Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayahnya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Zona Ekonomi
Ekslusif ini dan dapat dipergunakan sebagai salah acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca

Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi sistematika maupun keruntutan kalimat untuk itu penyusun berharap kepada dosen
pengampu mata kuliah Hukum Laut Internasional untuk dapat memberikan masukan untuk
menguatkan dan sebagai dasar acuan kami untuk bisa lebih baik lagi kedepannya.

Tanjung pinang, 5 Oktober 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG………………………………………………………………………...3

1.2 RUMUSAN MASALAH……………………………………………………………………...4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI……………………………………………………………………………………...5

2.2 PERKEMBANGAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF………………………………………5

2.3 DELIMITASI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF……………………………………………6

2.4 STATUS HUKUM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF………………………………………7

2.5 HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA PANTAI………………………………………………7

2.6 HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA LAIN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF………11

2.7 HUBUNGAN HAK ANTARA NEGARA PANTAI DENGAN NEGARA LAIN…………13

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN………………………………………………………………………………15

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terbentuknya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tidak terlepas dari sejarah perkembangan
hukum laut, yaitu kewenangan dalam pengaturan penggunaan laut.1 Pengaturan laut yang
semula hanya membagi laut menjadi dua, pertama laut yang berada dibawah kedaulatan
suatu negara yang di sebut dengan laut teritorial dan kedua, laut yang bersifat bebas. 2 Yang
dalam perkembangannya pengaturan hukum laut, kemudian mengalami suatu pergeseran.
Pergeseran dalam pengaturan tersebut diacara oleh adanya pengambilan sumber daya ikan
yang dilakukan secara berlebihan dan terus menerus tanpa memperhatikan faktor
pelestariannya, yang pada akhirnya berdampak pengambilan sumber daya ikan yang bebas
atau dapat diterjemahkan pemanfaatan tanpa batas.3
Zona Ekonomi Eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar teritorial yang lebarnya
tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari gatis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar
laut teritorial.4 Berlakunya konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan pranata
hukum laut internasional yang masih baru. Di dalam Kon- ferensi Hukum Laut yang
diprakarasai oleh PBB yang diselenggarakan mulai Tahun 1973 sampai dengan 1982 Zona
Eksklusif ini dibahas secara mendalam dan intensif sebagai salah satu agenda acara
konferensi dan disepakati serta dituangkan di dalam Bab V Pasal 55-75 Konvensi Hukum
Laut Internasional 1982.5 Barbara Kiwatowska dalam bukunya The 200 Mile Exclusive
Economic Zone in the Law of the Sea menjelaskan bahwa6:

“The Economic Exclusive Zone is an area beyond and adjecent to the territorial sea that
extends up to 200 miles from the territorial sea baselines, in which the coastal states
has sovereign rights with regard to all natural resources and other activities for

1
Ida Kurnia, pengaturan sumber daya perikanan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia MIMBAR HUKUM
volume 26, nomor 2, juni 2014, halaman 205-219
2
Ibid
3
Ibid
4
Melda Kamil Ariadno, “Pemanfaatan Sumber Daya Ikan ZEEI”. Koran Kompas.
5
Setiadi, Ignatius Yogi Widianto. Upaya Negara Indonesia Dalam Menangani Masalah Illegal Fishing Di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jogjakarta. 2014.
6
Barbara Kwiatokowska. The 200 Mile Exclusive Economic Zone in the Law of the Sea. Martinus Nijhoff
Publishers. Dordrecht. 1989.

3
economic exploitation and exploration, as well as jurisdiction with regard to artificial
islands, scientific research and the marine environment protection, and other rights and duties
provided for the law of the sea convention. All states enjoy in the EEZ navigational and other
comunications freedoms, and the land-locked and other”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Definisi
2. Perkembangan Zona Ekonomi Ekslusif
3. Delimitasi Zona Ekonomi Ekslusif
4. Status Hukum Zona Ekonomi Eklsusif
5. Hak dan kewajiban Negara pantai
6. Hak dan kewajiban Negara lain di Zona Ekonomi Ekslusif
7. Hubungan antara Hak Negara pantai dan Hak Negara lain

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Dalam Konvensi hukum laut 1982, zona ekonomi eksklusif diatur dalam bagian kelima,
dimana ZEE didefinisikan sebagai suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut
teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan
mana hak- hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara
lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini7. Sedangkan dalam peraturan
nasional Indoneisa dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tengtang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia didefinisikan sebagai jalur di luar
dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-
undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya
dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut
wilayah Indonesia8.

