Anda di halaman 1dari 13

BAB IV

Terjadinya perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain

merupakan fenomena yang didorong oleh keinginan untuk memperoleh

kehidupan yang lebih baik. Dalam hal ini, perpindahan sejumlah penduduk

dari Toraja ke beberapa wilayah di Luwu merupakan usaha mereka dalam

memperbaiki kehidupan atau mencari daerah yang dianggap aman dalam

melaksanakan aktivitas sehari-hari. Dalam proses perpindahan membawa

dampak terhadap para migran itu sendiri dan juga terhadap kehidupan

sosial masyarakat yang merupaman penduduk asli dari tempat yang

didatanginya. Seperti halnya migrasi yang dilakukan oleh orang-orang

Toraja ke dataran Luwu tentunya terjadi suatu proses pembauran dan

adaptasi antara penduduk asli dengan orang-orang Toraja. Terjadinya

perpindahan penduduk ini diharapkan dapat memajukan pembangunan

daerah tujuan migrasi tersebut. Sebab di daerah Luwu khususnya di daerah

sebelah utara kota Palopo pada pertengahan abad ke-20 masih sangat

kurang penduduknya tidak sebanding dengan luas wilayah yang ada.

Dengan kata lain, di wilayah Luwu masih tesedia lahan untuk membuka

persawahan atau perkebunan. Sehingga, dengan masuknya para migran

orang-orang Toraja ke daerah tersebut diharapkan dapat mengelola lahan

yang tidur menjadi lahan yang produktif sebagai areal persawahan dan

perkebunan didaerah ini. Dalam kabupaten Luwu sendiri terdapat beberapa

dataran luas yang mudah diairi dan memiliki kesuburan tanah yang baik.

Selain itu, hal yang lebih penting bahwa tanah itu masih banyak yang
belum diusahakan. Di Luwu tanah yang sangat luas terdapat dalam Onder

Afdeling Palopo yaitu pada Distrik Walenrang dan Onder Afdeling

Masamba yaitu pada daerah antara Masamba-Malangke.1

Berdasarkan penjelasan diatas semakin diperkuat dalam buku

Muhammad Amin Sani (2016) yang berjudul dinamika kependudukan dan

pembangunan sosial yang menjelaskan mengapa Luwu menjadi Tujuan

perpindahan khususnya orang-orang Toraja, yaitu:

“Luwu sebagai daerah subur dan makmur telah dikenal

sejak dulu. Karena itu pula orang-orang Toraja generasi pertama

yang datang ke Luwu sejak masa kerajaan sebagai upaya

meningkatkan kesejahteraanya, sesungguhnya tidak bermasalah.

Hal ini disebabkan, Luwu pada masa itu merupakan sebuah

wilayah dengan jumlah penduduk yang relatif belum terlalu banyak

dibandingkan dengan luas wilayahnya. Bahkan pemerintah

kerajaan merasa terbantu oleh orang-orang Toraja sebagai mitra

dalam masa perjuangan dan mengelola lahan tidur menjadi lahan

produktif. Dengan demikian, orang Toraja yang bermigrasi pada

awal-awal tahun 1950 an sejatinya, tidak menimbulkan masalah.” 2

4.1 Faktor Penarik Yang Menjadikan Luwu Sebagai Tujuan Migrasi

1
Inventaris Arsip Tana Toraja (1901-1959), “Surat Kepada Kepala Daerah
Luwu Beserta Lampirannya Mengenai Permintaan Orang-Orang Kristen Di Toraja Untuk
Pindah Ke Walenrang (Palopo)” 1 Sampul, No Reg. 1441.

2
Muhammad Yamin Sani, Dinamika Kependudukan Dan Pembangunan Sosial.
(Makassar, Masagena Press, 2016), hlm. 179.
1. Kondisi Geografis Luwu

Jauh sebelum datangnya bangsa Belanda di Indonesia, status

daerah Luwu adalah kerajaan dan memiliki wilayah yang cukup luas.

