Anda di halaman 1dari 14

HUBUNGAN ANTARA CURAH HUJAN, SUHU, KELEMBABAN UDARA, KECEPATAN

ANGIN DAN ANGKA BEBAS JENTIK TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH


DENGUE DI KOTA YOGYAKARTA 2016-2018

Juhrati Raodatul Zannah dan Sulistyawati Sulistyawati

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Indonesia

INTISARI

Latar Belakang: Demam berdarah dengue (DBD) merupakan merupakan salah satu masalah kesehatan
yang disebebkan oleh nyamuk aedes aegypti yang dapat menyebabkan kematian. Kota Yogyakarta
merupakan salah satu daerah endemis DBD di Indonesia.Tingginya kejadian DBD tidak lepas dari
pengaruhi kondisi iklim. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara variabilitas iklim
dan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan kejadian DBD di kota Yogyakarta.
Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan yaitu observasional analitik dengan rancangan
cross-sectional menggunakan data sekunder. Analisis data meliputi analisis univariat, analisis bivariat
serta analisis multivariat.
Hasil: Hasil analisis bivariat antara curah hujan dengan DBD p=0.11; r=0.27, suhu dengan DBD p=
0.000; r=0.62, kelembaban udara dengan DBD p= 0.02; r=0.38, kecepatan angin dengan DBD p= 0.03;
r=-0.36, ABJ dengan DBD p= 0.77;r= 0.04.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara suhu, kelembaban udara dan keepatan angin dengan kejadia
DBD di kota Yogyakarta 2016-2018.

Kata Kunci: DBD, Curah Hujan, Suhu, Kelembaban Udara, Kecepatan Angin, Angka Bebas Jentik

ABSTRACT

Background: Dengue haemorrhagic fever (DHF) is one oh health promblems globally caused by Aedes
aegypti mosquito that can lead a fatality. Yogyakarta city is an dengue epidemic area in Indonesia. The
high number of dengue case well known associated with climate conditions. This research aimed to
assess the relationship between climate variability and larva free index (ABJ) to the incidence of dengue
in Yogyakarta city.
Research Methods: The research employed observational analytic with cross-sectional design by using
secondary data. Data was analysed through univariate, bivariate and multivariate analysis..
Results: Bivariate analysis shows the relationship between rainfall and DHF p = 0.11; r = 0.27,
temperature with DHF p = 0.000; r =0.62, air humidity with DHF p = 0.02; r = 0.38, wind speed with DHF p
= 0.03; r = -0.36, ABJ with DHF p = 0.77; r = 0.04
Conclusion: Temperature, air humidity and wind speed associated with dengue incidence in Yogyakarta
city during 2016-2018

