Anda di halaman 1dari 11

 Kategori

o


o

 Terpopuler
 Terbaru
 Pilihan Editor
 Topik Pilihan
 VideoNew
 Event
 AffiliationNew
o

Epa Elfitriadi
FOLLOW
Pemerhati pendidikan

Pemerhati pendidikan

Edukasi

Menyoal Usia Pendidikan: Jangan Baligh


Sebelum Aqil
15 Januari 2020 09:00 Diperbarui: 15 Januari 2020 21:32 53 0 0

Wajah dunia pendidikan Indonesia hingga kini masih tercoreng oleh berbagai kasus kriminal
yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur 18 tahun. Banyak kasus kriminalitas seperti
perampokan, pemerkosaan, pengedaran dan pemakaian narkoba hingga pembunuhan, pelakunya
berusia di bawah 18 tahun.

Padahal pada usia tersebut, mereka masih memiliki kewajiban untuk sekolah. Mereka memiliki
hak dan kewajiban untuk bergaul dan menjaga pergaulan sesuai norma dan aturan yang berlaku.

Oleh karena itu kasus-kasus kriminalitas yang melibatkan anak di bawah umur 18 tahun telah
menjadi masalah sosial yang sangat memprihatinkan dan merugikan masyarakat dalam berbagai
aspek.

Sebagai contoh kasus yang terjadi di Kepulauan Meranti Riau. Hingga Maret 2018 pihak
Kepolisian Meranti telah menangkap lima orang anak berusia rata-rata 13-17 tahun yang menjadi
kaki tangan bandar narkoba (liputan6.com).
Bahkan Sitti Hikmawatty, Komisioner Bidang Kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) sebagaimana dikutip news.okezone.com Selasa (6/3/2018) mencatat ada sebanyak 5,9
juta dari 87 juta populasi anak di Indonesia menjadi pecandu narkoba.

Kasus lain sebelumnya, di Semarang Jawa Tengah, Sabtu (21/1/2018), dua orang pelajar SMKN
berinisial IB dan TA (15 tahun), merampok dan membunuh sopir taksi online dengan pisau belati
kemudian membuang korban di jalanan.

Tahun sebelumnya, di Cilincing Jakarta Utara, Sabtu (8/4/2017), seorang berinisial AG (17
tahun) bersama keempat temannya "memalak" (merampas harta) dan menikam seorang sopir
truk dengan kerambit hingga terluka parah (detik.com).

Beberapa hari sebelum itu, Jumat (31/3/2017), seorang pelajar SMA Taruna Nusantara Magelang
Jawa Timur, AMR (16 tahun) dengan sadar menusukkan pisau ke leher temannya hingga tewas
(kompas.com).

Satu tahun sebelumnya, yaitu tahun 2016, Yuyun (14 tahun), seorang pelajar SMP di Bengkulu
diperkosa dan dibunuh secara keji oleh sejumlah lelaki. Tujuh orang diantara pelaku tersebut
masih berstatus anak-anak. Pelaku lainnya berusia 19-23 tahun. Di Tangerang Banten, RA (15
tahun) bersama dua temannya memperkosa dan membunuh dengan keji seorang karyawati
pabrik plastik (tempo.co).

Kasus-kasus di atas memang cukup memprihatinkan diantara banyak kasus lain yang serupa.
Banyak kalangan yang merasa heran dan tidak percaya, anak yang masih berumur belasan tahun
mampu melakukan tindakan kejahatan sekeji itu.

Namun demikian, kasus tersebut adalah fakta yang tidak dapat dibantah, diantara sekian banyak
kasus yang semua pelaku kejahatan sadis itu masih disebut anak-anak. Fakta ini semakin nyata
melihat data Ditjen Pemasyarakatan yang dipublikasikan melalui http://smslap.ditjenpas.go.id.

Hingga Maret 2018 tercatat ada sebanyak 1,003 orang tahanan dan 2,625 orang narapidana
penghuni Lapas di seluruh Kanwil di Indonesia adalah kategori anak. Dan jumlah tersebut telah
melampaui kapasitas yang disediakan.

