Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang mempunyai peraturan-


peraturan hukum, yang sifatnya memaksa seluruh masyarakat Indonesia harus
patuh terhadap peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan hukum di Indonesia
bahkan juga memaksa orang asing yang berada di wilayah Indonesia untuk patuh
terhadap hukum yang ada di Negara Indonesia. Negara membentuk badan
penegak hukum guna mempermudah dalam mewujudkan negara yang adil dan
makmur. Tetapi tidak dapat dipungkiri, di Negara kita (Indonesia) masih banyak
kesalahan dalam menegakan hukum di Negara ini. Dan masih banyak juga
ketidakadilan dalam melaksanakan hukum yang berlaku. Itu bukanlah salah
dalam perumusan hukum, melainkan salah satu keteledoran badan-badan
pelaksanaan hukum di Indonesia.

Akibat dari keteledoran tersebut banyak sekali pelangaran-pelangaran hukum


dan pelanggar-pelanggar hukum yang seharusnya diadili dan dikenakan sanksi
yang seharusnya, malah dibiarkan begitu saja. Hal ini sangat berdampak buruk
bagi masa depan negara ini. Oleh karena itu kita akan membahas bagaimana
penegakan hukum yang adil dan bagaimana upaya-upaya penegakan hukum di
negara kita ini untuk memulihkan atau membentuk negara yang memiliki hukum
yang tegas dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Karena masalah
tersebut merupakan masalah yang sangat serius dan harus dipecahkan guna
menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia serta dalam menegakan
hukum di Indonesia.

[1]
B. TUJUAN
a. Mengetahui peran pemerintah dalam penegakan hukum di era reformasi.
b. Mengetahui Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
c. Mengetahui dampak apa saja yang timbul dari penegakan hukum di era
reformasi.
d. Mengetahui apa solusi dari penegakan hukum di era reformasi.

C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Peran Pemerintah Dalam Penegakan Hukum di Era Reformasi?
2. Bagaimana Amandemen Undang –Undang Dasar 1945?
3. Apa Dampak yang Timbul dari Penegakan Hukum di Indonesia Era
Reformasi ?
4. Apa Solusi Penegakan Hukum Era Reformasi ?

[2]
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peran Pemerintah Dalam Penegakan Hukum di Era Reformasi


Selama era reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 berbagai upaya reformasi
peradilan telah dilakukan, akan tetapi perubahan secara sistematis dan mendasar
dari lembaga-lembaga penegak hukum tetap berjalan lambat di mana Kepolisian
dan lembaga peradilan dipandang sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Tidak
seperti bidang pemerintahan lainnya yang telah terdesentralisasi kewenangannya
Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman masih tersentralisasi di pusat dan bersifat
hierarkis.
Dan jika pemerintahan itu sendiri “berantakan”, tentu saja pemerintah tidak
akan dihargai oleh masyarakat dan bahkan Negara lain. Karena hukum dibuat
untuk mencapai keadilan, keseimbangan dan keselerasan dalam hidup atau
dengan kata lain untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya dalam
hidup.
Para penegak hukum di pemerintahan Indonesia bisa dikatakan penuh dengan
nuansa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Penegakan hukum di Indonesia
ini masihlah membuat masyarakat memiliki niat melanggar aturan. Apabila ada
masyarakat yang melanggar aturan, maka masyarakat yang awalnya tidak
melanggar aturan setelah melihat masyarakat yang melanggar yang tidak ditindak
lanjuti dengan seharusnya maka masyarakat tersebut akan ikut-ikutan untuk
melanggar aturan. Oleh karena itu, masih bisa dilihat bahwa penegakan hukum di
Indonesia belum berjalan dengan efektif. Seharusnya penegakan hukum
diharuskan bersifat “ada”, yaitu hukum yang bersifat mutlak, yang artinya bersih,
jujur, dan murni serta saling menghargai dan saling menghormati apa yang sudah
diputuskan bersama. Dan pemerintah sendiri harus mengambil sikap tegas dalam
mengambil tindakan dan tidak mengambil pendapat sendiri tanpa campur tangan
dari masyarakat.

