Anda di halaman 1dari 2

EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

Semester VI, Komunikasi, UYP

Ancaman Globalisasi
Sejak dikembangkannya kesepakatan The Bretton Woods di Amerika Serikat dengan
didirikannya IMF dan Bank Dunia, serta ditandatangani kesepakatan General Agreement on
Tariff and Trade (GATT), dunia secara global sesungguhnya telah memihak dan didorong oleh
kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs) yang merupakan actor terpentgin dari
globalisasi. Pada konteks inilah sesungguhnya integrasi ekonomi nasional menuju system global
yang dikenal dengan globalisasi telah terjadi. Kesepakatan tersebut secara teoritik berhasil
memaksakan keinginan perusahaan-perusahaan tersebut untuk mendesakkan terjadinya reformasi
kebijakan nasional, terutama di Negara-negara Dunia Ketiga dalam berbagai bidang yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip neo-liberalisme, yang sesungguhnya bertentangan dengan
ekspansi global dari investasi dan capital, ekspansi proses produksi global, serta proses ekspansi
pemasaran global. Kebijakan-kebijakan Negara yang harus direformasi adalah kebijakan di
bidang pertanahan, perpajakan, dan investasi. Selain itu, juga kebijakan yang menyangkut
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah (desentralisasi) yang kemungkinan akan
menghambat investasi secara langsung juga perlu direformasi. Salah satu cara strategis untuk
melakukan berbagai reformasi tersebut adalah dengan mencantumkan ke dalam salah satu
persyaratan “hutang” (Bank Dunia dan IMF) yakni dalam “Structural Adjusment Program”.
Dengan demikian, semua reformasi kebijakan dimaksudkan sebagai “pelican” sehingga
memudahkan perusahaan transnasional (TNCs) dan memberi perlindungan terhadap mereka
untuk beroperasi.
Implikasi perubahan kebijakan nasional yang memihak kepentingan perusahaan
transnasional ini tidak saja akan memarjinalkan mayoritas rakyat miskin, namun juga akan
berhadapan dengan kepentingan dan nasib para petani kecil, nelayan, pedagang sector formal,
serta masyarakat adapt, khususnya dalam hal perebutan sumber daya alam terutama tanah, hutan,
dan laut.
Dengan kebijakan “akses pasar” dan domestic support terhadap perusahaan multinasional
dan besar karena alasan persaingan global ini akan memaksa pemerintah untuk mengubah
kebijakan dari subsidi bagi petani kecil menjadi subsidi kepada perusahaan agribisnis raksasa,
dan proses ini sekaligus menggusur kemampuan petani kecil sebagai produsen. Salah satu
akibatnya nanti, petani kecil tidak ada pilihan lain kecuali melepaskan sumber alam terutama
tanah mereka. Di sektor urban, kebijakan yang didorong melalui proses globalisasi seperti
penghapusan subsidi akan menyingkirkan dan memarjinalkan masyarakat miskin kota.

Tantangan terhadap Globalisasi


Sejak dicanangkan penandatanganan kesepakatan GATT, serta ditandatanganinya
kesepakatan lainnya seperti NAFTA, APEC, serta didirikannya WTO dan dilaksanakannya
Structural Adjustment Program oleh Bank Dunia merupakan pertanda globalisasi tengah
berlangsung. Bahkan dengan tumbuhnya kawasan-kawasan segi tiga pertumbuhan regional antar
Negara maupun kawasan pertumbuhan terpadu suatu kawasan industri yang bebas dari campur
tangan pemerintah maupun kawasan pertumbuhan terpada di berbagai wilayah, maka
sesungguhnya peroses globalisasi telah dimulai. Dan bersamaan dengan pesatnya kemajuan
globalisasi dari tingkat internasional hingga tingkat lokal, berbagai korban, terutama masyarakat
adapt, kaum miskin kota, dan golongan marjinal lainnya telah mulai dirasakan. Dari sinilah
kemudian muncul resistensi dan tantangan terhadap globalisasi, antara lain:
Pertama, tantangan gerakan kultural dan agama terhadap globlisasi. Di Mesir,
kekecewaan terhadap globalisasi melahirkan gerakan yang berbasis keagamaan yang dilabeli
dengan Fundamentalisme Islam. Di Indonesia, gerakan teologi yang bercorak pembebasan dalam
Islam juga semakin tak terbendung. Di India, resistensi cultural terhadap pembangunan dan
globalisasi telah membangkitkan kelompok Hindu Revivalis (Rashtriya Swayamsewak Sangh)
yang mendesak pemerintah India untuk memboikot barang buatan asing. Gerakan NGO
seringkali membantu resistensi cultural ini memperluas gerakan.
Kedua, tantangan dari new social movement dan global civil society terhadap globalisasi.
New social movement adalah gerakan social untuk menentang pembangunan dan globalisasi,
seperti gerakan hijau, feminisme, gerakan masyarakat akar rumput. Misal, gerakan terhadap
pembangunan Dam di beberapa tempat di Asia. Sementara itu, gerakan anti proyek pembangunan
Narmada Dam di India tahun 1980-an, yang awalnya merupakan bentuk “new social
movement”, pada 1992 gerakan tersebut berhasil mendesak Bank Dunia untuk mencabut
dukungannya terhadap proyek tersebut. Di Indonesia, gerakan “Koalisi anti Hutang” serta
berbagai koalisi NGOs menentang WTO adalah fenomena resistensi social tehradap globalisasi.
Dan masih banyak lagi gerakan-gerakan di tingkat akar rumput yang melakukan aksi-aksi lokal.
Ketiga, tantangan gerakan lingkungan terhadap Globalisasi. Meskipun tidak semua
gerakan lingkungan secara langsung menentang globalisasi, berkembangnya gerakan lingkungan
untuk pemberdayaan rakyat (eko-populisme) dan gerakan lingkungan yang dipengaruhi
kesadaran lingkungan bersumber dari Barat. Gerakan eko-populisme lahir sebagai keprihatinan
terhadap rusaknya lingkungan karena juga menghancurkan kehidupan rakyat sekitarnya. Oleh
sebab itulah gerakan lingkungan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan perlindungan
hak masyarakat adapt. Maka, muncullah gerakan resistensi lingkungan di Duni Ketiga, seperti
gerakan masyarakat Chipko (Hipko Movement) di India, yakni suatu gerakan, terutama kaum
perempuan, menentang perusahaan penebangan hutan. Walhi, suatu organisasi jaringan gerakan
lingkungan di Indonesia dalam perjalanan organisasinya juga menjelma menjadi gerakan
resistensi terhadap globalisasi.

Anda mungkin juga menyukai