Keywords: DHF, Rainfall, Temperature, Air Humidity, Wind Speed, Larva Free Index

1
2

A. Pendahuluan
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah yang beriklim tropis dan sub-tropis. Penyakit DBD ditularkan
oleh gigitan nyamuk melalui kulit, kemudian masuk ke dalam tubuh manusia. Jenis
nyamuk yang menularkan adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang telah
terinfeksi oleh salah satu virus dengue dari 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3
dan DEN-4. Virus dengue termasuk dalam famili Flaviridae dan genus Flavi virus 1
Angka kejadian DBD dilaporkan mengalami kenaikan setiap tahunnya, di mana
pada rentang tahun 1996 – 2005 dari 0,4 juta jiwa menjadi 1,3 juta jiwa. Pada tahun
2010 mengalami kenaikan sebesar 2,2 juta jiwa. Pada tahun 2013 dan 2015 penyakit
DBD terus mengalami kenaikan, yaitu diperkirakan terjadi sebanyak 3,2 juta kasus yang
berat dan 9.000 kematian. Kejadian tersebut sebagian besar terjadi di Asia, Amerika
Latin dan Afrika2
Di Indonesia pada tahun 2014 ditemukan sebanyak 100.347 kasus DBD dan
jumlah kematian sebesar 907 orang dengan IR mencapai 39,8 per 100.000 penduduk.
Angka pencapaian tersebut memenuhi target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Kesehatan tahun 2014 dengan dimana IR DBD sebesar <51 per 100.000 penduduk.
Tetapi tahun 2015 kasus DBD di Indonesia kembali mengalami peningkatan yang cukup
tinggi, mencapai 129.650 kasus dan jumlah kematian sebanyak 1.071 orang dengan IR
50,75 per 100.000 penduduk. Angka tersebut menunjukkan bahwa target RENSTRA
2015 dengan IR sebesar < 49 per 100.000 penduduk belum tercapai3
Kota Yogyakarta merupakan daerah perkotaan sekaligus daerah endemik DBD,
setiap tahun DBD menjadi penyakit yang selalu ada. Tercatat bahwa jumlah penderita
DBD pada tahun 2014 di Kota Yogyakarta sebanyak 418 orang dan jumlah penderita
DBD yang meninggal selama tahun 2014 sebanyak 3 orang (CFR 0,72 %).
Berdasarkan wilayah Puskesmas, penderita terbanyak terjadi di wilayah Puskesmas
Umbulharjo I (47 orang), Wirobrajan (40 orang) dan Mergangsan (39 orang). Penderita
DBD yang meninggal selama tahun 2014 terjadi di wilayah Puskesmas Kotagede 2,
Umbulharjo 1 dan Umbulharjo 2 masing-masing 1 orang meninggal4
Angka kejadian penyakit DBD yang meningkat dari tahun ke tahun disebabkan
oleh banyak faktor, salah satu diantaranya yaitu perubahan iklim, perubahan iklim
memberikan pengaruh yang berarti terhadap lingkungan, tempat perkembangbiakan
nyamuk dan perilaku nyamuk. Sebelumnya telah dilakukan oleh Paramita dan Mukono
tahun 2010 di Puskesmas Gunung Anyar Surabaya tahun 2017 menunjukkan bahwa
curah hujan memiliki hubungan (p=0.042) terhadap kejadian DBD dengan kekuatan
hubungan yang lemah (r=0.230) yang menunjukkan arah positif. Kondisi lingkungan
yang hangat saat musim pancaroba mendukung kehidupan nyamuk Aedes aegypti
melalui tempat perindukan dan usia nyamuk5
Sehingga dari hal-hal tersebut peneliti merasa perlu untuk mencari keterkaitan
hubungan antara curah hujan, suhu dan kelembaban udara, kecepatan angin dan Angka
Bebas Jentik terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta.Tujuan
penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara tingkat curah hujan, suhu,
kelembaban udara, kecepatan angin, Angka Bebas Jentik (ABJ) terhadap kejadian DBD
di kota Yogyakarta pada tahun 2016-2018.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan


cross-sectional. Studi cross-sectional digunakan untuk mengetahui suatu keterkaitan
antara variabel bebas dan terikat yang diteliti secara bersamaan. Penelitian ini dilakukan
di Kota Yogyakarta, variabel bebas penelitian ini yaitu curah hujan, suhu, kelembaban
3

udara, kecepatan angin dan Angka Bebas Jentik (ABJ) dan variabel terikat yaitu
kejadian Demam Berdarah Dengue. Semua variabel diambil menggunakan data
sekunder. Analisis data terdiri dari tiga yaitu analisis univariat, analisis bivariat dengan
menggunakan uji Rank Spearman, serta analisis multivariat menggunakan uji Regresi
Linier Berganda.

C. Hasil dan Pembahasan


Hasil analisis univariat terhadap variabel dalam penelitian ini sebagai berikut :

Tabel 1. Distribusi Kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta


Tahun 2016-2018
Tahun Rata-
Bulan Min Maks
2016 2017 2018 rata
Jan 89 159 7 7 159 85
Feb 102 71 6 6 102 60
Mar 132 54 8 8 132 65
Apr 121 44 10 10 121 59
Mei 195 22 20 20 195 79
Jun 203 15 10 10 203 76
Jul 128 8 6 6 128 48
Ags 178 6 3 3 178 63
Sep 159 3 5 3 159 56
Okt 116 15 13 13 116 48
Nov 159 9 8 8 159 59
Des 123 8 17 8 123 50
Total 1705 414 113
Rata-rata 143 35 10
Sumber : P2P Dinkes Kota Yogyakarta, 2019

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah kasus tertinggi dalam tiga
tahun yaitu pada bulan juli tahun 2016 yaitu sebanyak 178 kasus. Dari tabel tersebut
menunjukkan adanya penurunan kasus DBD dari tahun 2016 sampai 2018.

