Anda di halaman 1dari 14

KONSEP KEARIFAN LOKAL "BARIFOLA" DAN IMPLEMENTASI PADA PENDIDIKAN

ABAD 21. Arisius Yustesia

Conference Paper (PDF Available) · May 2017 with 184 Reads


Conference: Transformasi Pembelajaran Ilmu-Ilmu Sosial Abad 21 Yang Inovatif,
Kreaktif dan Berbasis Kearifan Lokal, At Falkutas Universitas Negeri Malang
Cite this publication

Arisius Yustesia

o Independent Researcher

Abstract
ABSTRAK Abad 21 atau disebut dengan abad Globalisasi dengan sudut pandang
postmodernisme, globalisasi, pragmatisme, progersivisme, dan idealisme
mempengaruhi seluruh kegiatan manusia termasuk dalam dunia pendidikan yang
disebut dengan pendidikan abad 21. Tujuan tulisan ini yaitu menawarkan Kearifan Lokal
Barifola untuk diterapkan pada pendidikan abad 21 untuk mencapai tujuan tersebut
dilakukan kajian literasi mengenai pendidikan abad 21 dan wawacaran mendalam untuk
memaknai Kearifan lokal Barifola. Dari analisis mengenai kearifan lokal Barifola dan
pendidikan abad 21, maka implementasi pendidikan abad 21 tidak hanya
menitikberatkan pada persaingan atau kompetisi tetapi juga perlu memperhatikan
kolaborasi pada tingkat sekolah, guru, dan siswa. Kata Kunci: Pendidikan Abad 21,
Kearifan Lokal Barifola, Kolaborasi PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik
Indonesia memiliki ribuan gugusan pulau dari Sabang sampai Merauke yang dihuni
oleh berbagai macam masyarakat atau suku yang mempunyai bahasa dan budayanya
yang khas. Budaya atau kearifan lokal di setiap daerah membuat Indonesia menjadi
negara yang memiliki tingkat kemajemukan yang tinggi(Takiddin, 2014; Istiawati, 2016).
Keragaman yang terdapat dalam kehidupan sosial manusia melahirkan masyarakat
majemuk (Suparlan, 2002; Herimanto, 2010; Affandi, 2012) Kemajemukan ini haruslah
tetap dilestarikan untuk menjaga khasanah budaya di negara ini. Kearifan lokal
merupakan segala sesuatu yang menjadi ciri khas suatu daerah, baik berupa makanan,
adat istiadat, tarian, lagu maupun upacara daerah (James, 1977; Wiber, 2012; Pila,
2014). kearifan lokal atau keunggulan lokal sebagai segala sesuatu yang menjadi ciri
khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, tradisi, teknologi informasi,
komunikasi, dan ekologi ekologi. Kearifan lokal Barifola Secara historis tradisi ini
mulanya pada abad 13. Digunakan Kesultanan Tidore untuk mewujudkan masyarakat
sejahtera. Barifola sendiri berasal dari bahasa Tidore yaitu bari artinya saling membantu
(gotong royong) dan fola yaitu rumah (Tempo.Co, 2017). Barifola diartikan sebagai
kegiatan gotong-royong membangun rumah. Di era 1990-an, tradisi ini sempat
mengalami degradasi nilai. Hanya dipakai warga untuk membangun rumah ibadah
semata. Berjalannya waktu tradisi ini kembali dibudayakan pada 2008 dan sampai
sekarang masih dipertahankan serta menjadi Program kota Ternate Provinsi Maluku
Utara dalam membantu warga yang tidak mampu membangun rumah. Barifola memiliki
makna filosofis sebagai upaya melestarikan nilai-nilai adat dan budaya masyarakat
lokal guna menciptakan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang rukun, damai saling menghargai dan membantu antar sesama (harmony of
humanity) (Kieraha.co, 2017). Tentu program atau gerakan revitalisasi budaya bangsa
seperti ini menjadi hal penting bagi manusia modern atau manusia abad 21 saat ini.
Pada ranah ini maka kearifan lokal mestinya mampuh mengangkat kemampuan kita
untuk menentukan sendiri
Discover the world's research

 15+ million members


 118+ million publications
 700k+ research projects

Join for free


Content uploaded by Arisius Yustesia
Author content
Content may be subject to copyright.
Download full-text PDF
KONSEP KEARIFAN LOKAL ”BARIFOLA” DAN IMPLEMENTASI PADA
PENDIDIKAN ABAD 21.
Arisius Yustesia
Program Studi Pendidikan Geografi Stkip Kie Raha Ternate
ariyustesia@gmail.com (082394388111)

ABSTRAK
Abad 21 atau disebut dengan abad Globalisasi dengan sudut pandang postmodernisme,
globalisasi, pragmatisme, progersivisme, dan idealisme mempengaruhi seluruh kegiatan
manusia termasuk dalam dunia pendidikan yang disebut dengan pendidikan abad 21. Tujuan
tulisan ini yaitu menawarkan Kearifan Lokal Barifola untuk diterapkan pada pendidikan abad
21 untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan kajian literasi mengenai pendidikan abad 21 dan
wawacaran mendalam untuk memaknai Kearifan lokal Barifola. Dari analisis mengenai
kearifan lokal Barifola dan pendidikan abad 21, maka implementasi pendidikan abad 21 tidak
hanya menitikberatkan pada persaingan atau kompetisi tetapi juga perlu memperhatikan
kolaborasi pada tingkat sekolah, guru, dan siswa.
Kata Kunci: Pendidikan Abad 21, Kearifan Lokal Barifola, Kolaborasi
PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki ribuan gugusan pulau dari Sabang sampai
Merauke yang dihuni oleh berbagai macam masyarakat atau suku yang mempunyai bahasa dan
budayanya yang khas. Budaya atau kearifan lokal di setiap daerah membuat Indonesia menjadi
negara yang memiliki tingkat kemajemukan yang tinggi(Takiddin, 2014; Istiawati, 2016).
Keragaman yang terdapat dalam kehidupan sosial manusia melahirkan masyarakat majemuk
(Suparlan, 2002; Herimanto, 2010; Affandi, 2012)
Kemajemukan ini haruslah tetap dilestarikan untuk menjaga khasanah budaya di negara ini.
Kearifan lokal merupakan segala sesuatu yang menjadi ciri khas suatu daerah, baik berupa
makanan, adat istiadat, tarian, lagu maupun upacara daerah (James, 1977; Wiber, 2012; Pila,
2014). kearifan lokal atau keunggulan lokal sebagai segala sesuatu yang menjadi ciri khas
kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, tradisi, teknologi informasi, komunikasi,
dan ekologi ekologi.
Kearifan lokal Barifola Secara historis tradisi ini mulanya pada abad 13. Digunakan Kesultanan
Tidore untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Barifola sendiri berasal dari bahasa Tidore
yaitu bari artinya saling membantu (gotong royong) dan fola yaitu rumah (Tempo.Co, 2017).
Barifola diartikan sebagai kegiatan gotong-royong membangun rumah. Di era 1990-an, tradisi
ini sempat mengalami degradasi nilai. Hanya dipakai warga untuk membangun rumah ibadah
semata. Berjalannya waktu tradisi ini kembali dibudayakan pada 2008 dan sampai sekarang
masih dipertahankan serta menjadi Program kota Ternate Provinsi Maluku Utara dalam
membantu warga yang tidak mampu membangun rumah.
Barifola memiliki makna filosofis sebagai upaya melestarikan nilai-nilai adat dan budaya
masyarakat lokal guna menciptakan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang rukun, damai saling menghargai dan membantu antar sesama (harmony of
humanity) (Kieraha.co, 2017). Tentu program atau gerakan revitalisasi budaya bangsa seperti
ini menjadi hal penting bagi manusia modern atau manusia abad 21 saat ini. Pada ranah ini
maka kearifan lokal mestinya mampuh mengangkat kemampuan kita untuk menentukan sendiri

apa yang terbaik untuk dicapai (Bauto, 2016; Sehe et al., 2016). Jepang maju karena Bushido
dan karakter Samurai, Inggris memiliki Adagium Britain rules the waves, Jerman dengan Das
Solen-nya Deutscland uber Alles, dan Bangsa Indonesia Khususnya Maluku Utara dengan
Abad 21 atau disebut dengan abad Globalisasi dengan sudut pandang postmodernisme,
globalisasi, pragmatisme, progersivisme, dan idealisme (McLellan, 2005; Guo, 2014). Bangsa
Indonesia perlu mempertahankan nilai-nilai budaya dan keunggulan lokal untuk menghadapi
perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, serta sistem komunikasi. Nilai-nilai kearifan lokal
perlu dilebur dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara pada setiap wilayah
Indonesia. Agar kehidupan kemajemukan dalam bangsa ini dapat berjalan secara harmonis
dan kolaborasi yang tetap terjaga dalam masyarakat (Schäppi, 2005; del Real Alcala, 2013).
Tulisan kali ini menekankan konsep kearifan lokal Barifola dan Implementasinnya pada
pendidikan abad 21. Tetapi sebelum membahas implementasi nilai-nilai edukasi yang terdapat
pada Barifola ke dalam pendidikan abad 21. Dilakukan kajian literasi terlebih dulu mengenai
pendidikan abad 21 kemudian bagaimana penerapan nilai-nilai kearifan lokal tersebut pada
pendidikan Abad 21. Tujuan tulisan ini yaitu menawarkan Kearifan Lokal Barifola untuk
diterapkan pada pendidikan abad 21 yang menekankan pada aspek berpikir kritis, pemecahan
masalah, kreaktivitas dan inovasi, komunikasi serta kolaborasi.

METODE PENELITIAN
Untuk menerapkan nilai-nilai kearifan lokal Barifola pada pendidikan abad 21, peneliti
melakukan kajian literasi mengenai pendidikan abad 21 dari beberapa sumber referensi untuk
memperoleh data penerapan pendidikan abad 21 pada tingkat sekolah kemudian dilakukan
analisis secara deskriptif, Data mengenai kearifan lokal Barifola diperoleh dengan wawancara
mendalam dengan informan (tokoh masyarakat Kota Ternate dan masyarakat yang pernah
menerima bantuan barifola) . Setelah memperoleh data yang mengenai pendidikan abad 21 dan
Kearifan Lokal Barifola, peneliti mendeskripsikan langkah-langkah pada kearifan lokal serta
memaknainya untuk memperoleh nilai-nilai edukatif yang dapat diterapkan pada pendidikan
abad 21.
HASIL
Penerapan Pendidikan Abad 21 di Sekolah
Kemdikbud merumuskan bahwa paradigma pembelajaran abad 21 menekankan pada
kemampuan peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber, merumuskan
permasalahan, berpikir analitis dan kerjasama serta berkolaborasi dalam menyelesaikan
masalah (Litbang Kemdikbud, 2013).
Adapun penjelasan mengenai framework pembelajaran abad ke-21 menurut (BSNP, 2010)
adalah sebagai berikut: (a) Kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah (Critical-
Thinking and Problem-Solving Skills), mampu berfikir secara kritis, lateral, dan sistemik,
terutama dalam konteks pemecahan masalah; (b) Kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama
(Communication and Collaboration Skills), mampu berkomunikasi dan berkolaborasi secara
efektif dengan berbagai pihak; (c) Kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah
(Critical-Thinking and Problem-Solving Skills), mampu berfikir secara kritis, lateral, dan
sistemik, terutama dalam konteks pemecahan masalah; (d) Kemampuan mencipta dan
membaharui (Creativity and Innovation Skills), mampu mengembangkan kreativitas yang
dimilikinya untuk menghasilkan berbagai terobosan yang inovatif; (e) Literasi teknologi
informasi dan komunikasi (Information and Communications Technology Literacy), mampu
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kinerja dan aktivitas
sehari-hari; (f) Kemampuan belajar kontekstual (Contextual Learning Skills) , mampu
menjalani aktivitas pembelajaran mandiri yang kontekstual sebagai bagian dari pengembangan
pribadi, dan (g) Kemampuan informasi dan literasi media, mampu memahami dan
menggunakan berbagai media komunikasi untuk menyampaikan beragam gagasan dan
melaksanakan aktivitas kolaborasi serta interaksi dengan beragam pihak.

