INTISARI
Latar Belakang: Demam berdarah dengue (DBD) merupakan merupakan salah satu masalah kesehatan
yang disebebkan oleh nyamuk aedes aegypti yang dapat menyebabkan kematian. Kota Yogyakarta
merupakan salah satu daerah endemis DBD di Indonesia.Tingginya kejadian DBD tidak lepas dari
pengaruhi kondisi iklim. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara variabilitas iklim
dan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan kejadian DBD di kota Yogyakarta.
Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan yaitu observasional analitik dengan rancangan
cross-sectional menggunakan data sekunder. Analisis data meliputi analisis univariat, analisis bivariat
serta analisis multivariat.
Hasil: Hasil analisis bivariat antara curah hujan dengan DBD p=0.11; r=0.27, suhu dengan DBD p=
0.000; r=0.62, kelembaban udara dengan DBD p= 0.02; r=0.38, kecepatan angin dengan DBD p= 0.03;
r=-0.36, ABJ dengan DBD p= 0.77;r= 0.04.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara suhu, kelembaban udara dan keepatan angin dengan kejadia
DBD di kota Yogyakarta 2016-2018.
Kata Kunci: DBD, Curah Hujan, Suhu, Kelembaban Udara, Kecepatan Angin, Angka Bebas Jentik
ABSTRACT
Background: Dengue haemorrhagic fever (DHF) is one oh health promblems globally caused by Aedes
aegypti mosquito that can lead a fatality. Yogyakarta city is an dengue epidemic area in Indonesia. The
high number of dengue case well known associated with climate conditions. This research aimed to
assess the relationship between climate variability and larva free index (ABJ) to the incidence of dengue
in Yogyakarta city.
Research Methods: The research employed observational analytic with cross-sectional design by using
secondary data. Data was analysed through univariate, bivariate and multivariate analysis..
Results: Bivariate analysis shows the relationship between rainfall and DHF p = 0.11; r = 0.27,
temperature with DHF p = 0.000; r =0.62, air humidity with DHF p = 0.02; r = 0.38, wind speed with DHF p
= 0.03; r = -0.36, ABJ with DHF p = 0.77; r = 0.04
Conclusion: Temperature, air humidity and wind speed associated with dengue incidence in Yogyakarta
city during 2016-2018
Keywords: DHF, Rainfall, Temperature, Air Humidity, Wind Speed, Larva Free Index
1
2
A. Pendahuluan
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah yang beriklim tropis dan sub-tropis. Penyakit DBD ditularkan
oleh gigitan nyamuk melalui kulit, kemudian masuk ke dalam tubuh manusia. Jenis
nyamuk yang menularkan adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang telah
terinfeksi oleh salah satu virus dengue dari 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3
dan DEN-4. Virus dengue termasuk dalam famili Flaviridae dan genus Flavi virus 1
Angka kejadian DBD dilaporkan mengalami kenaikan setiap tahunnya, di mana
pada rentang tahun 1996 – 2005 dari 0,4 juta jiwa menjadi 1,3 juta jiwa. Pada tahun
2010 mengalami kenaikan sebesar 2,2 juta jiwa. Pada tahun 2013 dan 2015 penyakit
DBD terus mengalami kenaikan, yaitu diperkirakan terjadi sebanyak 3,2 juta kasus yang
berat dan 9.000 kematian. Kejadian tersebut sebagian besar terjadi di Asia, Amerika
Latin dan Afrika2
Di Indonesia pada tahun 2014 ditemukan sebanyak 100.347 kasus DBD dan
jumlah kematian sebesar 907 orang dengan IR mencapai 39,8 per 100.000 penduduk.
Angka pencapaian tersebut memenuhi target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Kesehatan tahun 2014 dengan dimana IR DBD sebesar <51 per 100.000 penduduk.
Tetapi tahun 2015 kasus DBD di Indonesia kembali mengalami peningkatan yang cukup
tinggi, mencapai 129.650 kasus dan jumlah kematian sebanyak 1.071 orang dengan IR
50,75 per 100.000 penduduk. Angka tersebut menunjukkan bahwa target RENSTRA
2015 dengan IR sebesar < 49 per 100.000 penduduk belum tercapai3
Kota Yogyakarta merupakan daerah perkotaan sekaligus daerah endemik DBD,
setiap tahun DBD menjadi penyakit yang selalu ada. Tercatat bahwa jumlah penderita
DBD pada tahun 2014 di Kota Yogyakarta sebanyak 418 orang dan jumlah penderita
DBD yang meninggal selama tahun 2014 sebanyak 3 orang (CFR 0,72 %).
