Anda di halaman 1dari 16

SATUAN ACARA PENYULUHAN

MENGENAL GANGGUAN JIWA DI MASYARAKAT

Pokok bahasan : Mengenal Gangguan Jiwa di Masyarakat


Sub pokok bahasan : Mencegah Gangguan Jiwa di Masyarakat
Sasaran : Masyarakat Turide
Hari / Tanggal : Kamis, 20 Februari 2020
Waktu : 15 menit
Tempat : Turide

A. TUJUAN
1. Tujuan Umum :
Setelah mengikuti penyuluhan kesehatan jiwa masyarakat mampu memahami apa
perannya dalam mencegah penderita dengan gangguan jiwa di rumah.
2. Tujuan Khusus:
Setelah mengikuti penyuluhan kesehatan selama 1 X 15 menit diharapkan
masyarakat mampu:
a. Menyebutkan pengertian sehat jiwa dan gangguan jiwa
b. Menyebutkan tanda dan gejala gangguan jiwa
c. Menyebutkan ciri ciri gangguan jiwa
d. Menyebutkan cara menangani gangguan jiwa di keluarga

B. TOPIK DAN SUB TOPIK


1. Topik : Mengenal gangguan jiwa di masyarakat
2. Sub Topik : Mencegah gangguan jiwa di masyarakat

C. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN

1. Persiapan
a) Media
- Lefleat
- LCD
- Laptop
- Sound / speaker active
- Microphone
2. Metode
a) Ceramah
b) Diskusi

D. Setting Tempat
1. Peserta duduk di dalam ruangan
2. Penyaji didepannya
NARASUMBER
LCD
PESERTA / UNDANGAN

D. PENUGASAN :
Penyaji : Multazam
Fasilitator : Nana , NIram, Nursaidah
Observer : Nurjaetun , Rani Riana , Rilla, Zuljihad
F. PELAKSANAAN KEGIATAN

NO KEGIATAN PENYULUH PESERTA WAKTU


1 Pembukaan Menyampaikan salam Menjawab salam 3 menit
dan salam Menjelaskan tujuan Mendengarkan
Apersepsi Memberi respon

2 Penyampaian Menyampaikan materi: Mendengarkan 15 menit


materi  Pengertian dan
kesehatan jiwa memperhatikan
 Menyebutkan
ciri ciri
gangguan jiwa
 Tanda dan gejala
gangguan jiwa
 Penyebab
gangguan jiwa
 Fungsi dan tugas
keluarga
 Cara mengatasi
pasien dengan
gangguan jiwa

3 Penutup dan Tanya jawab Menjawab 12 menit


salam Menyimpulkan hasil
materi Mendengarkan
Menyampaikan salam
Menjawab salam

G. EVALUASI
1. Kegiatan : Jadwal, alat bantu atau media, pengorganisasian, proses penyuluhan
2. Hasil penyuluhan : memberi pertanyaan pada pasien yang mengikuti penyuluhan
di turide tentang :
a. Apa pengertian sehat jiwa dan gangguan jiwa
b. Menyebutkan penyebab gangguan jiwa
c. Apa tanda dan gejala gangguan jiwa
d. Tugas dan peran keluarga dalam menangani gangguan jiwa
H. Susunan Acara

