Anda di halaman 1dari 23

A.

Pengertian Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa rongga
abdomen) (Arif Muttaqin, 2011). Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan
membran serosa rongga abdomen dan meliputi visera.

B. Etiologi
Penyebab terjadinya peritonitis adalah Invasi kuman bakteri ke dalam rongga
peritoneum,bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi, meliputi:
1. Gram negative meliputi Escherichia coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%),
Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya (20%).
2. Gram positif, seperti Streptococcus pneumoniae (15%), Streptococcus lainnya
(15%), dan Staphylococcus (3%). Mikroorganisme anaerob kurang dari 5%.
(Cholongitas, 2005).
Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan juga oleh berbagai kelainan
pada gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen atau
perforasi organ pascatrauma abdomen. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri :
organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ
reproduktif internal. Peritonitis dapat juga akibat dari sumber eksternal seperti cedera
atau trauma ( misal : luka tembak atau luka tusuk) atau oleh inflamasi yang luas yang
berasal dari organ diluar area peritonium, seperti ginjal Inflamasi dan ileus paralitik
adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum lain dari peritonitis adalah
apendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus. Peritonitis juga dapat
dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal.

C. Klasifikasi
 Peritonitis Primer
Peritonitis bakteri spontan memiliki tanda dan gejala yang lebih ringan
dibandingkan peritonitis akibat tindakan bedah. Bahkan tanda dan gejala
seringkali tidak muncul pada pasien peritonitis jenis ini. Pada anamnesis,
dapat digali faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan peritonitis bakteri
spontan.
 Peritonitis Sekunder
Keluhan yang dirasakan oleh pasien dengan peritonitis sekunder tergantung
dengan penyebab utama peritonitis tersebut. Contohnya, pada pasien dengan
ruptur gaster keluhan yang dirasakan adalah nyeri di bagian epigastrium,
sedangkan pasien dengan appendicitis akan mengeluhkan nyeri di abdomen
kuadran kanan bawah disertai mual.
Infeksi yang menyebar ke rongga peritoneum memiliki ciri-ciri nyeri yang
bertambah akibat inervasi pada peritoneum parietal. Saat awal timbul, nyeri
seringkali tumpul dan tidak terlokalisir, kemudian akan berkembang menjadi nyeri
yang terus-menerus, berat, dan terlokalisir. Nyeri dapat dirasakan memberat dengan
pergerakan abdomen seperti saat batuk, menggerakan panggul, dan jika ditekan.
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah demam, anoreksia, mual, muntah,
konstipasi, distensi abdomen, dehidrasi, hingga syok.

D. Patofisiologi
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen
(peningkatan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan fibrin karantina dengan
pembentukan adhesi berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa merupakan reaksi
penting pertahanan tubuh, tetapi sejumlah besar bakteri dapat dikarantina dalam
matriks fibrin. Matriks fibrin tersebut memproteksi bakteri dari mekanisme
pembersihan oleh tubuh. Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh
untuk mencegah penyebaran infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan infeksi
persisten dan sepsis yang mengancam jiwa. Awal pembentukan abses melibatkan
pelepasan bakteri dan agen potensi abses menuju kelingkungan steril. Pertahanan
tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan mencoba mengontrol penyebaran
melalui sistem kompartemen. Proses ini dibantu oleh kombinasi faktor-faktor yang
memiliki fitur yang umum, yaitu fagositosis. Kontaminasi transien bakteri pada
peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit viseral primer) merupakan kondisi umum.
Resultan paparan antigen bakteri telah ditunjukkan untuk mengubah respon imun ke
inokulasi peritoneal berulang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan insidensi
pembentukan abses, perubahan konten bakteri, dan meningkatnya angka kematian.
Studi terbaru menunjukkan bahwa infeksi nosokomial di organ lain (misalnya
pneumonia, sepsis, infeksi luka) juga meningkatkan kemungkinan pembentukan
abses abdomen berikutnya. Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan
fibrinosa, menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum, maka
aktivitas motilitas usus menurun dan meningkatkan risiko ileus paralitik.
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena
kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi
dengan cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, misalnya interleukin, dapat memulai respons hiperinflamatorius sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Oleh karena
itu tubuh mencoba untuk mengimpensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardia awalnya meningkatkan
curah jantung, tetapi kemudian akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi
hipovolemia.
Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal dan edema dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hopovolemik. Hipovolemik
bertambahan dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan dirongga peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intraabdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit, dan
menimbulkan penurunan perfusi.
Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren.
Pasien dengan peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau phlegmon, dengan
atau tanpa fistula. Peritonitis tersier berkembang lebih sering pada pasien dengan
kondisi penyakit signifikan yang sudah ada sebelumnya dan pada pasien dengan
penurunan fungsi imun. Meskipun jarang diamati pada peritonitis tanpa komplikasi,
insiden peritonitis tersier pada pasien memerlukan masuk ICU pada peritonitis yang
parah dapat mencapai 50-74%. Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ
abdomen kedalam rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi,
iskemia, trauma atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema
jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga
peritonial menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris
seluler, dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti
oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus.