Berdasarkan wilayah Puskesmas, penderita terbanyak terjadi di wilayah Puskesmas
Umbulharjo I (47 orang), Wirobrajan (40 orang) dan Mergangsan (39 orang). Penderita
DBD yang meninggal selama tahun 2014 terjadi di wilayah Puskesmas Kotagede 2,
Umbulharjo 1 dan Umbulharjo 2 masing-masing 1 orang meninggal4
Angka kejadian penyakit DBD yang meningkat dari tahun ke tahun disebabkan
oleh banyak faktor, salah satu diantaranya yaitu perubahan iklim, perubahan iklim
memberikan pengaruh yang berarti terhadap lingkungan, tempat perkembangbiakan
nyamuk dan perilaku nyamuk. Sebelumnya telah dilakukan oleh Paramita dan Mukono
tahun 2010 di Puskesmas Gunung Anyar Surabaya tahun 2017 menunjukkan bahwa
curah hujan memiliki hubungan (p=0.042) terhadap kejadian DBD dengan kekuatan
hubungan yang lemah (r=0.230) yang menunjukkan arah positif. Kondisi lingkungan
yang hangat saat musim pancaroba mendukung kehidupan nyamuk Aedes aegypti
melalui tempat perindukan dan usia nyamuk5
Sehingga dari hal-hal tersebut peneliti merasa perlu untuk mencari keterkaitan
hubungan antara curah hujan, suhu dan kelembaban udara, kecepatan angin dan Angka
Bebas Jentik terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta.Tujuan
penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara tingkat curah hujan, suhu,
kelembaban udara, kecepatan angin, Angka Bebas Jentik (ABJ) terhadap kejadian DBD
di kota Yogyakarta pada tahun 2016-2018.
B. Metode Penelitian
udara, kecepatan angin dan Angka Bebas Jentik (ABJ) dan variabel terikat yaitu
kejadian Demam Berdarah Dengue. Semua variabel diambil menggunakan data
sekunder. Analisis data terdiri dari tiga yaitu analisis univariat, analisis bivariat dengan
menggunakan uji Rank Spearman, serta analisis multivariat menggunakan uji Regresi
Linier Berganda.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah kasus tertinggi dalam tiga
tahun yaitu pada bulan juli tahun 2016 yaitu sebanyak 178 kasus. Dari tabel tersebut
menunjukkan adanya penurunan kasus DBD dari tahun 2016 sampai 2018.
Dari tabel 2 diketahui bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
Maret 2017 yaitu 440 mm/s dan terendah yaitu tidak terjadi hujan sama sekali
atau 0 mm/s. Tabel ini memperlihatkakn bahwa selama tiga tahun curah hujan
berfluktuatif.
rata(knot)
Min(knot) 3 3 2
Maks(knot) 4 4 5
Sumber : BMKG, 2019
Suhu 0.02
Kelembaban Udara 0.27 0,574 0,267
Kecepatan Angin 0.07
Dari hasil uji multivariat regresi linier di atas bahwa hanya suhu
yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian DBD dengan
nilai signifikansi 0.02, nilai r=0,574 artinya kekuatan korelasi sedang serta
9
Hasil analisis pada tabel 4.7 secara statistik curah hujan dengan
kejadian DBD tidak bermakna (p-value=0.11), Curah hujan dengan
kejadian DBD yang tidak mempunyai hubungan yang bermakna dapat
disebabkan oleh berbagai hal, seperti curah hujan yang terjadi tidak
dengan intensitas yang tinggi dan sering, serta pengetahuan dan perilaku
masyarakat dalam melakukan pencegahan DBD, hal ini dapat
memungkinkan tidak terdapatnya hubungan yang signifikan terhadap
kedua variabel tersebut. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Hidayati, dkk (2017) di Kota Sukabumi yang juga
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
curah hujan dengan kejadian DBD dengan p value=0.242 dengan
besarnya korelasi 0,11 artinya curah hujan dengan kejadian DBD
mempunyai hubungan yang lemah6
Penelitian di Kota Bitung oleh Gandawari (2018) juga mendukung
penelitian ini yang menyatakan hasilnya tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara curah hujan dengan kejadian DBD dengan p value=0.06
serta kekuatan hubungan yang sedang. Hal ini disebabkan oleh curah
hujan yang terjadi di Kota Bitung 2015-2017 tidak banyak berfluktuasi dan
mempengaruhi kejadian DBD di kota tersebut7 Ketidakkonsistenan
korelasi dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh curah hujan yang
terjadi berfluktuatif, sehingga walaupun tidak terjadi hujan namun tetap
ada kasus DBD, hal ini menyebabkan menurunnya kewaspadaan
masyarakat sehingga jarang melakukan tindakan pencegahan DBD.