Tabel 2. Distribusi Tingkat Curah Hujan di Kota Yogyakarta tahun 2016 –


2018

Bulan Tahun Rata-


Min Maks
2016 2017 2018 rata
(mm/s) (mm/s)
(mm/s) (mm/s) (mm/s) (mm/s)
Jan 120 240 541 120 541 300.3
Feb 323 392 381 323 392 365.3
Mar 424 440 216 216 440 360
Apr 184,8 242 134 134 242 188
Mei 137,8 28 3 3 28 15.5
4

Jun 296,5 21 0 0 21 10.5


Jul 105,9 2 0 0 2 1
Ags 1 0 0 0 1 0.3
Sep 180 22 27 22 180 76.3
Okt 222 132 0 0 222 118
Nov 307 265 257 257 307 276.3
Des 297 313 224 224 313 278
Rata-
234.3 174.8 148.5
rata(mm/s)

Sumber : BMKG dan BPS Yogyakarta, 2019

Dari tabel 2 diketahui bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
Maret 2017 yaitu 440 mm/s dan terendah yaitu tidak terjadi hujan sama sekali
atau 0 mm/s. Tabel ini memperlihatkakn bahwa selama tiga tahun curah hujan
berfluktuatif.

Tabel 3. Distribusi Suhu Kota Yogyakarta tahun 2016-2018


Tahun Min Maks
Bulan 2016 2017 2018 (°C) (°C)
(°C) (°C) (°C)
Jan 27.7 26.1 25.9 25.9 27.7
Feb 26.8 26.2 26 26 26.8
Mar 27.1 26.4 26.4 26.4 27.1
Apr 27.5 26.5 27 26.5 27.5
Mei 27.5 26.6 26.5 26.5 27.5
Jun 26.7 26.3 25.7 25.7 26.7
Jul 26.6 25.1 24.6 24.6 26.6
Ags 26.5 25.1 24.8 24.8 26.5
Sep 26.9 25.7 26.1 25.7 26.9
Okt 26.9 26.6 27.5 26.6 27.5
Nov 26.4 25.6 27 25.6 27
Des 26.7 26.3 26.5 26.3 26.7
Rata-
rata(°C) 27 26 26
Min(°C) 26.4 25.1 24.6
Maks(°C) 27.7 26.6 27.5

Sumber : BMKG Yogyakarta,2019


Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa selama tahun 2016 sampai
2018, suhu udara di kota Yogyakarta yaitu dalam suhu optimum yaitu antara
26(°C)-30(°C).
5

Tabel 4. Distribusi Kelembaban Udara di Kota Yogyakarta tahun 2016-


2018

Bulan Tahun Min Maks


2016(%) 2017(%) 2018(%) (%) (%)
Jan 83 87 85 83 87
Feb 87 86 84 84 87
Mar 86 85 83 83 86
Apr 85 86 82 82 86
Mei 85 81 79 79 85
Jun 84 82 80 80 84
Jul 83 83 75 75 83
Ags 80 80 74 74 80
Sep 82 80 75 75 82
Okt 84 83 71 71 84
Nov 88 88 81 81 88
Des 87 83 84 83 87
Rata-
rata(%) 84.5 83.6 79.4
Min(%) 80 80 71
Maks(%) 88 88 85
Sumber : BMKG Yogyakarta, 2019
Berdasarkan Tabel 4 bahwa kelembaban rata-rata di kota Yogyakarta
berkisar 83%, dimana kelembaban tersebut merupakan kelembaban dalam
batas yang normal.