Luwu yang sekarang ini dikenal sebagai salah satu daerah tingkat II

propinsi Sulawesi Selatan, dulunya merupakan salah satu di antara tiga

kerajaan besar di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan “Tellupoccoe”

yang terdiri dari kerajaan Gowa, kerajaan Bone, dan kerajaan Luwu. Dari

ketiga kerajaan tersebut Luwu merupakan kerajaan tertua3 dan terbagi ke

dalam tiga wilayah yang cukup luas. Masing-masing wilayah dipimpin

oleh seorang kepala daerah yang bergelar Madika, yaitu: Madika Bua,
4
Madika Ponrang, Madika Baebunta. Ketiga kepala daerah tersebut,

setara dengan jabatan Gubernur di masa sekarang.5

Namun, ketika Belanda mulai menguasai daerah Luwu pada tahun

1906, wilayah yang tadinya luas mulai diperkecil dengan melepaskan Poso

(Propinsi Sulawesi Tengah saat ini) dari wilayah Luwu yang kemudian

berdiri sendiri menjadi satu afdeling. Distrik Pitumpanua kemudian

dimasukkan dalam wilayah kekuasaan Wajo sedangkan Luwu kembali di

bagi oleh pemerintah Belanda menjadi lima onder afdeling yaitu:

3
M. Rasyid Ridha. Membela indonesia (Perjuangan Rakyat Luwu Mempertahankan
Kemerdekaan). (Makassar: Rayhan Intermedi. 2009) hlm. 1.

4
Bua adalah daerah yang terletak kira-kira 12 kilometer di sebelah selatan Kota Palopo
sedangkan Ponrang adalah daerah yang terletak 27 kilometer dari sebelah Selatan kota Palopo.
Kemudian kampung Baebunta sendiri terletak kira-kira 52 km di sebelah Utara Kota palopo. (H.
M. Sanusi Mattata. Luwu dalam Revolusi. (Makassar: Bhakti Baru, 1967). hlm. 3-4.
5
H. M. Sanusi Mattata. Ibid.
1. Onder Afdeling Palopo yang berkedudukan di Palopo.

2. Onder Afdeling Masamba yang berkedudukan di Masamba.

3. Onder Afdeling Makale berkedudukan di Makale.

4. Onder Afdeling Malili yang berkedudukan di Malili.

5. Onder Afdeling Mekongga yang berkedudukan di Kolaka.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa dahulunya Toraja (Makale)

merupakan bagian dari daerah pemerintahan Luwu, yang kemudian

mengalami perubahan ketika berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia.

Semua kebijakan pembagian daerah yang dilakukan pemerintah

sebelumnya dihapuskan dan disesuaikan dengan cita-cita revolusi

kemerdekaan Indonesia yang berdemokrasi. Adapun perubahan yang

ditimbulkan terhadap daerah Luwu yaitu Kolaka dan Toraja memisahkan

diri dari Luwu dan berdiri sendiri dengan status Daerah Tingkat II yang

dipertegas dengan adanya undang-undang No. 29 tahun 1959, maka

Kolaka dan Toraja telah lepas dari wilayah Luwu. 6

Luwu yang terletak di bagian utara Sulawesi Selatan, memiliki

wilayah yang cukup luas. Ditinjau dari segi geografis posisi kabupaten

Luwu terletak 2o.34’45”-3o.30’.30” LS dan 120o.21’.15”- 121o.43’.11”

BT. 7 Dengan batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja.

6
Abdul Rahman. 1990. Transmigrasi Di Kabupaten Luwu. (Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin,Makassar), hlm. 25. (Lihat pula H. M. Sanusi Mattata.
1967. Luwu dalam Revolusi. Makassar: Bhakti Baru. hlm. 7).
7
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu, hlm. 1.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan propinsi Sulawesi Tenggara.

c. Sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Tengah.

d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Wajo.

Daerah Luwu terdiri dari deretan pengunungan di bagian Barat

yang memanjang dari selatan ke Utara, dataran rendah yang cukup luas,

dan puluhan sungai besar. Dari kota Palopo memanjang ke selatan melalui

Bua, Ponrang, Belopa, Suli, dan Larompong adalah daerah yang memiliki

hutan sagu dan ribuan hektar tanah persawahan. Demikian halnya ke arah

Utara, selain terdapat tanah persawahan juga mamiliki tanah perkebunan,

dan bahkan ada pegunungan yang ada di wilayah Onder Afdeling Malili

terdapat biji besi dan nikel. Sementara itu, ke arah Barat terdapat hutan

lebat mulai dari Larompong di selatan sampai Nuha di Utara, yang banyak

menghasilkan rotan, kayu dan damar. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa Luwu memiliki tiga kategori daerah, yaitu daerah

pantai (pesisiran), daerah pedalaman (persawahan), dan daerah

pegunungan (perkebunan). 8

4.2 Perkembangan Sosial, Ekonomi, Dan Budaya Para Migran Toraja

Di Luwu

4.2.1 Bidang Sosial

Manusia adalah makhluk sosial mereka tidak dapat hidup

sendiri karena saling membutuhkan satu sama lain, demikian

8
M. Rasyid ridha. Op.cit., hlm. 21-22.
halnya dengan para migran Toraja di Luwu. Perkembangan

dampak sosial yang terjadi karena adanya interaksi sosial yang

dilakukan oleh orang-orang Toraja dengan penduduk asli Luwu

adalah terjadinya pernikahan diantara para migran Toraja yang

mayoritas beragama Kristen dengan penduduk asli Luwu yang

beragama Islam. Hal ini bisa terjadi karena diantara mereka sudah

saling berbaur satu sama lain dalam jangka waktu yang lama dalam

lingkungan yang sama dan dalam proses ini mereka saling

mempelajari kebiasaan atau budaya mereka masing-masing.