2.2 Perkembangan Zona Ekonomi Eksklusif


Awal mula pemikiran yang mendasari munculnya ZEE oleh Negara pantai berawal
pada tahun 1945 untuk menegaskan hak dan yurisdiksi atas wilayah meningkatnya dasar laut
didorong oleh keyakinan bahwa kelimpahan sumber daya alam di bawahnya. Pada dasarnya
dikembangkan bersama-sama dengan klaim landas kontinen dengan banyak Latin Amerika
Serikat dan Negara Afrika membuat klaim ke laut teritorial yang luas dan zona perikanan,
dengan mantan panggilan untuk "laut patrimonial" hingga 200 nm9. Upaya untuk
menggabungkan klaim ke kolom air dan klaim ke dasar laut menjadi "konsep zona salah satu
sumber daya" yang tak terelakkan, dan pada tahun 1971, Kenya mengedepankan konsep ZEE
kepada Komite Asia-Afrika Hukum Permusyawaratan dan Komite Sea-B PBB di 1.972,8
konsep baru dari ZEE sebagian besar didukung oleh sebagian besar negara berkembang dan
menunjukkan keinginan Negara-negara tersebut memiliki kontrol lebih besar atas sumber-

7
Pasal 55 UNCLOS 1982
8
Undang –Undang No. 5 tahun 2983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
9
Winston Conrad Extavour. The Exclusive Economic Zone: A Study of Evolution and Progressive Development of
the International Law of the Sea. Institute Universitaire de Hautes Etudes Internationales. Geneve: 1981.

5
sumber ekonomi mereka, terutama stok ikan, yang merasa telah berada di bawah peningkatan
eksploitasi armada yang jauh air dikembangkan.10

2.3 Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif

A. Batas Luar

Batas awal dari ZEE adalah batas terluar dari laut teritorial.11 Batas akhir dari ZEE
tidak boleh melebihi 200 nm dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur laut
12
teritorial suatu negara. Dalam konvensi hukum laut 1982 dikatakan bahwa negara dapat
meng klaim maksiman 200 nm zona ekonomi eksklusif, sehingga memungkinkan apabila
negara ingin mengkleim ZEE kurang dari 200nm. Dalam beberapa wilayah negara tidak
memiliki pilihan selain mengklaim ZEE kurang daro 200nm dikarenakan berbenturan dengan
negara tetangga. Pada dasarnya tidak terdapat alasan signifikan secara geografi ataupun
sejarah mengapa jarak 200 nm yang digunakan sebagai jarak maksimum dari ZEE. Pada awal
konvensi hukum laut dibentuk, ada beberapa negara Amerika Latin dan Afrika yang
menglaim perpanjangan jurisdiksi hukngga 200nm, untuk mengakomodasi hal tersebut dalam
proses negosiasi ditetapkanlah 200nm sebagai zona ekonomi eksklusif negara atas sumber
daya yang ada di dalamnya dan bukan merupakan jurisdiksi kedaulatan penuh negara pantai.

B. Pulau

Pada prinsipnya, seluruh daerah darat dari negara pantai dapat dijadikan pengukur
ZEE. Namun terdapat tiga kualifikasi yang harus dipenuhi untuk suatu pulau dapat memiiki
ZEE. Pertama, walaupun pada dasarnya semua pulau dapat memiliki ZEE, Pasal 121 (3)
Konvensi hukum laut 1982 mengatur bahwa batu yang tidak bisa menjadi habitat dan
penunjang ekonomi manusia tidak dapat memiliki ZEE dan landas kontinen.13 Setelah tahun
1997 pasal 121 (3) Konvensi hukum laut yang mengatur bahwa pulau yang bukan habitat
manusia tidak dapat memiliki ZEE dapat dikatakan sebagai customary international law.
Kedua, Kualifikasi kedua yang tidak memiliki ZEE adalah pulau atau daerah yang tidak
memiliki kemerdekaan sepenuhnya yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan daerah

10
P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta,
11
Pasal 55 UNCLOS 1982.
12
Pasal 57 UNCLOS 1982.
13
Pasal 121 (3) UNCLOS 1982

6
yang berada dibawah kekuasaan kolonial. Resolusi III dari konvensi hukum laut 1982.
Ketiga, adalah antartika, dimana perlu dipahami bahwa Pasal IV dari Traktat Antartika 1959
menyatakan bahwa ZEE tidak ddapat diterapkan di wilayah yang termasuk dalam konvensi
ini.