[3]
Ada tiga alasan perlunya ada kebijakan dari pemerintah dalam penegakan
hukum:
Pertama, pemerintah bertanggung jawab penuh mengelola wilayah dan
rakyatnya untuk mencapai tujuan dalam bernegara. Bagi Indonesia sendiri,
pernyataan tujuan bernegara sudah dinyatakan dengan tegas oleh para pendiri
negara dalam Pembukaan UUD 1945, diantaranya: melindungi bangsa dan
memajukan kesejahteraan umum. Bukan hanya pernyataan tujuan bernegara
Indonesia, namun secara mendasar pun gagasan awal lahirnya konsep negara,
pemerintah wajib menjamin hak asasi warga negaranya. Memang, dalam teori
pemisahan kekuasaan cabang kekuasaan negara mengenai penegakan hukum
dipisahkan dalam lembaga yudikatif. Namun lembaga eksekutif tetap mempunyai
tanggung jawab karena adanya kewenangan dengan yudikatif serta legislatif
dalam konteks checks and balances dan kebutuhan pelaksanaan aturan hukum
dalam pelaksanaan wewenang pemerintahan sehari-hari.
Kedua, tidak hanya tanggung jawab, pemerintah pun punya kepentingan
langsung untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam menjalankan
pemerintahannya. Birokrasi dan pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik,
serta keamanan masyarakat. Dengan adanya penegakan hukum yang baik, akan
muncul pula stabilitas yang akan berdampak pada sektor politik dan ekonomi.
Menjadi sebuah penyederhanaan yang berlebihan bila dikatakan penegakan
hukum hanyalah tanggung jawab dan kepentingan lembaga yudikatif.
Ketiga, sama sekali tidak bisa dilupakan adanya dua institusi penegakan
hukum lainnya yang berada di bawah lembaga eksekutif, yaitu Kepolisian dan
Kejaksaan. Penegakan hukum bukanlah wewenang Mahkamah Agung semata.
Dalam konteks keamanan masyarakat dan ketertiban umum, Kejaksaan dan
Kepolisian justru menjadi ujung tombak penegakan hukum yang penting
karena ia langsung berhubungan dengan masyarakat. Sehingga saat ini
pemerintah masih mempunyai suara yang signifikan dalam penegakan hukum.
Karenanya, ada asumsi dasar bahwa adanya kepastian dalam penegakan hukum

[4]
akan mengarah kepada stabilitas masyarakat. Dan memang, selama hukum masih
punya nafas keadilan walau terdengar utopis, kepastian hukum jadi hal yang
didambakan. Sebab melalui kepastian inilah akan tercipta rasa aman bagi rakyat.
Kepastian bahwa kehidupan dijaga oleh negara, kepentingannya dihormati, dan
kepemilikan yang diraihnya dilindungi. Bagi Indonesia sendiri, penegakan hukum
bukan cuma soal mendorong perbaikan politik dan pemulihan ekonomi. Harus
disadari bahwa penegakkan hukum justru merupakan ujung tombak proses
demokratisasi. Sebabnya, melalui penegakan hukum ini Indonesia dapat secara
konsisten memberantas korupsi yang sudah mengakar dengan kuat di berbagai
sektor, menjalankan aturan-aturan main dalam bidang politik dan ekonomi secara
konsisten. Dengan penegakan hukum yang konsisten dan tegas, pemulihan
ekonomi dan tatanan politik juga bisa didorong percepatannya.
Selama era reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 berbagai upaya reformasi
peradilan telah dilakukan, akan tetapi perubahan secara sistematis dan mendasar
dari lembaga-lembaga penegak hukum tetap berjalan lambat di mana Kepolisian
dan lembaga peradilan dipandang sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Tidak
seperti bidang pemerintahan lainnya yang telah terdesentralisasi kewenangannya
Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman masih tersentralisasi di pusat dan bersifat
hierarkis.
Dan jika pemerintahan itu sendiri “berantakan”, tentu saja pemerintah tidak
akan dihargai oleh masyarakat dan bahkan Negara lain. Karena hukum dibuat
untuk mencapai keadilan, keseimbangan dan keselerasan dalam hidup atau
dengan kata lain untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya dalam
hidup.
Para penegak hukum di pemerintahan Indonesia bisa dikatakan penuh dengan
nuansa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Penegakan hukum di Indonesia
ini masihlah membuat masyarakat memiliki niat melanggar aturan. Apabila ada
masyarakat yang melanggar aturan, maka masyarakat yang awalnya tidak
melanggar aturan setelah melihat masyarakat yang melanggar yang tidak ditindak

