Anda di halaman 1dari 12

BAGIAN BagianSEMBILANSembilan

MODERNISME Modernisme DAN dan PENGARUHNYA Pengaruhnya


TERHADAP terhadap AGAMA Agama KRISTENKristen
R.J: Menurut anda, kenapa modernitas lebih mudah mempengaruhi agama Kristen dibanding
Islam, karena anda kita tadi menyinggung hal ini?

S.H.N.:Ini adalah masalah yang sangat rumit. Pertama-tama, perlu kita ingat bahwa cara
modernisme mempengaruhi Kristen Timur tidak sama dengan cara modernisme mempengaruhi
pengaruh modernisme tidak sama antara Kristen timur dengan Kristen Barat. Terkait dengan
Kristen Barat, ada sejumlah alasan: Karena Ddengan agama Kristen menjadi agama terbesar
dominan di Barat,, setelah kejatuhan Imperium Romawi – yang mana ia juga berperan sebagai
penyebabnya juga karena karena dirinya sendiridisebabkan olehnya– dan karenadengania telah
menciptakan sebuah peradaban baru yang ia ciptakan, yang sekarang kita kenal sebagai peradaban
Barat, ia tidak mampu sepenuhnya nullify-?menghilangkan pengaruh dari peninggalan
GrecoGreko-Romawi dan aspek pagan dan anti-agamanya. Seperti anda ingat, sebelum
kemunculan agama Kristen, bagian fasaeakhir dari peradaban dan budaya Yunani dan Romawi
meninggalkan kepada kita satu-satunya kasus yang tercatat dalam sejarah sebelum masa modern,
dimanadi mana anda bisa melihat terjadi pemberontakan yang ekstensif, kalau tidak habis-habisan
dan total, terhadap agama. Baik agama Yunani dan maupun Romawi mengalami kemunduran, dan
di periode akhir zjaman Yunani dan diantara bangsa Romawi inilah muncul anda menemukan
filsafat yang agnostik, dan bahkan ateistik dan materialistic materialistik yang menolak prinsip-
prinsip transenden apapun, seperti filsafat yang diusung Akademi-Baru, Epicurean, kalangan
Skeptis, dan semacamnya. Bahkan sebelum periode akhir periode Kuno, ada kelompok Shophis
Sophistyang ditentang oleh Sokrates; kelompok ini merupakan kelas pengusung dialektis tanpa-
prinsip yang bahkan sudah pernah disinggung oleh Sokrates, yaitu orang-orang yang mau berdebat
untuk membela apa saja karena mereka tidak mempercayai apapun. Kita Orang bisa membayar
mereka untuk berdebat tentang apapun yang kita diinginkan. Anda tidak akan menemukan
Fenomena fenomena serupa semacam ini tidak pernah terjadi di jaman zaman Persia, India, atau
ChinaCina kuno, yang semuanya merupakan peradaban besar.

Meskipun Romawi tidak memiliki tradisi filsafat yang sama kuatnya dengan Yunani, tetap saja
aspek hedonisme, skeptisisme, dan keduniawian yang mewarnai sebagian besar budaya Yunani
akhir ini bisa juga kita temui di Romawi. Dan seiring dengan semakin melemahnya agama
Romawi, berbagai agama Timur mulai mengisi ruang kosong ini, termasuk pemujaan terhadap Isis
dan Osiris, Mithraisme, dan Manicheanisme dari Persia, dan tentu saja ajaran Kristen, yang lantas
berhasil Berjayaberjaya. Ia Kristen berhasil mengalahkan berbagai agama lain ini dan
menenggelamkan semua filsafat sekuler pada saat masa itu, tapi ia tidak mampu sepenuhnya
menetralkan pengaruh negatif dari berbagai gerakan filsafat dan keagamaan yang sudah ada. Ada
pengaruh yang kuat dari skeptisisme, naturalisme, dan rasionalisme yang masih terus-
menerusmengancammenjadi bahaya laten, dan dengan melemahnya filsafat dan teologi Kristen di
masa pertengahan, pengaruh ini muncul kembali dengan kuat membabi-buta semasa
Renaissances.

9-1
Yang terjadi di Islam, ataupun Buddha, sangat berbeda. Ketika agama Buddha masuk ke China, ia
juga menjumpai sebuah peradaban yang besar dengan tradisi filsafat yang panjang –
KonsufianismeKonfusianisme, Taoisme, mahzab logika, dsb – tapi situasinya sama sekali berbeda,
karena semua faham tadi sifat aslinya adalah tradisional dan tidak menolak dimensi spiritual dari
realitas. Sedangkan untuk Islam, ia mewarisi aspek metafisika dari filsafat Yunani, tapi bukan
aspekspektisismeskeptisisme, agnotisme, naturalisme, dan rasionalisme-nya, yang masih bertahan
di Barat sebagai sebuah potensi laten bahkan setelah kemenangan agama Kristen. Semua
kecenderungan ini tidak benar-benar ternetralkan dan mulai bangkit kembali di Oksiden begitu
mereka bisa.

Naturalisme, Rasionalisme, dan Nominalisme.


NahJadi, bagaimana pergolakan itu bisa muncul? Saya kira percaya itu muncul setelahdi abad ke-
13 di Barat, ketika teologi Kristen dan pemikiran Kristen secara umum semakin tereksternalisasi.
Teologi Di dalam teologi Kristen di Barat, kebalikan dari di Timur, ajaran Kristen memasukkan
elemen rasionalisme ke dalam teologi itu sendiri, meskipun di abad ke-13 hal itu masih ada di
ditempatkan di pinggiran pada abad 13. Memasuki abad ke-14, ketika terjadi penolakan nominalis
dari atas pandangan realisme Platonis, dan pandangan Ockham-? yang bisa dibilang
menggantikan metafisika dengan logika, di banyak kalangan pertahanan intelektual pertahanan
ajaran Kristen di banyak kalangan menjadi melemah. Dan seperti biasadengan begitunya, seperti
pepatah Arab dan Persia bilang, “Ikan mulai membusuk dari kepalanya,”” atau korupsi oleh atas
yang terbaik adalah yang terburuk (corruption optima pessimi), seperti yang dikatakan pepatah
Latin.