2.4 Status Hukum Zona Ekonomi Eksklusif

Pada awal perkembangan konvensi hukum laut 1982, muncul berbagai pertanyaan
mengenai status hukum apa yang berlaku di ZEE. Banyak negara maritim yang beranggapan
seharusnya di ZEE berlaku rezim hukum yang sama dengan laut bebas. Namun hal tersebut
bertentangan dengan konvensi hukum laut yang menyatakan bahwa Zona ekonomi eksklusif
adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim
hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak- hak dan yurisdiksi
Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-
ketentuan yang relevan Konvensi ini.14 lebih lanjut terkait dengan laut bebas konvensi hukum
laut juga mengatakan bahwa Ketentuan Bab mengenai laut bebas berlaku bagi semua bagian
dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam
perairan pedalaman suatu Negara, atau dalam perairan kepulauan suatu Negara kepulauan.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut jelas bahwa rezim hukum yang ada di ZEE berbeda
dengan rezim hukum yang berlaku di laut bebas. ZEE perlu dianggap sebagai zona yang
memiliki hukum sendiri yang terletak diantara laut teritorial dan laut bebas. Terdapat tiga
prinsip elemen dari status hukum ZEE, yaitu (1) hak dan kewajiban yang diberikan oleh
Konvensi hukum laut kepada negara pantai, (2) hak dankewajiban yang diberikan oleh
konvensi hukum laut kepada negara selain negara pantai, (3) Konvensi hukum laut mengatur
kegiatan yang tidak termasuk kedalam kedua katagori tersebut.

2.5 Hak dan Kewajiban Negara Pantai

Pada dasarnya hak dan kewajiban dari negara pantai telah diatur dalam Pasal 56
Konvensi hukum laut 1982. Negara pantai mempunyai hak yang berkaitan dengan sumber
daya alam di ZEE, yang tertuang dalam enam katagori berikut:

A. Sumber Daya Alam non- Hayati.

14
Pasal 55 UNCLOS 1982.

7
Pertama, negara pantai mempunyai hak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi,
Konservasi dan manejemen sumber daya alam non hayati di perairan yang termasuk dalam zona
ekonomi eksklusif negara pantai. Sedangkan sumber daya non-hayati yang ada didasar laut
tunduk pada hukum yang terpisah yaitu continental shelf.
B. Sumber daya Hayati
Berkenaan dengan sumber daya hayati, Negara pantai memiliki hak berdaulat untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya hayati, tetapi juga memiliki kewajiban
yang terkait dengan pengelolaan konservasi sumber kekayaan hayati di ZEE nya15.
Terkait dengan pemanfaatan sumber daya hayati di ZEE, konvensi hukum laut
membebankan kewajiban pada negara pantai untuk mempromosikan pemanfaatan yang
optimal dari sumber daya hayati.16 Hal ini juga membebankan kewajiban Negara pantai
untuk menentukan jenis tangkapan yang diperbolehkan dari sumber kekayaan hayati di
ZEE.17 dan kapasitas kemampuan sendiri untuk memanen sumber daya hayati. Jika
kemampuan tangkapan yang diperbolehkan melebihi kapasitas kemampuan negara pantai
sendiri, Negara pantai wajib memberikan akses negara lain.18 Namun, Negara pantai
diberikan kebebasan yang luas untuk memutuskan di mana negara lain mendapatkan
akses untuk memanfaatkan sumber daya hayati yang berlebih. 19 Konvensi hukum laut
1982 mengatur bahwa dalam memberikan akses ke ZEEnya yang surplus, Negara pantai
harus memperhitungkan semua faktor yang relevan. Salah satu dari beberapa faktor yang
harus diperhitungkan adalah ke negara yang warganegaranya telah memancing di sekitar
ZEE20

