Anda di halaman 1dari 3

Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua meter

lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah kering walau
kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah keteduhan, kelebatan,
dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika pohon-pohon limau itu berbunga,
berkerumunlah burung-burung dan serangga mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar
dengan suburnya sejenis tumbuhan, gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan
dapat dibuat menjadi kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir
mengolah bisa menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan tidak
mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar data.
Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa
saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung
datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan melekatkannya
di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu
dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan melekat di
pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu
menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap
dan memasukkannya ke dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya
pulang. Konon itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan
Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan tidak ada
seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung tidak
mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring di rindangnya
pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian
yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia
ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang
ia tinggalkan agak terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya
membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu tergeletak di
sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk
sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak
lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk
mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.
Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas.
Ketujuh putri itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang bertebaran di
tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga
maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke
mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi telaga.
Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga tidak tahu
Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang putri. Kemudian,
pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari buluh bekas memasak
lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di antara mereka
tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat mereka panik. Putri yang
hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak
dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang
Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama
hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang
Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu
pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara ketampanan
dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih
mereka adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi
kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang
disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di
samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas
lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek dengan ribut.
Padi pun berhamburan ke lantai.
Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan
ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget
hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama
kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu,
marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya yang
belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya sambil menangis.
Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat
menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat perpisahan tidak
mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia
merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul
itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling Kanda. Adinda
akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya.
Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam
karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada
Kumalasari, putrinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam
yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di
desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer
dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang
memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan
Datu Suling.

Anda mungkin juga menyukai