Selalu ketika terjadi penurunan intelektual, itu ia dimulai dari atas. Di baratBarat, bahkan setelah
Jaman ZAbadPertengahan, masyarakat awam umumnya masih sangat saleh dan taat dengan
ajaran doktrin dan ritual agama Kristen. Bahkan ketika meskipunsejumlah praktek dan simbol
agama pra-Kristen tertentu telah masuk terdipadukan ke dalam agama Kristen, seperti berbagai
hari raya Druid dan Germania, dan bahkan pohon Natal, semuanya oleh orang awam semua masih
dilihat sebagai sesuatu yang KristenKristiani – padahal jelas , di Palestina kan tidak ada pohon
Natal. Namun, integrasi dari sejumlah praktik agama eropa Eropa pra-Kristen ini di ranah tingkat
populer tidak melahirkan modernisme dan sekulerisasisekularisasi. Masalah mulai muncul di
ranah intelektual dengan para elit-nya, dengan melemahnya teologi Kristen dan filsafat Kristen.
Bahkan, nominalisme bisa dibilang telah menghancurkan aspek metafisika dari filsafat Kristen dan
melemahkan teologi mistis mistik di Barat. Sehingga, medannya pun telah siap bagi kembalinya
bangkitnya berbagai elemen seperti skeptisisme dan rasionalisme GraecoGreko-Romawi yang
selama ini tertidur. Selama RenaissanceRenaisans, ada kebangkitan paganisme dalam pengertian
Kristen yang sebenarnya di luar ajaran Kristen. Ini bukan seperti yang ditemui di periode awal
Kristen ketika Saint Santo Augustine dan yang lain mengintegrasikan sejumlah elemen pemikiran
Yunani ke dalam teologi Kristen; penafsiran mereka ini atas pemikiran Yunani tidak terlepas sama
sekali dari ajaran Kristen dan bukanlah murni pagan.

Pergolakan Pemberontakan atas ajaran Kristen semasa RenaissanceRenaisans di berbagai


kalangan terdidik ini tidak terjadi dengan cara yang sama dengan yang terjadi pada agama besar
dunia lainnya, berbeda dengan agama besar lainnya, di peradaban besar lain yang pernah ada,
setidaknya sampai baru-baru ini. Bisa dibilang RenaissanceRenaisans adalah perlawanan dan
kemenangan paganismedari atas dunia dekaden di akhir jaman periodekuno Antik dengan
9-2
pandangan naturalisme dan rasionalismenya atas budaya Kristen masyarakat di Barat. Agama
Kristen, setelah tidak lagi memiliki otoritas penuh atas seluruh masyarakat untuk menerapkan
tradisi intelektual mereka sendiri, dan karena telah meninggalkan ajaran-ajaran metafisika mereka
sendiri yang lebih mendalam, secara umum benar-benar tak berdaya menghadapi serangan ini.

Faktor-faktor Lain dalamSekulerisasi Sekularisasi Barat


Kita perluSangat penting untuk mencermati pertanyaan berikut, yang biasanya dihindari tidak
ditanyakan oleh sebagian besar para pakar di Eropa: Kenapa kenapa bahwa pada abad ke-11, ke-12,
atau ke-13 ketika arus tradisional Kristen masih sangat kuat, baik yang mistik maupun intelektual,
perlawanan terhadap agama ini tidak berlangsung di Eropa? Saya perlu menyinggung dua tokoh,
Saint Santo Bonaventure dan Saint Santo Thomas, yang keduanya sangat berbeda tapi hidup di
periode yang nya hampir bersamaan. Pada tingkatan tertinggi, mMereka sama-sama mewakili
dimensi mistismistik, intelektual, dan filosofis tertinggi dari tradisi Kristen dan tanggapan Kristen
atas filsafat Yunani. Lalu kenapa mengapa tantangan dari GrecoGreko-Romawi yang datang
kemudian ini tidak mampu dijawab oleh agama Kristen? Ini karena tradisi sapiental Kristen masih
sangat kuat pada saat itu, dan namuntidak lagi setelah Jaman AbadPertengahan. Pada saat itu
Bukannya bukannya pada saat itu tidak ada lagi patung-patung Romawi di sekitar kota Roma;
semua sudah ada disana sejak awal agama Kristen datang ke situ, tapi patung2 patung-patung tadi
tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi para pematung di abad zaman pertengahan. Iklim
tradisional spiritual danintelektual tradisional dari agama Kristen masih cukup kuat sehingga, bisa
dibilang, akar dari budaya GrecoGreko-Romawi yang dekaden, yang masih bertahan di bawah
tanah, tidak bisa menemukan atmosfer yang tepat, kondisi yang tepat, untuk mampu untuk
berkembang, tidak mampu menerobos tanah ke atas dan membunuh tanaman-tanaman Kristen;
tapi ini pun kemudian akhirnya terjadi secara bertahap ketika tradisi tadi melemah.

Ada banyak elemen sosial dan politik lainnya yang juga terlibat dalam proses ini, seperti tadi saya
sebutkan. Pertama-tama, melemahnya kepausan dengan penahanan Paus di Avignon oleh raja
Prancis, dan yang kedua, penindasan yang dilakukan oleh kepausan sendiri terhadap banyak
dimensi mistis mistik dari agama Kristen; bersamaan dengan itu, kecintaan terhadap hal2 hal-hal
duniawi yang mulai merasuki Gereja Katolik dan hirarkinyasehinggayang akhirnya dan yang
memicu Reformasi Protestan juga merupakan faktor penting. Semua faktor ini telah berperan
signifikan dalam proses sekulerisasi sekularisasi Barat ini. Reformasi Protestan sendiri merupakan
sebuah peristiwa yang unik dalam sejarah Keagamaankeagamaan. Agama2 Agama-agama memang
telah mengalami berbagai penafsiran seperti Buddha Mahayana, Theravada, dan Buddhisme Tibet
atau Vajrayana, atau Hindu Shiwa dan Wishnu, atau berbagai aliran di Islam, seperti Sunni dan
Shi’ah, tapi semuanya tidak ada yang menyerupai Protestanisme, yang muncul 1,500 setelah
agama aslinya lahir, dan yang merupakan perlawanan langsung atas nama Injil melawan struktur
dan otoritas utama agama Kristen Barat. Dan kenapa ini bisa terjadi? Ini disebabkan karena
berbagai ekses dan semacam keduniawian yang telah mencemarkan mencemari kepausan selama
RenaissanceRenaisans.

Salah satu tragedi terbesar yang terjadi adalah bahwa agama Katolik, yang telah melahirkan
peradaban Barat, terus membelanya bahkan ketika peradaban ini semakin mengalami sekulerisasi
sekularisasi dan men-duniawi. Hanya Barulah sekarang di abad ke-20 dan ke-21 bahwa akhirnya
Gereja Katolik mulai memisahkan dirinya, setidaknya dalam hal hingga batas tertentu, dari
peradaban Barat modern Barat, yang bukan lagi merupakan peradaban Kristen, tapi peradaban
9-3
yang telah melahirkan hampir semua kekuatan anti-agama yang telah mengacaukan dunia, mulai
dari Karl Marx sampai Freud, sampai kalangan eksistensialis ateistik seperti Jean-Paul Sartre, dan
kalangan dekonstrusionisme relativis. Orang2 Orang-orang yang mencetuskan filsafat anti-agama
itu bukanlah orang Persia atau Jepang. Mereka semua adalah orang Barat yang nenek moyangnya
beragama Katolik atau, dalam hal Karl Marx, Yahudi, tapi hidup di tengah masyarakat Barat, dan
bukannya orang Kristen atau Yahudi Arab atau Persia, atau Yahudi Arab atau PersiaYahudi.