15
Robert Beckmen dan Tara Davenport, The EEZ Regime: Reflections after 30 Years”. Papers from the Law
of the Sea Institute, UC Berkeley–Korea Institute of Ocean Science and Technology Conference, held in Seoul,
Korea, May 2012
16
Pasal 62 (1) UNCLOS 1982.
17
Pasal 62 (1) UNCLOS 1982
18
Pasal 62 (2) UNCLOS 1982
19
Kebebasan Negara pantai untuk menentukan kapan negara lain memiliki kapasitas untuk memanfaatkan
sumber daya hayati dari ZEE negara pantai (Lihat Pasal 62 (2)). UNCLOS mengatur bahwa dalam memberikan
akses ke sumber daya untuk Negara lain, Negara pantai harus memperhitungkan semua faktor-faktor yang relevan,
termasuk diantaranya pentingnya sumber daya hayati di daerah itu bagi perekonomian Negara pantai yang
bersangkutan dan kepentingannya lainnya nasional, ketentuan pasal 69 (negara yang tidak mempunyai laut) dan 70
(hak Negara geografis kurang beruntung), persyaratan Negara-negara berkembang di sub regional atau regional di
panen bagian dari surplus dan kebutuhan untuk meminimalkan dislokasi ekonomi di Negara yang warganegaranya
telah menangkap ikan di zona atau yang telah melakukan upaya besar dalam penelitian dan identifikasi saham:
"Lihat Pasal 62 (3) UNCLOS.
20
R.R. Cuhurcill dan A.V. Lowe. Melland Schill. Studies in Internatiomal The Law of the Sea. Juris
Publishing Manchester University Press. Manchester : 1988.

8
Pasal 56 mengatur bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi
dan eksploitasi, konservasi dan mengatur sumber daya hayati Negara pantai dapat, dalam
melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan,
termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan,
sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang
ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
C. Sumberdaya Ekonomi Lainnya
Pasal 56 Konvensi hukum laut memberikan hak berdaulat bagi negara pantai terkait
dengan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi di ZEE, seperti produksi energi yang
bersumber dari air laut, currents dan angin. Aturan ini memberikan hak baru bagi negara
pantai untuk mengembangkan teknologi terkait. Produksi energi seringkali membutuhkan
konstruksi dan instalasi, sehingga hal tersebut juga dapat diakomodasi oleh ketentuan
hukum.21. Konstruksi Pulau Buatan dan Instalasi Di ZEE pada dasarnya tidak terdapat
kedaulatan panuh negara pantai, namun lebih merupakan kedaulatan terbatas pada pemanfaatan
ekonominya. Pasal 56 Konvensi Hukum Laut, mengatur bahwa di zona ekonomi eksklusif,
Negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk membangun dan untuk menguasakan dan
mengatur pembangunan operasi dan penggunaan 22:
(a) pulau buatan;
(b) instalasi dan bangunan untuk keperluan sebagaimana ditentukan dalam pasal
56 dan tujuan ekonomi lainnya;
(c) instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu pelaksanaan hak-hak Negara
pantai dalam zona tersebut.
Pembuatan pulau buatan di ZEE pada dasarnya tidak boleh melebihi 500 meter. Pada dasarnya
hak negara pantai untuk membentuk pulau buatan, instalasi dan struktur juga diiringi dengan
beberapa kewajiban. Pertama, negara pantai harus memberikan Pemberitahuan sebagaimana
mestinya harus diberikan mengenai pembangunan pulau buatan, instalasi atau bangunan demikian
dan sarana tetap guna pemberitahuan adanya instalasi atau bangunan demikian harus dipelihara.23
Kedua, setiap instalasi atau bangunan yang ditinggalkan atau tidak terpakai harus dibongkar
untuk menjamin keselamatan pelayaran, dengan memperhatikan setiap standar internasional yang