Masa Anak/Remaja yang Panjang

Sebutan anak-anak terhadap mereka yang masih berumur di bawah 18 tahun bukan tanpa
landasan. Hasil penelitian dan kajian Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, mengelompokkan
umur di bawah 18 tahun sebagai anak-anak. Begitu juga dalam perundangan yang berlaku di
Indonesia terkait perlindungan anak dan sistem peradilan pidana anak.

Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, menyebut orang berumur di bawah 18 tahun sebagai anak-anak.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan masih menggunakan kategorisasi umur yang dirilisnya
tahun 2009, yaitu umur 5-11 tahun adalah kanak-kanak; 12-16 tahun adalah remaja awal; dan 17-
25 tahun adalah remaja akhir.

Hal ini sebagaimana para ahli psikologi mengategorisasi rentang usia 12-22 tahun sebagai masa
transisi dari anak ke dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.
Pada masa tersebut seseorang mengalami transisi dalam berbagai aspek baik hormonal, fisik
maupun psikososialnya.

Di masa ini pula mereka memiliki potensi luar biasa. Perkembangan kekuatan fisik yang
meningkat, semangat "jiwa muda" dan peningkatan kemampuan kognitif yang mampu berpikir
kritis adalah potensi dan kekuatan mereka. Namun masa itu juga memiliki sisi rentan, seperti
krisis identitas, jiwa yang labil dan merupakan masa yang tidak realistis.

Periode ini diistilahkan oleh para psikolog sebagai masa pubertas atau masa remaja yang dalam
bahasa Latin disebut adolescence. ( diakses pada 2

Menurut Muhammad Muhyidin dalam buku Remaja Puber di Tengah Arus (2004) masa pubertas
adalah satu masa yang berselimutkan keindahan, berkerudung kecantikan, tetapi sekaligus
memendam bara yang mematikan. Duri-duri pubertas laksana sebilah pedang bermata dua. Ia
bisa menjadi senjata ampuh sebagai alat pertahanan diri sendiri.

Masa pubertas merupakan sebuah keniscayaan sebagai masa yang dilalui oleh seorang anak.
Namun demikian konsep "anak" yang telah melekat di masyarakat hingga dunia pendidikan
seperti di atas membawa dampak yang luas.

Negara, masyarakat, orang tua dan dunia pendidikan seolah memaksa dan memperlakukan orang
berumur 12-18 tahun itu sebagai "anak-anak" atau "remaja" dan "belum dewasa". Mereka yang
berada pada rentang usia itu dianggap masih belum dewasa dan masih belum bisa menentukan
sikap hidupnya.

Pertanyaannya adalah apakah orang berusia 12-18 tahun yang dengan sadar melakukan tindakan
keji itu masih layak disebut "anak-anak"? Atau jika sebuatannya "remaja" yang dianggap masa
labil karena transisi dari masa anak menuju dewasa, apakah wajar mereka bertindak kriminal?
Pemakluman tindak kriminal oleh remaja yang dianggap berada dalam masa labil/transisi, tentu
tidak seharusnya selalu dibenarkan.

Sayangnya, konsep anak atau remaja seperti itu seolah mendapat legalitas ilmiah, sosial maupun
agama. Hasil riset terbaru yang dimuat dalam jurnal Lancet Child & Adolescent Health, Ilmuwan
menegaskan argumen untuk memperpanjang periode masa remaja, yaitu berkisar dalam rentang
usia 10-24 tahun.

Diantara alasannya adalah adanya perubahan sosial dan biologis yang mengakibatkan masa
remaja jaman now cenderung terjadi lebih cepat dan akan berlangsung lebih lama hingga usia 24
tahun (kompas.com). Konsekuensinya, mereka yang masih berusia 24 tahun ke bawah
diperlakukan sebagai seseorang yang masih belum dewasa.
Kesenjangan Aqil dan Baligh

Pada rentang usia tersebut mereka memang telah dewasa fisik yang ditandai oleh munculnya
tanda-tanda pubertas. Kematangan biologis/fisik tersebut menandai awal kedewasaan seseorang
atau baligh dalam istilah Islam. Islam sebagai agama wahyu yang sempurna telah memberikan
petunjuk terhadap hal ini.