Hasil analisis pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna dan korelasi yang positif dan kuat (p
value=0.000; r=0.6), yang artinya jika suhu meningkat maka kejadian
DBD juga akan meningkat. Sejalan dengan hasil penelitian Ayumi, dkk
(2016) yang dilakukan di Yogyakarta dan Jawa Tengah mengemukakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara suhu dengan kejadian
DBD dengan p value=0.01, serta menunjukkan kekuatan hubungan yang
positif namun lemah dengan nilai r=0.328 Penelitian oleh Lahdji (2017) di
Semarang mendukung hasil penelitian ini bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara suhu dengan kejadian DBD dengan kekuatan hubungan
yang lemah, dibuktian dengan hasil uji bivariat nilai p value=0.006 serta
r=0.2499 Berdasarkan Permenkes No.35 Tahun 2012, bahwa suhu
memiliki hubungan yang erat dengan siklus perkembangan virus dalam
tubuh nyamuk vektor. Rata-rata suhu optimum untuk perkembangbiakan
vektor berkisar antara 25°C-27°C, pada suhu antara 32°C-35°C siklus
hidup nyamuk menjadi lebih pendek, sehingga potensi penularan menjadi
3 kali lipat lebih tinggi10
Hasil analisis pada tabel 4.9 bahwa terdapat hubungan yang
bermakna dan berkolerasi positif dengan hubungan yang lemah (r=0.38),
p value 0.02 (<0.05) antara kelembaban udara dengan kejadian DBD.
Hasil ini didukung oleh penelitian Aprilia (2017) di Deli Serdang
didapatkan hasil dari uji bivariat antara kelembaban udara dengan
kejadian DBD dengan p value=0.002 dan r=0.794 yang diinterpretasikan
bahwa antara kelembaban udara dengan kejadian DBD mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kekuatan hubungan yang kuat dan
10
arah yang positif, sehingga jika kelembaban udara meningkat maka akan
diikuti oleh peningkatan kejadian DBD11
Hasil analisis pada tabel 4.10 bahwa terdapat hubungan yang
bermakna dan lemah dengan arah hubungan positif, hasil statistik
menunjukkan bahwa p value 0.02 (<0.05) dan r= -0.38 artinya bahwa jika
kecepatan angin meningkat maka kejadian DBD juga akan mengalami
penurunan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian oleh
Amalia (2016) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
kecepatan angin dengan kejadian DBD (p value= 0.576; r=0.09)12 Pada
penelitian ini antara kecepatan angin dengan kejadian DBD mempunyai
hubungan yang bermakna secara statistik dapat disebabkan oleh
kecepatan angin yang tidak berubah secara signifikan dan cenderung
dapat dilihat pada tabel 4.5 dengan kecepatan angin dalam kurun waktu
2016-2018 rata-rata 3 knot yaitu dibawah kecepatan optimum, sehingga
tetap terdapat kasus demam berdarah. Selain itu penyebab lainnya
bahwa nyamuk Aedes sp merupakan nyamuk yang lebih menyukai
berada di dalam ruangan sehingga tidak mendapatkan intervensi dari
kecepatan angin yang terlalu besar.Kecepatan angin dapat
mempengaruhi penyebaran nyamuk, kecepatan angin 25-31 mil/jam atau
11-14 m/detik dapat menghambat aktivitas nyamuk yang menyebabkan
persebaran vektor juga terbatas.