NO WAKTU ACARA
1. 10.00 - 10.05 WIB 1. Pembukaan
2. 10.05 – 10.15 WIB 3 Acara inti
3. 10.15 – 10.20 WIB 4. Diskusi tanya jawab
4. 10.20 – 10.25 WIB 5. Do’a
5. 10.25 – 10.30 WIB 6. Penutup
MENGENAL GANGGUAN JIWA DI MASYARAKAT
A. Pengertian kesehatan jiwa :
Suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional
yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan orang lain
B. Pengertian gangguan jiwa
Perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan yang masuk akal, berlebihan,
berlangsung lama dan menyebabkan hendaya terhadap individu tsb atau orang lain
C. Pengertian masalah psikososial
Masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial
D. Ciri-ciri orang sehat jiwa
1. Bebas dan otonomi
2. Tahan terhadap stress
3. Mampu beradaptasi dengan orang lain secara harmonis
4. Hidup produktif
E. Penyebab gangguan jiwa
Gangguan jiwa disebabkan oleh berbagai faktor berikut :
1. Suasana rumah yang tidak harmonis, seperti : tidak PD, sering bertengkar,
salah pengertian, kurang bahagia
2. Pengalaman masa kanak-kanak yang bersifat traumatik
3. Faktor keturunan
4. Perubahan/kerusakan dalam otak, seperti : infeksi, luka, perdarahan, tumor,
gg peredaran darah, keracunan, pemakaian alkohol jangka panjang,
kekurangan vitamin, epilapsi dan keracunan
Faktor lain :
Individu yang tidak mendapat kesempatan dan fasilitas anggota masyarakat yang
dihargai, kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, ketidakamanan, persaingan yang
berat dan diskriminasi sosial
F. Ciri-ciri gangguan jiwa
1. Perubahan yang berulang dalam pikiran,
2. Mengalami penurunan daya ingat
3. Perubahan perilaku yang aneh, dll
4. Memiliki labilitas emosional
5. Menarik diri dari interaksi sosial
6. Mengabaikan penampilan dan kebersihan diri
7. Memiliki keengganan melakukan segala hal.
8. Mengalami kesulitan mengorientasikan waktu, orang dan tempat
G. Fungsi dan tugas keluarga
1. Fungsi Keluarga
Gambaran umum tentang fungsi keluarga dalam kesehatan jiwa adl :
1. Pendewasaan kepribadian dari para anggota keluarga
2. Pelindung dan pemberi keamanan bagi anggota keluarga
3. Fungsi sosialisasi, yaitu kemampuan untuk mengadakan hubungan antar
anggota keluarga dengan keluarga lain atau masyarakat
2. Tugas keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan :
1. Mengenal adanya penyimpangan awal sedini mungkin
2. Mengambil keputusan dalam mencari pertolongan atau bantuan kesehatan
untuk anggota keluarga
3. Memberi perawatan bagi anggota keluarga yang sakit, cacat, atau
memerlukan bantuan dan menanggulangi keadaan darurat
4. Menciptakan lingkungan keluarga yang sehat
5. Memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat
H. Fungsi keluarga dalam upaya mencegah gangguan jiwa
1. Menciptakan lingkungan yang sehat jiwa bagi anggota keluarga
2. Saling mencintai, menghargai dan mempercayai antar anggota keluarga
3. Saling membantu dan memberi antar anggota keluarga
4. Saling terbuka dan tidak ada dikriminasi
5. Memberi pujian dan punishment sesuai dengan perilaku
6. Menghadapi ketegangan dengan tenang dan menyelesaikan masalah secara
tuntas
7. Menunjukan empati antar anggota keluarga
8. Membina hunbungan dengan masyarakat
9. Menyediakan waktu untuk kebersamaan, seperti : rekreasi bersama antar
anggota
I. Upaya perawatan klien dengan gangguan jiwa dalam keluarga
1. Mengenal adanya gangguan kesehatan sedini mungkin
2. Mengambil keputusan dalam mencari pertolongan atau bantuan kesehatan
3. Memberikan perawatan kpd anggota keluarga yang sakit, cacat maupun yang
tidak sakit tapi memerlukan bantuan
4. Menaggulangi keadaan darurat kesehatan
5. Menciptakan lingkungan keluarga yang sehat
6. Memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat
K. Upaya Perawatan Pasien gangguan jiwa di masyarakat
1. Pasien jangan di pasung, karena memasung penderita sama artinya dengan
merampas hak hidupnya
2. Jika terlihat gangguan atau terdapat gangguan segera bawa ke puskesmas
terdekat
3. Jangan dijauhi atau dikucilkan
4. Bekali dengan berbagai keterampilan untuk meningkatkan produktifitas
5. Membawa penderita untuk kontrol rutin ke pelayanan kesehatan
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Kesehatan Jiwa