[5]
lanjuti dengan seharusnya maka masyarakat tersebut akan ikut-ikutan untuk
melanggar aturan. Oleh karena itu, masih bisa dilihat bahwa penegakan hukum di
Indonesia belum berjalan dengan efektif. Seharusnya penegakan hukum
diharuskan bersifat “ada”, yaitu hukum yang bersifat mutlak, yang artinya bersih,
jujur, dan murni serta saling menghargai dan saling menghormati apa yang sudah
diputuskan bersama. Dan pemerintah sendiri harus mengambil sikap tegas dalam
mengambil tindakan dan tidak mengambil pendapat sendiri tanpa campur tangan
dari masyarakat.
Berdasarkan pendapat masyarakat, adapun solusi yang harus diubah oleh
pemerintah, sebagai berikut:
1. Hukum harus tegas dalam mengambil tindakan.
2. Pemerintah harus lebih komunikatif kepada masyarakat dalam mengambil
keputusan.
3. Manusia harus taat kepada Tuhan.
4. Masyarakat perlu di bina untuk taat kepada hukum pemerintahan di
Indonesia.
5. Masyarakat harus memiliki kesadaran dalam diri sendiri untuk menaati
hukum.
6. Penegakan hukum harus lebih tertata.

Itulah mengapa peran pemerintah dalam penegakan hukum sangat penting di


era reformasi ini, masyarakat bisa bersikap baik apabila badan-badan hukum di
Indonesia bersikap bersih, jujur dan sebagainya.

[6]
B. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku
Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS
1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan
dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Sebelum dilakukan amendemen, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang
Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri
dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4
pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Perubahan (amandemen) dimaksud sampai empat kali, yang dimulai pada
tanggal 19 Oktober 1999 mengamandemen 2 pasal, amandemen kedua pada
tanggal 18 Agustus 2000 sejumlah 10 pasal, sedangkan amandemen ketiga pada
tanggal 10 November 2001 sejumlah 10 pasal, dan amandemen keempat pada
tanggal 10 Agustus 2002 sejumlah 10 pasal serta 3 pasal Aturan Peralihan dan
Aturan Tambahan 2 pasal, apabila dilihat dari jumlah pasal pada Undang-Undang
Dasar 1945 adalah berjumlah 37 pasal, akan tetapi setelah diamandemen jumlah
pasalnya melebihi 37 pasal, yaitu menjadi 39 pasal hal ini terjadi karena ada
pasal-pasal yang diamandemen ulang seperti pasal 6 A ayat 4, pasal 23
Demokrasi di Indonesia sebagaiman tertuang dalam UUD 1945 mengakui adanya
kebebasan dan persamaan hak juga mengakui perbedaan serta keanekaragaman
mengingat Indonesia adalah "Bhineka Tunggal Ika". Secara filosofi bahwa
Demokrasi Indonesia mendasarkan pada rakyat.
Dengan menggunakan konsep Montesquiue maka supra struktur politik
meliputi lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif sistem pemerintahan negara
menurut UUD 1945 hasil amandemen sebelum adanya amandemen terhadap
UUD 1945, dikenal dengan Tujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara,
namun tujuh kunci pokok tersebut mengalami suatu perubahan. Oleh karena itu