Tabel 5. Distribusi Kecepatan Angin di Kota Yogyakarta tahun 2016-2018

Tahun Min Maks


Bulan 2016 2017 2018 (knot) (knot)
(knot) (knot) (knot)
Jan 3 3 4 3 4
Feb 3 3 3 3 3
Mar 3 3 3 3 3
Apr 3 3 2 2 3
Mei 3 3 2 2 3
Jun 3 3 3 3 3
Jul 3 3 3 3 3
Ags 3 3 4 3 4
Sep 3 4 4 3 4
Okt 3 4 5 3 5
Nov 3 3 4 3 4
Des 4 4 5 4 5
Rata- 3.1 3.25 3.5
6

rata(knot)
Min(knot) 3 3 2
Maks(knot) 4 4 5
Sumber : BMKG, 2019

Berdasarkan tabel di atas selama tahun 2016 sampai 2018 kecepatan


angin di Kota Yogyakarta relatif konstan dan tidak dalam kecepatan yang terlalu
tinggi.
Tabel 6. Angka Bebas Jentik di Kota Yogyakarta tahun 2016 – 2018
Angka Bebas Jentik
Kecamatan
2016 (%) 2017(%) 2018(%)
Jetis 79,09 80,50 85,10
Gondokusuman 92,98 93,11 93,50
Danurejan 92,90 90,64 89,47
Gedongtengen 88 92 89
Ngampilan 93,9 85,7 85,7
Wirobrajan 86,73 90,04 90,17
Mantrijeron 87,65 91,55 91,28
Kraton 91,5 90,3 91,9
Gondomanan 88,01 89,43 89,15
Pakualaman 88,50 91,16 93,76
Mergangsan 91,48 93,07 91,52
Umbulharjo 91,16 91,03 93,00
Kotagede 80,15 79,9 88,83
Tegalrejo 94,35 93,66 93,26
Kota Yogyakarta 89,03 89,44 90,40
Sumber : P2P Dinas Kesehatan Yogyakarta, 2019
Berdasarkan tabel 6 disimpulkan bahwa seluruh kecamatan di Kota
Yogyakarta masih berada dibawah standar nasional Angka Bebas Jentik, yaitu
95%.

Hasil analisis bivariat terhadap variabel bebas dan variabel terikat


disajikan sebagai berikut :
Tabel 7. Hasil Uji Rank Spearman Hubungan Demam Berdarah Dengue
dengan Curah Hujan di Kota Yogyakarta Tahun 2016-2018
Demam Berdarah Dengue
Variabel Koef. Korelasi Signifikansi Keterangan
(r) (p)
Korelasi positif,
Curah hubungan tidak
0.27 0.11
Hujan bermakna
7

Hasil uji bivariat Rank Spearman antara variabel cursh hujan


dengan DBD, menunjukkan nilai r sebesar 0.27 yang menunjukkan
hubungan yang lemah dengan arah positif yang artinya jumlah kejadian
DBD akan mengalami kenaikan jika curah hujan tinggi. Hasil uji statistik
didapatkan nilai p = 0.11, hal ini berarti nilai p lebih besar dari α (0.05),
sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
kejadian DBD dengan curah hujan di Kota Yogyakarta tahun 2016-2018.

Tabel 8. Hasil Uji Rank Spearman Hubungan Demam Berdarah


Dengue dengan Suhu di Kota Yogyakarta Tahun 2016-2018
Demam Berdarah Dengue
Variabel Koef. Korelasi Signifikansi Keterangan
(r) (p)
Korelasi positif,
Suhu 0.62 0.000 hubungan bermakna

Hasil uji keeratan hubungan antara suhu dengan kejadian Demam


Berdarah Dengue menunjukkan nilai r sebesar 0.62 yang menunjukkan
hubungan yang kuat dengan arah positif yang artinya jumlah kejadian
DBD akan mengalami kenaikan jika suhu juga mengalami peningkatan.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.00, hal ini berarti nilai p lebih kecil
dari α (0.05), sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara kejadian DBD dengan suhu udara di Kota Yogyakarta tahun 2016-
2018.
Tabel 9. Hasil Uji Rank Spearman Hubungan Demam Berdarah
Dengue dengan Kelembaban Udara di Kota Yogyakarta Tahun 2016-
2018
Demam Berdarah Dengue
Variabel Koef. Korelasi Signifikansi Keterangan
(r) (p)