Paradigma Pendidikan Abad 21


Perubahan Paradigma Pembelajaran pada abad 21 menurut (BSNP, 2010) sebagai berikut:
a) dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa;
Jika dahulu biasanya yang terjadi adalah guru berbicara dan siswa mendengar, menyimak,
dan menulis – maka saat ini guru harus lebih banyak mendengarkan siswanya saling
berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi guru dari pengajar berubah
dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi siswa-siswanya.
b) dari satu arah menuju interaktif
Jika dahulu mekanisme pembelajaran yang terjadi adalah satu arah dari guru ke siswa, maka
saat ini harus terdapat interaksi yang cukup antara guru dan siswa dalam berbagai bentuk
komunikasinya. Guru berusaha membuat kelas semenarik mungkin melalui berbagai
pendekatan interaksi yang dipersiapkan dan dikelola.
c) dari isolasi menuju lingkungan jejaring
Jika dahulu siswa hanya dapat bertanya pada guru dan berguru pada buku yang ada di dalam
kelas semata, maka sekarang ini yang bersangkutan dapat menimba ilmu dari siapa saja dan
dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh via internet.
d) dari pasif menuju aktif-menyelidiki
Jika dahulu siswa diminta untuk pasif saja mendengarkan dan menyimak baik-baik apa yang
disampaikan gurunya agar mengerti, maka sekarang disarankan agar siswa harus lebih aktif
dengan cara memberikan berbagai pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya.
e) dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata
Jika dahulu contoh-contoh yang diberikan guru kepada siswanya kebanyakan bersifat
artifisial, maka saat ini sang guru harus dapat memberikan contoh-contoh yang sesuai
dengan konteks kehidupan sehari-hari dan relevan dengan bahan yang diajarkan.
f) dari pribadi menuju pembelajaran berbasis tim
Jika dahulu proses pembelajaran lebih bersifat personal atau berbasiskan masing-masing
individu, maka yang harus dikembangkan saat ini adalah model pembelajaran yang
mengedepankan kerjasama antar individu.
g) dari luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan
Jika dahulu ilmu atau materi yang diajarkan lebih bersifat umum (semua materi yang
dianggap perlu diberikan), maka saat ini harus dipilih benar-benar ilmu atau materi yang
benar-benar relevan untuk ditekuni dan diperdalam secara sungguh-sungguh (hanya materi
yang relevan bagi kehidupan sang siswa yang diberikan).

h) dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru


Jika dahulu siswa hanya menggunakan sebagian panca inderanya dalam menangkap materi
yang diajarkan guru (mata dan telinga), maka saat ini seluruh panca indera dan komponen
jasmani-rohani harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran (kognitif, afektif, dan
psikomotorik).
i) dari alat tunggal menuju alat multimedia
Jika dahulu ilmu guru hanya mengandalkan papan tulis untuk mengajar, maka saat ini
diharapkan guru dapat menggunakan beranekaragam peralatan dan teknologi pendidikan
yang tersedia – baik yang bersifat konvensional maupun moderen.
j) dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif
Jika dahulu siswa harus selalu setuju dengan pendapat guru dan tidak boleh sama sekali
menentangnya, maka saat ini harus ada dialog antar guru dan siswa untuk mencapai
kesepakatan bersama.
k) dari produksi massa menuju kebutuhan pelanggan
Jika dahulu seluruh siswa tanpa kecuali memperoleh bahan atau konten materi yang sama,
maka sekarang ini setiap siswa berhak untuk mendapatkan konten sesuai dengan
ketertarikan atau keunikan potensi yang dimilikinya.
l) dari usaha sadar tunggal menuju jamak
Jika dahulu siswa harus secara seragam mengikuti sebuah cara dalam berproses maka yang
harus ditonjolkan saat ini justru adanya keberagaman inisiatif yang timbul dari masing-
masing individu.
m) dari satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak
Jika dahulu siswa hanya mempelajari sebuah materi atau fenomena dari satu sisi pandang
ilmu, maka saat ini konteks pemahaman akan jauh lebih baik dimengerti melalui pendekatan
pengetahuan multi disiplin.
n) dari kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan
Jika dahulu seluruh kontrol dan kendali kelas ada pada sang guru, maka sekarang ini siswa
diberi kepercayaan untuk bertanggung jawab atas pekerjaan dan aktivitasnya masing-
masing.
o) dari pemikiran faktual menuju kritis
Jika dahulu hal-hal yang dibahas di dalam kelas lebih bersifat faktual, maka sekarang ini
harus dikembangkan pembahasan terhadap berbagai hal yang membutuhkan pemikiran
kreatif dan kritis untuk menyelesaikannya.
p) dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan
Jika dahulu yang terjadi di dalam kelas adalah “pemindahan” ilmu dari guru ke siswa, maka
dalam abad moderen ini yang terjadi di kelas adalah pertukaran pengetahuan antara guru
dan siswa maupun antara siswa dengan sesamanya.