[7]
sebagai studi komparatif sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945
mengalami perubahan.
Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, Presiden penyelenggara
pemerintahan tertinggi disamping MPR dan DPR, karena Presiden dipilih
langsung oleh rakyat. UUD 1945 pasal 6 A ayat 1, jadi menurut UUD 1945 ini
Preiden tidak lagi merupakan mandataris MPR, melainkan dipilih oleh rakyat.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Menteri Negara ialah pembantu
Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden dalam
melaksanakan tugas dibantu oleh menteri-menteri negara, pasal 17 ayat 1 (hasil
amandemen). Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas, meskipun kepala
negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan "diktator" artinya
kekuasaan tidak terbatas, di sini Presiden adalah sudah tidak lagi merupakan
mandataris MPR, namun demikian ia tidak dapat membubarkan DPR atau MPR.
Negara Indonesia adalah negara hukum, negara hukum berdasarkan Pancasila
bukan berdasarkan kekuasaan.
Setelah amandemen UUD 1945 Indonesia mengawali masa baru yaitu
reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada Wakil
Presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru
dan dimulainya Orde Reformasi. Kondisi Politik pada Masa Reformasi ketika
Habibie mengganti Soeharto sebagai Presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu
terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a. Masa depan Reformasi;
b. Masa depan ABRI;
c. Masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d. Masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya;
serta
e. Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

[8]
Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam
rangka menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
Kebijakan dalam bidang politik reformasi dalam bidang politik berhasil
mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-
undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
1) UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
2) UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
3) UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
Kebijakan dalam bidang ekonomi untuk memperbaiki perekonomian yang
terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak
Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pelaksanaan sistem pemerintahan pada Masa Reformasi sekarang tahun 1998–
Sekarang (Reformasi) pelaksanaan demokrasi pancasila pada Era Reformasi telah
banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi
pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
Sistem Pemerintahan menurut UUD 1945 sebelum diamandemen:
 Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.
 DPR sebagai pembuat UU.
 Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
 DPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
 MA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
 BPK pengaudit keuangan.
Pada zaman reformasi ini pelaksanaan demokrasi mengalami suatu pergeseran
yang mencolok walaupun sistem demokrasi yang dipakai yaitu demokrasi
pancasila tetapi sangatlah mencolok dominasi sistem liberal contohnya aksi
demonstrasi yang besar-besaran di seluruh lapisan masyarakat. Memang pada

[9]
zaman reformasi peranan Presiden tidak mutlak dan lahirnya sistem multi partai
sehingga peranan partai cukup besar, akan tetapi dalam melaksanakan
pemungutan suara juga pernah menggunakan voting berarti peranan demokrasi
pancasila terealisasi. Dengan melihat hal tersebut maka kesimpulan daripada
pelaksanaan demokrasi di Indonesia belum mencapai titik yang pasti dan masih
belajar untuk memulai demokrasi pancasila yang sudah dilakukan selama 40
tahun sampai sekarang masih belum bisa dilaksanakan secara baik dan benar.
Dengan adanya undang-undang yang mengamandemenkan itu menjadi
konstitusi dan bersifat harus konstitusional, banyak yang diharapkan oleh
pemerintah yang lebih sempurna, baik daripada yang sebelumnya. Dan adanya
perubahan dalam sistem kepemerintahan harus bisa memperbaiki dalam sistem
yang sudah terbentuknya dalam sistem presidensial.

Perubahan UUD 1945 Tahap I (disahkan 19 Oktober 1999)


SU MPR 14-21 Oktober 1999.
 Terdiridari 9 pasal: Ps. 5; Ps. 7 ;Ps.9; Ps.13; Ps.14; Ps.15; Ps.17;
Ps.20 ;Ps.21.
 Inti perubahan: Pergeseran kekuasaan Presiden yang dipandang
terlampau kuat (executive heavy).
 Perubahan UUD 1945 Tahap II (disahkan 18 Agustus 2000)
Perubahan UUD 1945 Tahap II (disahkan 18 Agustus 2000)
SU MPR 7-8 Agustus2000
 Perubahan: 5 Bab dan25 pasal: Ps. 18; Ps. 18A; Ps. 18B ; Ps. 19 ;
Ps.20 ; Ps.20A ; Ps.22A ; Ps.22B ; BabIXA, Ps 25E; BabX, Ps. 26 ; Ps.
27; BabXA, Ps. 28A ; Ps.28B; Ps.28C ; Ps.28D ; Ps.28E ; Ps.28F ;
Ps.28G ; Ps.28H ; Ps.28I ; Ps.28J ; BabXII, Ps. 30; BabXV, Ps. 36A ;
Ps.36B ; Ps.36C.