Kelembaban Korelasi positif,


0.38 0.02 hubungan bermakna
Udara

Hasil uji keeratan hubungan antara kelembaban udara dengan


kejadian Demam Berdarah Dengue menunjukkan nilai r sebesar 0.38
yang menunjukkan hubungan yang lemah dengan arah positif yang
artinya jumlah kejadian DBD akan mengalami kenaikan jika kelembaban
udara juga mengalami peningkatan. Hasil uji statistik didapatkan nilai p =
0.02, hal ini berarti nilai p lebih kecil dari α (0.05), sehingga disimpulkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian DBD dengan
kelembaban udara di Kota Yogyakarta tahun 2016-2018.
Tabel 10. Hasil Uji Rank Spearman Hubungan Demam Berdarah
Dengue dengan Kecepatan Angin di Kota Yogyakarta Tahun 2016-2018
8

Demam Berdarah Dengue


Variabel Koef. Korelasi Signifikansi Keterangan
(r) (p)

Kecepatan Korelasi negatif,


-0.36 0.03 hubungan bermakna
Angin

Hasil uji keeratan hubungan antara kecepatan angin dengan


kejadian Demam Berdarah Dengue menunjukkan nilai r sebesar -0.36
yang menunjukkan hubungan yang lemah dengan arah negatif yang
artinya jumlah kejadian DBD akan menurun jika kecepatan angin tinggi.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.03, hal ini berarti nilai p lebih kecil
dari α (0.05), sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara kejadian DBD dengan kecepatan angin di Kota Yogyakarta tahun
2016-2018.
Tabel 11. Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan Kejadian
Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta tahun 2016-2018
Demam Berdarah Dengue
Variabel Koef. Korelasi Signifikansi Keterangan
(r) (p)
Angka Bebas Korelasi, hubungan
0.04 0.77
Jentik (ABJ)

Hasil uji keeratan hubungan antara Angka Bebas Jentik (ABJ)


dengan kejadian Demam Berdarah Dengue menunjukkan nilai r sebesar
0.04 yang menunjukkan hubungan yang sangat lemah dengan arah yang
positif artinya jumlah kejadian DBD akan meningkat jika ABJ juga
meningkat. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.77, hal ini berarti nilai
signifikansi lebih dari α (0.05), sehingga disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara kejadian DBD dengan Angka Bebas
Jentik di Kota Yogyakarta tahun 2016-2018.

Hasil analisis multivariat dari penelitian ini sebagai berikut :


Tabel 12. Hasil Uji Regresi Linier Antara DBD, Suhu, Kelembaban
Udara dan Kecepatan Angin di Yogyakarta 2016-2018
Variabel Signifikansi R Adjusted R
Square

Suhu 0.02
Kelembaban Udara 0.27 0,574 0,267
Kecepatan Angin 0.07

Dari hasil uji multivariat regresi linier di atas bahwa hanya suhu
yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian DBD dengan
nilai signifikansi 0.02, nilai r=0,574 artinya kekuatan korelasi sedang serta
9

nilai determinasi 0,267 artinya suhu menyumbang terhadap kejadian DBD


sebesar 26,7%.