Kondisi ini adalah dampak migrasi setelah mereka tinggal dan

menetap di Luwu.

Adapun dampak migrasi yang ditimbulkan pada saat masih

dalam proses perpindahan adalah dalam perjalanan para migran

Toraja ke daerah yang menjadi tujuan mereka ke Luwu, mereka

diperhadapkan dengan berbagai rintangan dan tantangan terutama

pada saat para migran ini masih berada di Palopo dengan jumlah
9
yang sangat besar sekitar raturan ribu orang. Kondisi ini

membawa dampak yang buruk khususnya kepada para migran

Toraja, dimana bantuan pemerintah berupa makanan sangat

terbatas sehingga tidak tersalurkan dengan baik kepada para

migran yang sangat banyak jumlahnya itu sehingga kelaparan tidak

dapat dihindari. Kelaparan yang dialami para migran Toraja ini

mengakibatkan di setiap harinya memakan korban jiwa.

9
Hasil wawancara dengan Bapak J.B Pamuso, Makassar pada tanggal 9 april 2019.
Selain itu, setelah mereka memiliki tempat untuk tinggal

menetap, para migran Toraja masih diperhadapkan dengan para

gerombolan dari pemberontakan DI/TII. Para gerombolan ini

membuat keamanan para migran Toraja masih terganggu, sehingga

mereka masih perlu berjaga-jaga apabila para gerombolan ini

melakukan aksinya mengacau balaukan pemukiman para migran

Toraja. Namun, kondisi yang aman mulai mereka rasakan pada

saat sudah ada ditempatkan pos-pos pengamanan di sekitar

pemukiman para migran Toraja dan di tahun 1955 keatas

pemukiman para migran Toraja mulai aman dari gerombolan.

4.1.2 Bidang Ekonomi

Pekerjaan merupakan salah satu faktor utama yang

menentukan perekonomian seseorang. Pekerjaan utama para

migran Toraja di daerah asalnya yaitu bertani dan pekerjaan yang

sama tetap di geluti oleh orang-orang Toraja ketika mereka tiba di

Luwu, bedanya lahan garapan di daerah migran di Luwu lebih luas

sehingga dengan leluasa membuka areal persawahan. Kedatangan

orang-orang Toraja membawa dampak yang sangat besar terutama

pada bidang pertanian di Luwu. Perkembangan dalam bidang

pertanian mulai dirasakan seiring dengan kedatangan para migran

Toraja. Perkembangan dalam bidang pertanian nampak terlihat dari

penduduk asli di dataran rendah Luwu yang pada mulanya belum

terpikirkan untuk memproduksi hasil pertanian secara besar-

besaran. Namun, setelah mereka melihat langsung tentang


keberhasilan para migran orang-orang Toraja dalam bertani

barulah mereka mengikuti cara orang Toraja dalam bertani

khususnya dalam menanam tanaman jangka panjang. Para migran

orang Toraja ini dengan senang hati membagi ilmu mereka dengan

mengajarkan cara mereka dalam bercocok tanam yang baik kepada


10
penduduk asli Luwu. Kedatangan para migran Toraja ini juga

sangat membantu penduduk asli di sekitar pemukiman orang

Toraja karena mereka dapat membantu mengelola lahan yang

sangat luas yang dimiliki oleh penduduk asli yang ada di Luwu.

Sehingga, banyak diantara penduduk asli yang memberikan sawah

mereka untuk dikerjakan kepada para migran orang Toraja

khususnya kepada orang Pantilang karena pada dasarnya para

migran Toraja sangat ulet, pekerja keras dan sangat pandai dalam
11
bersawah. Terlihat dari hasil panen yang sangat berlimpah yang

para migran Toraja dapatkan berupa hasil panen padi yang sangat

baik buahnya yang kemudian semakin mendorong penduduk asli

bekerjasama dalam mengerjakan sawah mereka dengan sistem bagi

hasil.