Yang tragis adalah bahwa Kristen Katolik sebagai sebuah agama, bukannya memisahkan diri dari
apa yang tengah terjadi, malah terus saja menyesuaikan diri dengan apa yang berlangsung, dan
karena itu sangat terpengaruh oleh sekularisme. Lihat apa yang terjadi dengan seni Katolik. Saya
memakai istilah ‘seni Katolik’ disini dengan sengaja, karena seni inilah yang mulai memakai secara
terang2an terang-terangan keaspek duniawian dari RenaissanceRenaisans; dan seperti yang kita
lihat sekarang, vatikan Vatikan tidak lagi terlihat seperti Katedral Chartres, tapi seperti istana
Romawi di abad ke-16. Tidak lagi ada nuansa dunia-lain seperti seni Gothik atau Romanesque. Dan
seiring dengan semakin manusiawi dan duniawinya seni Katolik ini, banyak orang2 orang-orang
yang sangat terdidik dan sensitif mulai meninggalkan Gereja. Bayangkan bagaimana seseorang
yang sangat pintar dalam artian metafisika dan spiritual, akan merasa kerasan tinggal berada di
Katedral Rheims atau Strasbourg, tapi akan sulit membayangkan mereka merasa kerasan di salah
satu gereja Baroque yang dekaden. Ini juga bisa dipahami di ranah pemikiran. Karena ituJadi,
karena agama Kristen di Barat berjalan seiring beriringan dengan sebagian besar apa yang terjadi
di sekitarnya, ia kehilangan para pengikutnya yang paling pandai, meskipun tentu saja ada
pengecualian di sanasini, dan ada semacam ajaran Kristen tradisional yang tetap masih bertahan
di tengah lingkungan seperti ini.

Bisa dibilang, perkawinan antara kepandaian dan kesalehan menjadi semakin langka di Barat –
bukan karena ini adalah hal yang mustahil secara total, tapi ia menjadi semakin sulit dan tetap
seperti itu bahkan sampai jaman zaman kita sekarang. Sekarang sulit mencari orang di Barat yang
sekaligus pandai dan taat beragama, meskipun untungnya masih ada sedikit. Hal seperti ini tidak
berlangsung terjadi di peradaban lain atau di masa Eropa Abad Pertengahan.

Pengaruh sekulerisasi Sekularisasi Protestantisme

Sedangkan terkait ajaran Protestan, reaksinya adalah sebaliknya. Protestan menganggap bahwa
dirinya sama sekali tidak berkaitan dengan budaya pertengahan dan RenaissanceRenaisans, dan
memisahkan dirinya dari peradaban Barat klasik dan ‘pemeradaban’ [‘civiliziationism’],
menyatakan diri kembali ke ajaran Injil, dan juga menentang tradisi Kristen yang sudah berumur
1.,500 tahun di Barat. Salah satu aspek positif dari sikap ini adalah ia memisahkan diri daritidak
diasosiasikan dengn semua aspek sifat keduniawian seperti yang berlangsung di agama Katolik
selama RenaissanceRenaisans. Tapi sikap ini juga berperan dalam penghancuran lingkungan
yangnuansa sakral dari agama Kristen di zaman di abad pertengahan. Ia juga menjadi semakin
menentang mistisisme dan filsafat tradisional Kristen, dan tentu saja juga seni sakral, literatur
sakral, musik sakral, dan sebagainya. Memang ada musik religius Protestan, tapi bukan musik
sakral seperti pujian Gregorian. Semua ini telah berperan penting dalam memperluas sekulerisasi
sekularisasi dan pelemahan melemahkan ajaran Kristen tradisional. Tentu saja gerakan
ÖProtestan yang awal tetap menerima sejumlah elemen mendalam dari budaya dan peradaban
abad zaman pertengahan; memang ia tidak ada punya pilihan. Misalnya, Johann Sebastian Bach
adalah seorang Protestan, seorang Lutheran, dan meskipun dia mengarang menciptakan B-Minor

9-4
Mass dalam bahasa Latin, dia adalah seorang penganut Lutheran Jerman yang mengarang
beberapa dari musik Barat dengan karakter tradisional yang paling mendalam dan indah. Dan ada
juga contoh lain, termasuk para teosof awal Protestan sampai Jakoob Böohme.

Tapi sSecara umum yang terjadi adalah, agama Protestantisme, khususnya setelah dalam
bersekutu dengan kapitalisme dan membantu kebangkitannya, telah membantu sekulerisasi
sekularisasi dunia dimana agama Kristen hidup. Banyak penganut Protestan, bahkan sampai
sekarang, yang menolak untukbahkan tidak bahkan maumelihat masalah tersebut memakai sudut
pandang ini, tapi ada banyak yang lain yang juga kecewa karena mereka sekarang hidup di dunia
yang sekuler. Banyak orang Protestan di Amerika Serikat adalah penganut Kristen yang serius, tapi
dunia dimana mereka hidup bukan lagi dunia Kristen, meskipun mereka dalam kehidupan
pribadinya tetap sangat Kristen. Selain itu, agama Kristen sendiri saat ini tampaknya tidak lagi
memiliki kekuatan intelektual untuk meng-Kristen-kan lagi masyarakatnya, bahkan di Amerika
dimana agama masih jauh lebih kuat dirasakan dibanding di Eropa, meskipun sekarang memang
ada gerakan baru untuk memulihkan kembali pemikiran Kristen dan mensakralkan lagi ruang
mental masyarakat Kristen baik di Eropa maupun di Amerika.

Elemen lain yang juga sangat penting adalah bahwa akibat dari munculnya ajaran Protestantisme
dan Kontra-Reformasi di dalam Gereja Katolik, agama Protestan dan Katolik mulai saling
berperang, dan perang agama yang dahsyat ini di Eropa berlangsung lebih dari satu abad. Itu
adalah waktu yang sangat lama, dan hanya Tuhan yang tahu berapa ratus ribu orang yang
terbunuh. Anda pernah bisa mendengar kisah2 kisah-kisah ini di Prancis, apa yang mereka
perbuat terhadap orang-orang Huguenot dan sebaliknya. Di Kedua kedua belah pihak sama-sama
melakukan terjadi pembunuhan missalmassal, dan tindakan2 tindakan-tindakan ini tentu saja
mengganggu akal-sehatnurani dari banyak orang Eropa, yang akibatnya, merekaakhirnya malah
sama sekali menarik diri dari agama. Perang ini tentu saja sangat mendorong pelemahan agama
Kristen dan membantu kemunculan sekularisme. Situasi seperti ini tidak terjadi di agama besar
yang lain. Itu Ini semua adalah sebuah situasi unik yang hanya terjadi di Barat, dimana semua
faktor tadi, dan faktor lain, saling bertautan dalam pelemahan agama sebagai sebuah cara hidup
yang menyeluruh,dan sehingga memungkinkan bagi terjadinya dominasi sekularisme.