Output Pendidikan Abad 21


Selain paradigma pada pendidikan abad 21 adapun yang menjadi tuntutan pada Output
Pendidikan abad 21 sesuai dengan pemaparan BSNP (2010) yaitu output pendidikan di era
global ini adalah lulusan-lulusan yang mampu berpikir kritis, memiliki kompetensi dalam
pemecahan masalah, kreatif inovatif, kompeten dalam ICT, komunikatif dan menguasai
berbagai bahasa/multi lingual. Untuk menghasilkan sumber daya manusia dengan kompetensi
didik mampu berkompetisi dengan menunjukkan kompetensinya agar mereka hidup sejahtera
di era global ini (Syaban, 2008; Saragih, 2008; Ilahi and Imaniyati, 2016). Peserta didik harus
lebih banyak belajar dengan cara yang berbeda baik teknik, metoda, sarana prasarana, IT
bahkan semangat dan daya juang. Pembelajaran di era global yang diharapkan adalah
pembelajaran yang lebih berfokus pada peserta didik (student center), peserta didik
dikondisikan untuk mampu secara aktif mencari informasi (Santyasa, 2007; Schmoker, 2011;
Effendi, 2012).

Kearifan Lokal Barifola


Kearifan lokal barifola sesungguhnya merupakan tradisi budaya masyarakat Indonesia
khususnya masyarakat Tidore yang pada hakekatnya menitik beratkan pada memeratakan
kepentingan bersama dan mengandung nilai gotong royong sebagai sistem sosial yang
diwujudkan dalam kerja nyata bersifat tolong-menolong dalam kehidupan keluarga,
bertetangga, antar wilayah, dan komunitas . Kearifan Lokal ini muncul pada abad ke 13 yang
digunakan Kesultanan Tidore yaitu Sultan Nuku dalam mensejahterakan masyarakat dan
menghilangkan kesenjangan sosial di masyarakat.
Pelaksanaan Barifola atau membangun rumah bagi masyarakat yang tidak mampu, melalui
beberapa tahapan sebagai berikut:
a) Tokoh masyarakat, kelurahan, serta Rt/Rw melakukan identifikasi warga yang tidak
mampu membangun rumah atau sudah membangun rumah tapi tidak bisa diselesaikan.
b) Tokoh masyarakat, kelurahan, serta Rt/Rw memilih rumah yang akan dibangun
berdasarkan ketidakmampuan wargannya atau warga yang ekonominya susah.
c) Tokoh masyarakat, kelurahan, serta Rt/Rw mengumpulkan warga setempat dan warga
dari kampung lain untuk diberi tanggung jawab tanpa ada paksaan sesuai dengan
kemampuannya
d) Masyarakat melakukan partisipasi aktif dan pasif. Partisipasi aktif (menggunakan
tenaga dan pikirannya dalam membangun rumah, serta menyiapkan makanan dan
minuman (dapur umum) selama pembangunan rumah) sedangkan partisipasi pasif (
tidak menggunakan tenaga dan pikiran tapi dalam bentuk membantu dengan
mengumpulkan uang, dan menyumbang bahan bangunan ).
Barifola merupakan motor pengerak semangat kebersamaan antar warga untuk melakukan
perubahan. Kearifan lokal ini ini dinilai dapat merajut rasa kesetiakawanan antar warga
sehingga tak ada jurang pemisah. Semuanya menjadi satu untuk saling membantu. Informan
menjelaskan:

” Saya senang , jujur saya masih tidak percaya rumah yang dulu ditempati beratapkan daun
rumbia dan dinding dari kayu sagu , kalau rumah yang saya tinggali sudah permanen (Tulaher
Hadi, 2017- warga)”

” Makanya saya menganggap barifola mempunyai manfaat yang luar biasa, terutama tentang
rasa kebersamaan (Hamid samsia, 2017-warga)”

”Barifola sudah biasa dilakukan di Maluku Utara pada Kota Ternate, tradisi ini dari Kota
Tidore, pembangunan rumah warga yang tidak mampu semua warga turut terlibat dan tidak
dibatasi dari kampung lain juga membantu kami (Jubaer hamisi-tokok masyarakat)”

” Tradisi barifola adalah beramal, ajang silaturrahim, dan membangkitkan budaya gotong-
royong yang mulai ditinggalkan masyarakat pada abad Globalisasi (Burhan, 2017- Walikota
Ternate).

Siklus kearifan lokal Barifola berupa rencana-aksi-refleksi yang berlangsung dalam tempo
cepat dan bersifat flesibel. Bila musyawarah telah mencapai kesepakatan, dimungkinkan terjadi
mobilisasi tenaga secara aktif dan pasif dalam jumlah yang besar dan cepat, sehingga
penyelesaian pekerjaan dapat segera terwujud. Didalam pembongkaran dan pembangungan
rumah diprioritaskan pada warga yang tidak mampu.
Sejak dicetuskan kembali kearifan lokal barifola tahun 2008, tradisi barifola kini telah sukses
membangun 180 rumah tak layak huni milik keluarga tak mampu di empat kota seperti Tobelo,
Morotai, Bacan, dan Ternate. Dana yang digunakan untuk pembangunan ratusan rumah
tersebut lebih dari Rp 10 milyar yang setiap unit rumah dibangun dibutuhkan dana Rp 60-80
juta. Semua dana tersebut merupakan sumbangan dari masyarakat. Pengelolahan dananya pun
dilakukan secara mandiri, tanpa konsultan maupun staf pengelolah keuangan layaknya
lembaga profesional dan transparan.
Memasuki abad 21 atau abad global perlu memunculkan kembali kearifan lokal salah satunya
dalam bentuk Barifola yang sesungguhnya masih memiliki akar yang kuat di masyarakat
sebagaimana dapat dicermati dalam tugas sosial maupun perkerjaan umum.