21
Ibid, hlm. 163.
22
Pasal 56 UNCLOS 1982
23
Ibid,

9
diterima secara umum yang ditetapkan dalam hal ini oleh organisasi internasional yang
berwenang. Pembongkaran demikian harus memperhatikan dengan semestinya penangkapan
ikan, perlindungan lingkungan laut, dan hak-hak serta kewajiban Negara lain. Pengumuman yang
tepat harus diberikan mengenai kedalaman, posisi dan dimensi setiap instalasi atau bangunan
yang tidak dibongkar secara keseluruhan.
D. Riset Ilmiah Kelautan
Pasal 56 memberikan jurisdiksi bagi negara pantai untuk melakukan riset ilmiah
kelautan. Dimana negara pantai memiliki mengatur, memberikan izin dan
menyelenggarakan riset ilmiah kelautan di ZEE.24 Negara-negara pantai dalam keadaan
biasa harus memberikan ijinnya terhadap proyek riset ilmiah kelautan yang
diselenggarakan oleh Negara-negara lain atau organisasi- organisasi internasional yang
kompeten dalam zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinennya yang
diselenggarakan sesuai dengan Konvensi ini semata-mata untuk tujuan damai dan dengan
tujuan untuk menambah pengetahuan ilmiah tentang lingkungan laut demi kepentingan
umat manusia. Untuk tujuan termaksud Negara-negara pantai harus secepatnya
menentukan ketentuan dan prosedur guna menjamin agar persetujuan tersebut tidak akan
diundurkan atau ditolak tanpa alasan yang cukup.25 Sekalipun demikian Negara-negara
pantai berwenang untuk tidak memberikan persetujuannya guna diselenggarakannya
proyek riset oleh Negara lain atau organisasi internasional yang kompeten dalam zona
ekonomi eksklusif atau di landas kontinen Negara pantai tersebut apabila proyek itu 26:
a) mempunyai arti langsung bagi eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam, baik hayati
maupun non hayati;
b) meliputi penyebaran dalam landas kontinen, penggunaan bahan peledak atau
pemasukan bahan-bahan berbahaya ke dalam lingkungan laut;
c) meliputi konstruksi, operasi atau penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi
atau bangunan-bangunan sebagaimana tersebut pada pasal 60 dan 80;
d) mengandung informasi yang disampaikan menurut pasal 248 mengenai sifat dan
tujuan proyek yang tidak tepat atau apabila Negara yang menyelenggara-kan riset

24
R.R. Cuhurcill dan A.V. Lowe. Melland Schill. Studies in Internatiomal The Law of the Sea. Op Cit.
25
Pasal 246 ayat (3) UNCLOS 1982.
26
Pasal 246 ayat (5) UNCLOS 1982

10
atau organisasi internasional yang kompeten mempunyai kewjaiban-kewajiban yang
belum dilaksanakan terhadap Negara pantai berdasarkan suatu proyek riset terdahulu.

2.6 Hak dan Kewajiban Negara Lain di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Hak dan Kewajiban dari negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif diatur di pasal 58
UNCLOS, dimana pengaturan ini memiliki tujuan dalam hal komunikasi internasional dan
keterkaitannya terhadap empat kebebasan (four freedoms) di laut bebas. Dari ke-empat
kebebasan yang secara spesifik disebutkan di Konvensi Laut Bebas tahun 1958, fishing atau
menangkap ikan di dalam Zona Ekonomi Eksklusif berada pada yurisdiksi negara pantai:
sementara tiga kebebasan lainnya masih dapat diaplikasikan oleh negara-negara lain,
walaupun terdapat pembatasan lebih ketat dibandingkan jika berada di Laut Bebas.27
Selanjutnya, akan dijelaskan kebebasan-kebebasan yang dapat dilakukan oleh negara-negara
lain di Zona Ekonomi Eksklusif juga dengan kewajiban dari negara-negara tersebut.
Kebebasan-kebebasan tersebut adalah:

A. Navigasi
Pasal 58 ayat (1) UNCLOS menyebutkan bahwa dalam Zona Ekonomi Eksklusif semua
negara dapat mendapatkan kebebasan navigasi sebagaimana disebutkan dalam pasal 87
UNCLOS. Kebebasan bernavigasi adalah kebebasan yang paling mendasar di hukum laut.
28
Kebebasan ini memiliki beberapa batasan-batasan yang harus diperhatikan oleh negara-negara
terkait. Pertama, kebebasan ini harus memperhatikan batasan umum yang mengatur semua
kebebasan di laut bebas yang terdapat pada pasal 87 ayat (2) UNCLOS – yaitu, bahwa semua
kebebasan harus dijalankan dengan memperhatikan kepentingan dari negara lain dalam
pelaksanaan kebebasan dalam laut bebas mereka. Ketidakpastian timbul karena adanya referensi
yang cenderung ambigu di Pasal 58 ayat (1) ke Pasal 87, yang terletak di Bagian VII UNCLOS
dan mengatur mengenai laut bebas (high seas).29 Kedua, berdasarkan Pasal 58 ayat (2),
kebebasan bernavigasi di Zona Ekonomi Eksklusif juga termasuk ke dalam pengaturan Pasal 88

27
R.R. Churchill dan A.V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: Manchester University Press, 1999), hal.
170.
28
Jon M. Van Dyke, “The Disappearing Right to Navigational Freedom in the Exclusive

Economic Zone,” Marine Policy, 29 (2005): 107 – 121, 107.