E. Manisfestasi klinis
Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari
peritonitis adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini.
a. Nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan,
terlokalisasi, lebih terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh
gerakan. Area yang sakit dari abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan,
dan otot menjadi kaku. Nyeri tekan lepas dan ileus peralitik dapat terjadi.
b. Mual dan muntah
c. Penurunan peristaltik.
d. Suhu dan frekuensi nadi meningkat,
e. Terdapat peningkatan jumlah leukosit.

F. Komplikasi
a. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis.
b. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia.
c. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama
berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah
a. Eviserasi luka
b. Pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen
yang mengalami nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan sesuatu terbuka”
harus dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa
menunjukkan adanya dehisens luka.

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Leukosit akan meningkat. Hemoglobin dan hematokrit mungkin rendah bila
terjadi kehilangan darah. Elektrolit serum dapat menunjukkan perubahan
kadar kalium, natrium, dan klorida.
b. Sinar-x dada dapat menunjukkan udara dan kadar cairan serta lengkung usus
yang terdistensi.
c. Pemindaian CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses.
d. Aspirasi peritoneal dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas cairan teraspirasi
dapat menunjukkan infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab.

H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada peritonitis di antaranya adalah keadaan lain yang bisa
menyebabkan akut abdomen:
 Porfiria intermiten akut
 Obstruksi ileus
 Appendicitis
 Ulkus peptikum atau tifoid
 Porfiria Intermiten Akut
I. Penatalaksanaan
a. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari
penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonik diberikan.
Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari
lumen usus kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan dalam ruang
vaskuler.
b. Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri.
c. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
d. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi
abdomen dan dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga
abdomen dapat menyebabkan distres pernapasan.
e. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan
oksigenisasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan
bantuan ventilasi diperlukan.
f. Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis
besar dari antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai
organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang
tepat dapat dimulai.
g. Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki
penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi
dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan drainase
(abses). Pada sepsis yang luas, perlu dibuat diversi fekal.

J. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Riwayat penyakit
a) Keluhan utama
Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut, awalnya rasa sakit
kurang terlokalisasi (peritoneum viseral). Kemudian berkembang menjadi
mantap, berat, dan nyeri lebih terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika
tidak terdapat proses infeksi, rasa sakit menjadi berkurang. Pada beberapa
penyakit tertentu (misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut berat,
iskemia usus) nyeri abdomen dapat digeneralisasi dari awal
b) Riwayat kesehatan sekarang
Didapat keluhan lainnya yang menyertai nyeri, seperti peningkatan suhu
tubuh, mual, dan muntah. Pada kondisi lebih berat akan didapatkan
penurunan kesadaran akibat syok sirkulasi dari septikemia
c) Riwayat kesehatan dahulu
Penting untuk dikaji dalam menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan kondisi peritonitis. Untuk memudahkan anamnesis,
perawat dapat melihat pada tabel. Penyebab dari peritonitis sebagai bahan
untuk mengembangkan pernyataan. Anamnesis penyakit sistemik, seperti
DM, hipertensi dan tuberkulosis dipertimbangkan sebagai sarana
pengkajian preoperatif.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga yang meliputi pola
makan, gaya hidup atau pun penyakit yang sering diderita keluarga
sehingga dapat menyebabkan peritonitis seperti penyakit apendititis, ulkul
peptikum, gastritis, divertikulosis dan lain-lain
2. Pengkajian psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana
pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah
3. Pemeriksaan fisik
Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.
a) Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan
b) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan
hemodinamik.
c) Suhu badan meningkat ≥38,5oC dan terjadi takikardia, hipotensi, pasien
tampak legarti serta syok hipovolemia
d) Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
1) Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi abdomen
didapatkan pada hampir semuja pasien dengan peritonitis dengan
menunjukkan peningkatan kekakuan dinding perut. Pasien dengan
peritonitis berat sering menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul
tertekuk untuk mengurangi ketegangan dinding perut. Perut sering
mengembung disertai tidak adanya bising usus. Temuan ini
mencerminkan ileus umum. Terkadang, pemeriksaan perut juga
mengungkapkan peradangan massa
2) Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus merupakan salah satu
tanda ileus obstruktif
3) Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu tubuh,
adanya darah atau cairan dalam rongga peritoneum akan memberikan
tanda-tanda rangsangan peritoneum. Rangsangan peritoneum
menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular. Pekak hati dapat
menghilang akibat udara bebas dibawah diafragma. Pemeriksaan rektal
dapat memunculkan nyeri abdomen, colok dubur ke arah kanan mungkin
mengindikasikan apendisitis dan apabila bagian anterior penuh dapat
mengindikasikan sebuah abses.
Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina dilakukan untuk
mendeteksi penyakit radang panggul (misalnya endometritis, salpingo-
ooforitis, abses tuba-ovarium), tetapi temuan sering sulit
diinterprestasikan dalam peritonitis berat
4) Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya flatulen
4. Pemeriksaan diagnostik
a) Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 1998) hal-hal berikut :
1) Sebaian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan
leukositosis (>11.000 sel/µL)
2) Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis
3) Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk mendeteksi
disfungsi pembengkuan
4) Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis
5) Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih, namun
pasien dengan perut bagian bawah dan infeksi panggul sering
menunjukkan sel darah putih dalam air seni dan mikrohematuria
6) Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septicemia
7) Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur
cairan peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan peritoneal
mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak
limfosit; basil tuberkel diindikasi dengan kultur
b) Pemeriksaan radiografik
1) Foto polos abdomen
2) Computed tomography scan (CT scan)
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
4) USG

3. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b.d infeksi, inflamasi intestinal, abses abdomen ditandai dengan nyeri
tekan pada abdomen
2. Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
kurangnya asupan makanan yang adekuat ditandai dengan mual, muntah dan
anoreksia
3. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d keluarnya cairan tubuh
ditandai dengan muntah yang berlebihan
4. Risiko tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, sekunder dari
syok sepsis ditandai dengan mual, muntah, dan demam
c. Intervensi Keperawatan
N Diagnose Perencanaan
o keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Nyeri b.d Tupan : Setelah 1. Kaji nyeri 1. Pendekatan
infeksi, inflamasi dilakukan dengan PQRST dapat
intestinal, abses tindakan pendekatan secara
abdomen keperawatan 3 x PQRST komprehensif
ditandai dengan 24 jam menggali
nyeri tekan pada diharapkan nyeri kondisi nyeri
abdomen hilang pasien :
Tupen : Dalam P=Penyebab
waktu 1 x 24 jam nyeri bisa
nyeri berkurang diakibatkan
atau teradaptasi oleh respons
Kriteria evaluasi iritasi atau
: inflamasi
 Secara intestinal,
subjektif abses
pernyataan abdomen,
nyeri kram
berkurang abdomen
atau Q=Kualitas
teradaptasi nyeri seperti
 Skala nyeri tumpul,
0-1 (0-4) terbakar,
 TTV dalam kram, dan
batas normal, mulas
wajah pasien R=Area nyeri
rileks yang
dirasakan
seperti nyeri
pada abdomen
bawah atau
atas
S=Pasien
2. Beri oksigen mengalami
nasal apabila skla nyeri 4
skala nyeri ≥ 4 (0-5)
(0-5) T=Nyeri
bertambah
pada waktu
ditekan atau
dilepas dan
saat BAB
2. Pemberian
3. Istirahatkan oksigen
pasien pada dilakukan
saat nyeri untuk
muncul memenuhi
kebutuhan
oksigen pada
saat pasien
4. Atur posisi mengalami
fisiologis nyeri
pascabedah
3. Istirahat
diperlukan
untuk
menurunkan
peristaltik
5. Berikan usus sehingga
kompres nyeri dapat
hangat pada berkurang
abdomen 4. Pengaturan
posisi dapat
membantu
merelaksasi
otot-otot
abdomen
6. Kolaburasi : sehingga
Berikan menurunkan
analgesic nyeri
5. Memberikan
respons
vasodilatasi.
Kompres ini
dilakukan
pada pasien
tanpa
pembedahan

6. Untuk
mengurangi
atau
menghilangka
n nyeri
2. Risiko tinggi Tujuan : setelah 1. Kaji dan 1. Pemberian
ketidakseimbang 3 x 24 jam pada berikan nutrisi nutrisi pada
an nutrisi kurang pasien nonbedah sesuai tingkat pasien dengan
dari kebutuhan dan setelah 7 x toleransi enteritis
tubuh b.d 24 jam individu regional
kurangnya pascabedah bervariasi
asupan makanan asupan nutrisi sesuai dengan
yang adekuat dapat optimal kondisi klinik
ditandai dengan dilaksanakan. dan tingkat
mual, muntah Kriteria evaluasi toleransi
dan anoreksia : 2. Sajikan individu
 Pasien dapat makanan 2. Membantu
menunjukkan dengan cara merangsang
metode yang menarik nafsu makan.
menelan yang Tindakan ini
tepat dapat
 Keluhan mual diberikan bila
dan muntah toleransi oral
berkurang tidak menjadi
 Secara masalah pada
subjektif 3. Fasilitasi pasien pasien
melaporkan memperoleh 3. Diet lemak
peningkatan diet rendah diberikan
nafsu makan lemak pada pasien

 Berat badan dengan gejala

meningkat malabsorpsi
akibat
hilangnya
fungsi
penyerapan
permukaan
mukosa.
Khusunya
penyerapan
lemak.
Keterlibatan
ileum
terminal dapat
mengakibatka
n steatorrhea
(buang air
besar dengan
feses
bercampur
4. Fasilitasi pasien lemak)
memperoleh
diet dengan 4. Suplemen
kandungan serat tinggi
serat tinggi dikatakan
bermanfaat
bagi pasien
dengan
penyakit
kolon karena
fakta bahwa
serat makanan
dapat diubah
menjadi rantai
pendek asam
lemak yang
menyediakan
5. Fasilitasi pasien bahan bakar
memperoleh untuk
diet rendah penyembuhan
serat mukosa kolon
5. Diet rendah
serat biasanya
diindikasikan
6. Fasilitasi untuk untuk pasien
pemberian dengan gejala
nutrisi obstruksi
parenteral 6. Nutrisi
parental total
(TPN)
digunakan
bila gejala
penyakit usus
inflamasi
bertambah
berat. Dengan
TPN, perawat
dapat
mempertahan
kan catatan
akurat tentang
intake dan
output cairan,
serta berat
badan pasien
7. Pantau intake setiap hari.
dan output, Berat badan
Anjurkan untuk pasien harus
timbang berat meningkat
badan secara setelah
periodik (sekali dilakukan
seminggu) terapi.
8. Lakukan 7. mengukur
perawatan keefektifan
mulut nutrisi dan
dukungan
9. Kolaborasi cairan
dengan ahli gizi
jenis nutrisi
yang akan 8. men urunkan
digunakan risiko infeksi
pasien oral
9. Ahli gizi
harus terlibat
dalam
penentuan
komposisi dan
jenis makanan
yang akan
diberikan
sesuai dengan
kebutuhan
individu

3 Risiko Tujuan : Dalam 1. Monitoring 1. Jumlah dan


ketidakseimbang waktu 1 x 24 jam status cairan tipe cairan
an cairan dan tidak terjadi (turgor kulit, pengganti
elektrolit b.d ketidakseimbang membran ditentukan
keluarnya cairan an cairan dan mukosa, urine dari keadaan
tubuh ditandai elektrolit output) status cairan.
dengan muntah Kriteria evaluasi Penurunan
yang berlebihan : volume
 Pasien tidak cairan
mengeluh mengakibatka
pusing, n
membran menurunnya
mukpsa produksi
lembap, urine,
turgor kulit monitoring
normal. yang ketat
TTV dalam pada
batas produksi
normal, urine, apabila
CRT >3 <600 ml/hari
detik, urine 2. Kaji sumber merupakan
>600 kehilangan tanda-tanda
ml/hari cairan terjadinya
 Laboratoriu syok
m : nilai hipovolemik
elektrolit 2. Kehilangan
normal, nilai cairan dari
hematokrit muntah dapat
dan protein disertai
serum dengan
meningkat, keluarnya
BUN/Kreati natrium via
nin menurun 3. Monitor tanda- oral yang
tanda vital juga akan
terutama meningkatka
tekanan darah n risiko
gangguan
elektrol

