Gadar Iii
Gadar Iii
PEMBAHASAN
1. DNR
Do Not Resuscitation atau jangan lakukan resusitasi merupakan sebuah
perintah tidak melakukan resusitasi yang ditulis oleh seorang dokter dalam
konsultasi dengan pasien atau pengambil keputusan pengganti yang
menunjukkan apakah pasien akan menerima atau tidak tindakan CPR (
Cardiopulmonary Resuscitation) (Braddock & Clark, 2014). DNR
merupakan keputusan untuk mengabaikan CPR dan secara resmi
diperkenalkan sebagai alternative untuk end of life care pada awal tahun
1970 (Fallahi et al, 2016). Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan
Resusitasi merupakan suatu tindakan dimana dokter menempatkan sebuah
instruksi berupa informed concent yang telah disetujui oleh pasien ataupun
keluarga pasien di dalam rekam medis pasien, yang berfungsi untuk
menginformasikan staf medis lain untuk tidak melakukan resusitasi jantung
paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada pasien. Pesan
ini berguna untuk mencegah tindakan yang tidak perlu dan tidak diinginkan
pada akhir kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan tingkat
keberhasilan CPR yang rendah (Sabatino, 2015). DNR diindikasikan jika
seorang dengan penyakit terminal atau kondisi medis serius tidak akan
menerima cardiopulmonary resuscitation (CPR) ketika jantung atau
nafasnya terhenti. Form DNR ditulis oleh dokter setelah membahas akibat
dan manfaat dari CPR dengan pasien atau pembuat keputusan dalam
keluarga pasien (Cleveland Clinic, 2010).
American Heart Association (AHA) mengganti istilah DNR (Do Not
Resuscitate) dengan istilah DNAR (Do Not Attempt Resuscitate) yang
artinya adalah suatu perintah untuk tidak melakukan resusitasi terhadap
pasien dengan kondisi tertentu, atau tidak mencoba usaha resusitasi jika
memang tidak perlu dilakukan, sehingga pasien dapat menghadapi
kematian secara alamiah, sedangkan istilah DNR (Do Not Resuscitate)
mengisyaratkan bahwa resusitasi yang dilakukan akan berhasil jika kita
berusaha (Brewer, 2008).
Di Amerika Serikat dan Inggris telah merekomendasikan penggunaan DNR
dan secara teratur diperbaiki berbeda dengan di Switzerland.Penggunaan
dan implikasi perintah DNR di rumah sakit tidak pernah menarik perhatian
media dan masyarakat.Swiss Academi of Medical tidak menyebutkan DNR
sampai tahun 1996 dan tidak pernah mendefinisikan secara spesifik
mengenai penggunaan dan implikasi perintah DNR (Perron, 2002).
Pengambilan keputusan DNR cenderung meningkat setiap tahunnya.
Fenomena ini disampaikan oleh Saczynski, et al (2012) melalui
penelitiannya bahwa dari total pasien yang berjumlah 4182 pasien antara
tahun 2001 hingga 2007 di semua pusat kesehatan di Massachusetts, total
pasien yang mendapatkan tindakan DNR adalah sebanyak 1051 pasien. Do
Not Resusitation pada studi mayoritas digambarkan di rumah sakit telah
dilakukan pada pasien bedah, Unit perawatan intensif (ICU), pasien stroke
hemoragik, dan populasi medicare. Sementara itu, penelitian yang meneliti
DNR dalam penatalaksanaan trauma, termasuk cedera otak traumatis
(TBI), pasien dirawat di ICU, dan terluka parah pasien yang membutuhkan
transfusi segera.Studi-studi sebelumnya pada pasien dengan trauma
melaporkan kematian yang tinggi dengan DNR (42-99 %), pasien bedah
(23-37%), stroke (40-64 %), dan ICU (51-83%).Pasien dengan trauma
ditemukan lebih rendah dilakukan DNR sekitar 5-7%, di bandingkan
dengan bedah umum (4-65%), stroke (22-41%), dan ICU (9-13%).
Mengidentifikasi karakteristik awal yang dapat menyebabkan DNR sangat
penting untuk lebih dimanfaatkan .karena kurangnya studi DNR dalam
pengaturan trauma, kami mengusulkan untuk memeriksa perubahan dalam
DNR dari waktu ke waktu (Salottolo, 2015).
Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) menurut Brewer (2008)
melibatkan tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu
autonomy, beneficience, dan nonmalefecience, ketiga prinsip tersebut
merupakan dilema etik yang menuntut perawat berpikir kritis, karena
terdapat dua perbedaan nilai terhadap profesionalisme dalam memberikan
asuhan keperawatan, secara profesional perawat ingin memberikan
pelayanan secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat pendapat yang
mengharuskan penghentian tindakan.
Menurut ANA, advokasi adalah “melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan
dan keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang
dilakukan oleh siapa pun”
Perawat sebagai advokat , perawat melindungi hak klien sebagau manusia dan
secara hokum, serta membantu klien dalam menyatakan hak-haknya bila
dibutuhkan. Selain itu, perawat juga melindungi hak-hak klien melalui cara-cara
umum dengan menolak aturan atau tindakan yang mungkin membahayakan
kesehatan klien atau menentang hak-hak klien. Peran inijuga dilakukan perawat
dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi
dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan
persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat
mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi ha katas pelayanan
sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, dan lain-lain.
Peran advokasi perawat dalam Undang Undang No 38/2014 Tentang Keperawatan,
Pasal 38
a. Melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar
pelayanan keperawatan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan keperawatan, standar operasional prosedur, kode etik, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
c. Menghormati hak Klien.
d. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, yang meliputi:
1) Dalam aspek pelayanan/asuhan keperawatan merujuk ke anggota perawat lain
yang lebih tinggi kemampuan atau pendidikannya; atau
2) Dalam aspek masalah kesehatan lainnya merujuk ke tenaga kesehatan lain.
e. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang Klien.
f. Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan berdasarkan standar pelayanan
keperawatan.
g. Memberikan informasi yang lengkap, jujur, jelas dan mudah dimengerti mengenai
tindakan keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan batas
kewenangannya.
h. Melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang
sesuai dengan kompetensi Perawat; dan
i. Melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Basbeth, F; &Sampurna, B. (2009),”Analisis etik terkait resusitasi jantung
paru”,Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59, Nomor: 11, Nop
2009;http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFi
le/691/696 diakses pada 19 september 2016.
Braddock, Clarence H., Clark, Jonna Derbenwick. (2014). Do Not Resusitate
(DNR) Order. University of Washington School of Medicine
Brewer, Brenda Carol. (2008).Do not abandon, do not resuscitate; a patient
advocay position. Journal of Nursing Law.volume 12, number 2, 2008
Cleveland Clinic. 2010. Do Not Resuscitate” (DNR) Orders and Comfort Care.
Retrieved from
https://my.clevelandclinic.org/ccf/media/Files/Bioethics/DNR%20Hando
ut%204_28.pdf?la=en diakses pada 19 september 2016
Morton, et al. 2011. Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan holistic ed. 8 Vol.1.
Jakarta: EGC