HUKUM Hukum SEKULER Sekuler DAN dan Hukum SAKRALSakral1


R.J: Salah satu faktor utama dalam perjumpaan antara agama Kristen dan modernitas adalah
kemunculan sekularisme. Maksud saya, hari ini ketika kita melihat gereja2 gereja-gereja
Kristen, kita lihat bahwa hampir semuanya menerima perbedaan antara hukum Tuhan dan
hukum sekuler di masyarakat mereka. Saya tahu bahwa anda tidak setuju dengan pandangan
sekuler ini, tapi ada debat yang berlangsung di masyarakat Islam hari ini karena perjumpaan
kita dengan dunia modern. Bagaimana Dengan cara apa, menurut anda, caranya kita bisa
menerapkan pemisahan antara gereja dan negara, yang merupakan hal yang fundamental bagi
ideologi sekuler di dunia Barat ini, ke dalam dunia Islam?

S.H.N.:Pertanyaan anda tadi tentu saja sangat penting untuk dibahas. Pertama-tama saya bahas
dulu masalah hukum Tuhan dan hukum sekuler. Salah satu alasan kenapa agama Kristen Barat
mengalami pelemahan yang tiada bandingannya dalam dengan agama lain sepanjang sejarah,

1Lihat S. H. Nasr, Ideals and Realities of Islam (Chicago: ABC International, 2000); dan S. H. Nasr, The Heart
of Islam (San Fransisco: Harper One, 2002).
9-5
kecuali mungkin dengan agama GrecoGreko-Romawi, yang kemundurannya berujung pada
kematian dari peradaban dimana mereka adalah agama yang dominan, adalah bahwa hukum yang
dipakai oleh orang Kristen di Eropa tidak diambil secara langsung dari sumber wahyu agama
Kristen dan inspirasi agama mereka, kecuali untuk hukum spiritual dan aturan tingkah laku
pribadi seperti dalam Sepuluh Perintah Tuhan. Apa maksudnya? Maksud saya adalah bahwa
agama Yahudi,Yudaisme seperti halnya Islam, memiliki hukum agama yang mencakup semua
aspek kehidupan, dan agama YahudiYudaisme tradisional dalam hal ini memiliki posisi yang persis
sama dengan agama Islam. Dalam pandangan kedua agama ini, tidak dikenal apa yang disebut
hukum sekuler. Kita lihat saja masyarakat Yahudi sekarang. Maksud saya bukan negara Israel
modern, dimana terdapat banyak penganut Yahudi agnostik dari Eropa dan di mana terjadi
pertarungan antara golongan Yahudi ortodoks dan sekuler, yang ini sendiri sangat penting; karena
ini adalah sekali lagi pertarungan antara aspek tertentu dari peradaban Barat sekuler sekarang
melawan agama yang lain lagi. Tapi misalkan kita ambil saja masyarakat Yahudi pada masa Daud
dan Sulaiman. Pada saat itu, tidak ada perbedaan antara hukum Tuhan dan hukum dari otoritas
politik sekuler atau apa yang oleh Perjanjian Baru disebut sebagai hukum KaisarCaesar.

Adalah Kristus yang bilangberkata, ““Serahkan kepada Tuhan urusan-Nya, dan serahkan kepada
Kaisar Caesar apa yang menjadi urusannyaurusan Caesar.’ ” Di Perjanjian Baru, ada banyak ajaran
spiritual yang mendalam, tapi tidak ada ajaran instruksi tentang bagaimana mengatur masyarakat
dan bagaimana menjalankan transaksi ekonomi kecuali dengan berlaku baik dan adil di level
individu manusia. Sudah tertulis bahwa, bisa dibilangdalam artian tertentu, agama Kristen adalah
agama dari sebuah masyarakatnyaorang2 orang-orang suci; tapi bagi manusia kebanyakan,
mereka harus menyusun hukum sendiri yang diambil dari tempat lain. Sehingga, seperti sudah kita
bahas, ketika agama Kristen hadir di Barat, ia memasukkan hukum Romawi dan belakangan
hukum Germania dan Anglo-Saxon. Semua hukum ini menjadi terpadukan ke dalam bangunan
badan hukum peradaban Barat dan masih menjadi fondasi dari hukum modern. Bahkan meskipun
hukum hari ini disebut ‘sekuler’, aslinya ia juga berhubungan dengan agama2 agama-agama kuno.
Hukum Romawi asalnya berasal dari agama Romawi, tapi bagi orang Kristen itu nampak sebagai
agama hukum sekuler, karena tidak langsung berasal dari sumber wahyu Kristen. Diantara
keduanya masih ada ruang kosong. Selalu ada chasm-?jurang antara hukum spiritual seperti yang
diajarkan dalam Perjanjian Baru seperti “Cintai tetanggamu,’ ” dan Sepuluh Perintah Tuhan, yang
juga diterima oleh agama Kristen, meskipun diturunkan melalui Musa, di satu sisi, dan bagaimana
cara mengatur negara – hukum politik, hukum ekonomi, hukum sosial, dan seterusnya – di sisi
lain.

Sekarang, agama Kristen, dan mungkin Buddha hingga tingkatan tertentu, adalah satu-satunya
agama besar di dunia yang mengalami situasi seperti itu. Tidak hanya Islam, tapi juga agama
YahudiYudaisme, Hinduisme, Shintoisme, Konfusianisme, dan banyak agama lain adalah agama-
agama dimana hukum di masyarakat dan apa yang kita sebut dengan sebagai aturan Tuhan tidak
terpisahkan satu sama lainberada dalam dua domain terpisah. Lihat misalnya Konfusianisme:
hukum masyarakat China klalsik dan hukum yang bersumber dari Konfusian adalah sama. Lihat di
India: kita menemukan situasinya situasi yang sama di sanadisini juga sama, dan dalam hal ini ada
sedikit perbedaan antara agama Islam dan Hindu. Bagi banyak orang Persia, yang mungkin
sebagian terlintas di pikiran andatahu sekarang, karena banyak diantara mereka yang tidak terlalu
memikirkan masalah ini, satu-satunya persoalan pertanyaan adalah bahwa tentang situasi di Iran
sekarang dalam hubungannya dengan Barat. Tapi mari kita lihat lebih cermat, dan bahkan
mengambil contoh BuddhaBuddhisme, yang dalam banyak hal mirip dengan agama Kristen. Kalau
kita lihat negara seperti Tibet, dimana Dalai Lama adalah sekaligus pimpinan agama Buddha dan
9-6
raja dari negara itu sampai tahun 1951, dan masih sampai sekarang tetap dianggap sebagai
pemimpin Tibet oleh warganya, yang menolak untuk dijajah China, kita melihat adanya kesatuan
antara kekuatan yang spiritual dan temporal, dan juga antara hukum agama dan sosial, bahkan
kalaupun walaupun hukum sosial tadi itu diambil dari sumber-sumber hukumHindu. Situasi
serupa juga terjadi di kerajaan-kerajaan di sekitar Himalaya, seperti Bhutan dan Nepal. Agama
Buddhaisme mampu menciptakan sebuah kesatuan yang menghindari dikotomi antara yang
religius dan yang sekuler seperti yang terjadi ditemukan di Barat karena sifat dari hukum yang
memasukkan dimasukkan ke dalam ajaran-ajaran Buddha itu sendiri, meskipun ia memiliki
kemiripan struktural dengan ajaran Kristen.

