Anda di halaman 1dari 5

Ombak saling berkejaran seolah siapa yang tiba lebih dahulu akan mendapat hadiah.

Langit
yang semula biru cerah berubah warna menjadi kuning keemasan karena tata surya terbesar itu
mulai terbenam. Tak sedikit orang yang ada di sini mengabadikan momen tersebut. Mereka
menyebutnya dengan senja.
Semilir angin berhembus kencang sampai membuat jilbab yang aku kenakan bergerak ke
sana kemari. Angin itu membawa butiran pasir yang ada di sekitarnya terbang hingga masuk
ke mata tanpa izin terlebih dahulu. Suasana yang sejuk mampu memberikan rasa nyaman yang
mampu membuat siapapun rela berlama-lama di tempat ini.
Aku duduk di sebuah pondok kayu yang berhadapan langsung dengan pantai. Kursi dan
meja yang terbuat dari kayu serta atapnya yang terbuat dari daun-daun kelapa yang sudah
kering. Orang-orang yang lewat menatapku dengan raut wajah kasihan. Wajar saja, aku seperti
anak ayam yang kehilangan induknya.
Orang yang aku tunggu selama satu jam lebih itu berjalan ke arahku dengan tampang tak
berdosa. Aku rasa dia pergi ke kamar kecil yang ada di planet lain. Dia tampak sangat gembira.
Wajahnya berseri-seri seolah baru saja mendapat uang milyaran rupiah.
Dia duduk di depanku dengan senyum yang tak juga hilang dari wajahnya. Aku meletakkan
tanganku di dahinya. Suhu tubuhnya normal. Entah setan pantai jenis apa yang baru saja
merasukinya. Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan kuat. Dia menepis tanganku
dengan kasar dan menatapku garang.
“Aku bertemu seorang pria yang membuatku terpesona berulang-ulang. Apa kau mau
mendengarnya?”
Aku mengangguk malas.
“Tapi nanti saja ya. Aku mau beli bakso dulu. Aku sangat lapar.” Dia menatapku dengan
cengengesan.

***

Seluruh tubuhku mendadak kaku karena melihat sesuatu yang lebih indah dari senja. Sosok
itu. Sosok yang tak lagi pernah ku lihat. Bahkan mendengar kabarnya pun tidak pernah. Dia
lenyap seolah di telan bumi. Sosok itu semakin mendekat ke arahku. Mendadak tubuhku panas
dingin. Cairan yang dihasilkan oleh kulitku pun mulai keluar melalui pori-pori. Aku tidak
berkedip sama sekali karena takut itu hanya imajinasiku.
“Aku harap, aku tidak salah orang.” Kedua sudut bibirnya terangkat. Senyuman yang sudah
lama tidak ku lihat. Senyuman yang tidak berubah setelah tiga tahun. Aku sangat ingin
membalas senyum itu. Tapi ada sesuatu di dalam diriku yang menghambat aku melakukannya.
“Aku harap, aku juga tidak salah orang.” Aku berdiri dan sedikit mendongakkan kepalaku
agar bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena dia lebih tinggi dariku.
Dan untuk pertama kalinya aku menyukai senja. Bukan karena keindahannya, melainkan
karena Tuhan mempertemukanku dengannya di saat senja.
Dia lagi-lagi tersenyum. Sekarang dia sudah berdiri di depanku, sangat dekat sampai aku
harus mundur tiga langkah agar tidak terlalu dekat dengan dirinya. Alasannya tentu saja karena
sekarang aku gugup setengah mati. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan kehadiran
dia yang benar-benar di luar dugaanku.
"Kamu sendirian?" Entah mengapa hanya itu kata-kata yang tersirat di dalam kepalaku saat
ini.
"Apa kamu sangat ingin tahu?" Dia melipat kedua tangannya dan menaik-turunkan kedua
alisnya, menggodaku.
"Tidak. Lagipula aku tidak peduli kamu bersama siapa."
"Kamu masih sama seperti dulu. Selalu menyembunyikan perasaan kamu yang sebenarnya."
Dia menatapku dengan seksama.
"Jangan terlalu percaya diri." Aku mendengus kasar.
“Seandainya kamu bisa jujur sama perasaan kamu, mungkin semua ini tidak akan terjadi.”
Dia duduk di tempat Dita tadi tanpa menghiraukan kebingunganku atas apa yang baru saja
dikatakannya.
"Maaf."
Aku menolehkan kepalaku saat mendengar dia mengucapkan kata-kata yang sudah sangat
sering keluar dari mulutnya.
"Kali ini untuk apa?"
"Untuk tiga tahun ini."
"Aku melewati lebih dari seribu hari tanpa kabar, dan kamu hanya bilang maaf? Katakan
jika kamu bercanda!" Aku tertawa sumbang.
Setiap menit aku merindukannya. Setiap jam aku menantikan kabarnya. Setiap hari aku
berpikir untuk tetap menunggunya atau tidak. Setiap hari pula aku harus mendengar permintaan
temanku untuk berhenti menunggunya. Semua orang tidak percaya jika Lanov akan kembali
padaku. Aku selalu menentang perkataan mereka. Aku selalu yakin jika Lanov akan kembali.
Keyakinanku tidak salah. Sekarang aku bisa melihat Lanov setelah berhari-hari aku hanya
menatap foto-fotonya.
“Aku tidak tahu mengapa melakukan sesuatu yang aku tahu jika itu akan menyakitimu.”
"Lanov, aku tidak mengenalmu seperti yang aku kira."
“Kamu selalu mengatakan baik-baik saja. Aku bukan peramal yang bisa tahu perasaan kamu
tanpa kamu mengatakannya. Meskipun aku tahu, aku ingin mendengarnya langsung dari kamu.
Saat aku pamit pergi, kamu tidak menunjukkan sikap jika kamu takut kehilanganku. Kamu
bersikap biasa saja seolah kepergiaanku bukan masalah besar. Aku merasa jika kamu tidak
menginginkanku seperti aku menginginkanmu. Jadi, aku menganggap bahwa kamu akan tetap
baik-baik saja tanpa kabar dariku.”
“Sesuatu yang menurut kamu benar, belum tentu benar menurut orang lain!”
Semua ucapan Lanov begitu menusuk. Aku tidak mengerti mengapa dia bisa menyimpulkan
seperti itu. Aku hanya tidak ingin dia menganggapku wanita lemah. Aku ingin terlihat baik-
baik saja di depannya. Aku tidak ingin membuatnya khawatir.
Kepergiannya sungguh menyesakkan dada. Kerinduan selama lebih dari seribu hari yang
sangat memilukan. Penantian tanpa kepastian yang menjenuhkan. Kepingan-kepingan harapan
yang berharap akan terwujud. Semua janji yang menuntut bukti nyata. Hari ini, semuanya
tergantikan dengan perasaan kecewa. Jika bisa memilih, aku lebih memilih menunggunya
dengan kerinduan yang tidak bisa diukur dengan alat apapun daripada harus mendengar
pengakuannya.
Aku berdiri dan berniat untuk pergi. Seolah semesta mendukung niatku, Dita berjalan ke
arahku dengan membawa nampan yang di atasnya ada semangkuk bakso dan es teh. Dita
menatap Lanov dengan raut wajah yang sulit ku artikan. Setelah Dita meletakkan nampannya
di atas meja. Aku memegang tangannya dan membawa dia berjalan menjauh dari Lanov.
Dita berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku.
“Vana, dengarkan aku dulu.”
“Aku akan mengganti bakso dan es kelapa mudamu.” Ucapku sambil terus membawanya
pergi.
Dita memberontak lebih keras. ”Ini lebih penting dari semua itu!”
“Baiklah aku mengerti. Aku akan menceritakan tentangnya nanti.”
“Vana, dia itu...” ucapan Vana terpotong oleh teriakan Lanov.