Hasil analisis pada tabel 4.7 secara statistik curah hujan dengan
kejadian DBD tidak bermakna (p-value=0.11), Curah hujan dengan
kejadian DBD yang tidak mempunyai hubungan yang bermakna dapat
disebabkan oleh berbagai hal, seperti curah hujan yang terjadi tidak
dengan intensitas yang tinggi dan sering, serta pengetahuan dan perilaku
masyarakat dalam melakukan pencegahan DBD, hal ini dapat
memungkinkan tidak terdapatnya hubungan yang signifikan terhadap
kedua variabel tersebut. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Hidayati, dkk (2017) di Kota Sukabumi yang juga
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
curah hujan dengan kejadian DBD dengan p value=0.242 dengan
besarnya korelasi 0,11 artinya curah hujan dengan kejadian DBD
mempunyai hubungan yang lemah6
Penelitian di Kota Bitung oleh Gandawari (2018) juga mendukung
penelitian ini yang menyatakan hasilnya tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara curah hujan dengan kejadian DBD dengan p value=0.06
serta kekuatan hubungan yang sedang. Hal ini disebabkan oleh curah
hujan yang terjadi di Kota Bitung 2015-2017 tidak banyak berfluktuasi dan
mempengaruhi kejadian DBD di kota tersebut7 Ketidakkonsistenan
korelasi dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh curah hujan yang
terjadi berfluktuatif, sehingga walaupun tidak terjadi hujan namun tetap
ada kasus DBD, hal ini menyebabkan menurunnya kewaspadaan
masyarakat sehingga jarang melakukan tindakan pencegahan DBD.
Hasil analisis pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna dan korelasi yang positif dan kuat (p
value=0.000; r=0.6), yang artinya jika suhu meningkat maka kejadian
DBD juga akan meningkat. Sejalan dengan hasil penelitian Ayumi, dkk
(2016) yang dilakukan di Yogyakarta dan Jawa Tengah mengemukakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara suhu dengan kejadian
DBD dengan p value=0.01, serta menunjukkan kekuatan hubungan yang
positif namun lemah dengan nilai r=0.328 Penelitian oleh Lahdji (2017) di
Semarang mendukung hasil penelitian ini bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara suhu dengan kejadian DBD dengan kekuatan hubungan
yang lemah, dibuktian dengan hasil uji bivariat nilai p value=0.006 serta
r=0.2499 Berdasarkan Permenkes No.35 Tahun 2012, bahwa suhu
memiliki hubungan yang erat dengan siklus perkembangan virus dalam
tubuh nyamuk vektor. Rata-rata suhu optimum untuk perkembangbiakan
vektor berkisar antara 25°C-27°C, pada suhu antara 32°C-35°C siklus
hidup nyamuk menjadi lebih pendek, sehingga potensi penularan menjadi
3 kali lipat lebih tinggi10
Hasil analisis pada tabel 4.9 bahwa terdapat hubungan yang
bermakna dan berkolerasi positif dengan hubungan yang lemah (r=0.38),
p value 0.02 (<0.05) antara kelembaban udara dengan kejadian DBD.
Hasil ini didukung oleh penelitian Aprilia (2017) di Deli Serdang
didapatkan hasil dari uji bivariat antara kelembaban udara dengan
kejadian DBD dengan p value=0.002 dan r=0.794 yang diinterpretasikan
bahwa antara kelembaban udara dengan kejadian DBD mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kekuatan hubungan yang kuat dan
10

