskipun semua itu dilakukan atas tekanan dan desakan dari kekuatan pro
demokrasi dan reformasi. Tidak ada pilihan bagi Habibie kecuali mengagendakan
liberalisasi politik13. Ketika Habibie ternyata cenderung melindungi Soeharto,
enggan mengembalikan tentara kebarak dan reformasi UU bidang politik
dibiarkan dilakukan oleh DPR produk Orde Baru, para mahasiswa sesungguhnya
menghendaki suatu pergantian (replacement). Dalam kaitan itu kalangan
mahasiwa mengendaki agar Habibie di gantikan oleh suatu “presidium” dan
parlemen digantikan oleh sebuah “Komite Rakyat” yang tugasnya memilih
presidium dan menentukan arah reformasi.

13
Cris Manning dan Peter van Diennen, ed., Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek sosial
Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKIS), 2000, hlm. 36.
Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Transisi Demokrasi itu berarti
Peralihan sebuah rezim dari otoriter ke demokrasi menyeluruh, peralihan ini
diterapkan dengan cara Transformasi, Replacement yang berarti didorrong oleh
kekuatan rakyat, dan dengan transplacement yang terjadi karena adanya negosiasi
antara elit politik dengan rakyat/oposisi. Dengan adanya transisi demokrasi,
berarti harus ada namanya Installasi yang berarti pemasangan/penerapan
instrumen/nilai demokrasi dari suatu negara non demokrasi ke nilai demokrasi,
tahapan ini juga sangat penting dan krusial, karena bila ada kegagalan dalam
penerapan ini bisa saja negara tersebut mengalami titik balik ke rezim otoritarian
lagi karena tidak dapat menerapkan demokrasi. Setelah Installasi, barulah
diterapkan yang namanya Konsolidasi, ketika demokrasi sudah terbangun di
sebuah negara itu berarti sebuah negara harus membentengi kemungkinan
pembalikan demokratisasi, menghindari erosi demokrasi, menghindari keruntuhan
demokrasi, yang diteruskan dengan melengkapi kekurangan demokrasi,
pendalaman demokrasi dan mengorganisir demokrasi secara berkelanjutan. Pada
intinya, bila sebuah negara akan berubah ke Demokrasi, negara tersebut harus
melewati sebuah proses yang dinamakan demokratisasi, demokratisasi sendiri
harus melewati beberapa tahapan seperti yang disebutkan diatas, yaitu Transisi,
Installasi, dan Konsolidasi. Perubahan rezim seperti ini juga membutuhkan waktu
yang sangat lama.
DAFTAR PUSTAKA

A. Prezworksi, 1991. Democracy and the market: Political and economic reforms in
Eastern Europe and Latin America. Cambridge: University Press.

Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar), 2006.
Cris Manning dan Peter van Diennen, ed., Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek
sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKIS), 2000.
DemokrasiTak Boleh Henti, (Jakarta: The Habibie Center), 2002.
Donal K Emmerson (ed). Indonesia Beyond Soeharto: Negara, ekonomi, Masyarakat,
Transisi, (Jakarta:Gramedia), 2001.
G. D. Palma, 1997. Kiat Membangun Demokrasi: Sebuah Esai Tentang Transisi
Demokrasi. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

G. Hayden, 2002. Development and Demokracy: An Overview. In O. Elgstrom, & G.


Hayden, Development and Democracy: What Have We Learn and How?
London: Routledge.
G. O'Donnell, & P. C. Schmitter, 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian
Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta: LP3ES.

G. Sorensen, 2008. Processes of Transition and Consolidation . In Democracy and


Democratization. United States of America: Westview Press.

Harold Crouch “Mengubah Hubungan Sipil Militer di Indonesia” dalam A. Makmur


Makka(Ed).
Raymond Duncan Gasti, “The Comparative Survey of Freedom: Experience and
Suggestion”, dalam Alex Inkeles, ed. On Measuring Democracy: its
Consequences and Concominants. New Brunswick: Transaction Publisher,
1993. dalam Tesis Syamsuddin Haris, Konflik presiden Abdurahman wahid
Fisip UI,2002.
S. P. Huntington, 1991. The Thrid Wave : Democratization in The Late Twentieth
century. Journal of Democracy.

S. P. Huntington, 1995. Gelombang Demokrasi Ketiga. Jakarta: Grafitti.

Anda mungkin juga menyukai