Hasil analisis pada tabel 4.11 bahwa antara Angka Bebas Jentik
(ABJ) dengan DBD menunjukan nilai p value= 0.77, nilai p value <0.05
berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara ABJ dengan
kejadian DBD, variabel ABJ dengan DBD empunya nilai korelasi r=0.04
artinya kekuatan hubungan yang sangat lemah, arah hubungan yang
positif bermakna bahwa kejadian DBD meningkat seiring dengan
meningkatnya Angka Bebas Jentik (ABJ). Hasil ini sejalan dengan
penelitian Chandra (2019) di Jambi yang mengemukakan bahwa dari
analisis bivariat anara Angka Bebas Jentik dengan kejadian DBD tidak
mempunya hubungan yang bermakna denga nilai p value= 0.169, p value
>0.05.Kejadian DBD tetap tinggi dikarenakan kemungkinan penularan
DBD melalui perilaku nyamuk yang mempunyai mobilitas tinggi dan
akibat padatnya penduduk dan dan padatnya rumah sehingga nyamuk
mudah menggigit dan berpindah-pindah dari manusia satu ke yang lain13
Hasil analisis multivariat seperti pada tabel 4,12 secara
keseluruhan didapatkan hasil yaitu adanya hubungan yang bermakna
antara suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin terhadap kejadian
DBD di kota Yogyakarta. Ketika diuji secara masing-masing dengan
analisis multivariat hanya variabel suhu yang terbukti mempengaruhi
kejadian DBD. Suhu menjadi faktor yang paling berpengaruh karena
selama kurun waktu 2016 sampai 2018 merupakan suhu yang optimal
untuk perkembangan nyamuk yaitu 25-30°C.
Selama dalam suhu optimal nyamuk akan berkembang dengan
sangat baik dan mempercepat proses-proses fisiologis. Suhu udara
demikian juga mempengaruhi perkembangan virus dalam tubuh nyamuk,
istirahat dan perilaku kawin9
Variabel kecepatan angin dalam hal ini tidak memberikan
kontribusi terhadap kejadian DBD karena kecepatan angin yang relatif
konstan selama kurun waktu 2016 sampai 2018. Kecepatan angin tidak
memberikan efek yang signifikan dikarenakan nyamuk Aedes aegypti
11
Peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih dalam lagi mengenai variabel Angka Bebas Jentik
(ABJ), karena variabel ini dapat dipengaruhi lagi oleh pengetahuan dan perilaku pencegahan
DBD oleh masyaraka
13
DAFTAR PUSTAKA
2. States, M., Advi-, W. H. O. S., Grade, T. & Sage, T. Weekly epidemiological record
Relevé épidémiologique hebdomadaire. 349–364 (2016).
6. Hidayati, L., Hadi, U. K. & Soviana, S. Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota
Sukabumi Berdasarkan Kondisi Iklim. Acta Vet. Indones. 5, 22–28 (2017).
8. Ayumi, F., Iravati, S. & Umniyati, S. R. Faktor Iklim dan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah
dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Beberapa Zone Season Yogyakarta. Ber.
Kedokt. Masy. 32, 455–460 (2016).
9. Lahdji, A. & Putra, B. B. Hubungan Curah Hujan , Suhu , Kelembaban dengan Kasus
Demam Berdarah Dengue di Kota Semarang. Syifa’ Med. Vol.8 8, 46–53 (2017).
11. Aprilla, D. A. Hubungan Kelembaban , Suhu Udara , Curah Hujan dan Kepadatan
Penduduk dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Deli Serdang Tahun
2011-2014. (2017).
12. Amalia, R. Studi Ekologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Tangerang
Selatan Tahun 2013-2015. Revista Brasileira de Ergonomia 9, (2016).
13. Chandra, E. Pengaruh faktor iklim, kepadatan penduduk dan angka bebas jentik (abj)
terhadap kejadian demam berdarah. J. Pembang. Berkelanjutan 1, 1–15 (2019).
14. Majidah, A. et al. DI KABUPATEN SERANG Pendahuluan. Makara, Kesehat. 14, 31–38
(2010).
14