29
R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit., Hal. 170

11
sampai 115 dari UNCLOS dan pengaturan hukum internasional lain yang relevan yang berkaitan
dengan navigasi di laut bebas (high seas).30
B. Overflight (Lintas yang dilewati oleh Pesawat Terbang)
Pasal 58 mengatur bahwa semua negara dapat menikmati kebebasan melintas di Zona
Ekonomi Eksklusif bagi pesawat terbang dan juga kegunaan-kegunaan lain yang
diperbolehkan menurut hukum internasional (other internationally lawful uses of the sea)
terkait kebebasan overflight ini yang diperbolehkan oleh pengaturan di UNCLOS.
Kebebasan untuk overflight di Zona Ekonomi Eksklusif seperti layaknya kebebasan
bernavigasi, terikat pada dua batasan, yaitu pertama, memperhatikan kepentingan
negara-negara lain, dan kedua, memperhatikan pengaturan pasal 88 sampai 115
(walaupun beberapa pasal-pasal di dalamnya tidak mengaplikasikan pengaturannya
terhadap pesawat terbang).31
C. Peletakan Kabel dan Pipa Bawah Air
Kebebasan yang terakhir adalah semua negara memiliki kebebasan untuk meletakan
kabel dan pipa bawah air di Zona Ekonomi Eksklusif juga kegunaan-kegunaan lain yang
diperbolehkan menurut hukum internasional (other internationally lawful uses of the sea)
terkait dengan kebebasan mengenai peletakan kabel dan pipa bawah air berdasarkan
pengaturan yang berada di UNCLOS. Sebagaimana dua kebebasan yang sebelumnya,
tentunya kebebasan ini juga memiliki batasan yang secara eksplisit disebutkan dalam
UNCLOS, yaitu: pertama, mempertimbangkan dan memperhatikan kepentingan negara
lain, dan kedua, memperhatikan pasal 88-115 UNCLOS, lebih spesifiknya pada pasal
112-115 yang membahas permasalahan jika pipa atau kabel tersebut rusak. 32 Ada batasan
lain terkait kebebasan ini yang terkandung pada pasal 79 UNCLOS. Walaupun pasal ini
membahas mengenai continental shelf, namun pengaturan ini juga dapat berlaku bagi
Zona Ekonomi Eksklusif karena dasar laut dari Zona Ekonomi Eksklusif terdiri dari
continental shelf (landas kontinen). Pasal 79 ayat (3) UNCLOS membahas mengenai
bagan atau gambaran haluan pipa bawah air (tapi kabel tidak termasuk) membutuhkan
konsen atau persetujuan dari negara pantai.33 Lalu, pasal 79 ayat (4) UNCLOS

30
F. Orrego Vicuna, The Exclusive Economic Zone, (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), Hal.
99.
31
Loc.Cit
32
R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit., Hal. 174
33
Loc.Cit

12
memberikan wewenang terhadap negara pantai untuk menetapkan kondisi atau
persyaratan yang memasuki laut teritorialnya dan menegakkan yurisdiksinya atas kabel
dan pipa yang dibangun atau digunakan dan memiliki hubungan dalam kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan negara pantai atau pembuatan dan
pengoperasian pulau buatan dan instalasi di bawah yurisdiksi negara pantai.34

2.7 Hubungan antara Hak Negara Pantai dan Hak Negara Lain
Jika dilihat, kaitan antara hal-hal yang telah disebutkan di atas mengenai hak-hak yang
secara tegas berhubungan dengan negara pantai dan negara lain melahirkan potensi konflik yang
cukup besar antara kelompok hak-hak tersebut.35 Peraturan terkait konflik yang seperti itu secara
tegas diatur dalam UNCLOS. Dengan demikian, sebagai contoh, pengaturan yang terdapat pada
pasal 60 UNCLOS dibuat untuk menghindari konflik antara hak negara pantai untuk membangun
pulau atau instalasi buatan dan hak pelayaran asing. Tidak berbeda dengan kewenangan negara
pantai terkait pengontrolan polusi yang secara hati-hati dibilang pada Part XII yang bertujuan
untuk meminimalisasi gangguan dengan pelayaran asing.36 Namun dalam beberapa kasus,
UNCLOS tidak berisikan aturan spesifik dalam menghindari konflik penggunaan (conflicts of
use). Sebagai contoh, menjadi suatu ketidakjelasan mengenai jangkauan apa dan untuk apa suatu
negara dapat, sebagai salah satu bagian dari kedaulatannya, dalam mengeksploitasi dan
melakukan manajemen sumber daya alam, membuat aturan mengenai pelayaran asing untuk
meminimalisasi konflik dalam hal pengambilan ikan (fishing) di Zona Ekonomi Eksklusif, e.g.
dengan mengharuskan kapal-kapal untuk menghindari daerah dimana negara pantai mendirikan
jalan atau tempat berterlur atau tempat pengembangbiakkan ikan.37 Di kasus-kasus seperti ini,
satu-satunya pedoman yang digunakan yang berasal dari konvensi adalah kewajiban bersama
dari negara pantai dan negara lain untuk memperhatikan (due regard) hak-hak yang dimiliki satu
sama lain. Di beberapa kasus, perjanjian iinternasional atau konvensi lainnya akan membantu
untuk membuat peraturan yang mengatur mengenai konflik-konflik, seperti contoh the 1972
Convention on the International Regulations Preventing Collisions at Sea yang mengatur

34
Pasal 79 ayat (4) UNCLOS
35
Bernard Oxman, “The Territorial Temptation: A Siren Song at Sea,” American Journal of

International Law 100 (October 2006): 830 – 851, 839.


36
Loc.Cit.
37
H.B. Robertson, Navigation in the Exclusive Economic Zone, 24 Virgina Journal of International Law
(1984): 865-915, Hal. 880

13
mengenai hubungan antara kapal-kapal yang sedang mengambil ikan dengan kapal-kapal
lainnya.38

38
W.T. Burke, Exclusive Fisheries Zones and Freedom of Navigation, 20 San Diego Law Review (1983):
595-623, Hal. 601

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Zona ekonomi eksklusif pada dasarnya merefleksikan aspirasi dari negara-negara


berkembang untuk mengembangkan perekonomian dan juga memperbesar kewenangan atas
sumber daya alam yang ada di sekitar negara pantai, khususnya sumber daya perikanan,
dimana dalam banyak kasus sumber daya perikanan negara pantai justru banyak dinikmati
dan di eksploitasi oleh negara maju yang letaknya sangat jauh. Di sisi lain, zona ekonomi
eksklusif pada dasarnya juga merupakan kompromi hasil negosiasi dengan negara-negara
yang meng kleim 200-mile laut teritorial (Beberapa negara Amerika Latin dan Afrika)
dengan negara negara maju (Jepang, Uni Soviet, Amerika) yang menolak perpanjangan
jurisdiksi negara pantai. Walaupun zone ekonomi eksklusif sudeh merupakan hasil
kompromi antara negara maju dan berkembang agar konsep ZEE dapat diterima, namun
banyak negara land-locked yang tidak memiliki pantai lebih memilih untuk mereservasi
ketentuan mengenai ZEE dikarenakan konsep ZEE dapat mengurangi konsep laut bebas yang
dapat dinikmati oleh semua negara.

Dalam konvensi hukum laut 1982 tidak terdapat kewajiban dari setiap negara untuk
mengklaim zona ekonomi eksklusif mereka, namun pada prakteknya hampir seluruh negara
pantai menglklaim 200 miles zona konomi eksklusif, hanya ada beberapa negara yang tidak
dapat mengklaim 200 milez ZEE dikarenakan berbatasan dengan negara lain.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ida Kurnia, pengaturan sumber daya perikanan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia
MIMBAR HUKUM volume 26, nomor 2, juni 2014

Melda Kamil Ariadno, “Pemanfaatan Sumber Daya Ikan ZEEI”. Koran Kompas.

Setiadi, Ignatius Yogi Widianto. Upaya Negara Indonesia Dalam Menangani Masalah Illegal
Fishing Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas
Atmajaya Jogjakarta. 2014.

UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS )

16
17

Anda mungkin juga menyukai