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai
“keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit
atau kelemahan.” Definisi ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan sejahtera
yang positif, bukan sekedar keadaan tanpa penyakit. Orang yang memiliki
kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab
kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas dengan
hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri. Tidak ada satupun definisi universal
kesehatan jiwa, tetapi kita dapat menyimpulkan kesehatan jiwa seseorang dari
perilakunya. Karena perilaku seseorang dapat dilihat atau ditafsirkan berbeda oleh
orang lain, yang bergantung kepada nilai dan keyakinan, maka penentuan definisi
kesehatan jiwa menjadi sulit.
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial
yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping
yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional. Kesehatan jiwa
memiliki banyak komponen dan dipengaruhi oleh berbagai factor (Johnson, 1997):
a. Otonomi dan kemandirian: Individu dapat melihat ke dalam dirinya untuk
menemukan nilai dan tujuan hidup. Opini dan harapan orang lain dipertimbangkan,
tetapi tidak mengatur keputusan dan perilaku individu tersebut. Individu yang
otonom dan mandiri dapat bekerja secara interdependen atau kooperatif dengan
orang lain tanpa kehilangan otonominya.
b. Memaksimalkan potensi diri: Individu memiliki orientasi pada pertumbuhan dan
aktualisasi diri. Ia tidak puas dengan status quo dan secara kontinu berusaha tumbuh
sebagai individu.
c. Menoleransi ketidakpastian hidup: Individu dapat menghadapi tantangan hidup
sehari-hari dengan harapan dan pandangan positif walaupun tidak mengetahui apa
yang terjadi di masa depan.
d. Harga diri: Individu memiliki kesadaran yang realistis akan kemampuan dan
keterbatasannya.
e. Menguasai lingkungan: Individu dapat mengahadapi dan mempengaruhi lingkungan
dengan cara yang kreatif, kompeten, dan sesuai kemampuan.
f. Orientasi realitas: Individu dapat membedakan dunia nyata dari dunia impian, fakta
dari khayalan, dan bertindak secara tepat.
g. Manajemen stress: Individu dapat menoleransi stress kehidupan, merasa cemas atau
berduka sesuai keadaan, dan mengalami kegagalan tanpa merasa hancur. Ia
menggunakan dukungan dari keluarga dan teman untuk mengatasi krisis karena
mengetahui bahwa stress tidak akan berlangsung selamanya.
Faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang dapat dikategorikan
sebagai faktor individual, interpersonal, dan sosial/budaya. Faktor individual
meliputi struktur biologis, memiliki keharmonisan hidup, vitalitas, menemukan arti
hidup, kegembiraan atau daya tahan emosional, spritualitas, dan memiliki identitas
yang positif (Seaward, 1997). Faktor interpersonal meliputi komunikasi yang efektif,
membantu orang lain, keintiman, dan mempertahankan keseimbangan antara
perbedaan dan kesamaan. Faktor sosial budaya meliputi keinginan untuk
bermasyarakat, memiliki penghasilan yang cukup, tidak menoleransi kekerasan, dan
mendukung keragaman individu.

2.2 Gangguan Jiwa


Di masa lalu gangguan jiwa dipandang sebagai kerasukan setan, hukuman
karena pelanggaran sosial atau agama, kurang minat atau semangat, dan pelanggaran
norma sosial. Penderita gangguan jiwa dianiaya, dihukum, dijauhi, diejek, dan
dikucilkan dari masyarakat “normal”. Sampai abad ke-19, penderita gangguan jiwa
dinyatakan tidak dapat disembuhkan dan dibelenggu dalam penjara tanpa diberi
makanan, tempat berteduh, atau pakaian yang cukup.
Saat ini gangguan jiwa diidentifikasi dan ditangani sebagai masalah medis.
American Psychiatric Association (1994) mendefinisikan gangguan jiwa sebagai
“suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang
terjadi pada seseorang yang dikaitkan dengan adanya distress aatau disabilitas.
Kriteria umum untuk mendiagnosis gangguan jiwa meliputi ketidakpuasan
dengan karakteristik, kemampuan, dan prestasi diri; hubungan yang tidak efektif atau
tidak memuaskan; tidak puas hidup di dunia; atau koping yang tidak efektif terhadap
peristiwa kehidupan dan tidak terjadi pertumbuhan personal. Selain itu, perilaku
individu yang tidak diharapkan atau dikenakan sanksi secara budaya bukan perilaku
menyimpang yang menjadi indikasi suatu gangguan jiwa (DSM-IV, 1994).
Faktor yang menyebabkan gangguan jiwa juga dapat dipandang dalam tiga
kategori, yaitu :
1. Faktor individual: meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawatiran dan ketakutan,
ketidakharmonisan dalam hidup, dan kehilangan arti hidup (Seaward, 1997).
2. Faktor interpersonal: meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang
berlebihan atau menarik diri dari hubungan, dan kehilangan kontrol emosional
3. Faktor budaya dan sosial: meliputi tidak ada penghasilan, kekerasan, tidak memiliki
tempat tinggal, kemiskinan, dan diskriminasi seperti perbedaan ras, golongan, usia
dan jenis kelamin.