Perkembangan para migran Toraja di daerah Luwu boleh

dikatakan sangat maju dibanding di daerah asalnya, dapat dilihat

10
Ibid.,

11
Kepandaian orang Toraja dalam bertani dapat dilihat dari caranya yang rapi dalam
mengerjakan sawah mulai dari membuat penyemaian, saluran air, dan cara mereka dalam
menanam bibit padi. Orang Toraja ini memang dilahirkan untuk mengerjakan sawah, oleh sebab
itu lereng-lereng gunung pun dijadikan sawah karena kondisi topografi yang dimiliki Toraja.
(lihat pula Parada Harahap, Rangkaian Tanah Air Toradja, (Bandung: W. Van Hoeve, 1952) hlm.
65-66.
dari kehidupan para migran orang Toraja yang jauh lebih

meningkat berlipat-lipat ganda dibanding kehidupan mereka di

daerah asalnya, dimana banyak dari antara mereka yang tidak

memiliki tanah di daerah asalnya kemudian setibanya mereka di

Luwu diberi bantuan oleh pemerintah berupa tanah untuk mereka

tinggal dan memulai kehidupan yang baru. Dari bantuan tanah

yang mereka dapatkan, para migran kemudian sangat tekun dalam

mengelola tanahnya sehingga mereka akhirnya banyak berhasil,

keberhasilan mereka dapat dilihat dari para migran banyak yang

menambah atau membeli tanah yang ada di sekitarnya.

Keberhasilan yang diperoleh oleh para migran Toraja otomatis

akan meningkatkan pendapatan mereka. Pendapatan yang mereka

peroleh kemudian dapat memenuhi kebutuhan pokok para migran

dan mereka dapat menyekolahkan anak-anak mereka.

Jadi para migran orang Toraja ini di sisi lain bersyukur

dengan peristiwa yang mereka alami karena kehidupan mereka

yang lebih baik dibanding di daerah asalnya. Para migran Toraja

memiliki istilah yang mengatakan “kenna diulai kale ri ki na

tasugi-sugi kale duka” artinya seandainya kejadian seperti ini lebih

awal terjadi kehidupan mereka mungkin lebih awal akan

sejahtera/kaya. 12

12
Wawancara dengan Bapak Yunus bandi, Desa Lamasi, Kecamatan Lamasi, Kab. Luwu
pada tanggal 4 april 2019.
4.1.3 Bidang Kebudayaan

Orang Toraja adalah salah satu suku yang ada di Indonesia

yang sangat terkenal dengan adat budayanya yang unik. Dalam

prakteknya ketika orang Toraja memutuskan untuk bermigrasi ke

Luwu mereka tetap berusaha untuk mempertahankan

kebudayaannya, Contohnya dalam melaksanakan salah satu

budayanya yang mendunia yaitu upacara adat Rambu Solo.

Perpindahan yang dilakukan para migran Toraja ini tidak

membuat hubungannya dengan daerah asalnya terputus. Para

migran Toraja masih menjalin hubungan dengan keluarganya di

daerah asal mereka. Hubungan mereka yang masih terjalin dengan

sangat baik dilihat dari para migran Toraja yang telah banyak

berhasil di daerah migran kemudian mengajak saudara-saudara

mereka di daerah asalnya mengikuti jejak mereka untuk tinggal

dan menetap di daerah Luwu. selain itu, jika ada keluarga di daerah

asal mereka yang membuat acara entah itu upacara Rambu Solo,

Rambu Tuka, Mangrara Banua, dan upacara-upacara adat yang

lainnya. Para migran toraja akan kembali ke daerah asal mereka

dan turut berpartisipasi dalam acara tersebut.

Namun, lain halnya bagi para migran Toraja yang datang

bermigrasi ke Luwu dan sudah jarang dan bahkan tidak pernah lagi

kembali ke daerah asalnya karena sudah bertahun-tahun

meninggalkan kampung halamannya sudah tidak mengingat lagi

asal-usul mereka di Toraja. Hal ini sangat dirasakan khususnya


bagi para migran yang keluarganya banyak menjadi korban pada

pemberontakan DI/TII yang menjadi salah satu faktor mereka

bermigrasi.

Berdasarkan uraian diatas, tujuan dari perpindahan orang-orang

Toraja ke Luwu telah terealisasikan dengan baik, dapat dilihat dari

tercapainya tiga hal berikut ini:

1. Perbaikan nasip dari beberapa rumah tangga tani yang

hidupnya serba kekurangan yang tiap tahunnya mengalami

“chronische ondervoeding” (kekurangan Gizi).

2. Mencegah agar Tanah Toraja jangan menjadi satu daerah

tandus akibat erosi dimana bertani tidak bisa lagi dikerjakan.