Pembahasan
Tawaran Pendidikan Abad 21
Memasuki abad 21, begitu banyak yang berubah secara fundamental dalam berbagai aspek
kehidupan manusia salah satunya pendidikan yang mengarah ke Pendidikan Abad 21.
Pendidikan Abad 21 bertujuan mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu masyarakat bangsa
Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan kedudukan yang terhormat dan setara dengan
bangsa lain dalam dunia global, melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber
daya manusia yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan
untuk mewujudkan cita-cita bangsanya. (BSNP, 2010).
Tawaran pada pendidikan abad 21 yaitu pendidikan yang demokratis, bernuansa permainan,
penuh keterbukaan, menantang, melatih rasa tanggung jawab, akan merangsang anak didik
untuk datang ke sekolah atau ke kampus karena senang, bukan karena terpaksa (Andriani,
2010; Saavedra and Opfer, 2012; Setiadi, 2013). Maka untuk menghadapi Pendidikan Abad 21
seorang pendidik harus mempunyai strategi sebagai berikut:
a. Pendidik harus menerapkan azas keseimbangan dengan memadukan nilai-nilai
pengetahuan dan nilai kebudayaan
b. Pendidik harus menanamkan sikap kemandirian kepada siswa, kerjasama dan saling
menghormati baik dilingkungan sekolah maupun dilingkungan tempat tinggal.
c. Pendidik harus memahami karakteristik peserta didik dari aspek fisik, sosial, kultural,
emosional, dan intelektual.
d. Pendidik harus memiliki kreaktivitas dalam memberikan pembelajaran dikelas.
Selain itu diperlukan juga penanaman sejumlah aspek berbasis karakter dan perilaku kepada
peserta didik yang dibutuhkan pada pendidikan abad 21 (BSNP, 2010) , yaitu:
a. Leadership– sikap dan kemampuan untuk menjadi pemimpin dan menjadi yang
terdepan dalam berinisiatif demi menghasilkan berbagai terobosan-terobosan
b. Personal Responsibility– sikap bertanggung jawab terhadap seluruh perbuatan yang
dilakukan sebagai seorang individu mandiri
c. Ethics– menghargai dan menjunjung tinggi pelaksanaan etika dalam menjalankan
kehidupan sosial bersama
d. People Skills– memiliki sejumlah keahlian dasar yang diperlukan untuk menjalankan
fungsi sebagai mahluk individu dan mahluk social
e. Adaptability– mampu beradaptasi dan beradopsi dengan berbagai perubahan yang
terjadi sejalan dengan dinamika kehidupan
f. Self-Direction– memiliki arah serta prinsip yang jelas dalam usahanya untuk mencapai
cita-cita sebagai seorang individu
g. Accountability– kondisi di mana seorang individu memiliki alasan dan dasar yang jelas
dalam setiap langkah dan tindakan yang dilakukan
h. Social Responsibility– memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan kehidupan
maupun komunitas yang ada di sekitarnya
i. Personal Productivity– mampu meningkatkan kualitas kemanusiaannya melalui
berbagai aktivitas dan pekerjaan yang dilakukan sehari-hari.
Berpegang pada prinsip bahwa setiap peserta didik sebagai individu yang unik dan memiliki
talentanya masing-masing, maka metode belajar mengajar pun harus memperhatikan
keberagaman “learning style” dari masing-masing individu (Mascolo et al., 2014; Baldwin et
al., 2015; Yeari, 2017). Oleh karena itulah model belajar yang menekankan pada ciri khas dan
keberagaman ini perlu dikembangkan, seperti misalnya yang diperkenalkan dalam: PBL
(Problem Based Learning), PLP (Personal Learning Plans), PBA (Performance Based
Assessment), dan lain sebagainya. Di samping itu, harus pula ditekankan model pembelajaran
berbasis kerjasama antar individu tersebut untuk meningkatkan kompetensi interpersonal dan
kehidupan sosialnya, seperti yang diajarkan dalam konsep: Cooperative Learning,
Collaborative Learning, & Meaningful Learning, dan lain sebagainya yang merupakan salah
satu tugas utama pendidik untuk memastikan bahwa melalui mekanisme pembelajaran yang
dikembangkan, setiap individu dapat mengembangkan seluruh potensi diri yang dimilikinya
untuk menjadi manusia pembelajar yang berhasil (Faan, 2010; Kauffman et al., 2011; Nathan
et al., 2013).
Besarnya informasi dan tekonologi sangat berpengaruh terhadap kondisi kognitif peserta didik
mereka akan lebih mudah menggambarkan kejadian atau hal-hal yang nyata (faktual)
dibandingkan dengan membayangkan sesuatu yang bersifat abstrak (Ibda, 2015; Kim et al.,
2015). Oleh karena itu maka materi ajar pun harus mengalami sejumlah penyesuaian dari yang
berbasis konten menjadi berorientasi pada konteks.
Tantangan yang dihadapi dalam hal ini adalah mengubah pendekatan pola penyelenggaraan
pembelajaran dari yang berorientasi pada diseminasi materi dari sebuah materi ajar menjadi
pemahaman sebuah fenomena dipandang dari berbagai perspektif ilmu pengetahuan. Contoh-
contoh kasus sehari-hari yang ditemui di masyarakat, problem-problem yang bersifat dilematis
,tantangan riset yang belum terpecahkan, simulasi kejadian di dunia nyata, dapat dijadikan
sejumlah contoh materi ajar yang kontekstual dan dapat dicerna oleh peserta ajar dengan
mudah. Dalam upaya pemecahan masalah yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan
nyata.

Tawaran Kearifan Lokal Barifola


Kearifan secara etimologi sebagai bentuk kemampuan seseorang dalam menggunakan akal
pikirannnya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal
menunjukan ruang interakasi dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Kearifan lokal
merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar
yang dapat bersumber dari nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya
setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi
dengan lingkungan sekitarnnya (Sumarmi and Amirudin, 2014).
Konsep kearifan lokal muncul melalui proses internalisasi yang panjang dan berlangsung
turun-temurun sebagai akibat interaksi antara manusia dengan lingkungannya (Marfai, 2012) .
Proses yang panjang ini bermuara pada munculnnya sistem nilai yang terkristalisasi dalam
bentuk hokum adat, kepercayaan dan budaya setempat. Proses interaksi dan interelasi dari
setiap elemen dalam eksistensinnya lingkungan fisik maupun sosial menghasilkan suatu
pengembangan kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat nilai budaya,
aktivitas, material dan peralatan sebagai hasil abstraksi pengelolaan lingkungan.
Pola interaksi dan interelasi antara manusia dan lingkungan dalam bentuk kearifan lokal
memiliki fungsi sebagai berikut (Sumarmi and Amirudin, 2014):
1. Sebagai penanda identitas sebuah komunitas
2. Sebagai elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan
3. Kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas
4. Mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan
meletakannya diatas kebudayaan yang dimiliki
5. Mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme
bersama menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak, solidaritas
komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh diatas kesadaran bersama, dari sebuah
komunitas terintegrasi
Kearifan lokal dapat dipahami sebagai suatu pemahaman kolektif, pengetahuan, dan
kebijaksanaan (Panggabean, 2015). Hal tersebut mempengaruhi suatu keputusan penyelesaian
dan penanggulangan suatu masalah kehidupan. Kearifal lokal mempunyai cakupan yang lebih
luas daripada sekedar pengetahuan tradisional. Cakupan tersebut telah menjadi perwujudan,
implementasi artikulasi dalam bentuk pengetahuan tradisional yang dipahami oleh manusia
atau masyarakat yang berinteraksi dengan alam sekitar dan antar manusia itu sendiri baik dalam
kelompoknya maupun diluar kelompoknya.
Dengan demikian kearifan lokal harus bersifat komunal secara kepemilikan dan tidak individu.
Kearifan lokal mempunyai sifat keterbukaan dan dapat dipraktikan dalam kehidupan manusia
sepenjang keberadaan komunitas. Manusia sebagai makhluk sosial dan membutuhkan bantuan
dari orang lain, sebagi bentuk rasa kepedulian dan kebersamaan dengan didasarkan pada
interaksi manusia dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial (Syamsiyatun and
Wafiroh, 2013).
Pada masa lalu nenek moyang kita telah menciptakan kearifan lokal dalam interksi lingkungan
fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan fisik (sungai, udara, air, tanah, dsb), sedangkan
lingkungan sosial (interaksi manusia dalam bentuk perilaku dan sikap) (Purba, 2002). Dengan
begitu dapat dikatakan manusia merupakan bagian dari lingkungan fisik maupun lingkungan
sosial. Untuk itu nilai-nilai yng terdapat pada kearifan lokal perlu dilestarikan dan diterapkan
dalam abad 21 atau abad Globalisasi.
Beberapa kearifan lokal yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia jika ditinjau dari aspek
kewilayahan dari sabang sampai merauke sebagai berikut: 1) Sumatera (Masialapari)
membantu pekerjaan di sawah/menanam padi; 2) Jawa (Sambatan dan Grebuhan) membantu
membangun rumah tanpa imbalan; 3) Kalimantan (Belale) kerjasama petani dalam menanam
padi sampai dengan memanen hasil disawah; 4) Maluku (Pela Gandong) ikatan persatuan
dalam mengangkat saudara dari beda suku, agama dan ras); 5) Maluku Utara (Barifola)
kerjasama, kebersamaan, dalam membangun rumah bagi warga yang tidak mampu; 6) Irian
Jaya (Bakar Batu) perdamain dan menjalin persatuan kembali setelah perang adat. Kearifan
lokal yang berada pada masing daerah-daerah menujukan Bangsa Indonesia mempunyai
keunggulan dalam tradisi, budaya, aturan serta norma-norma untuk bersama-sama menjaga
nilai kebersamaan, saling menghargai dan Gotong Royong (Indiyani and Listiara, 2006; Pasya,
2011).
Khusus pada Kearifan lokal Barifola, memiliki makna dalam kehidupan sosial yaitu:
1. Adanya Pemecahan masalah.
2. Adanya interaktif sosial antar warga dan wilayah.
3. Adanya partisipasi aktif dan pasif dalam kegiatan tersebut
4. Adanya bentuk tanggung jawab.
5. Adanya rasa percaya dalam bentuk menghargai karya yang dibuat.
6. Adanya kreaktivitas oleh masyarakat.
Penerapan kearifan sangat diperlukan pada abad 21 ditinjau dari kebermanfaatannya pada
tradisi budaya yang telah turun temurun diwariskan. Era globalisasi menyebabkan manusia
berlomba-lomba menjadi yang terbaik atau disebut dengan berkompetisi tanpa memperhatikan
nilai kebersamaan, sehingga manusia atau masyarakat pada abad 21 lebih mengedepankan
postmodernisme, globalisasi, pragmatisme, progersivisme, dan idealisme.