[10]
 Inti Perubahan: Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak
Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
 Perubahan UUD 1945 Tahap III (disahkan 10 November 2001)
Perubahan UUD 1945 Tahap III (disahkan 10 November 2001)
ST MPR 1-9 November 2001
 Perubahan 3 Bab dan 22 Pasal: Ps. 1; Ps. 3 ; Ps.6 ; Ps.6A ; Ps.7A ;
Ps.7B ; Ps.7C ; Ps.8 ; Ps.11 ; Ps.17, Bab VIIA, Ps. 22C ; Ps.22D ; Bab
VIIB, Ps. 22E ; Ps.23 ; Ps.23A ; Ps.23C ; Bab VIIIA, Ps. 23E ; Ps.
23F ; Ps.23G ; Ps.24 ; Ps.24A ; Ps.24B ; Ps.24C.
 Inti Perubahan: Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR,
Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan
Kehakiman
Perubahan UUD 1945 Tahap IV (disahkan10 Agustus2002)
ST MPR 1-11 Agustus2002
 Perubahan2 Babdan13 Pasal: Ps. 2; Ps. 6A ; Ps.8 ; Ps. 11 ; Ps.16 ;
Ps.23B ; Ps.23D ; Ps.24 ; Ps. 31 ; Ps.32 ; BabXIV, Ps. 33 ; Ps.34 ;
Ps.37.
 Inti Perubahan: DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden,
pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral,
pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan
sosial, perubahan UUD.

[11]
C. Dampak yang Timbul dari Penegakan Hukum di Indonesia
Penyelewengan atau inkonsistensi di Indonesia berlangsung lama bertahun-
tahun hingga sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini merupakan
rahasia umum, hukum yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan,
contoh paling dekat dengan lingkungan adalah penilangan pengemudi kendaraan
yang melanggar tata tertib lalu lintas. Mereka yang melanggar tata tertib lalu
lintas tidak jarang ingin berdamai di tempat atau menyelewengkan hukum,
kemudian seharusnya aparat yang menegakan hukum tersebut dapat menangani
secara hukum yang berlaku di Indonesia, namun tidak jarang penegak hukum
tersebut justru mengambil kesempatan yang tidak terpuji itu untuk menambah
pundi-pundi uangnya.
Oleh karena itu, akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan
hukum tersebut diantaranya, yaitu:
1. Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum
Karena mereka percaya bahwa uanglah yang berbicara, dan dapat
meringankan hukuman mereka, fakta-fakta yang ada diputar balikan dengan
materi yang siap diberikan untuk penegak hukum, akibatnya kepercayaan
masayarakat pun pudar.
2. Penyelesaian konflik dengan kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan yang terjadi di sekelompok
masyarakat di Indonesia banyak yang diselesaikan dengan kekerasan. Mereka
tidak mengindahkan peraturan-peraturan kepemerintahan, dengan masalah secara
geografis. Ini membuktikan masayarakat Indonesia yang tidak tertib hukum.
3. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan
pribadi
Banyak warga Negara Indonesia yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan
hukum untuk kepentingan pribadi.
4. Penggunaan tekanan asing dalam proses peradilan

[12]
Kita ambil contoh pengrusakan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu
perusahaan asing yang membuka usahanya di Indonesia, mereka akan minta
bantuan dari negaranya untuk melakukan upaya pendekatan kepada Indonesia,
agar mereka tidak mendapatkan hukuman yang berat, atau dicabut izin
memproduksinya di Indonesia.

