Anda di halaman 1dari 19

Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah “Informed Consent Pada Pasien Kritis” ini dengan
baik.
Adapun makalah “Informed Consent Pada Pasien Kritis” ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa
menyampaikan bayak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena
itu, dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang ingin memberikan saran dan kritik kepada kami sehingga kami
dapat memperbaiki makalah ini.
Akhirnya, kami sebagai penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini
dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga bisa memberikan inspirasi
terhadap pembaca.

Gorontalo, Februari 2020

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan adalah
merupakan hak asasi manusia. Pada pasal 28 H dijelaskan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan jidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam rangka mempertahankan kesehatan
yang optimal harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga kesehatan
sebagai konsekuensi dari kebijakan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai
salah satu sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat menempatkan tenaga keperawatan sebagai tenaga kesehatan mayoritas
yang sering berhubungan dengan pasien sebagai pengguna jasa pelayanan rumah
sakit. Perawat hadir 24 jam bersama pasien dan memiliki hubungan yang lebih
dekat dengan pasien dibandingkan tenaga kesehatan lain. Pelayanan keperawatan
berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan/atau mental,
keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan
sehari-hari secara mandiri.
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu dari
profesi tenaga kesehatan yang menempati peran yang setara dengan tenaga
kesehatan lain. Perjalanan awalnya perawat hanya dianggap okuvasi (pekerjaan)
saja yang tidak membutuhkan profesionalisme. Sejalan dengan perkembangan
ilmu dan praktek keperawatan, perawat sudah diakui sebagai suatu profesi,
sehingga pelayanan atau asuhan keperawatan yang diberikan harus didasarkan
pada ilmu dan kiat keperawatan.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat harus terlebih dahulu
memberikan informed consent kepada pasien. Persetujuan tindakan medik
atau informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan,
tetapi setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan
persetujuan.
Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan
apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga
kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat
keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri
Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik pasal
6 ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal
tindakan bedah adalah dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada,
dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya,
informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau
petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu
dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah
kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan
dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta
persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk
memberikan informed consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case
law (merupakan sifat hukum medik) dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal
praktek. Belakangan ini masalah malpraktek medik (medical malpractice) yang
cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat dan
sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Pusat di
Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia. Meskipun
data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang kurang
jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek baru mulai
bermunculan
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Pemberian Informed Consent Pada Pasien Kritis ?
1.3 Tujuan
Mendeskripsikan Pemberian Informed Consent Pada Pasien Kritis.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Informed Consent
Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu
tindakan, seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan
pemberitahuan lengkap tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan.
Informed consent merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan
kesehatan untuk memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien
sehingga klien dapat membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh pada saat
klien tidak berada dalam pengaruh obat seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan
atas informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari
pihak-pihak yang terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian
“informed consent” memuat dua unsur pokok, yakni:
1. Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci
percobaanmedis) untuk dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga
medis) dalam melakukan kegiatan medis pada pasien tersebut, khususnya
apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan ditanggung oleh
pasien.
2. Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan
untuk memberikan informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan
rasional dapat diberikan kapada pasien.
Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien
untuk menerima atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan
atau pemberian informasi seperlunya oleh tenaga medis.
Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh
pasien maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F.
Childress, dalam pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua
menyangkut pengertian informasi yang perlu diberikan dan dua lainnya
menyangkut perngertian persetujuan yang perlu diminta. Empat unsur itu adalah:
pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan kompetensi
untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan pokok
yang biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu perlu
dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata
lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau subyek riset medis dapat disebut suatu
persetujuan informed. Dalam menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa
standar pembeberan, yakni:
a. Standar praktek profesional (the professional practice standard)
b. Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)
c. Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)
Munurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuan
yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakanmedik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari
pengertian diatas PTM adalah persetujuan yang diperoleh sebelum
melakukan pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun yang akan
dilakukan
Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent
hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat
berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian
perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila
dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320
memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan
penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan
3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh
peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal
untuk dipenuhi
2.2 Fungsi Informed Consent
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk
menentukan nasibnya sendiri
3. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan
(health care receiver = HCR)
4. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
5. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
6. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
7. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
8. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan
9. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan
introspeksi terhadap diri sendiri
Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :
a. promosi otonomi individu.
b. Proteksi terhadap pasien dan subjek.
c. Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.
d. Mendorong adanya penelitian yang cermat.
e. Promosi keputusan yang rasional
f. Menyertakan publik Semua tindakan medik/keperawatan
yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan baik
lisan maupun tulisan
2.3 Bentuk Informed Consent
Ada dua bentuk informed consent
1. Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh
masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis
misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka
terbuka.
2. Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan
medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk
melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis,
setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat
tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya
(telah terjadi informed consent)
b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat
non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak
pasien
c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya
pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung
menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan
dilakukan terhadap dirinya
2.4 Peran Perawat Dalam Pemberian Informed Consent
Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi
dalam masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh
orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem.
Berhubungan dengan profesi keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah
orang-orang yang berinteraksi dengan perawat baik interaksi langsung maupun
tidak langsung terutama pasien sebagai konsumen pengguna jasa pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah dapat
sebagai client advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung
jawab untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi
dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang
diperlukan untuk mengambil persetujuan (informed consent) atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepadanya. A client advocate is an advocate of
client’s rights. Sedangkan educator yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan
bagi klien dan keluarga.

2.5 Hal-hal Yang Dapat Diinformasikan Dalam Informed Consent


1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila
infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
2. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya
antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi
idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini
jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa
kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien.
Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan
terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus
memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada
kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain
yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis
dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya
yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi
hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan
subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan
kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
4. Rujukan atau konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa
kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi
pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus
merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan
kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani
pasien tersebut lebih baik darinya.
5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,
ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak
mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga
berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan
mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat
diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan
bagian dari informed consent.
2.6 Perlindungan Hukum terhadap Pasien di Intensive Care Unit (ICU)
Rumah Sakit berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit
Perlindungan hukum terhadap pasien di ICU rumah sakit berdasarkan
Undang- Undang Rumah Sakit tercermin dari pasal-pasal yang di dalam Undang-
Undang Rumah Sakit tercakup pada hak-hak pasien, berikut ini:
Pasal 32 huruf d berisi tentang hak untuk “memperoleh layanan kesehatan
yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.”1
Dalam Falsafah Pelayanan ICU di Rumah Sakit Bagian Etika Kedokteran,
pelayanan ICU di rumah sakit berdasarkan falsafah dasar "saya akan senantiasa
mengutamakan kesehatan pasien, dan berorientasi untuk dapat secara optimal,
memperbaiki kondisi kesehatan pasien.” Maksud dari hal ini yaitu kesehatan
pasien tidak akan bisa diusahakan dengan maksimal oleh dokter jika tidak
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional.
Pasal 32 huruf e berisi tentang hak untuk “memperoleh layanan yang efektif
dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.” Hal ini
sesuai dengan Falsafah Pelayanan ICU di Rumah Sakit Bagian Etika
Kedokteran, pelayanan ICU di rumah sakit harus mempunyai ciri multi profesi
berdasarkan asas efektivitas, keselamatan, dan ekonomis.
Pasal 32 huruf j berisi tentang hak “mendapat informasi yang meliputi
diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif
tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.”
Pasal 32 huruf k berisi tentang hak “memberikan persetujuan atau menolak
atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang
dideritanya” Hak ini sejalan dengan Indikasi Masuk ICU di mana sebelum pasien
dimasukkan ke ICU, pasien dan/atau keluarganya harus mendapatkan penjelasan
secara lengkap mengenai dasar pertimbangan mengapa pasien harus
mendapatkan perawatan di ICU, serta tindakan kedokteran yang mungkin akan
dilakukan selama pasien dirawat di ICU. Penjelasan tersebut diberikan oleh
Kepala ICU atau dokter yang bertugas. Atas penjelasan tersebut pasien dan/atau
keluarganya dapat menerima/menyatakan persetujuan untuk dirawat di ICU.
Persetujuan dinyatakan dengan menandatangani formulir informed consent.
Pasal 32 huruf n berisi tentang hak “memperoleh keamanan dan keselamatan
dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit.” Dalam Falsafah Pelayanan
ICU di Rumah Sakit Bagian Etika Kedokteran, pelayanan ICU di rumah sakit
berdasarkan falsafah dasar "saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan
pasien, dan berorientasi untuk dapat secara optimal, memperbaiki kondisi
kesehatan pasien.” Ditambah juga dengan falsafah kerja sama multi disipliner
dalam masalah media kompleks, sebab dikat pengembangan tim multidisiplin
yang kuat sangat penting dalam meningkatkan keselamatan pasien. Rumah Sakit
sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan yang mempunyai fungsi
rujukan harus dapat memberikan pelayanan ICU yang profesional dan
berkualitas dengan mengedepankan keselamatan pasien.
Pasal 32 huruf q berisi tentang hak “menggugat dan/atau menuntut Rumah
Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai
dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.” Isi pasal ini sama dengan
Pasal 58 Undang-Undang Kesehatan, oleh karena itu perlindungan pasiennya
juga sama, yaitu hak pasien atas ganti rugi tersebut tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
2.7 Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien (Khususnya
Pasien ICU) Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan
Menurut Pasal 58 Undang Undang Kesehatan
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa
atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa tanggung jawab hukum Rumah
Sakit tidak dibatasi hanya pada kelalaian , namun juga kesengajaan tenaga
kesehatan adalah tanggung jawab rumah sakit. Sesuai dengan konsep tentang
perbuatan melawan hukum, maka kelalaian tenaga kesehatan dan kerugian yang
dialami oleh pasien harus ada hubungan kausal. Dalam hal ini pasien ataupun
pihak ketiga yang wajib membuktikan adanya kelalaian tenaga kesehatan.
Apabila tenaga kesehatan telah melakukan kesengajaan untuk membawa
kerugian bagi pasien, maka hal ini telah melanggar ketentuan pidana yang
mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa seseorang. Oleh karenanya dalam
hal tenaga kesehatan melakukan tindak pidana, maka ia bertanggung jawab
secara pribadi. Tanggung jawab ini tidak dapat dialihkan kepada rumah sakit
sebagaimana doktrin tanggung jawab terpusat (central liability).
2.8 Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien (Khususnya
Pasien ICU) Berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah
Sakit.
Tanggung jawab ini merupakan tanggung jawab rumah sakit sebagai badan
hukum. Tanggung jawab hukum rumah sakit khususnya terhadap pasien ICU di
rumah sakit sangat erat kaitannya dengan persetujuan setelah memperoleh
informasi yang dikenal dengan Informed Consent. Bila pasien menolak
persetujuan tindakan medik Di ICU, maka penolakan tersebut tidak akan
mengurangi tanggung jawab hukum rumah sakit, karena hubungan pasien dan
dokter yang menanganinya di ICU tidak berakhir dengan penolakan tersebut.
Sekalipun pada akhirnya ketiadaan tindakan medik yang ditolak tersebut
mengakibatkan kerugian bagi pasien dan atau keluarganya.
Namun apabila ternyata di kemudian hari terdapat indikasi adanya pemaksaan
kehendak dokter untuk melakukan tindakan medik tertentu terhadap tubuh pasien
di ICU, walaupun dokter berniat baik untuk menyelamatkan nyawa pasien
berakibat nya dokter dapat dituntut karena melakukan tindak pidana. Bila terjadi
hal yang demikian, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (1) e dan f, Undang Undang
Rumah Sakit, rumah sakit berhak untuk menggugat tenaga kesehatan tersebut,
karena rumah sakit telah dirugikan nama baiknya dan mempunyai hak atas
perlindungan hukum.
Bila ditinjau dari beberapa doktrin tanggung jawab yang telah diuraikan
sebelumnya, maka penulis berpendapat bahwa tanggung jawab hukum rumah
sakit merupakan tanggung jawab hukum terpusat atau central liability. Doktrin
ini dipilih karena saat ini rumah sakit telah banyak mempekerjakan tenaga
kesehatan tidak dengan sistem hubungan buruh-majikan, tetapi hubungan
kemitraan, dimana terjadi sistem bagi hasil sehingga tanggung jawab hukum
rumah sakit tidak ditentukan oleh hubungan kerja rumah sakit dengan tenaga
kesehatan.
Tanggung jawab rumah sakit adalah berdasarkan adanya hubungan
kontraktual dengan pasien dalam pelayanan kesehatan. Oleh karenanya para
pihak wajib mentaati hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh mereka
sendiri.
Tanggung jawab rumah sakit juga berkaitan dengan hak dan kewajiban semua
pihak yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan
peraturan perundangan sebagaimana disebutkan diatas
2.9 Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien (Khususnya
Pasien ICU) Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Rumah sakit sebagai pelaku usaha, bertanggung jawab terhadap pasien.
Tanggung jawab tersebut berdasarkan adanya hubungan kontraktual. Hak dan
kewajiban rumah sakit sebagai pelaku usaha dan pasien sebagai konsumen, telah
diatur secara jelas dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen. Pelanggaran
terhadap hak-hak pasien merupakan tanggung jawab rumah sakit untuk
memberikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
Pemaksaan kehendak dokter terhadap pasien untuk melakukan tindakan
medik tertentu terhadap tubuh pasien tersebut, walaupun dokter berniat baik
untuk menyelamatkan nyawa pasien, akan dapat berakibat dituntutnya dokter
atas tuduhan malpraktik.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam kedudukannya sebagai badan hukum, rumah sakit merupakan subjek
hukum yang memiliki hak dan kewajiban yang saat ini telah diatur. Oleh
karenanya rumah sakit dapat melakukan pelanggaran terhadap hak dan
kewajibannya, sehingga pada akhirnya rumah sakit dapat menuntut (menggugat)
dan dapat dituntut (digugat).
Hubungan rumah sakit dengan pasien ICU adalah hubungan kontraktual.
Dalam hubungan kontraktual tersebut diatur juga tentang adanya informed
consent. Sekalipun pasien ICU ada dalam keadaan kritis, namun phak rumah
sakit (melalui dokternya) mempunyai kewajiban memberikan informasi tentang
tindakan medik yang akan diambil terhadap pasien ICU, kemudian atas dasar itu
pasien ICU atau keluarganya diberikan kebebasan untuk memilih apakah ia
menolak ataukan memberikan persetujuannya. Adanya informed consent dan
kebebasan pihak pasien untuk memberikan atau menolak ini sebagai wujud
perlindungan hukum terhadap pasien ICU.
Baik Undang-Undang Kesehatan beserta peraturan pelaksanaannya, Undang-
Undang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah
dengan cukup memperhatikan kepentingan pasien ICU sebagai konsumen dalam
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Perhatian tersebut diwujudkan dalam
ketentuan-ketentuan yang berisi hak dan kewajiban pasien yang disertai sanksi
secara tegas.
3.2 Saran
Perlindungan hukum terhadap pasien di rumah sakit tidak terlepas dari peran
pemerintah sebagai pengawas dan pembina rumah sakit. Untuk peristiwa-
peristiwa yang muncul dalam media massa, selayaknya pemerintah lebih peka
terhadap penyelenggaraan rumah sakit yang menyimpang dari ketentuan
perundangan yang berlaku.
Tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap pasien hanya sebatas hubungan
kontraktual yaitu berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum,
sedangkan untuk penyelenggaraan rumah sakit, pihak pasien tidak atau kurang
memahami dan menyadari akan adanya pengaturan tersebut
Tanggung jawab hukum rumah sakit yang tepat bagi rumah sakit adalah
tanggung jawab Central Responsibility, karena doktrin inilah yang sesuai
dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Rumah Sakit
Daftar Pustaka
Achadiat M. Chrisdiono, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam
Tantangan Zaman. Penerbit Buku Kedokteran EGC

Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, cet. 2. Jakarta: PT. Grafikatama
Jaya, 1991

Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, cet. 6,
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2011.

Djojosugito, M.A., Etika Profesi Administrator Rumah Sakit Mimeo, Kuliah


Magister Manajemen Rumah Sakit UGM, 1997.

Dewi, Alexandra Indriyanti. Etika dan Hukum Kesehatan, cet. 1. Yogyakarta:


Pustaka Book Publisher, 2008.

Guwandi, J. Dokter, Pasien, dan Hukum, cet. 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.

Hanafiyah M.Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan,
cet.1, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009.

Hasdam, Sofyan. Etika Kedokteran Hukum Kesehatan, cet. 1. Jakarta: Selayar


Semesta, 2009. Isfandyarie, Anny, Tanggung Jawab Hukum Dan
Sanksi Bagi Dokter, cet. ke 6, Buku I, Jakarta : Prestasi Pustka,
2011.

Koeswadji, Hermien Hadiati. Hukum untuk Perumahsakitan, cet. 1. Bandung: PT.


Citra Aditya Bakti, 2002.

Kristiyanti, Celine Tri Siwi , Hukum Perlindungan Konsumen, cet.ke 3,


Jakarta: Sinar Grafika, 2011

Kurnia, Titon Slamet. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di
Indonesia, cet. Bandung: PT. Alumni, 2007.
Leenen, H.J.J. Pelayanan Kesehatan dan Hukum [Gezondheidszorg En Recht].
Diterjemahkan oleh P.A.F. Lamintang. Bandung: Binacipta, 1991.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, cet. 2.


Yogyakarta: Liberty, 2005.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, ed. 1, cet. 6.
Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Miru, Ahmadi, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di


Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga,
Surabaya, 2000.

Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet. 4. Jakarta:


Diadit Media, 2011.

Notoatmodjo, Soekidjo, Etika & Hukum Kesehatan, cet. 1, (Jakarta: Rineka


Cipta, 2010).

Praptianingsih, Sri. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan


Kesehatan di Rumah Sakit, cet. 2. Jakarta: Rajawali Press, 2007.

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen, cet. 1, Jakarta, Grasindo, 2000.

Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cet. 2. Bandung:


PT. Citra Aditya Bakti, 2010.

Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,


cet. 1, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

Soedarmono S., et.al., Reformasi Perumahsakitan Indonesia, Jakarta : Bagian


Penyusunan Program Dan Laporan (Ditjen Yanmed Depkes RI –
WHO), 2000
Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN No. 144
Tahun 2009, TLN No. 5063.

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN


No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821.

Indonesia. Undang-Undang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN


No. 116 Tahun 2004, TLN No. 4431.

Indonesia. Undang-Undang Rumah Sakit, UU No. 44 Tahun 2009, LN No. 153


Tahun 2009, TLN No. 5072.

Indonesia. Undang-Undang Pelayanan Publik, UU No. 25 Tahun 2009, LN No.


112 Tahun 2009, TLN No. 5038.

Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan


oleh R.Subekti dan Tjiptosudibio, Jakarta: Pradjna Paramita, 2008.

Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran.

Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1778//MENKES/SK/IXII2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit.

Anda mungkin juga menyukai