"Apa kamu akan pergi meninggalkan sesuatu yang bahkan belum pernah kita mulai?"
Aku berbalik untuk menghadap Lanov.
"Aku sudah lama tidak berpikir untuk memulai apapun denganmu!"
"Perasaan yang aku punya itu serius!"
Aku berjalan meninggalkannya meskipun perasaanku mulai goyah mendengar kalimat yang
pernah dia ucapkan di saat terakhir kali kami bertemu. Kalimat yang menjadi alasanku tetap
menunggunya.
Baru berjalan beberapa langkah, Lanov berdiri di depanku menghambat perjalanan. Lanov
mengambil sesuatu dari tas ransel hitam yang disandangnya. Dia memegang tanganku dan
membuka telapaknya. Lalu meletakkan sebuah botol kaca polos tanpa tutup yang di dalamnya
ada gulungan kertas warna putih yang diikat dengan pita warna merah muda. Setelah itu, Lanov
meninggalkanku begitu saja tanpa satu kata pun. Aku menatap botol ini dan Lanov yang mulai
berjalan menjauh secara bergantian.
Tiga tahun yang lalu. Dia pergi tiga hari sebelum hari kelahiranku. Dia berjanji akan
memberiku ini sebagai hadiah. Setelah hari itu tiba, dia tidak memberiku ucapan selamat.
Bahkan di hari-hari kelahiranku berikutnya, dia juga tidak menghubungiku.
“Berhentilah memandangi botol ini! Kejar dia sebelum dia benar-benar menghilang dari
hidupmu!” Dita meninggikan nada suaranya.
Aku memandang Dita bingung. Sebelum aku sempat bertanya, dia sudah berbicara terlebih
dahulu.
“Dia adalah pria yang ku maksud. Tidak ada waktu untuk menceritakan semuanya
sekarang.”
Dita menarik tanganku dan membawaku berlari. Aku mengikuti langkahnya dengan susah
payah. Kami berlari ke sana kemari namun tidak menemukan keberadaan Lanov. Akhirnya
Dita berhenti dan menatap ke segala penjuru mata angin. Aku mengikuti apa yang dia lakukan.
Belum sempat menormalkan napas, Dita kembali membawaku berlari.
Sekarang kami sudah sampai di parkiran. Aku dan Dita kembali memusatkan pandangan
untuk mencari seorang pria yang menggunakan kaos oblong abu-abu dan celana katun pendek
warna hitam. Namun sepertinya hari ini semua pria sepakat untuk menggunakan pakaian yang
sama dengan Lanov.
“Dia menepati janjinya.” Ucap Dita lesu. Dia menarik napas dalam, kemudian menatapku
dengan tatapan yang aku benci. Tatapan sendu.
Dita membawaku ke sebuah kursi panjang di bawah pohon pinus. Setelah mendudukkanku
di sana. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan yang masih sama. Kemudian dia menatap lurus
ke depan. Dia mengusap wajahnya dan menghela napas pelan. Aku bisa merasakan kegelisahan
di dalam dirinya. Sungguh, aku tidak sabar mendengar sesuatu yang dia tahan sejak tadi.
“Saat aku ingin ke kamar kecil. Aku berlari dan tidak sengaja menabraknya. Botol ini
terjatuh dari tangannya. Dia membersihkan pasir yang mengotorinya. Aku pikir dia akan
memarahiku, tapi ternyata tidak. Dia justru menanyakan keadaanku. Sambil tersenyum dia
mengatakan bahwa botol ini sangat berharga untuknya. Itu pertama kalinya aku terpesona
dengannya.”
Saat aku ingin membuka botol ini, Dita menahan tanganku.
“Dengarkan ceritaku sampai habis, baru kau boleh melihat isi botol ini.”
Dita melototiku, saat aku ingin menyuarakan ketidaksetujuanku. Aku mendesah pasrah.
“Entah sejak kapan dan siapa yang memulainya. Kami berdua sudah duduk di pinggir pantai.
Dia mulai bercerita panjang lebar. Aku sempat heran karena dia mau bercerita dengan orang
asing. Dia bilang, dia adalah laki-laki paling jahat sedunia karena telah membiarkan seseorang
menunggunya tanpa kepastian. Dia datang ke sini karena dia teringat janjinya kepada seseorang
itu. Mereka akan berjalan menyusuri pantai ini sampai mereka menemukan ujung dari pantai
yang seolah tak berujung ini. Dia selalu membawa botol ini ke mana pun dia pergi.”
“Lalu, apa isi botol ini?”
“Kau adalah wanita beruntung. Dicintai dengan cara yang tak biasa. Aku sempat cemburu
saat dia bercerita tentang wanita itu, yang tidak lain adalah dirimu.”
Aku menatapnya masam karena dia mengalihkan pembicaraan.
“Dia akan menghilang dari hidupmu selamanya jika kau masih saja bersikap seperti dulu.
Dia merasa seperti orang yang tidak mengenalmu karena orang lain lebih tahu perasaanmu. Dia
ingin menjadi orang yang paling mengerti tentangmu, tapi kau tidak pernah memahaminya.
Bukan hanya kau yang tersakiti di sini. Dia juga, Vana. Mengenai apa yang ada di botol itu,
dia tidak mengatakan. Dia hanya bilang jika isi botol itu adalah alasan utama kenapa dia tidak
pernah kembali.”
Aku mengeluarkan isi botol itu. Setelah berhasil mengeluarkannya, aku membuka pita yang
mengikatnya. Aku membuka gulungan kertas itu dengan perlahan. Saat aku sudah berhasil
meluruskan kertas itu. Pandangan mataku langsung mengarah ke tulisan kapital yang
ditebalkan. Jantungku berdegup sangat cepat. Dugaanku selama ini benar.
Senja yang mulai menghilang dari pandangan menjadi saksi bisu alasan cairan mataku
membasahi pipi, mengalir tanpa hambatan. Dita memeluk tubuhku yang bergetar hebat.
Dita melepaskan pelukannya dan memegang bahuku.
“Sekarang kau harus belajar melupakannya.”
“Tidak! Dia tidak akan meninggalkanku.”
Aku menghapus air mataku dan berlari menghampiri Lanov yang terkejut melihat
kedatanganku. Aku tersenyum sangat lebar saat sudah berdiri tepat di depannya. Dia juga tak
kalah bahagianya denganku.
“Maaf.”
“Aku juga minta maaf atas surat itu. Selama dua tahun aku menjalani serangkaian
pengobatan yang membuatku tidak bisa melakukan apa pun. Kanker otak stadium dua yang
aku derita, membuat semua orang yang ada di sana tidak membiarkanku berjauhan dari ruangan
putih yang berbau obat-obatan itu.”
“Hari ini kau bicara lebih banyak dari biasanya. Aku ingin marah karena kau telah
menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku, tapi aku tidak ingin merusak suasana.
Jadi, aku marahnya nanti saja.”
Aku tertawa pelan dan Lanov juga.
“Pilihanku untuk kembali adalah pilihan yang sangat tepat. Aku sudah separuh jalan
meninggalkan tempat ini. Namun bayangan wajahmu yang terus menghantuiku telah
membuatku menyadari sesuatu. Aku takut kehilanganmu.”
“Aku juga takut kehilanganmu.”
Kesalahpahaman bisa mengubah seseorang, pemikiran, sekaligus perasaannya. Terkadang
apa yang kita pikirkan bisa salah. Maka kita perlu mengutarakannya. Berakhirnya
kesalahpahaman antara aku dan Lanov, diikuti dengan tenggelamnya senja. Langit yang sudah
gelap, menandakan redupnya kesalahpahaman yang terlambat kami sadari. Kami akan
memulai jalan cerita baru, melanjutkan cerita lama yang sempat terhenti. Tidak ada yang tahu
takdirnya seperti apa. Kita hanya perlu mengikuti kemana takdir membawa kita.

Anda mungkin juga menyukai