3. Mencegah bahaya banjir dan lumpur yang dapat merusak dan

tidak dapat lagi mengairi benteng untuk 70.000 ha sawah di

dataran Luwu.13

4.3 Pengaruh Para Migran Terhadap Penduduk Asli Di Luwu

Secara umum migrasi memiliki dampak yang menguntungkan

(dampak positif) dan disisi lain ada juga dampak yang merugikan

(dampak Negatif). Dampak perpindahan orang-orang Toraja ini juga

membawa pengaruh yang cukup besar khususnya terhadap masyarakat

13
Inventaris Arsip Tana Toraja (1901-1959), “Daftar Nama-Nama Transmigran Yang
Akan Dipindahkan Dari Distrik Kesu Ke Walenrang” 1 sampul, No Reg. 1361.
asli yang ada di Luwu14, ada dampak yang menguntungkan dan

sebaliknya.

Dengan adanya orang-orang Toraja yang datang ke Luwu,

dampak positif yang ditimbulkan bagi penduduk asli yang ada di Luwu

salah satunya yaitu dalam bidang pertanian. Penduduk asli yang ada di

Luwu meniru cara para migran orang Toraja dalam bercocok tanam

dan membantu mengelola tanah mereka yang sangat luas sehingga

mereka dapat menghasilkan tanaman jangka panjang yang berlimpah.

Hal ini yang juga membuat setelah migrasi dengan tiga gelombang

seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, membuat banyak

orang-orang Toraja dari berbagai daerah yang ada di pengunungan

Toraja turun ke Luwu untuk mencari tanah.

15
Penduduk asli yang ada di Luwu mayoritas beragama Islam

dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari khususnya pada distrik

Walenrang yang menjadi tempat orang-orang Pantilang ditempatkan.

Penduduk asli ini kemudian mudah untuk tergeser dengan kedatangan

orang-orang Pantilang, hal ini didasarkan atas penuturan Bapak J. B

Pamuso. Tetapi ada juga daerah dimana penduduk asli secara

berkelompok tinggal dan tidak dapat di usik keberadaanya.

14
Pa’ kampong adalah sebutan para migran Toraja kepada penduduk asli Luwu. jika
ditelusuri dari hasil wawancara yang didapatkan, tidak ada yang benar-benar merupakan penduduk
asli Luwu karena semua penduduk yang ada di Luwu khususnya di daerah sebelah utara kota
Palopo umumnya adalah pendatang juga dari berbagai daerah dengan waktu yang berbeda-beda.
Penduduk yang lebih awal melakukan perpindahan merekalah yang kemudian disebut penduduk
asli oleh para migran yang baru.

15
Hal ini dipengaruhi karena Luwu pada saat itu menjadi pusat pemberontakan DI/TII.
Adapun dampak yang merugikan (dampak negatif) dari migrasi

orang-orang Toraja ini terhadap penduduk asli Luwu yaitu penduduk

asli di setiap daerah yang menjadi tujuan migrasi orang-orang Toraja

baik itu di Lamasi dan Walenrang, awalnya kepemilikan tanahnya

didominasi oleh penduduk asli, namun oleh kedatangan para migran

mereka selalu tergiur untuk menjual tanah mereka sedikit demi sedikit
16
kepada para migran Toraja/ pendatang akibatnya mereka terdesak

dan tidak memiliki tanah. Hal ini menandai keberhasilan orang-orang

Toraja di daerah migran karena tanah yang ada sudah didominasi oleh

para migran Toraja.

Penduduk asli yang sudah tidak mempunyai tanah lagi pada

umumnya akan bermukim di sekitar pasar. Sehingga penduduk asli di

daerah tersebut kehidupannya hanya di sekitar pasar. 17 Pasar dijadikan

sebagai tempat yang strategis untuk mereka tinggal karena akan lebih

memudahkan mereka mencari penghidupan dengan berdagang.

16
Penduduk asli yang ada di Luwu khususnya di daerah sebelah utara kota Palopo yaitu
Lamasi dan Walenrang, tidak hanya menjual tanah mereka pada para migran Toraja saja, mereka
juga menjual tanah mereka kepada pendatang setelah para migran Toraja. pendatang ini masih
berasal dari berbagai daerah yang ada di Toraja diantaranya dari daerah Sanggalla, Tikala, Kesu,
Buntao.
17
Hasil Wawancara dengan Bapak Andarias Sampe , Desa To’Lemo. Kec. Lamasi
Timur. Kab. Luwu

Anda mungkin juga menyukai