Anda di halaman 1dari 5

Belaian Nasib

Aku merasa heran dengan hati


Yang tak pernah bosan memaki
Diri yang selalu menolak tapi
Sebuah pilihan untuk berkilah
Dalam fantasi yang menggelora
Melawan raga

Pernahkah kau melihat kecacatan


Pada ikhtiar yang tak pernah padam
Kau pasrahkan pada Tuhan?

Menghuni dalam kandung ibu pertiwi


Adakalanya perlu warna
Yang bisa memenuhi akal
Untuk berperan

Bukan hanya sebatas pangkuan


Yang beratapkan telapak tangan
Di Perempatan

Jika engkau mengikuti pengembaraanku


Jangan sekali-kali nanap
Dengan seorang bocah
Yang berjalan sorangan
Mimik muka menghambakan resah

Jika engkau mengikuti pengembaraanku


Jangan sekali-kali terkesima
Dengan cucu Adam
Yang berjalan mengekor bala
Perangainya menghasratkan rehat

Jika engkau mengikuti pengembaraanku


Jangan sekali-kali berontak
Dengan ulah insan
Yang menepis pada tuan
Memilih paradoksal jasad

Kau yang bersimpuh dalam angan


bukanlah penilai setiap tarikan napas
yang selalu melintas
melainkan hanyalah makhluk
yang laik mengharap ampun
dari Sang Pemilik jagat
Mencari Pemilik Nama

Kami menghadirkan Pak Tukang


Beribu perkara kami sampaikan
“Aku tidak tahu,” katanya
Kami kesal

Kemudian berganti ke Mak Inah


Ia adalah pemilik sebuah warung
Beribu perkara kami sampaikan
“Aku tidak tahu,” jawabnya
Kami bertolak

Lalu pada seorang Pak Tani


Beribu perkara kami sampaikan
“Aku tidak tahu,” ujarnya
Kami enyah

Alim betul si pemilik nama


Membikin lidah umat kelu
Untuk menelanjangi kealpaan
Bedebah berkursi empuk
Mengeja Hati

Sepenggal bongkahan kerinduan di bawah setitik air mata


Bekerja sama menjejali atmosfer kalbu
Berseru mengharap tangis haru
Bukannya tangis yang membuat raga biru

Kau tidak perlu berlabuh


Jika hanya membuat batin tersedu
Lelah mengeja hati
Yang alot untuk dirayu
Memeluk Alam

Detak jarum jam telah melebihi


Masa yang seharusnya
Kala degup jantung perlahan memudar
Setelah ia berlari dengan khalayak
Menuju ruang teratas

Mencoba mengelakkan bisikan gergaji


Yang hendak bertamu pada diri
Apalah daya aku yang tak mau menjamu
Tetapi mereka tak mempan dirayu

Satu persatu nyawa melayang


Untuk dijadikan sebagi bakal
Bangunan penembus cakrawala

Anak cucu kami tak bertunas


Hanya secuil marga yang mampu
Bertahan hidup
Di bawah kemaruk insan keparat

Anda mungkin juga menyukai