2.3 Masalah Kesehatan Jiwa Masyarakat


Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan
(urban mental health) meliputi: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus
perceraian, anak remaja putus sekolah, kasus kriminalitas anak remaja, masalah anak
jalanan, promiskuitas, penyalahgunaan Napza dan dampak nya (hepatitis
C,HIV/AIDS dll), gelandangan psikotik serta kasus bunuh diri.
2.3.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan dalam rumah tangga adalah tiap perbuatan terhadap seseorang
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga (definisi dalam UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT).
Lingkup rumah tangga adalah suami, istri dan anak, termasuk juga orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, pengasuhan,
perwalian dengan suami maupun istri yang menetap bersama dalam rumah tangga.
Dampak kekerasan dalam rumah tangga meliputi gangguan kesehatan fisik
non-reproduksi (luka fisik, kecacatan), gangguan kesehatan reproduksi (penularan
penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak dikehendaki), gangguan kesehatan
jiwa (trauma mental), kematian atau bunuh diri. Kekerasan rumah tangga juga dapat
menjadi salah satu atau kontributor meningkatnya kasus perceraian, kasus
penelantaran anak, kasus kriminalitas anak remaja serta juga penyalahgunaan Napza.
2.3.2 Anak Putus Sekolah
Berdasarkan data direktorat pendidikan kesetaraan depdiknas tahun 2005 lalu
di Indonesia tercatat jumlah pelajar SLTP yang putus sekolah adalah sebanyak
1.000.746 siswa/siswi, sedangkan pelajar SLTA yang putus sekolah adalah sebanyak
151.976. jumlah lulusan SLTA yang tidak melanjutkan pendidikan keperguruan
tinggi pada tahun tersebut tercatat sebanyak 691.361 siswa/ siswi. Laporan Organisai
Buruh Internasional (ILO) tahun 2005 menyatakan bahwa sebanyak 4,18 juta anak
usia sekolah di Indonesia tidak bersekolah dan sebagainya menjadi “pekerja anak”
perwakilan ILO di Indonesia menyatakan bahwa banyaknya anak putus sekolah dan
menjadi pekerja anak disebabkan karena biaya pendidikan di Indonesia masih
dianggap terlalu mahal dan tak terjangkau oleh sebagian kalangan masyarakat.
Angka partisipasi kasar (APK) program wajib belajar 9 tahun yang dirilis Depdiknas
menunjukan baru mencapai 88,68% dari target 95% partisipasi anak usia sekolah
yang diharapkan.
2.3.3 Masalah Anak Jalanan
Masalah anak jalan di Indonesia seperti kekerasan pada anak, masalah anak
jalanan, penelantaran anak dan sebagainya masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari
Departemen Sosial tahun 2005, jumlah anak jalanan di Indonesia adalah sekitar
30.000 anak dan sebagian besarnya berada di jalan-jalan di DKI Jakarta. Selain itu
baru terdapat 12 daerah di Indonesia yang memiliki perda tentang anak jalanan.
Padahal para anak-anak jalanan tersebut jelas rentan terhadap berbagai tindak
kekerasan, penyimpangan perlakuan, pelecehan seksual bahkan dilibatkan dalam
berbagai tindak kriminal oleh orang dewasa yang menguasainya.
2.3.4 Kasus Kriminalitas Anak Remaja
Data Direktorat Jenderal Kemasyarakatan Dephukham dan komnas
pelindungan anak (PA) menujukan bahwa pada tahun 2005 di Indonesia terdapat
2.179 tahanan anak dan 802 narapidana anak, 7 diantaranya anak perempuan. Tahun
2006 angkanya menjadi 4.130 tahanan anak serta 1.325 narapidana anak, dimana 34
diantaranya adalah anak perempuan. Menurut survey Komnas PA penyebab anak
masuk LP Anak adalah 40% karena terlibat kasus Narkoba (Napza), 20% karena
perjudian sedangkan sisanya karena kasus lain-lain. Kira-kira 20% tindak kekerasan
seksual pada tahun 2006 pelakunya adalah anak remaja, 72% anak remaja pelaku
kekerasan seksual mengaku terinspirasi Tayangan TV, setelah membaca media cetak
porno dan nonton film porno. Laporan Komnas PA menyatakan bahwa 50-70% anak
terlibat dalam tindak pidana kriminalitas lalu di vonis penjara dan masuk LP Anak
justru perilakunya menjadi lebih jelek dan menjadi residivis dikemudian hari.