D. Solusi Penegakan Hukum Era Reformasi


Solusi dengan penyehatan Penegakan Hukum Berkeadilan
Esensi dalam penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan itu sendiri
mempunyai berbagai macam makna, tergantung dari perspektifnya. Di negara
mana pun sering timbul berbagai masalah, terkait penegakan keadilan di ranah
hukum. Konsep keadilan yang sudah mapan di suatu negara belum tentu baik
apabila diterapkan untuk negara lain. Meskipun demikian, dimungkinkan adanya
saling pengaruh mempengaruhi atau bersifat integrasi antara pemikiran satu
dengan yang lainnya mengenai makna keadilan, terutama yang mempunyai sifat
universal. Pada tataran filosofis, tentu masing-masing negara mempunyai akar
pemikiran tersendiri, tergantung dari norma dasar negara dan kehidupan sosial-
budaya bangsanya. Untuk mengurai lebih lanjut mengenai makna keadilan dari
sudut pandang filsafat, sarana yang tepat digunakan adalah hermeneutik.
Penelusuran keadilan dalam perspektif hermeneutik dalam rangka penegakan
hukum seyogyanya dibingkai juga dengan perspektif ilmu hukum, agar diperoleh
titik temu dan lebih mudah dalam pengimplementasiannya.
Kata Kunci:
keadilan, hermeneutik, ilmu hukum dan penegakan hukum.
Kondisi penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia saat ini sedang
mengalami krisis dan “sakit”. Fenomena ini terjadi karena aparat penegak hukum
yang merupakan elemen penting dalam proses penegakan hukum sering kali

[13]
terlibat dalam berbagai macam kasus pidana, terutama kasus korupsi. Implikasi
nyata dari kondisi ini adalah hukum kehilangan ruhnya yakni keadilan.
Oleh karenanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini hukum ibarat
sebuah pisau yang sangat tajam jika digunakan ke bawah namun sangat tumpul
jika digunakan ke atas. Syafi’i ma’arif menyatakan, jika fenomena ini tidak segera
diatasi dan disembuhkan maka dalam jangka panjang akan mengakibatkan
lumpuhnya penegakan hukum di Indonesia.
Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. selaku pembicara pertama mengemukakan dalam
perjalanannya dari masa ke masa, hukum tidak diorientasikan pada upaya
mewujudkan keadilan. Hukum cenderung digunakan sebagai alat untuk
mewujudkan kepentingan-kepentingan oleh penguasa negara. Pada masa
kolonialisme, hukum dijadikan alat untuk menjajah warga pribumi. Pada masa
Presiden Soekarno hukum dijadikan alat revolusi. Pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto hukum dijadikan alat pembangunan. Adapun pada masa
reformasi sampai sekarang hukum dijadikan alat kekuasaan (politik). Hal ini yang
menjadi salah satu faktor penyabab “sakitnya” penegakan hukum di Indonesia.
Hukum tidak diorientasikan sebagaimana seharusnya yakni mewujudkan keadilan,
namun dijadikan alat untuk mencapai tujuan oleh para penguasa negara.
Wirawan Adnan, S.H. (praktisi hukum) selaku pembicara kedua
mengemukakan ada beberapa penyakit dalam penegakan hukum yang
menyebabkan sakitnya penegakan hukum di Indonesia. Pertama, penegak hukum
menegakan hukum sesuai dengan hukum namun tidak mewujudkan keadilan. Hal
ini sering terjadi dalam suatu persidangan yang menangani kasus pidana. Contoh
dari penyakit ini adalah kasus pencurian sandal jepit yang terjadi beberapa waktu
yang lalu. Kedua, penegak hukum menegakan keadilan tanpa melandasinya
dengan suatu hukum. Hukum dan keadilan seharusnya berjalan seiringan.
Penegak hukum perlu menegakkan hukum namun juga penting memperhatikan
sisi keadilan. Demikian juga penegak hukum perlu menegakan keadilan namun
juga harus mendasarkannya pada suatu aturan hukum.