arah yang positif, sehingga jika kelembaban udara meningkat maka akan
diikuti oleh peningkatan kejadian DBD11
Hasil analisis pada tabel 4.10 bahwa terdapat hubungan yang
bermakna dan lemah dengan arah hubungan positif, hasil statistik
menunjukkan bahwa p value 0.02 (<0.05) dan r= -0.38 artinya bahwa jika
kecepatan angin meningkat maka kejadian DBD juga akan mengalami
penurunan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian oleh
Amalia (2016) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
kecepatan angin dengan kejadian DBD (p value= 0.576; r=0.09)12 Pada
penelitian ini antara kecepatan angin dengan kejadian DBD mempunyai
hubungan yang bermakna secara statistik dapat disebabkan oleh
kecepatan angin yang tidak berubah secara signifikan dan cenderung
dapat dilihat pada tabel 4.5 dengan kecepatan angin dalam kurun waktu
2016-2018 rata-rata 3 knot yaitu dibawah kecepatan optimum, sehingga
tetap terdapat kasus demam berdarah. Selain itu penyebab lainnya
bahwa nyamuk Aedes sp merupakan nyamuk yang lebih menyukai
berada di dalam ruangan sehingga tidak mendapatkan intervensi dari
kecepatan angin yang terlalu besar.Kecepatan angin dapat
mempengaruhi penyebaran nyamuk, kecepatan angin 25-31 mil/jam atau
11-14 m/detik dapat menghambat aktivitas nyamuk yang menyebabkan
persebaran vektor juga terbatas.
Hasil analisis pada tabel 4.11 bahwa antara Angka Bebas Jentik
(ABJ) dengan DBD menunjukan nilai p value= 0.77, nilai p value <0.05
berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara ABJ dengan
kejadian DBD, variabel ABJ dengan DBD empunya nilai korelasi r=0.04
artinya kekuatan hubungan yang sangat lemah, arah hubungan yang
positif bermakna bahwa kejadian DBD meningkat seiring dengan
meningkatnya Angka Bebas Jentik (ABJ). Hasil ini sejalan dengan
penelitian Chandra (2019) di Jambi yang mengemukakan bahwa dari
analisis bivariat anara Angka Bebas Jentik dengan kejadian DBD tidak
mempunya hubungan yang bermakna denga nilai p value= 0.169, p value
>0.05.Kejadian DBD tetap tinggi dikarenakan kemungkinan penularan
DBD melalui perilaku nyamuk yang mempunyai mobilitas tinggi dan
akibat padatnya penduduk dan dan padatnya rumah sehingga nyamuk
mudah menggigit dan berpindah-pindah dari manusia satu ke yang lain13
Hasil analisis multivariat seperti pada tabel 4,12 secara
keseluruhan didapatkan hasil yaitu adanya hubungan yang bermakna
antara suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin terhadap kejadian
DBD di kota Yogyakarta. Ketika diuji secara masing-masing dengan
analisis multivariat hanya variabel suhu yang terbukti mempengaruhi
kejadian DBD. Suhu menjadi faktor yang paling berpengaruh karena
selama kurun waktu 2016 sampai 2018 merupakan suhu yang optimal
untuk perkembangan nyamuk yaitu 25-30°C.
Selama dalam suhu optimal nyamuk akan berkembang dengan
sangat baik dan mempercepat proses-proses fisiologis. Suhu udara
demikian juga mempengaruhi perkembangan virus dalam tubuh nyamuk,
istirahat dan perilaku kawin9
Variabel kecepatan angin dalam hal ini tidak memberikan
kontribusi terhadap kejadian DBD karena kecepatan angin yang relatif
konstan selama kurun waktu 2016 sampai 2018. Kecepatan angin tidak
memberikan efek yang signifikan dikarenakan nyamuk Aedes aegypti
11

merupakan nyamuk yang cenderung berada di dalam ruangan, sehingga


tidak terlalu dipengaruhi oleh intensitas angin. Sementara variabel
kelembaban udara dalam hal ini juga tidak memberikan kontribusi
pengaruh terhadap kejadian DBD, hal ini bisa disebabkan karena
kelembaban bergantung pada kondisi cuaca dan curah hujan, sementara
curah hujan selama 2016 sampai 2018 tidak terlalu intens, sehingga
nyamuk dapat bertahan dan tidak terlalu dipengaruhi oleh kelembaban
udara. Dalam hal ini menurut hasil penelitian Dini (2010) bahwa
kelembaban tidak mempengaruhi DBD secara langsung tetapi
mempengaruhi umur hidup nyamuk14