2.3.5 Masalah Narkoba, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) serta
dampaknya (Hepatitis C, HIV/AIDS, dll)
Narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) tergolong
dalam zat psikoaktif yang bekerja mempengaruhi kerja sistem penghantar sinyal
saraf (neuro-transmiter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) sehingga meyebabkan
terganggunya fungsi kognitif (pikiran), persepsi, daya nilai (judgment) dan perilaku
serta dapat menyebabakan efek ketergantungan, baik fisik maupun psikis.
Penyalahgunaan Napza di Indonesia sekarang sudah merupakan ancaman yang serius
bagi kehidupan bangsa dan negara. Pengungkapan kasusnya di Indonesia meningkat
rata-rata 28,9 % per tahun. Tahun 2005 pabrik extasi terbesar ke 3 di dunia
terbongkar di Tangerang, Banten. Di Indonesia diprediksi terdapat sekitar 1.365.000
penyalahgunaan Napza aktif dan data perkiraan estimasi terakhir menyebutkan
bahwa pengguna Napza di Indonesia mencapai 5.000.000 jiwa. Mengikuti laju
perkembangan kasus tersebut dijumpai pula peningkatan epidemi penyakit hati lever
hepatitis tipe-c dan kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus) AIDS (Acquired
Immune-Deficiency Syndrome) yang modus penularan melalui penggunaan jarum
yang tidak steril secara bergantian pada “pengguna Napza suntik (Penasus/injecting
drug user/ IDU).
Pola epidemik HIV/AIDS di Indonesia tak jauh berbeda dengan negara-
negara lain, pada fase awal penyebarannya melalui kelompok homoseksual,
kemudian tersebar melalui perilaku seksual berisiko tinggi seperti pada pekerja seks
komersial, namun beberapa tahun belakangan ini dijumpai kecenderungan
peningkatan secara cepat penyebaran penyakit ini diantara para pengguna Napza
suntik. Berbagai sember memperkirakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Indonesia telah mencapai kurang lebih 120.000 orang dan sekitar 80% dari jumlah
tersebut terinfeksi karena pengunaan jarum yang tidak steril secara bergantian pada
para pengguna Napza suntik, jumlah penderita HIV/AIDS dari tahun 2000 sampai
2005 meningkat dengan cepat menjadi 4 kali lipat atau 40%. Data pada akhir tahun
2005 menyatakan bahwa prevalensi penularan HIV AIDS pada “penasun” adalah 80-
90% artinya , mencapai 90% dari total penasun dipastikan terinfeksi HIV/AIDS.
2.3.6 Gangguan Psikotik Dan Gangguan Jiwa Skizofrenia
Ganguan jiwa berat ini merupakan bentuk gangguan dalam fungsi alam
pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran yang ditandai antara lain
oleh gejala gangguan pemahaman (delusi waham) gangguan persepsi berupa
halusinasi atau ilusi serta dijumpai daya nilai realitas yan terganggu yang ditunjukan
dengan perilaku-perilaku aneh (bizzare). Gangguan ini dijumpai rata-rata 1-2% dari
jumlah seluruh penduduk di suatu wilayah pada setiap waktu dan terbanyak mulai
timbul (onset) nya pada usia 15-35 tahun. Bila angkanya 1 dari 1.000 penduduk saja
yang menderita gangguan tersebut, di Indonesia bisa mencapai 200-250 ribu orang
penderita dari jumlah tersebut bila 10% nya memerlukan rawat inap di rumah sakit
jiwa berarti dibutuhkan setidaknya 20-25 ribu tempat tidur (hospital bed) Rumah
sakit jiwa yang ada saat ini hanya cukup merawat penderita gangguan jiwa tidak
lebih dari 8.000 orang. Jadi perlu dilakukan upaya diantaranya porgram intervensi
dan terapi yang implentasinya bukan di rumah sakit tetapi dilingkungan masyarakat
(community based psyciatric services) penambahan jumlah rumah sakit jwa bukan
lagi merupakan prioritas utama karena paradigma saat ini adalah pengembangan
program kesehatan jiwa masyarakat (deinstitutionalization). Terlebih saat ini telah
banyak ditemukan obat-obatan psikofarmaka yang efektif yang mampu
mengendalikan gejala ganggun penderitanya. Artinya dengan pemberian obat yang
tepat dan memadai penderita gangguan jiwa berat cukup berobat jalan.
Sebenarnya kondisi di banyak negara berkembang termasuk Indonesia lebih
menguntungkan dibandingkan negara maju, karena dukungan keluarga (primary