[14]
Lebih memperketat proses pemeriksaan kasus-kasus hukum untuk
meminimalisasi praktik jual beli hukum dan penyuapan. Semua lembaga negara
harus lebih memeperketat penjagaan dan pengawasan terhadap setiap
kemungkinan yang terjadi yang dapat mempermudah akses pihak-pihak yang
berkasus untuk melakukan praktik jual beli hukum atau penyuapan terhadap
siapapun dalam membantu melancarkan tujuannya untuk bebas dari hukuman,
terutama penyuapan terhadap pejabat negara yang terlibat dalam proses peradilan
tersebut. Jika terdapat seorang pejabat negara yang disuap oleh tersangka kasus,
maka segera ditindak dan diberikan hukum yang berat agar membuat jera dirinya
dan meminimalisasi agar pejabat lain tidak mengikuti kesalahan tersebut, karena
banyak kemungkinan jika satu apaarat yang terjerat kasus jual beli hukum
kemudian tidak ditidak dengan hukuman yang tegas dan berat maka akan
mendorong aparat lain untuk melakukan kesalahan tersebut karena merasa hukum
yang dijatuhkan itu ringan.
menyinkronkan antara sistem, pembuat hukum dan pelaksana penegak hukum
agar hukum dapat berjalan dengan baik. Dan bagi para koruptor harus ada
hukuman yang memiskinkan koruptor, sehingga ada efek jera bagi para koruptor.
Pemerintah sebagai fasilitator memberikan atau memfasilitasi masyarakat dengan
memberikan pendidikan/ penyuluhan/ sosialisasi akan pentingnya penegakan
hukum yang sebaik-baiknya. Jangan memberikan peluang sekecil apapun kepada
masyarakat untuk melakukan pelanggaran, yaitu dengan mempertegas penegakan
hukum dan penegak hukum tidak boleh lengah. Dilakukannya amandemen untuk
menyempurnakan peraturan perundang-undangan dengan sejelas-jelasnya.
Upaya Preventif, membangun kurikulum pendidikan moral yang lebih intensif
bagi warga Indonesia mulai dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi
sebagai bagian dari perwujudan menciptakan masyarakat yang sadar hukum.
Upaya Koersif: diberikan hukuman yang bersifat sanksi sosial dari masyarakat,
dipecat dari jabatannya sebagai pegawai negeri, juga adanya penghentian
pemberian gaji dan tunjangan lainnya, sehingga ketika ada pejabat negara yang

[15]
melakukan pelanggaran hukum dengan sendirinya akan timbul rasa malu.
Diberlakukan pemecatan dari jabatannya dan pemecatan sebagai pegawai
pemerintah/PNS ketika terdapat penegak hukum atau pejabat negara lain yang
melakukan pelanggaran hukum upaya pereventif bisa dilakukan dengan
melakukan sosialisasi sadar hukum melalui bangku pendidikan sperti yang telah
dijelaskan pada poin 1 dalam jawaban nomor 2, memberlakukan hukuman yang
berat ketika dijumpai adanya intervensi dari pejabat pemerintah dalam proses
peradilan.
Melakukan gerakan sadar hukum bagi masyarakat yang sudah melek terhadap
hukum, di masyarakat tingkat desa bisa dilakukan dengan adanya keteladanan
dari seseorang yang menjadi pemimpin, ketika pemimpin melaksanakan hukum
dengan baik, kemudian mengajak masyarakatnya untuk turut menaati hukum,
kemudian dalam mekanisme pengawasan pemimpin lembaga pemerintah di
jenjang manapun harus lebih diperketat lagi dengan semboyan “Malu Bila
Melanggar Hukum”, semboyan ini memang sederhana namun jika dimaknai dan
menjadi suatu nilai yang dipegang oleh masyarakat dalam kehidupannya, maka
semboyan sederhana ini akan mengakar menjadi kekuatan yang dapat
menciptakan masyarakat yang lebih sadar hukum, kemudian untuk masyarakat
yang belum melek hukum hendaknya dilakukan sosialisasi ringan dan kreatif
sebagai awal dari pengenalan hukum terhadap masyarakat dengan harapan bahwa
masyarakat akan lebih mengerti minimal mereka mengetahui urgensi dari adanya
hukum tersebut dan pada tujaun utamanya yaitu untuk membangun masyarakat
yang sadar dan taat hukum ataupun melalui contoh nyata dari perilaku sadar
hukum yang dilakukan oleh pemimpin atau tokoh-tokoh masyarakat agar
masyarakat bisa mengikutinya.