D. Kesimpulan dan Saran


1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan pada penelitian
hubungan antara tingkat curah hujan, suhu, kelembaban udara, kecepatan angin
dan angka bebas jentik terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota
Yogyakarta 2016-2018, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1) Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara curah hujan dengan
kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta tahun 2016-2018
2) Ada hubungan yang bermakna antara suhu dengan kejadian Demam
Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta tahun 2016-2018
3) Ada hubungan yang bermakna kelembaban udara dengan kejadian Demam
Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta tahun 2016-2018
4) Ada hubungan yang bermakna antara kecepatan angin dengan kejadian
Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta tahun 2016-2018
5) Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Angka Bebas Jentik (ABJ)
dengan kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta tahun 2016-
2018
2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
1) Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat meningkatkan perilaku pencegahan DBD
dengan lebih baik lagi seperti kegiatan 3M, pemantauan jentik dan program-
program lainnya dari pemerintah yang terkait dengan kegiatan pencegahan
DBD serta mampu meningkatkan kewaspadaan terhadap DBD.
2) Dinas Kesehatan Yogyakarta
a. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta diharapkan dapat meningkatkan
kegiatan pencegahan dan penanggulan DBD dengan lebih baik lagi
dengan melibatkan masyarakat secara aktif
b. Dinas Kesehatan diharapkan tetap melaksanakan program pencegahan
DBD walaupun tidak dalam musim hujan untuk meningkatkan
kewaspadaan terutama pemantauan jentik dan tempat perindukan
nyamuk.
3) Peneliti selanjutnya
a. Peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih dalam lagi terkait faktor lain yang
dapat mempengaruhi kejadian DBD, sebab DBD tidak hanya dipengaruhi
oleh faktor iklim saja.
12

Peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih dalam lagi mengenai variabel Angka Bebas Jentik
(ABJ), karena variabel ini dapat dipengaruhi lagi oleh pengetahuan dan perilaku pencegahan
DBD oleh masyaraka
13

DAFTAR PUSTAKA

1. Candra, A. Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi , Patogenesis , dan Faktor Risiko


Penularan Dengue Hemorrhagic Fever : Epidemiology , Pathogenesis , and Its
Transmission Risk Factors. 2, 110–119 (2010).

2. States, M., Advi-, W. H. O. S., Grade, T. & Sage, T. Weekly epidemiological record
Relevé épidémiologique hebdomadaire. 349–364 (2016).

3. Penelitian, B. & Pengembangan, D. A. N. RISET KESEHATAN DASAR. (2013).

4. Kesehatan, D. ( DATA TAHUN 2014 ). (2015).

5. Paramita, R. M. & Mukono, J. Kesehatan Lingkunga,Fakultas Kesehtan Masyarakat.


Hub. Kelembapan Udar. Dan Curah Hujan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
Di Puskesmas Gunung Anyar 2010-2016 202–212 (2017).
doi:10.20473/ijph.v12i1.2017.202-212

6. Hidayati, L., Hadi, U. K. & Soviana, S. Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota
Sukabumi Berdasarkan Kondisi Iklim. Acta Vet. Indones. 5, 22–28 (2017).

7. Gandawari, V. T., Kaunang, W. P. J. & Ratag, B. T. Hubungan antara variabilitas iklim


dengan kejadian demam berdarah dengue di kota bitung tahun 2015-2017. Kesmas 7, 1–
5 (2018).

8. Ayumi, F., Iravati, S. & Umniyati, S. R. Faktor Iklim dan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah
dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Beberapa Zone Season Yogyakarta. Ber.
Kedokt. Masy. 32, 455–460 (2016).

9. Lahdji, A. & Putra, B. B. Hubungan Curah Hujan , Suhu , Kelembaban dengan Kasus
Demam Berdarah Dengue di Kota Semarang. Syifa’ Med. Vol.8 8, 46–53 (2017).

10. Sukowati, S. Buletin Jendela Epidemiologi , Volume 2 , Agustus 2010.

11. Aprilla, D. A. Hubungan Kelembaban , Suhu Udara , Curah Hujan dan Kepadatan
Penduduk dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Deli Serdang Tahun
2011-2014. (2017).

12. Amalia, R. Studi Ekologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Tangerang
Selatan Tahun 2013-2015. Revista Brasileira de Ergonomia 9, (2016).

13. Chandra, E. Pengaruh faktor iklim, kepadatan penduduk dan angka bebas jentik (abj)
terhadap kejadian demam berdarah. J. Pembang. Berkelanjutan 1, 1–15 (2019).

14. Majidah, A. et al. DI KABUPATEN SERANG Pendahuluan. Makara, Kesehat. 14, 31–38
(2010).
14

Anda mungkin juga menyukai