Implementasi Kearifan Lokal Barifola pada Pendidikan Abad 21


Pendidikan sebagai upaya sadar manusia dalam memahami diri sendiri dan lingkunganya atau
upaya manusia dalam memahami interaksi dengan lingkungan sekitarnya baik itu berhubungan
dengan manusia maupun alam disekitarnya (Gunawan, 2012). Oleh sebab itu pendidikan harus
mampu memupuk dan menumbuhkan kesadaran akan arti keberadaan manusia untuk
lingkungan dan alam sekitar.
Dewasa ini arus kebudayaan yang datang dari Barat semakin mewarnai sistem kehidupan baik
dalam kehiudpan sosial maupun kultur/budaya dalam masyarakat Indonesia. Di perparah lagi
dengan adanya kecenderungan sebagian generasi muda bangsa ini berkiblat kepada kepada
kebudayaan tersebut. Keadaan akan tampak semakin nyata ketika melihat pada fenomena yang
ada seperti maraknya pergaulan bebas, meminum minuman keras, kasus narkoba hingga
kekerasan dan sebagainya.
Di tengah arus globalisasi tersebut, fenomena yang terjadi membuat semakin menipisnya
pemahaman peserta didik baik dalam jenjang sekolah dasar sampai menengah atas tentang
sejarah lokal serta tradisi budaya yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu alangkah lebih
baiknya jika lembaga pendidikan mampu menciptakan kegiatan pendidikan yang
mengupayakan bagaimana caranya agar aneka ragam budaya yang telah dimiliki bangsa yang
besar ini bisa dijaga dan dilestarikan bersama-sama.
Pendidikan di Indonesia dapat menerapkan pendidikan yang berbasis pada local wisdom
(kearifan lokal). Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-
menerus dijadikan pegangan hidup (Mubah, 2011). Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang
terkandung di dalamnya dianggap sangat universal dan memiliki nilai edukatif. Dengan
menerapkan pendidikan berbasis pada kearifan lokal atau local wisdom maka peserta didik
diharapkan akan mampu menciptakan pendidikan yang memberi makna bagi kehidupan
manusia Indonesia. Artinya, pendidikan mampu menciptakan generasi-generasi muda yang
mampu melestarikan dan mencintai budaya sendiri. Selain itu, pendidikan harus mampu
membentuk karakter manusia yang berintegritas tinggi dan berkarakter sehingga mampu
melahirkan tunas-tunas bangsa yang hebat dan bermartabat sesuai dengan spirit pendidikan
yaitu memanusiakan manusia.
Membangun pendidikan abad 21 berbasis kearifan lokal dilandasi pada hal-hal sebagai berikut
(Tilaar, 1998):
1. Landasan Historis
Awal pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui
secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuk mulai sejak
masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara). Tradisi prakarsa ini yang kemudian
melahirkan tradisi lisan. Pewarisan ini dilakukan dengan tujuan masyarakat yang
menjadi generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau mencintai cerita masa
lalunya.
2. Landasan Psikologis
Secara psikologis pembelajaran berbasis kearifan lokal memberikan sebuah
pengalaman psikologis kepada siswa selaku pengamat dan pelaksana kegiatan. Dampak
psikologis bisa terlihat dari keberanian siswa dalam bertanya tentang ketidaktahuannya,
mengajukan pendapat, persentasi di depan kelas, dan berkomunikasi dengan
masyarakat.
3. Landasan Politik dan Ekonomi
Secara politik dan ekonomi pembelajaran berbasis kearifan lokal ini memberikan
sumbangan kompetensi untuk mengenal persaingan dunia kerja. Dari segi ekonomi
pembelajaran ini memberikan contoh nyata kehidupan sebenarnya kepada siswa untuk
mengetahui kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena pada akhirnya siswa
dididik dan disiapkan untuk menghadapi persaingan global yang menuntut memiliki
ketrampilan dan kompetensi yang tinggi di lingkungan sosial.
4. Landasan Yuridis
Secara yuridis pembelajaran berbasis kearifan lokal mengarahkan peserta didik untuk
lebih menghargai warisan budaya Indonesia. Sekolah tidak hanya memiliki peran
membentuk peserta didik menjadi generasi yang berkualitas dari sisi kognitif, tetapi
juga harus membentuk sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan tuntutan yang
berlaku. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada di sekitar sekolah dapat dimanfaatkan untuk
pembelajaran di sekolah . Tak terkecuali dalam pembelajaran untuk menanamkan nilai-
nilai nasionalisme. Dengan diintegrasikannya nilai-nilai kearifan lokal dalam
pembelajaran di Sekolah diharapkan siswa akan memiliki pemahaman tentang kearifan
lokalnya sendiri, sehingga menimbulkan kecintaan terhadap budayanya sendiri.
Membangun Pendidikan abad 21 berbasis kearifan lokal dipadu dengan pembelajaran ilmu-
ilmu sosial sangatlah cocok. Hal ini sesuai dengan tujuannya yaitu agar siswa mampu
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan untuk menyelesaikan masalah
sosial yang terjadi dikehidupan siswa, sesuai dengan kemampuan belajarnya (Zhang and Byrd,
2006; Sardiman, 2010; Abbiss, 2013).
Salah satu framework yang dituntut pada Pendidikan Abad 21 yaitu kemampuan
berkomunikasi, bekerjasama dan pemecahana masalah selain itu perilaku siswa yang
diharapkan yaitu Social Responsibility memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan
kehidupan maupun komunitas yang ada di sekitarnya.
Melalui konsep Kearifan Lokal Barifola dan Implementasinnya pada pendidikan abad 21 maka
menghasilkan sebuah strategi yang dipergunakan dalam kegiatan pembelajaran maupun
muatan lokal. Strategi yang dihasilkan dari kearifan lokal Barifola menitik beratkan pada
kolaborasi antar sekolah yang didalamnnya melibatkan Guru dan siswa. Langkah-langkah yang
dapat digunakan pada penerapan Barifola untuk pendidikan abad 21 sebagai berikut:

Tabel 1. Konsep Kearifan Lokal Barifola dan Implemetasi Pada Pendidikan abad 21
Strategi dalam kegiatan Pembelajaran
Nilai-Nilai pada Kearifan lokal Barifola
1. Sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap
dapat melakukan kolaborasi dengan sekolah yang
tidak memiliki fasilitas yang tidak memadai.