Tanda awal baligh bagi seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan dalam diskursus fiqih
Islam mengadung arti kedewasaan secara fisik. Kedewasaan fisik ini dapat dikenali ketika
keluarnya air mani, baik karena mimpi ataupun karena hal lainnya. Hal ini dikenal dalam Islam
dengan istilah hulm atau ihtilam atau disebut "mimpi basah".

Kata dan pengertian hulm atau ihtilam sebagai tanda kebalighan seorang anak dapat ditemukan
dalam Al-Qur'an maupun hadits. Salah satunya sebagaimana tersebut dalam surat An-Nuur/24
ayat 59 yang terjemahannya sebagai berikut. "Dan apabila anak-anakmu telah sampai
hulm (umur baligh), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum
mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menfasirkan ayat ini dengan menjelaskan
bahwa "jika anak-anak kalian telah baligh, mereka harus meminta izin terlebih dahulu untuk
masuk ke setiap rumah di setiap waktu, seperti halnya orang-orang yang telah baligh sebelum
mereka."

Dalam tafsir Kementerian Agama, ayat ini ditafsirkan, "adapun bila anak-anak itu sudah baligh
maka mereka diperlakukan seperti orang dewasa lainnya bila hendak memasuki kamar harus
meminta izin lebih dahulu bukan pada waktu yang ditentukan itu saja tetap untuk setiap waktu".

Begitu juga dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh tujuh sahabat, yaitu Aisyah, Abu
Qatadah, Ali, Umar ibn Khatthab, Ibn Abbas, Sidad ibn Aus, dan Tsauban. disebutkan tentang
tanda baligh adalah melalui ihtilam atau mimpi basah.

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "pena diangkat (dibebaskan/tidak dikenakan


kewajiban) dari tiga golongan yaitu, orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam,
dan orang gila hingga berakal (kembali sadar)."

Dari segi pendalilan tersebut dapat dipahami bahwa hulm (ihtilam) dijadikan batas kewajiban
bagi seorang anak untuk meminta ijin di semua waktu ketika ia hendak memasuki kamar orang
tuanya.

Ihtilam juga menandai bahwa seseorang telah dikenai berbagai kewajiban syari'at Islam
sebagaimana orang dewasa. Inilah kemudian yang menjadi salah satu faktor yang menandai
seseorang dikatakan telah baligh jika telah mengalami ihtilam, sebagaimana disepakati oleh para
ulama ahli fiqih.
Imam Ibnul Qoyyim juga menguatkan hal ini dalam Tuhfatul Maudud dengan menjelaskan
bahwa pendapat terkuat dalam batasan baligh adalah ihtilam. Namun demikian tidak ada batasan
usia tertentu kapan waktu ihtilam tersebut. Terkadang anak-anak yang berusia 12 tahun telah
ihtilam dan ada juga anak yang berusia 15 tahun atau lebih tetapi belum ihtilam.

Selain ihtilam, indikator lain yang menunjukkan kedewasaan adalah sebagaimana disinyalir di
tiga ayat Al-Qur'an dalam terma "balaghu al-nikah" (cukup umur untuk nikah) yang ditandai
oleh "al-rusyd" (cakap atau pandai) dan terma "balagha asyuddah" yang berkaitan dengan
konteks kematangan seseorang.

Allah Ta'ala berfirman dalam surat an-Nisa/4 ayat 6,"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya...". Kedewasaan dalam ayat
ini dilihat dari konteks tanggungjawab dan kecakapan dalam mengelola harta.