Dalam konteks agama Kristen, selalu ada dikotomi antara hukum agama dan hukum sekuler,
bahkan di jaman zaman pertengahan, dan antara otoritas Paus dan kaisar, seperti yang pernah
ditulis oleh Dante. Otoritas temporal dan spiritual selalu berbeda dan berjarak, dan ini belakangan
ini tertransformasi bertransformasi menjadi perosalan persoalan hubungan antara negara dan
Gereja setelah sintesis yang berlangsung di jaman zaman pertengahan, yang mampu mengikat
perbedaan ini di ranah kesatuan yang lebih tinggi, mulai runtuh. Negara dalam pengertian modern
adalah buah dari Revolusi Prancis, tapi ia juga berhubungan dengan struktur politik yang lebih tua,
yang selama ini selalu berada di bawah kepausan, di bawah otoritas spiritual di Abad Pertengahan.
Kaisar menerima legitimasinya dari Paus dan raja-raja Prancis dilantik dengan menjalani “‘Ritual
David.” .’ Orang-orang yang membahas tentang hubungan antara gereja dan negara sering tidak
menyadari akar yang berasal nya ini dari pengalaman tertentu dari di sejarah Eropa lama ini,
dimana memang selalu ada dua otoritas yang berbeda dan bukan satu otoritas, sebagaimana juga
ada dua sumber hukum. Yang seperti ini tidak terjadi di sebagian besar peradaban besar utama
lainnya. Kaisar China, sebelum dinasti Ching berakhir, adalah penghubung antara Dunia Langit
dan SurgaBumi. Dia adalah sekaligus seorang pemegang kuasa otoritas dalam hal Konfusianisme
dan pemimpin tertinggi negara. Kaisar Jepang, sampai McArthur membantu menyusun konstitusi
modern Jepang, dulunya adalah (dan sampai sekarang masih diakui oleh banyak orang Jepang)
keturunan dari Dewa Matahari dalam agama Shintoisme dan pusat dari agama Shinto itu sendiri.

Anggapan bahwa hubungan antara otoritas spiritual dan temporal di masyarakat lain ini adalah
sama dengan hubungan antara gereja dan negara di Barat sebenarnya adalah cara pandang yang
sangat parochialsempit atas hal ini. Di semua peradaban lain tadi ini selalu ada satu otoritas
tunggal, dan hanya di barat Barat saja muncul terdapat dua otoritas yang secara bertahap
berangsur-angsur kemudian berpisah jalan, mengarah kepada pemisahan secara bertahap di Barat
dari hubungan dan secara gradual di masyarakat Barat mengarah kepada pemisahan hubungan
yang dulunya dekat antara gereja dengan negara, dan antara hukum agama,dengan apaapa yang
sekarang disebut sebagai hukum sekuler. Tentu saja bila hukum di masyarakat Barat sumbernya
tidak berbeda sumbernya dengan sumber agama Kristen, dan kalau situasinya sama dengan yang
apa yang ada di agama YahudiYudaisme dan Islam, tidak akan muncul benih dikotomi antara
hukum agama dan sekuler.

Bahkan istilah sekuler itu sendiri tidak dikenal dalam bahasa Persia dan Arab, dan kita harus
membentuk kata baru untuk menjelaskannya. Hari ini, orang Arab memakai kata ‘ilmaāniyyah,
yang tidak memiliki landasan di kasanah khazanah Arab klasik. Di Persia dipakai kata
dunyāagarāa’I,īatau yang mirip dengan itu. Di kedua kasus ini, yang dipakai adalah kata yang
baru. Tidak ada padanan klasik dari kata sekularisme karena kita tidak mengenaltidak pernah ada
pemisahan antara yang religius dan yang sekuler dalam peradaban Islam klasik, atau dalam kasus
Iran, bahkan selama periode Zoroastrian.

9-7
Gereja dan Agama di Amerika dan di Dunia Islam
NahJadi, dengan latar belakang seperti itu, kita bisa membahas tentang persoalanberalih ke
pertanyaan tentang pemisahan gereja dan negara, yang memang jelas sangat khas agama Kristen.
Meskipun ini sudah sering dibahas, khususnya di Amerika Serikat, dimana orang terus-menerus
membahas bicara tentang pemisahan gereja dan negara, keberadaan kedua lembaga ini di
peradaban lain bahkan tidak sama dengan yang dipahami oleh modern Barat modern. Al-dīin dan
al-dawlah, yang merupakan istilah Arab paling mirip untuk menyebut ‘gereja’ dan ‘negara’ dan
yang sudah banyak ditulis orang, tidak sama dengan pengertian gereja dan negara secara
harfiahutuh. Yang mirip dengan pengertian ‘gereja’ di dunia Islam, dimana tidak ada Paus, tidak
ada kependetaan, tidak ada hirarki religius, bisa dibilang adalah seluruh masyarakat Islam atau
ummah itu sendiri. Kita berdua ini adalah mungkin bisa dianggap pendeta Islam seperti halnya
pendeta Katolik. Kita bisa mengawinkan orang, kita bisa memimpin acara pemakaman, dan ketika
ada anak yang baru lahir kita bisa membacakan shahāadah di telinganya, dan sebagainya. Tidak
ada organisasi yang disebut gereja di Islam, dan para mullah atau ‘ulamāa’, apapun namanya,
bukanlah bagian dari kelas pendeta. Mereka beda dengan para Brahmana Brahmin di India.
Orang2 Orang-orang ituitu, yang bukannya kuliah, misalkan, misalnya di kedokteran gigi, justru
tapi belajar tentang Hukum Islam, tidak memiliki otoritas atas diri saya dan anda kitadalam
kaitannya dengan fungsi-fungsi2 ibadah. Mereka sekedar sekadar memahami memiliki ilmu
tentang hukum Hukum Islam dankarena itu kita perlu belajar dari mereka berkaitan dengan
masalah persoalan Hukum ini. Kalau kita ingin beribadah, kita berdiri di hadapan Tuhan, dan
karena itu tidak ada yang menghubungkantidak ada yang berdiri di antara kita dengan Dia. Gereja
dan negara sebagai lembaga komplementer ini memang tidak dikenal di Islam.

Para ‘ulamā’ ulamatelah berkuasa di Iran sejak Revolusi Islam, karena itu orang Iran sering
membahas masalah ini seolah untuk pertama kalinya agama dan politik bersatu di Iran. Tapi lihat
saja sebelum Revolusi Iran. Para raja di Iran bukan sekedar sekadar sosok sekuler. Mereka
dianggap berperan sebagai pelindung agama dan dijuluki bayangan Tuhan di bumi, bahkan selama
periode Pahlevi. Di dalam konstitusi Iran tahun 1906, disebutkan bahwa kaum bangsawan adalah
sebuah berkah dari Tuhan. Bahkan, posisi seorang raja di banyak dalam peradaban manapun tidak
pernah sepenuhnya sekuler. Sebelum Revolusi Iran, yang berlangsung bukannya ada sekelompok
‘ulamā’ ulama sebagai gereja dan monarki sebagai negara, yang terpisah satu sama lain,
sebagaimana gereja dan negara terpisah di Amerika Serikat – situasinya sama sekali tidak seperti
itu. Kita harus mempertimbangkan realitas khas yang ada di masing-masing peradaban.

Bahkan di Barat sendiri, yang disebut pemisahan gereja dan negara tidak sama di setiap negara. Di
Inggris, ratu adalah kepala Gereja Inggris dan pada prinsipnya di negara ini sama sekali tidak ada
pemisahan antara gereja dan negara. Di Swedia, sebagai masyarakat yang paling sekuler di Eropa,
Gereja Lutheran adalah gereja resmi negara sampai hanya beberapa saat yang lalu. Sekarang,
mereka mencoba berencana merubah mengubah hukum karena disana tidak lagi hanya ada orang
Kristen, tapi juga Muslim, sehingga ada berbagai agama yang perlu diperhatikan dalam
hubungannya dengan negara. Di Jerman, gereja menerima bantuan keuangan resmi dari negara.
Hanya di Prancis dan Amerika Serikat orang masih tetap menganggap pentingmenyuarakan
pemisahan antara gereja dan negara sebagai sebuah kategori. Di Prancis, pemisahan sepenuhnya
agama dari ranah politik adalah akibat dari Revolusi Prancis yang memiliki bias anti-Katolik yang
kuat.

9-8
Sedangkan di Amerika Serikat, ini muncul awalnya karena pengaruh Freemasonry, yang sangat
anti-Katolik, dan kedua, karena pengejaran atas banyak kelompok religius di Eropa, yang
kemudian bermigrasi ke Amerika, dimana kelompok Quaker menetap di Pennsylvania, kelompok
Puritan di New England, dan sebagainya. Mereka Orang-orang ini tidak mau kalau ada satu gereja
yang mendominasi kehidupan mereka, dan karena itu menggagas pemisahan gereja dari negara,
meskipun agama masih berperan dan terus berperan penting dalam perpolitikan di Amerika.
Belakangan muncul krisis di Amerika karena banyak orang yang sekarang memahami pemisahan
berarti dalam artian bahwa agama seharusnya sama sekali tidak berperan dalam arena publik,
sementara yang lain menantang menentang pandangan ini. Sampai sekarang, etika yang berlaku di
masyarakat Amerika adalah etika Protestan, dan berbagai krisis besar yang melanda negara ini
dalam banyak masalah, mulai aborsi sampai euthanasia dan homoseksualitas dan berbagai isu
sosial lainnya, adalah akibat dari konfrontasi antara etika Protestan yang ada dengan pandangan
sekuler yang berkembang di dalam berbagai sektor di masyarakat.

Saya kira, seluruh persoalan tentang hubungan antara gereja dan agama ini harus dikaji dengan
seriuslebih mendalamkalau bila kita ingin menyelesaikan masalah yang ada. Di dunia Islam tidak
dikenal adanya institusi negara dalam sebagaimana pengertian éetat dalam Revolusi bahasa
Prancis, yang belum muncul di Eropa sampai hingga abad ke-19, setelah Revolusi Prancis. Istilah
dawlah tidak mengandung arti yang sama. Kita sudah menyinggung soal dinasti Safavid. Shah
Ismāai’īil adalah kepala baik ‘gereja’ maupun ‘negara’ di Persia sampai di abad ke-16. Dialah yang
membangun identitas nasional Iran modern, dan nasionalisme Iran modern adalah didasarkan
pada ‘negara’ yang dia bangun tadi. Tentu sajaJelas sekali, bahkan bagi kalangan nasionalis
sekularis, dia seharusnya dianggap sebagai pahlawan nasional; tapi orang ini juga merupakan
kepala ‘gereja’, kalau jika kita memakai pengertian Barat terhadap istilah ini.

Jadi saya kira seluruh debat soal tentang persoalan ini perlu dirumuskan dengan cara lain kalau
bila menyangkut Iran. Persoalannya Pertanyaannya bukanlah pemisahan gereja dan negara;
persoalannya adalah siapa yang harus memegang kuasa politik di masyarakat? Kepemimpinan
langsung dari ‘para ulamā’ seperti yang terjadi di Iran hari ini adalah sebuah fenomena baru, dan
kita tidak pernah mengalami hal serupa dalam sejarah Islam sebelumnya. Memang dulu pernah
ada kekuasaan oleh tarikat tarekat sufi, misalnya dinasti Safavid di Iran dan Sanūusiyyah di Libya
yang berkuasa sampai 1971 ketika Ghadaffi menggulingkan Raja Idris. Ada lagi contoh lain,
misalnya, di Portugal, dimana sebuah negara dibangun oleh kaum Sufi di masa awal Eropa abad
Abad pertengahanPertengahan. Tapi belum pernah terjadi ada ‘ulamā’ yang secara langsung
memimpin sebagai sebuah kelas, baik di dunia Sunni maupun Shi’ah.

Karena orang sering tidak berpikir panjang, mereka mencampuradukkan perbedaan kategori-
kategori yang berbeda antara satu-sama-lain. di antara keduannya. Misalnya, media di Amerika
menyebut Mesir sebagai ‘negara sekuler’ karena kelompok yang dijuluki ‘fundamentalis’ Islam
menentang rejim rezim yang sekarang berkuasa. Tapi apakah memang benar kalau rejimbenarkah
rezim Presiden Mubarak adalah benar-benar sekuler? Tentu saja tidak. Pemerintah tidak bisa
begitu saja merubah Sharīi’ah di Mesir ataupun mengabaikan nilai-nilai agama. Pemerintah harus
melindungi agama, dan pastinya tidak ada pemisahan antara gereja dan negara di Mesir. Saya kira
salah satu jebakan besar yang mengungkung pemikiran politik Barat kontemporer terhadap Islam
tepatnya adalah memang anggapan yangpenerapan menerapkan kategori ‘sekuler’ kepada sebuah
domain yang tidak benar-benar tepatsebenarnya tidak bisa diberlakukan terhadapnya. Bahkan
tokoh pendobrak seperti Gamal Abd al-Nasser, bapak nasionalisme Arab modern Arab, yang tentu
saja bukan seorang Imam atau kalifah, tetap saja tapi tentunya kita tidak bisa menyebut dia kita

9-9
sebut sebagai sosok yang benar-benar sekuler. Dia selalu memakai istilah Islam dan sering
menyebut tentang persatuan umat Islam. Bahkan model nasionalisme Arab yang dia usung masih
memiliki corak religius.