3. Hipotensi
dapat terjadi
pada
hipovolemik
yang
memberikan
manisfestasi
sudah
4. Kaji warna terlibatnya
kulit, suhu, sistem
sianosis, nadi kardiovaskule
perifer, dan r untuk
diaforesis melakukan
secara teratur kompensasi
5. Kolaborasi mempertahan
 Pertahankan kan tekanan
pemberian darah
cairan 4. Mengetahui
secara adanya
intravena pengaruh
peningkatan
tahanan
perifer
5. Kolaborasi
 Jalur yang
paten
penting
untuk
pemberia
n cairan
 Evaluasi cepat dan
kadar memudah
elektrolit kan
perawat
dalam
melakuka
n kontrol
intake dan
output
cairan
 Sebagai
diteksi
awal
menghind
ari
gangguan
elektrolit
sekunder
dari
muntah
pada
pasien
peritonitis

4 Risiko tinggi Tujuan : Dalam 1. Identifikasi 1. Pada pasien


syok waktu 1 x 24 jam adanya tanda- dengan
hipovolemik b.d tidak terjadi syok tanda syok dan perubahan
penurunan hipovolemik status dehidrasi akut TTV dan
volume darah, Kriteria evaluasi dehidrasi berat
sekunder dari : maka
syok sepsis - Tidak terdapat pemulihan
ditandai dengan tanda-tanda syok hidrasi
mual, muntah, : pasien tidak menjadi
dan demam mengeluh pusing, parameter
TTV dalam batas 2. Kolaborasi utama dalam
normal, skor dehidrasi melakukan
kesadaran tindakan
optimal, urine 2. Pasien yang
>600 ml/hari mengalami
- Membran dehidrasi berat
mukosa lembap, ditandai
turgor kulit dengan skor
normal, CRT >3 dehidrasi 7-12
detik dan
- Laboratorium : 3. Lakukan mempunyai
nilai elektrolit pemasangan risiko tinggi
normal, nilai IVFD,Lakukan terjadi syok
hematokrit dan pemasangan hipovolemik
protein serum dan pemberian 3. Pemasangan
meningkat, infus dua jalur. IVFD secara
BUN/Kreatinin dua jalur harus
menurun dapat
dilakukan
untuk
mencegah
syok yang
bersifat
ireversibel,
diharapakan
4. Kolaborasi terdapat
rehidrasi cairan perbaikan
sirkulasi
ditandai
dengan
bendungan
vena sehingga
syok bisa
diatasi
4. Pemberian 1-2
liter larutan
dekstrosa 5%
5. Monitor dalam 0,5
rehidrasi cairan NaCl disertai
50 mEq
NaHCO2 dan
10-20mEq
KCl selama
30-40 menit
sangat penting
dilakukan
6. Dokumentasi pada dehidrasi
dengan akurat berat
tentang intake 5. Rehidrasi
dan output cairan harus
cairan diperhatikan
dan diberikan
sampai
7. Lakukan didapatkannya
monitoring perbaikan
ketatpada status mental
seluruh sistem dan tanda
organ perfusi
jaringan sudah
membaik
6. Sebagai
evaluassi
penting dari
intervensi
hidrasi dan
mencegah
terjadinya
over hidrasi
7. Pasien yang
mengalami
syok
hipovolemik
mendapat
perawatan di
ruang intensif
untuk
memudahkan
dalam
memonitor
seluruh
kondisi organ

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika

NANDA.(2018). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta:


Buku Kedokteran EGC.

NOC.(2013).Nursing Outcomes Clasification Edisi Bahasa Indonesia Edisi ke


5.jakarta: Mocomedia

Anda mungkin juga menyukai