Artinya, kedewasaan terkait erat dengan aspek mental psikologis seseorang. Begitu juga dalam
surat al-Ahqaf/46 ayat 15 dan surat al-Qashash/28 ayat 14 menggunakan terma "balagha
asyuddah" yang berkaitan dengan kematangan sebagai aspek mental psikologis seseorang, yakni
Allah Ta'ala berfirman,

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah (--
balagha asyuddah--) dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku,
tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan
kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah
kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri"
(terjemah QS. al-Ahkaf/46:15). "Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya (--
balagha asyuddah--), Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (terjemah QS al-
Qashash/28:14)

Dengan demikian, masa baligh adalah menandai kedewasaan seseorang yang secara aspek
biologis/fisik ditandai oleh ihtilam dan secara aspek mental/psikologis terkait al-
rusyd (kecakapan dan kepandaian) dan asyuddah (telah sempurna kekuatannya, akalnya, dan
pandangannya).

Mereka yang telah sampai pada masa baligh dan memiliki akal sehat (aqil) telah berlaku
terhadapnya beban hukum (taklif) syariat agama Islam atau disebut dengan "mukallaf". Para
ulama fiqih sepakat bahwa aqil-baligh menjadi syarat dalam menjalankan syariat Islam baik
dalam aspek ibadah maupun aspek muamalah (sosial).

Pena pencatat pahala dan dosa di setiap perbuatan mereka telah berlaku. Mereka bertanggung
jawab atas perbuatan/amalan mereka. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap batas-batas syari'at
Islam akan mendapatkan konsekuensi dosa dan hukuman lainnya. Seperti dalam perkara ibadah
yaitu shalat dan puasa, serta zakat dan haji bagi yang telah mencapai kadar mampu.

Begitu juga dalam perkara muamalah, mereka telah memiliki kewajiban dan tanggung jawab
sosial sesuai kadar kemampuannya. Mereka tidak lagi kanak-kanak, melainkan anak muda yang
beranjak dewasa.

Relitas kehidupan menunjukkan bahwa kematangan fisik yang mulanya ditandai dengan
ihtilam tadi, cenderung melahirkan nafsu, baik nafsu seks maupun nafsu agresifitas.

Jika nafsu ini tidak mampu dikendalikan maka ia menjadi liar dan membahayakan. Sementara,
yang mampu mengendalikan hal ini adalah akal. Oleh karena itu dalam konteks pendidikan,
ketika membangun kematangan fisik namun lalai dalam membangun kematangan mental niscaya
ia akan kewalahan dalam mengendalikan nafsunya. Sebab, kontrol mental/akal belum
dimilikinya. Kondisi ini akan membawa mereka menjadi berlama-lama dalam masa anak-anak
atau remaja.

Dimundurkannya batas waktu antara fase anak-anak/remaja dan dewasa dapat berdampak serius.
Konsep adab, tanggung jawab dan kemandirian sebagai ciri orang dewasa cenderung menjadi
rusak.

Mereka seolah "dihalalkan" untuk berperilaku tidak beradab karena sedang menjalani masa
transisi yang penuh gejolak. Saat itulah akan terjadi kesenjangan antara kematangan fisik dengan
kematangan mental.

Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka akan banyak lahir generasi matang syahwat tanpa
kematangan mental/akal, dimana nafsu begitu bergejolak sementara akal sebagai alat pengendali
hawa nafsu masih belum matang.

Solusi

Adalah tugas penting dunia pendidikan untuk meminimalkan kesenjangan pencapaian aqil dan
baligh. Pendidikan yang dimaksud dalam paradigma ini lebih luas dan tidak diartikan sekedar
bersekolah. Pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan mencakup atas keluarga, lingkungan
masyarakat hingga pemerintah.

Jadi, jika sekarang ini terjadi akselerasi masa baligh yaitu dimulai sejak usia 10 tahun bahkan
usia 8 tahun ada yang sudah baligh, maka dalam perspektif aqil baligh ini sesungguhnya konsep
pendidikan bagi mereka adalah pendidikan yang mendewasakan dan memandirikan, bukan
melambatkan kedewasaan dengan memaksanya berlama-lama menjadi anak-anak atau remaja.

Pendidikan bertugas mendewasakan pikiran dan jiwa mereka seiring atau disesuaikan dengan
tingkat kedewasaan fisiknya. Pendidikan seharusnya menjadikan mereka manusia dewasa bukan
setengah dewasa.
Dalam hal ini keluarga, lingkungan masyarakat dan pemerintah bersinergi mewujudkan pola
pendidikan yang mendewasakan fisik dan mental seorang anak secara harmonis.

Harry Santosa dalam buku Fitrah Based Education (2017) menyebutkan bahwa sejak usia 10
tahun dianggap potensi sudah siap dikokohkan dan diuji, sehingga kisaran usia 10-14 tahun
sebagai masa penyiapan dewasa. Pada masa ini konsep adab, tanggung jawab dan kemandirian
dibangun secara sistematis seiring perkembangan usia biologisnya.

Mereka dipersiapkan untuk mampu memikul beban syari'at (mukalaf) dan kemandirian atau
dewasa secara mental spiritual dan emosianal bahkan finansial. Mereka perlu disibukkan dengan
berbagai kegiatan atau proyek produktif dan solutif sesuai kodrat/fitrahnya. Hal ini dilakukan
agar tidak terlalu jauh kesenjangan antara baligh dan aqil.

Baligh dan aqil diharapkan tercapai dalam waktu bersamaan. Targetnya, usia 15 tahun ke atas
mereka mulai setara dengan orang dewasa. Mereka siap mengambil peran dan tanggung jawab
orang dewasa serta siap menjalankan misi hidupnya, menyempurnakan fitrah sebagai peran
peradaban.

Konsep pendidikan aqil-baligh dipandang penting untuk menyiapkan generasi tangguh yang
beradab, terlebih di era digital saat ini. Era dimana teknologi digital dan keterbukaan informasi
telah menyeret penggunanya untuk menciptakan dunianya sendiri.

Sebagaimana ahir-ahir ini telah lahir generasi C, yaitu generasi yang selalu terhubung, terbiasa
dan terekspos dengan teknologi komunikasi/internet melalui berbagai perangkatnya.

Advertisment

Oleh karenanya, penerapan empat pilar proses pembelajaran yang direkomendasikan UNESCO
melalui "The International Commission on Education for the Twenty First Century" perlu
memperhatikan keseimbangan pencapaian aqil-baligh seseorang.

Empat pilar yang dikenal sebagai: 1) learning to know yaitu belajar untuk menguasai
pengetahuan; 2) learning to do yaitu belajar untuk menguasai keterampilan, 3) learning to
be yaitu belajar untuk mengembangkan diri, dan 4) learning to live together yaitu belajar untuk
hidup bermasyarakat,

Dengan menerapkan empat pilar proses pembelajaran berbasis keserasian konsep aqil-baligh,
diharapkan seseorang akan menguasai kecakapan abad 21 dalam bingkai adab dan kepribadian
yang matang.

Kecakapan generasi abad 21 yang dimaksud adalah way of thingking (kreatif, berfikir kritis,
pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan pembelajar), way of working (keterampilan
komunikasi dan kolaborasi), tools for working (penguasaan TIK dan information literacy), dan
skills for living in the word (keterampilan hidup sebagai warga negara, kehidupan dan karir, dan
tanggung jawab pribadi dan sosial).
Untuk mewujudkan hal tersebut, implementasi pendidikan pra aqil baligh perlu diintensifkan
sebelum anak menginjak usia 10 tahun agar kesenjangan aqil dan baligh dapat diminamalkan
bahkan tercapai keserasian aqil di saat baligh. Aqil baligh adalah tujuan dan titik pembeda antara
anak-anak dan dewasa. Jangan biarkan anak-anak baligh sebelum aqil.

________________
Artikel dimuat di Majalah Fasilitator vol 7 no 1 tahun 2019, ISSN 2620-3936

Anda mungkin juga menyukai