[16]
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pentingnya peran pemerintah dalam penegakan hukum di Indonesia pada Era


Reformasi ini sangat-lah penting. Berkaitan dengan alasan yang telah dipaparkan di
atas, antara lain:

1. Pemerintah bertanggung jawab penuh mengelola wilayah dan


rakyatnya untuk mencapai tujuan dalam bernegara.
2. Tidak hanya tanggung jawab, pemerintah pun punya kepentingan
langsung untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam menjalankan
pemerintahannya.
3. Adanya dua institusi penegakan hukum lainnya yang berada di bawah
lembaga eksekutif, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Penegakan hukum
bukanlah wewenang Mahkamah Agung semata.

Setelah amandemen UUD 1945 pada Era Reformasi (1998) yang dipimpin
oleh B.J. Habibie peranan Presiden tidak mutlak dan lahirnya sistem multi partai
sehingga peranan partai cukup besar, akan tetapi daripada pelaksanaan demokrasi di
Indonesia belum mencapai titik yang pasti dan masih belajar untuk memulai
demokrasi pancasila yang sudah dilakukan selama 40 tahun sampai sekarang masih
belum bisa dilaksanakan secara baik dan benar. Dengan adanya undang-undang yang
mengamandemenkan itu menjadi konstitusi dan bersifat harus konstitusional, banyak
yang diharapkan oleh pemerintah yang lebih sempurna, baik daripada yang
sebelumnya. Dan adanya perubahan dalam sistem kepemerintahan harus bisa
memperbaiki dalam sistem yang sudah terbentuknya dalam sistem presidensial.

Dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia yaitu:

[17]
1. Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum.
2. Penyelesaian konflik dengan kekerasan.
3. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi.
4. Penggunaan tekanan asing dalam proses peradilan.

Melakukan gerakan sadar hukum bagi masyarakat yang sudah melek terhadap
hukum, di masyarakat bisa dilakukan dengan adanya keteladanan dari seorang yang
menjadi pemimpin, ketika pemimpin melaksanakan hukum dengan baik, kemudian
mengajak masyarakatnya untuk turut menaati hukum. Dalam mekanisme pengawasan
pemimpin lembaga pemerintah di jenjang manapun harus lebih diperketat lagi dengan
semboyan “Malu Bila Melanggar Hukum”, semboyan ini memang sederhana namun
jika dimaknai dan menjadi suatu nilai yang dipegang oleh masyarakat dalam
kehidupannya.

[18]
DAFTAR PUSTAKA

 http://rodlial.blogspot.com/2014/02/makalah-penegakan-hukum-di-indonesia.html
 http://www.asekmadb.ac.id/2013/12/10/penegakan-hukum-oleh-pemerintah-di-
indonesia-oleh-fetty-dkk/
 http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-
Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945
 http://poltakb.blogspot.com/2012/03/undang-undang-yang-di-amandemen-
setelah.html
 http://birokrasikomplek.blogspot.com/2011/06/kekuasaan-presiden-republik-
indonesia.html
 http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/mencari-solusi-atas-krisis-
penegakan-hukum-indonesia-dg-penyehatan-penegakan-hukum-berkeadilan.html
 http://hmjisp.wordpress.com/2011/06/29/lemahnya-penegakan-hukum-dan-ham-
di-indonesia-akibat-degradasi-nilai-nilai-dan-moral-pancasila/
 http://anafisipunpad13.blogspot.com/2014/12/solusi-penegakkan-hukum-yang-
belum.html

[19]

Anda mungkin juga menyukai