Dunia Islam sedang berada dalam krisis politik besar karena lembaga aturan tradisionalnya telah
hancur, awalnya oleh kolonialisme, dan belakangan di banyak tempat oleh Attaturk, ketika dia
membubarkan menghancurkan kesultanan Usmani. Akibat berbagai peristiwa tadiini, banyak
monarki tradisional yang telah berkuasa selama berabad-abad diturunkan dan digantikan oleh
bentuk kelembagaan yang asing. Sekarang kKita tidak bisa begitu saja memunculkan lembaga baru
entah dari manadari balik topi. Ada Beberapa orang yang membahas tentang Republik Islam, yang
lain bentuk Republik sekuler, dan masih juga ada juga yang lain yang menyebut tentang monarki
Islam. Sekarang Saat ini berbagai gagasan dan institusi ini masih saling bertarung, dan ada
terdapat gejolak di ranah politik. Orang mungkin bertanya bentuk lembaga institusi politik seperti
apakah yang bernuansa Islam itu. QuranAlquran, sebagai Kitab Tuhan, tentu saja berisi
berbagaimengandung kebijaksanaan terdalam dengan ajaran tertinggi yang tidak secara langsung
menjelaskan tentang lembaga institusi politik, dengan cara yang sama ia menjelaskan tentang
Islam, berbeda dengan lembagainstitusi ekonomi tertentu tertentu. Di QuranAlquran dinyatakan
dengan tegas bahwa ketikabila ada yang meninggaldunia berapa banyak warisan yang menjadi
bagian anak lelaki, anak perempuan, dan istri, tapi tidak secara tegas menyebutkan bentuk
pemerintahan yang perlu dibangun. Tapi ada berbagai prinsip yang bisa diterapkan untuk berbagai
kondisi, dan kaum Muslim sekarang harus mencari tahu bagaimana menerapkannya. Singkatnya,
apapun yang bertahan di dunia Islam, tidak akan pernah ada pemisahan antara gereja dan negara
dalam artian yang berlaku di Amerika karena kategori tadi semacam itu tidak bisa diterapkan
sepenuhnyabenar-benar berlaku di masyarakat Islam.

Saya kira, semakin cepat para pemikir, apakah baik mereka yang menganggap diri sekuler ataupun
religius, mulai menghadapi realitas yang sebenarnya dari situasi ini dan mengkaji secara
mendalam dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, akan semakin baik bagi negara-negara
Islam. Hari ini, seluruh debat yang berlangsung berbagai media di Amerika dan Eropa, di buku2
buku-buku yang ditulis baik dari golongan kanan maupun kiri, secara umum masih keliru dan
didasarkan pada kategori yang kabur. Hal yang sama juga terjadi dengan berbagai tulisan yang
muncul dari dunia Islam sendiri. Misalnya di Iran, ada sejumlah orang-orangtertentu yang ingin
memisahkan pemerintah dari agama dalam artian mengusir melepaskanpara ‘ulamā’ untuk
sehingga tidak lagi secara langsung memerintah negara; tapi ini sama sekali tidak bukan berarti
sebuah proses sekularisme. Pakistan sebagai sebuah Republik Islam sering diperintah oleh militer
dan bukan oleh‘ulamā’, tapi ini tidak bisa dianggap sebagai pemisahan antara gereja dan negara.
Pernyataan ini tidak akan berarti apa-apa. Tidak ada negara Islam dari yang beraliran kiri sampai
kanan, kecuali mungkin di Turki, yang menganut pemisahan antara agama atau ‘gereja’ dan
negara; dan Turki sendiri sekarang hampir mengalami krisissetengah lumpuh karena sementara
mayoritas penduduknya adalah Muslim yang taat, mereka memakai sekularisme sebagai ideologi,
atau yang dalam bahasa Prancis disebut dengan läaicisme, yang dalam hal tertentu adalah bahkan
lebih totaliter dibanding istilah secularism dalam bahasa Inggris. Tapi apakah Turki bisa berhasil?
Tidak, juga karena sebagian besar penduduknya masih sangat religius, dan sebagai Muslim urusan
agama mereka tidak hanya berkaitan dengan urusan pribadi, tapi juga dengan aspek publik, karena
masyarakat secara keseluruhan tidak akan pernah bisa menerima läaicisme yang dipaksakan dari
atas. Kalau sekarang kita anda ke Turki, kita anda bisa temui melihat berapa banyak orang yang
pergi ke masjid untuk beribadah di siang hari. Apa kode etik yang berlaku disana? Yang berlaku
tetap nilai Islami. MisalnyaSebagai contoh, pemerintah Turki selama beberapa dekade terakhir
9-10
mencoba untuk melarang Hukum Islam, tapi tidak akan ada yang mampu menghancurkan Hukum
Islam yang berlaku di dalam masyarakat yang masih memeluk agama iniIslam. Persoalan
Pertanyaan tentang seperti apa masa depan Turki akan tetap terbuka, sejauh itu terkait dengan
berkaitan dengan peran agama dalam kehidupan publik. Tapi secara umum, kekuatan Islam masih
terlalu kuat di Turki untuk begitu saja diabaikan atau dipinggirkan, seperti yang jelas ditunjukkan
oleh berbagai peristiwa tadi.

Situasi serupa juga terjadi di India, dimana lima puluh tahun setelah Gandhi, sampai baru-baru
ini, saja pemerintah disana masih mengklaim dirinya sebagai pemerintahan Hindu, dan partai
sekularis seperti Partai Kongres pimpinan Nehru telah kehilangan banyak dukungankekuasaan,
meskipun mereka sekarang mulai meningkat kembali. Secara umum, kekuatan politik yang
dominan di India tidak bisa sekedar dipahami sekadar sekedar sebagai bentuk pemisahan antara
gereja dan agama. Saya menyebut India untuk menunjukkan bahwa fenomena mengaitkan agama
dengan ranah publik ini tidak terbatas hanya di dunia Islam. Saya kira bahwa di semua masyarakat
dan peradaban non-Barat, kita harus memahami mengajukan pertanyaan terkaitpersoalan
hubungan antara gereja dan agama ini dengan cara yang berbeda dibanding dengan pandangan
yang selama ini berlaku di Barat, dan khususnya di Amerika hari ini. Maksud saya bukan bahwa
tidak ada masalah yang perlu kita hadapi. Sebaliknya, masalah yang ada sangat banyak;
sekularisme yang sekarang muncul di berbagai masyarakat tadi dan hubungannya dengan agama
harus dikaji. Tapi cara ia seringkali didiskusikan pandang yang muncul berkaitan dengan
pemisahan gereja dan negara, saya kira, adalah cara pandang yang salah. Kategori ini di konteks
yang berbeda tidak bermakna apa-apa, tidak bahkan di Jepang sekalipun, yang konstitusinya
secara langsung didikte oleh Amerika setelah kekalahan Jepang, ketika kaisarnya direduksi hanya
sebagai simbol, paling tidak di atas kertas. Bahkan disana anda tidak akan mendapatkan tidak
berlakupandangan yang sama tentang pemisahan antara gereja dan negara seperti halnya yang
terjadi di Amerika Serikat. Kita juga bisa menyebut tentang China, yang pemerintahannya
menganut faham Marxist tapi yang sekarang malah mendorong etika Konfusianisme.

Tentunya bagi dunia Islam, apapun yang terjadi dan lembaga apapun yang berkuasa, saya kira
untuk beberapa waktu ke depan, kelembagaan politik masih akan memiliki corak dimensi religius
seiring dengan aspek politiknya, dan mereka tidak bisa mengklaim begitu saja terpisah dari agama,
seperti yang berkembang di masyarakat Amerika. (Tentu saja, tidak bahkan di Amerika hal ini
benar, terutama selama beberapa tahun belakangan). Tidak akan ada pemerintahan di dunia Islam
yang, misalnya, akan melarang untuk beribadah di sekolah karena dengan alasan itu berlawanan
dengan kebebasan yang dijamin oleh Konstitusi. Ini tidak akan terjadi di dunia Islam dalam waktu
dekat.

Resistensi Pemerintahan Islam terhadap Sekularisasi


R.J: Tidakkah Apakah menurut anda di negara2 negara-negara Islam akan terjadi perubahan,
dimana orang akan menuntut untuk lebih banyak demokrasi dan demokratisasi Islam? Apakah
Tidakkah menurut anda pandangan pemikiran yang inginmenganggap menerapkan aspek
Islam lebih sebatasdi ranah pribadi sementara membiarkan ranah publik menjadi lebih sekuler
ini tidak akan bisa berjalan berhasil di negara2 negara-negara Islam?

S.H.N.:Tidak, itu tidak akan berhasil, karena kalau anda membatasi agama hanya di ranah privat,
lantas atas dasar prinsip apa kita akan mengatur ranah publik? Alasan kenapa ‘privatisasi’ agama’

9-11
ini bisa berhasil sampai sekarang di Barat adalah karena masyarakat Barat sampai sekarang masih
mendasarkan diri pada etika Kristen. Ingat, Dostoievski bertanya dalam bukunya Crime and
Punishment, darimana datangnya penghormatan atas hidup? Dia menganggap bahwa kalau ada
orang yang ‘tak-berguna’ di masyarakat seperti pengemis, kenapa tidak kita bunuh saja? Itu akan
lebih baik bagi masyarakat. Tapi kita tidak menerima pandangan semacam itu tidak peduli betapa
sekulernya kita. Tapi dari mana kita mendapatkan pandangan yang menghargai asalnya
pandangan yang menghargai hidup ini? Di Barat itu berasal dari ajaran Kristen, dan hanya pada
jaman zaman sekarang inilah etika Kristen tengah menghadapi tantangan dan hingga batas
tertentu telah sebagian dihancurkan, yang akibatnya adalah krisis seperti yang kita lihat di
masyarakat Barat. Saya kira bahwa penghancuran atas etika Islam ini tidak akan terjadi di
masyarakat Islam dalam waktu dekat. Memang benar bahwa kita bisa menurunkan mengeluarkan
para ‘ulamā’ dari tampuk kekuasaan dan menganggap bahwa pemerintahan didasarkan pada suara
rakyat; tapi karena kekuatan Islam di antara masyarakatnya itu sendiri, pemerintah yang
menggantikan masih akan mencerminkan realitas Islam jika, dan khususnya jika,bila kita lebih
yang berlangsung adalah pemerintahan yang demokratis.

Yang terjadi di dunia Islam hari ini adalah sekedar sekadar kebalikan dari apa yang anda kira.
Memang adaAda banyak pemerintahan yang didukung oleh Barat yang terus menggaungkan
demokrasi walaupun bertentangan dengan keinginan mayoritas rakyatnya, tapi pemerintahan ini
tetap saja didukung oleh pemerintahan Barat karena mereka lebih mementingkanlebih
mendukung kepentingan asing ini dibanding kepentingan rakyatnya sendiri. Kalau Bila di dunia
Islam benar-benar muncul demokrasi yang sejati, hampir semua pemerintahan Islam hari ini,
khususnya yang pro-Barat, akan jatuh, karena hampir semua pemerintahan tadi ini merupakan
warisan jaman zaman kolonial, dengan dukungan Barat yang memimpin mayoritas umat Muslim
yang menggunakan memilik cara-pandang yang berbeda. Hanya sedikit orang yang membahas
tentang masalah ini, karena ini tidak seiring dengan kepentingan pihak Barat. Barat pada
umumnya tidak benar-benar tertarik dengan demokrasi yang sejati di dunia Islam karena
pemerintahan yang demokratis tadi tidak akan serta-merta pro-Barat seandainya kepentingan
Barat tadi bertentangan dengan kepentingan rakyat Muslimnya. Dan kalau sebuah negara Islam,
mungkin Iran atau Indonesia, mengembangkan masyarakat yang benar-benar Islami dengan
kelembagaan demokratis dalam artian didasarkan pada hukum Tuhan dan aspirasi rakyatnya,
maka pemerintahan semacam ini tidak akan serta-merta sekuler, tapi bisa sekaligus demokratis
dan religius dan demokratis. Demokrasi mengandung memiliki makna yang berbeda bagi berbagai
masyarakat yang berbeda; bahkan antara Prancis dan Inggris saja maknanya sudah berbeda. Kalau
Iran bisa membangun sebuah pemerintahan yang didasarkan pada suara rakyatnya yang,
mayoritas, sangat Islami, dan karena itu membangun sebuah ‘demokrasi yang Islami’ dalam
pengertian istilahnya yang otentiknya, maka itu akan menjadi model bagi seluruh dunia Islam. Di
Iran saatinibesar tengahberlangsungeksperimenberlangsungbesar, sepertihalnyajuga di negara
Islam lainnya, untukmewujudkanhalini,
dansayahanyabisaberharapdanberdoainiakanberhasilmenciptakandanmengembangkan
memeliharasebuahpemerintahan tatananyang bisaditerimabaikolehrakyatnyamaupunolehTuhan.

9-12

Anda mungkin juga menyukai