1. Adanya Pemecahan masalah.

2. Guru dan siswa dapat melakukan kolaborasi


dengan sekolah lainnya khususnya pada mata
pelajaran yang bersifat kontekstual
2. Adanya interaktif sosial antar warga dan
wilayah.

3. Guru dan siswa dapat melakukan kegiatan baksos


dengan melibatkan sekolah lain sebagai wujud
pada kepedulian bersama.
3. Adanya partisipasi aktif dan pasif dalam
kegiatan tersebut

4. Guru dan siswa dapat membuat kegiatan-kegiatan


pada muatan lokal dengan melibatkan sekolah
lain.
5. Adanya bentuk tanggung jawab.
6. Adanya rasa percaya dalam bentuk
menghargai karya yang dibuat.
7. Adanya kreaktivitas oleh masyarakat.

Penerapan nilai-nilai kearifan lokal yang dijelaskan pada tabel 1 diharapkan dapat menjawab
tuntutan pada pendidikan abad 21 yang hanya berfokus pada persaingan atau kompetisi tetapi
juga memperhatikan nilai-nilai kebersamaan dalam membangun arah pendidikan di Indonesia
dengan menggunakan keuggulan dari bangsa ini yaitu dalam bentuk kearifan lokal. Dengan
adanya kolaborasi antar sekolah yang didalamnya terdapat unsur guru dan siswa maka, tercipta
hubungan kerjasama dan sikap saling menghargai antar siswa. Strategi kolaborasi dengan
menggunakan nilai kearifan lokal ini dapat diterapkan pada daerah-daerah rawan konflik,
sekolah yang siswannya sering melakukan tawuran atau perkelaihan dengan harapan dapat
memupuk silahturami, rasa saling menghargai , rasa kesetiakawanan, mengurangi kesenjangan
sosial serta membangkitkan kembali semangat gotong royong yang telah banyak pudar akibat
dari persaingan pada abad 21. Melalui nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dari Sabang
sampai Merauke dengan penerapannnya pada pendidikan abad 21 diharapkan dari
keberagaman menjadi keseragaman.

Kesimpulan
Untuk menumbuhkan pendidikan abad 21 tidak hanya menitik beratkan pada persaingan antar
sekolah, antar siswa yang di munculkan dalam bentuk sebuah hegemoni yang pada dasarnnya
sekolah yang unggul akan semakin terdepan dan sebaliknya sekolah yang banyak memilki
kekurangan semakin tenggelam akibat persaingan pada abad 21. Pentingnya menumbuhkan
nilai kearifan lokal pada masing-masing dalam bentuk kegiatan pembelajaran yang difokuskan
pada kolaborasi antar siswa satu sekolah dengan sekolah lainnya sebagai wujud kebudayaan
bangsa yang arif dan lokal untuk menuju arah pendidikan yang beragam kearah keseragaman.

Daftar Pustaka
Abbiss, J., 2013. Social Sciences and “21st Century Education” In Schools: Opportunities and
Challenges. N. Z. J. Educ. Stud. 48, 5.
Affandi, N., 2012. Harmoni dalam Keragaman (sebuah analisis tentang konstruksi
perdamaian antar umat beragama. Lentera 14.
Andriani, D.E., 2010. Mengembangkan Profesionalitas Guru Abad 21 Melalui Program
Pembimbingan yang Efektif. J. Manaj. Pendidik. 6.
Baldwin, L., Baum, S., Pereles, D., Hughes, C., 2015. Twice-Exceptional Learners: The
Journey Toward a Shared Vision. Gift. Child Today 38, 206–214.
doi:10.1177/1076217515597277
Bauto, L.M., 2016. Socio-Cultural Values As Community Local Wisdom Katoba Muna In The
Development Of Learning Materials Social Studies And History.
BSNP, 2010. Paradigma Pendidikan Nasional Abad xxi. Jakarta
del Real Alcala, J.A., 2013. The Value Of National Plurality In The Design Of The
Constitutional State. Eur. Sci. J. ESJ 9.
Effendi, L.A., 2012. Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing Untuk
Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa
Smp. J. Penelit. Pendidik. 13.
Faan, A.I.M., PhD, DrPS (hon), 2010. Transitions Theory: Middle Range and Situation
Specific Theories in Nursing Research and Practice. Springer Publishing Company.
Gunawan, H., 2012. Pendidikan Karakter. Konsep Dan Implementasi. Cetakan Ke-2 Alf. Bdg.
Guo, L., 2014. Preparing teachers to educate for 21st century global citizenship: Envisioning
and enacting. J. Glob. Citizsh. Equity Educ. 4, 1–23.
Herimanto, W., 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Bumi Aksara, Jakarta.
Ibda, F., 2015. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita 3.
Ilahi, N.W., Imaniyati, N., 2016. Peran Guru Sebagai Manajer Dalam Meningkatkan
Efektivitas Proses Pembelajaran. J. Pendidik. Manaj. Perkantoran 1, 104–114.
Indiyani, N.E., Listiara, A., 2006. Efektivitas Metode Pembelajaran Gotong Royong
(Cooperative Learning) Untuk Menurunkan Kecemasan Siswa dalam Menghadapi
Pelajaran Matematika (Suatu Studi Eksperimental pada Siswa di SMP 26 Semarang).
J. Psikol. Undip 3, 10–28

Anda mungkin juga menyukai