support groups) yang diperlukan dalam penggobatan gangguan jiwa berat ini lebih
baik dibandingkan di negara maju. Stigma terhadap gangguan jiwa berat ini tidak
hanya menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya tetapi bagi juga
anggota keluarga, meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan
diisolasi. Penderita gangguan jiwa mempunyai risiko tinggi terhadap pelanggaran
hak asasi manusia.
2.3.7 Kasus Bunuh Diri
Data WHO menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 800.000 orang di seluruh
dunia melakukan tindakan bunuh diri setiap tahunnya. Laporan di India dan Sri
Langka menunjukkan angka sebesar 11-37 per 100 ribu orang, mungkin di Indonesia
angkanya tidak jauh dari itu. Menurut Dr. Benedetto Saraceno dari departemen
kesehatan jiwa WHO, lebih dari 90% kasus bunuh diri berhubungan dengan masalah
gangguan jiwa seperti depresi, psikotik dan akibat ketergantungan zat (Napza).
Yang mengkhawatirkan adalah dijumpainya pergeseran usia orang yang
melakukan tindak bunuh diri. Kalau dahulu sangat jarang anak yang usianya kurang
dari 12 tahun melakukan tindak bunuh diri, tetapi sekarang bunuh diri pada anak usia
kurang dari 12 tahun semakin sering ditemukan. Ini menunjukkan kegagalan orang
tua di rumah, guru di sekolah dan tokoh panutan di asyarakat membekali
keterampilan hidup (life skill) untuk mengatasi tantangan maupun kesulitan
hidupnya. Kasus bunuh diri sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
serius terutama bila dikaitkan dengan dampak kehidupan moderen. Oleh karena itu
WHO memandang bunuh diri sebagai peyebab utama kematian dini yang dapat
dicegah.
Kondisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah altruistic suicide atau
bunuh diri karena loyalitas berlebihan yang antara lain bentuk “bom bunuh diri”.
Banyak ahli mengaitkan hal tersebut sebagi manifestasi dari akumulasi kekecewaan,
perlakuan tidak adil atau tersisihkan. Mengatasi altruistic suicide tidak mudah dan
memerlukan pendekatan multi disiplin antara berbagai pihak terkait seperti aspek
kesehatan jiwa, pendekatan agama, penegakan hukum dan sosial.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial
yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping
yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional.
Faktor yang menyebabkan gangguan jiwa juga dapat dipandang dalam tiga
kategori, yaitu :
1. Faktor individual: meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawatiran dan ketakutan,
ketidakharmonisan dalam hidup, dan kehilangan arti hidup (Seaward, 1997).
2. Faktor interpersonal: meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang
berlebihan atau menarik diri dari hubungan, dan kehilangan kontrol emosional.
3. Faktor budaya dan sosial: meliputi tidak ada penghasilan, kekerasan, tidak memiliki
tempat tinggal, kemiskinan, dan diskriminasi seperti perbedaan ras, golongan, usia
dan jenis kelamin.
Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan
(urban mental health) meliputi: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus
perceraian, anak remaja putus sekolah, kasus kriminalitas anak remaja, masalah anak
jalanan, promiskuitas, penyalahgunaan Napza dan dampak nya (hepatitis
C,HIV/AIDS dll), gelandangan psikotik serta kasus bunuh diri.
Ada 6 macam model keperawatan kesehatan jiwa, yaitu:
1. Psikoanalisa
2. Interpersonal
3. Sosial
4. Existensial
5. Supportive therapy
6. Medical
3.2 Saran
Berdasarkan hasil makalah yang telah diolah, maka penulis mempunyai
beberapa saran yang diharapkan dapat dipertimbangkan dan berguna bagi kita semua,
yaitu:
1. Pengadaan klinik-klinik psikiatrik akan membantu mengatasi banyaknya masalah-
masalah kesehatan jiwa masyarakat.
2. Peran serta masyarakat akan sangat membantu dalam mengatasi masalah-masalah
kesehatan jiwa masyarakat.
3. Diharapkan kesehatan jiwa healthy people 2010 dapat mengurangi masalah-masalah
kesehatan jiwa yang dihadapi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai