Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Efek Kegawat Daruratan Terhadap Pasien dan Keluarga


Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis
segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UU
no. 4 Tahun 2009). Kegawat daruratan adalah kejadian tiba-tiba dan tidak
diharapkan serta membahayakan hidup bagi pasien dan keluarga. Kejadian
tersebut dapat berupa sakit akut atau trauma dan perburukan akut penyakit
kronis. Keadaan iini mengancam kesejahteraan keluarga dan dapat memicu
respon stress pada pasien maupun keluarga (Morton et al, 2011)
Efek Kegawatdaruratan terhadap Pasien
Efek psikologis :
a. Stress akibat kondisi penyakit
b. Rasa cemas dan takut bahwa hidup terancam
c. Perasaan terisolasi
d. Depresi
e. Perasaan rapuh karena ketergantungan fisik dan emosional

Sebuah penelitian di Norwegia yang mereview beberapa penelitian


kualitatif pada pasien yang dirawat di ICU menemukanbahwa pasien
mengalami stress yang berhubungan dengan tiga tema besar, yaitu :

a. Stress berkaitan dengan tubuh mereka


stress yang berkaitan dengan tubuh yaitu menurunnya kontril terhadap
diri sendiri, reaksi emosi berkaitan dengan prosedur tindakan dan loss
of meaning (kehiangan makna hidup)
b. Stress berkaitan dengan ruangan ICU
Stress berkaitan dengan ruangan ICU adalah situasu yang ada di ICU
seperti terpasang selang dibagian tubuh, ketidaknyamanan, keterbatas
gerak, tidak mampu berkomunikasi, kebisingan dari suara alat alat yang
ada
c. Stress yang berkaitan dengan relationship dengan orang lain
Stress berkaitan dengan relationship yaitu terbatasnya waktu bersama
dengan keluarga dan tidak mampu berkomunikasi
1. Efek Kegawatdaruratan terhadap Keluarga
Efek Psikologis
a. Stress akibat kondisi penyakit pasien
b. Ansietas yang berhubungan dengan ancaman kematian pada pasien
c. Pengingkaran terhadap kondisi kritis pasien

Efek Non Psikologis

a. Perubahan struktur peran dalam keluarga


b. Perubahan pelaksaan fungsi peran dalam keluarga
c. Terbatasnya komunikasi dalam waktu bersama
d. Masalah financial keluarga
e. Perubahan pola hidup keluarga

2.2 Isu End of Life pada Keperawatan Gawat Darurat

1. DNR
Do Not Resuscitation atau jangan lakukan resusitasi merupakan sebuah
perintah tidak melakukan resusitasi yang ditulis oleh seorang dokter dalam
konsultasi dengan pasien atau pengambil keputusan pengganti yang
menunjukkan apakah pasien akan menerima atau tidak tindakan CPR (
Cardiopulmonary Resuscitation) (Braddock & Clark, 2014). DNR
merupakan keputusan untuk mengabaikan CPR dan secara resmi
diperkenalkan sebagai alternative untuk end of life care pada awal tahun
1970 (Fallahi et al, 2016). Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan
Resusitasi merupakan suatu tindakan dimana dokter menempatkan sebuah
instruksi berupa informed concent yang telah disetujui oleh pasien ataupun
keluarga pasien di dalam rekam medis pasien, yang berfungsi untuk
menginformasikan staf medis lain untuk tidak melakukan resusitasi jantung
paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada pasien. Pesan
ini berguna untuk mencegah tindakan yang tidak perlu dan tidak diinginkan
pada akhir kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan tingkat
keberhasilan CPR yang rendah (Sabatino, 2015). DNR diindikasikan jika
seorang dengan penyakit terminal atau kondisi medis serius tidak akan
menerima cardiopulmonary resuscitation (CPR) ketika jantung atau
nafasnya terhenti. Form DNR ditulis oleh dokter setelah membahas akibat
dan manfaat dari CPR dengan pasien atau pembuat keputusan dalam
keluarga pasien (Cleveland Clinic, 2010).
American Heart Association (AHA) mengganti istilah DNR (Do Not
Resuscitate) dengan istilah DNAR (Do Not Attempt Resuscitate) yang
artinya adalah suatu perintah untuk tidak melakukan resusitasi terhadap
pasien dengan kondisi tertentu, atau tidak mencoba usaha resusitasi jika
memang tidak perlu dilakukan, sehingga pasien dapat menghadapi
kematian secara alamiah, sedangkan istilah DNR (Do Not Resuscitate)
mengisyaratkan bahwa resusitasi yang dilakukan akan berhasil jika kita
berusaha (Brewer, 2008).
Di Amerika Serikat dan Inggris telah merekomendasikan penggunaan DNR
dan secara teratur diperbaiki berbeda dengan di Switzerland.Penggunaan
dan implikasi perintah DNR di rumah sakit tidak pernah menarik perhatian
media dan masyarakat.Swiss Academi of Medical tidak menyebutkan DNR
sampai tahun 1996 dan tidak pernah mendefinisikan secara spesifik
mengenai penggunaan dan implikasi perintah DNR (Perron, 2002).
Pengambilan keputusan DNR cenderung meningkat setiap tahunnya.
Fenomena ini disampaikan oleh Saczynski, et al (2012) melalui
penelitiannya bahwa dari total pasien yang berjumlah 4182 pasien antara
tahun 2001 hingga 2007 di semua pusat kesehatan di Massachusetts, total
pasien yang mendapatkan tindakan DNR adalah sebanyak 1051 pasien. Do
Not Resusitation pada studi mayoritas digambarkan di rumah sakit telah
dilakukan pada pasien bedah, Unit perawatan intensif (ICU), pasien stroke
hemoragik, dan populasi medicare. Sementara itu, penelitian yang meneliti
DNR dalam penatalaksanaan trauma, termasuk cedera otak traumatis
(TBI), pasien dirawat di ICU, dan terluka parah pasien yang membutuhkan
transfusi segera.Studi-studi sebelumnya pada pasien dengan trauma
melaporkan kematian yang tinggi dengan DNR (42-99 %), pasien bedah
(23-37%), stroke (40-64 %), dan ICU (51-83%).Pasien dengan trauma
ditemukan lebih rendah dilakukan DNR sekitar 5-7%, di bandingkan
dengan bedah umum (4-65%), stroke (22-41%), dan ICU (9-13%).
Mengidentifikasi karakteristik awal yang dapat menyebabkan DNR sangat
penting untuk lebih dimanfaatkan .karena kurangnya studi DNR dalam
pengaturan trauma, kami mengusulkan untuk memeriksa perubahan dalam
DNR dari waktu ke waktu (Salottolo, 2015).
Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) menurut Brewer (2008)
melibatkan tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu
autonomy, beneficience, dan nonmalefecience, ketiga prinsip tersebut
merupakan dilema etik yang menuntut perawat berpikir kritis, karena
terdapat dua perbedaan nilai terhadap profesionalisme dalam memberikan
asuhan keperawatan, secara profesional perawat ingin memberikan
pelayanan secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat pendapat yang
mengharuskan penghentian tindakan.

2.3 Komunikasi dalam Keperawatan Gawat Darurat


Komunikasi dalam keperawatan gawat darurat sama halnya dengan
komunikasi keperawatan yang sudah sering dilakukan perawat yang dikenal
dengan komunikasi terapeutik tetapi yang membedakan situasi yang gawat
darurat. Fungsi komunikasi terapeutik dalam keperawatan adalah untuk
mendorong dan menganjurkan kerjasama antar perawat dan klien melalui
hubungan perawat dan klien. Perawat berusaha mengungkap perasaan,
mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang
dilakukan dalam perawatan. Tujuan komunikasi terapeutik pada klien gawat
darurat menciptakan keperawatan kepercayaan antara perawat dengan klien
dan kelurga klien yang mengalami kondisi kritis atau gawat darurat dalam
melakakan tindakan, sehingga klien cepat tertolong dan tidak terjadi hal yang
fatal. Dalam pelaksanaan tindakan dengan klien gawat darurat perawat perlu
melakukan komunikasi dengan jujur, memberikan gambaran situasi
sesungguhnya yang sedang terjadi dengan tidak menambahkan kecemasan dan
memberikan support verbal maupun non verbal.
1. Teknik Komunikasi Keperawatan Gawat Darurat
a. Mendengarkan
Perawat harus berusaha untuk mendengarkan informasi yang disampaikan
oleh klien dengan penuh empati dan perhatian. Ini dapat ditunjukkan
dengan memandang kearah klien selama berbicara, menjaga kontak
pandang yang menunjukkan keingintahuan, dan menganggukkan kepala
pada saat berbicara tentang hal yang dirasakan penting atau memerlukan
ummpan balik. Teknik dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada
klien dalam mengungkapkan perasaan dan menjaga kestabilan emosi
klien.
b. Menunjukkan penerimaan
Menerima bukan berarti menyetujui, melainkan bersedia untuk
mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan sikap ragu atau penolakan.
Dalam hal ini sebaiknya perawat tidak menunjukkan ekspresi wajah yang
menunjukkan ketidaksetujuan atau penolakan. Selama klien berbicara
sebaiknya perawat tidak menyela atau membantah. Untuk menunjukkan
sikap penerimaan sebaiknya perawat menganggukkan kepala dalam
merespon pembicaraan klien.
c. Mengulang Pernyataan Klien
Dengan mengulang pernyataan klien, perawat memberikan umpan balik
sehingga klien mengetahui bahwa pesannya mendapat respond an berharap
komunikasi dapat berlanjut. Mengulang pokok pikiran klien menunjukkan
indikasi bahwa perawat mengikuti pembicaraan klien.
d. Klarifikasi
Apabila terjadi kesalahpahaman, perawta perlu mengehentikan
pembicaraan untuk meminta penjelasan dengan menyamakan pengertian.
Ini berkaitan dengan pentingnya informasi dalam memberikan pelayanan
keperawatan. Klarifikasi diperlukan untuk memperoleh kejelasan dan
kesamaan ide, perasaan, dan persepsi
e. Menyampaikan Hasil Pengamatan
Perawat perlu menyampaikan hasil pengamatan terhadap klien untuk
mengetahui bahwa pesan dapat tersampaikan dengan baik. Perawat
menjelaskan kesan yang didapat dari isyarat nonverbal yang dilakukan oleh
klien. Dengan demikian akan menjadikan klien berkomunikasi dengan
lebih baik dan terfokus pada permasalahan yang sedang dibicarakan

2. Prinsip Komunikasi Keperawatan Gawat Darurat


Ciptakan lingkungan terapeutik dengan menunjukan prilaku dan sikap
a. Caring ( sikap pengasuhan yang ditnjukan peduli dan selalu ingin
memberikan bantuan)
b. Acceptance (menerima pasien apa adanya)
c. Respect (hormatati keyakinan pasien apa adanya)
d. Empaty (merasakan perasaan pasien)
e. Trust (memberi kepercayaan)
f. Integrity (berpegang pd prinsip profesional yang kokoh)
g. Identifikasikan bantuan yang diperlukan
h. Terapkan teknik komunikasi: terfokus, bertanya, dan validasi
i. Bahasa yang mudah dimengerti
j. Pastikan hubungan profesional dimengerti oleh pasien/keluarga
k. Motivasi dan hargai pendapat & respon klien
l. Hindari: menyalahkan, memojokkan, dan memberikan sebutan yang
negatif.

2.4 Peran dan Fungsi Advokasi Perawat Gawat Darurat

Menurut ANA, advokasi adalah “melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan
dan keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang
dilakukan oleh siapa pun”

Perawat sebagai advokat , perawat melindungi hak klien sebagau manusia dan
secara hokum, serta membantu klien dalam menyatakan hak-haknya bila
dibutuhkan. Selain itu, perawat juga melindungi hak-hak klien melalui cara-cara
umum dengan menolak aturan atau tindakan yang mungkin membahayakan
kesehatan klien atau menentang hak-hak klien. Peran inijuga dilakukan perawat
dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi
dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan
persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat
mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi ha katas pelayanan
sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, dan lain-lain.
Peran advokasi perawat dalam Undang Undang No 38/2014 Tentang Keperawatan,
Pasal 38
a. Melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar
pelayanan keperawatan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan keperawatan, standar operasional prosedur, kode etik, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
c. Menghormati hak Klien.
d. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, yang meliputi:
1) Dalam aspek pelayanan/asuhan keperawatan merujuk ke anggota perawat lain
yang lebih tinggi kemampuan atau pendidikannya; atau
2) Dalam aspek masalah kesehatan lainnya merujuk ke tenaga kesehatan lain.
e. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang Klien.
f. Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan berdasarkan standar pelayanan
keperawatan.
g. Memberikan informasi yang lengkap, jujur, jelas dan mudah dimengerti mengenai
tindakan keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan batas
kewenangannya.
h. Melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang
sesuai dengan kompetensi Perawat; dan
i. Melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Basbeth, F; &Sampurna, B. (2009),”Analisis etik terkait resusitasi jantung
paru”,Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59, Nomor: 11, Nop
2009;http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFi
le/691/696 diakses pada 19 september 2016.
Braddock, Clarence H., Clark, Jonna Derbenwick. (2014). Do Not Resusitate
(DNR) Order. University of Washington School of Medicine
Brewer, Brenda Carol. (2008).Do not abandon, do not resuscitate; a patient
advocay position. Journal of Nursing Law.volume 12, number 2, 2008
Cleveland Clinic. 2010. Do Not Resuscitate” (DNR) Orders and Comfort Care.
Retrieved from
https://my.clevelandclinic.org/ccf/media/Files/Bioethics/DNR%20Hando
ut%204_28.pdf?la=en diakses pada 19 september 2016
Morton, et al. 2011. Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan holistic ed. 8 Vol.1.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai