Anda di halaman 1dari 6

Women STEMpowerment: Kesetaraan

Gender dari Hal yang Kecil

BANDUNG, itb.ac.id—American Corner Institut Teknologi Bandung kembali merayakan pemberdayaan


perempuan dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) dengan
menyelenggarakan acara Women STEMpowerment pada Jumat (02/03/2017) di Ruang Multiguna
Perpustakaan Pusat ITB. Acara ini mengusung tagline “Who Says Women Can’t Rock STEM?” sebagai
bagian dari serangkaian seminar bertajuk Women Empowerment Series 2017/2018.
American Corner mengundang Sidrotun Naim, Ph.D. sebagai pembicara utama dalam acara ini. Sidrotun
Naim tidak hanya mengutarakan pendapat dan pengalamannya dalam bidang yang relevan dengan STEM,
tetapi juga bagaimana pergerakan perempuan itu sudah dan seharusnya dijalankan. Ia juga berusaha
untuk memberikan literatur-literatur Indonesia dan Barat yang relevan dengan pergerakan perempuan.
Hadir juga pada Women STEMpowerment, Prof.Dr. Ismunandar, Guru Besar di Program Studi Kimia FMIPA
ITB, dan Lusia Marliana Nurani, Ph.D., Advisor American Corner ITB.
Latar Belakang Pergerakan Perempuan Indonesia
Naim berusaha memberikan konteks yang lebih luas untuk pemberdayaan wanita, tidak hanya membatasi
penjelasannya di bidang STEM. Ia memberikan latar belakang historis pergerakan perempuan di Indonesia
yang dimulai dari Kongres Perempuan Indonesia 1 di Yogyakarta pada tanggal 22—25 Desember 1928,
kurang dari tiga bulan semenjak dilaksanakannya Kongres Pemuda 2 pada tanggal 27—28 Oktober 1928.
Mengutip buku Susan Blackburn dengan judul “Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang”, Naim
mengutarakan bahwa pada masanya, perempuan masih dicibir masyarakat ketika berusaha berkumpul.
Masyarakat berkomentar bahwa perempuan tidak mempunyai alasan untuk melakukan kongres, biarkan
saja urusan mengatur negara kepada pemuda dan bapak-bapak. Padahal, di Kongres Perempuan
Indonesia 1, dibahas hak untuk pendidikan dan hak pernikahan.
Kongres inilah juga alasan mengapa setiap tanggal 22 Desember, dirayakan Hari Ibu Nasional,
memeringati kejadian bersejarah pergerakan perempuan Indonesia, yaitu Kongres Perempuan Indonesia
1.
Pergerakan Perempuan Barat dan Indonesia
Di Barat, kebangkitan perempuan ditandai pada awal abad 20 oleh dapat-tidaknya perempuan
berpartisipasi dalam dunia politik, terutama dalam hak untuk memilih dan dipilih. Indonesia, sejak pemilu
pertama pada tahun 1955, telah lebih awal memberikan hak politik yang lebih luas kepada
perempuannya. Naim mencatat bahwa sebenarnya, pergerakan perempuan di Indonesia sudah lebih
maju di awalnya. Indonesia telah mengalakkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang politik saat
itu, dan memberikan ruang-ruang publik bagi perempuan untuk menyuarakan pendapatnya.
Wanita yang merupakan alumni Fulbright ini juga mengambil contoh dari Marguerite de Witt-
Schlumberger, aktivis perempuan feminis dan seorang suffragette Perancis. Marguerite adalah presiden
Union française pour le suffrage des femmes/UFSF, diterjemakan sebagai Uni Perancis untuk Hak
Perempuan. Marguerite menikah ke keluarga Schlumberger dan membangun Schlumberger Foundation
Faculty for the Future. Schlumberger Foundation inilah yang berfokus kepada edukasi STEM untuk
perempuan dan membantu Naim menyelesaikan studinya.

Parade suffragette di Kota New York pada tahun 1917. Sumber:The New York Times photo archive, via
their online store, here, Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=2948583
Parade Women’s March di Kota Washington, D.C. pada tahun 2017. Sumber: https://s3-eu-west-
1.amazonaws.com/spiked-online.com/womens_march3.jpg
Naim juga mengambil analog pergerakan wanita pada tahun 1917 dan 2017. Pada 1917, para suffragette
berparade di jalanan Kota New York dengan memegang plakat berisi tanda tangan lebih dari satu juta
wanita Amerika Serikat yang menuntuk hak politiknya. Seratus tahun kemudian, dilaksanakan Women’s
March di Amerika Serikat dan tempat lain di seluruh dunia, sebagai reaksi terhadap inaugurasi Presiden
Amerika Serikat Donald Trump dan kekhawatiran akan kebijakan-kebijakan administrasi baru yang
mungkin diskriminatif terhadap perempuan. Naim berkomentar bahwa pada akhirnya pemersatu
perempuan seluruh dunia adalah tidak lain dan tidak bukan, Donald Trump.
Dalam pergerakan perempuan, menurut Naim, perempuan seharusnya mendukung perempuan lainnya.
Naim mengomentari perdebatan pada Hari Kartini setiap tanggal 21 April. Banyak perdebatan terjadi di
sekitar mengapa hanya nama Kartini yang dipakai, padahal pahlawan perempuan itu banyak. Naim
menanggapi bahwa jumlah pahlawan perempuan itu tidak banyak dan seharusnya hal terebut harus
dihargai bersama. Mereka, pahlawan-pahlawan perempuan tersebut, unik dalam konteks lokalnya
sendiri. Kita tidak bisa membandingkan konteks sosial perempuan Aceh dengan perempuan Jawa seperti
Kartini.
Selanjutnya, Naim menyarankan bahwa pergerakan perempuan tidak boleh menjadikan laki-laki sebagai
lawan. Narasi feminis, menurutnya, terlihat agak menyerang ke laki-laki. Saat ia kuliah di John F. Kennedy
School of Government, simulasi debat yang paling berat terjadi saat isu laki-laki dan perempuan. Naim
mengamati bahwa perempuan seringkali langsung menyerang pandangan laki-laki, bahkan ketika laki-laki
terebut mendukung apa yang disampaikan perempuan. Ini hal yang salah dalam pergerakan perempuan,
Naim menambahkan.
Jati Diri Perempuan
Bergerak ke hal yang lebih fundamental, Naim
menyebutkan bahwa secara filosofis dan
ontologis, laki-laki dan perempuan itu berasal dari
jiwa yang sama. Dalam tradisi Islam, artinya, laki-
laki dan perempuan diciptakan dari nafs yang
sama. Secara biologis juga, peran perempuan dan
laki-laki dalam kromosom manusia adalah sama,
50%--50%. Walaupun ada anggapan bahwa laki-
laki lebih banyak kontribusinya kromosomnya,
sains biologi molekuler membuktikan bahwa tidak
demikian. Pada akhirnya, Naim menekankan, yang
menyebabkan perbedaan besar di masyarakat
antara laki-laki dan perempuan adalah konstruksi
sosial di sekitar laki-laki dan perempuan tersebut.
Konstruksi sosial ini berbeda di setiap tempat. Di
Arab, misalnya, pengambilan garis keturunan
dilakukan dengan memerhatikan keturunan laki-
laki. Akan tetapi, di daerah Solo, pengambilan
garis keturunan dilakukan dengan memerhatikan
keturunan laki-laki dan perempuan. Ini adalah hal
yang sangat menarik, menurut Naim, dan
menyoroti keberagaman peran dan konstruksi
sosial perempuan di setiap daerah.
Lebih lanjut, alumnus Harvard University ini mengangkat ikon wanita Indonesia, yaitu Pratiwi Sudarmono,
astronot perempuan pertama Indonesia. Saat itu, Indonesia adalah negara satu-satunya selain Amerika
Serikat yang memiliki satelit yang mencakup seluruh daerahnya sendiri, sesuai visi Menteri Riset dan
Teknologi saat itu, B. J. Habibie. Pratiwi Sudarmono, seorang ilmuwan mikrobiologi lulusan Universitas
Osaka, dipilih untuk menjadi Spesialis Muatan dalam misi Wahana Antariksa NASA STS-61-H. Pratiwi
awalnya sungkan untuk ikut karena biaya yang dipakai untuk memberangkatkan astronot mencapai
milyaran dan ia merasa lebih baik dana itu diberikan kepada rakyat. Terlebih, suami Pratiwi tidak setuju
untuk Pratiwi ikut dalam misi tersebut. Akhirnya, Pratiwi meminta bantuan Doddy Achdiat Tisna Amidjaja,
rektor ke-21 Institut Teknologi Bandung, untuk membujuk suaminya agar menyetujui keberangkatan
Pratiwi. Walaupun misinya dibatalkan akibat Bencana Challenger, kisah Pratiwi ini merupakan suatu
kebanggaan terhadap peran perempuan pada bidang STEM dan suatu bukti bahwa perempuan itu setara
dengan laki-laki.
Membangun Kesetaraan Gender
Bukti bahwa konstruksi sosial lah yang memberikan andil lebih besar terhadap gap antara laki-laki dan
perempuan datang dari industri musik klasik. Pada tahun 1970, lima orkestra terbaik di Amerika Serikat
hanya memiliki 5% perempuan dari total pemain musiknya. Pada tahun 1980, angka terebut naik menjadi
10%. Pada tahun 1997, partisipasi perempuan meniingkat sampai ke 25—30% musikus total. Apa yang
terjadi? Perubahan tidak mungkin terjadi di jumlah pemain orkestra itu sendiri karena jumlah pemain
orkestra cenderung stabil, yaitu sekitar 100 orang. Mengutip buku What Works: Gender Equality by
Design, Naim menjelaskan bahwa solusinya adalah sesederhana blind test. Juri audisi hanya diminta untuk
mendengarkan suara alat musik yang dimainkan dan tidak boleh melihat siapa yang memainkan alat
musik tersebut. Di antara juri audisi dan pemain musik, diletakkan gorden agar juri menilai objektif apa
yang ia dengar, bukan apa yang ia lihat. Gorden ini yang menyebabkan naiknya partisipasi perempuan
dalam orkestra.
Saat studinya di Harvard University, Naim menambahkan, suatu pembagian kelas besar—kelas kecil
diwajibkan. Mengapa? Ternyata, kelompok-kelompok yang termarjinalkan—seperti perempuan, orang
berkulit hitam, dan disabilitas—lebih vokal saat ia berada di kelas kecil. Perempuan, terutama, cenderung
tidak suka kompetisi jika dibandingkan dengan laki-laki. Artinya, pembagian kelas besar—kelas kecil ini
secara efektif memberikan suara kepada orang-orang yang suaranya kurang terdengar di kelas besar.
Menurut Naim, skema ini bisa diterapkan ke universitas-universitas di Indonesia. Prof. Ismunandar, saat
ditanya oleh Naim mengenai partisipasi perempuan di kelasnya, mengatakan bahwa tidak ada perbedaan
antara kinerja mahasiswa laki-laki dan perempuan di kelasnya, sama saja.
Pemerintah Amerika Serikat di bawah Obama juga telah memberikan inisiatif untuk perempuan muda
agar lebih terlibat di bidang STEM. Di video yang berjudul Girls in STEM: A New Generation of Women in
Science, Presiden Obama bertemu langsung dengan inovator-inovator perempuan muda yang
memberikan onovasi mereka. Perempuan-perempuan tersebut memberikan presentasi di depan
Presiden Obama mengenai apa yang mereka buat. Naim menambahkan bahwa anak kecil yang bertemu
langsung dengan Obama tersebut untuk melihat ciptaannya tentu akan selalu istiqomah di jalannya.
Di Indonesia, pemerintah telah mewajibkan suatu kuota calon legislatif perempuan ke partai-partai politik
yang ingin ikut dalam pemilihan anggota lembaga legislatif. Naim juga menyampaikan bahwa Indonesia
telah memiliki presiden perempuan, mendahului Amerika Serikat. Kita seharusnya mengoptimalkan
sumber daya manusia yang kita punya jika partisipasi perempuan kurang.
Naim juga mengatakan bahwa tempat kerja kita belum ramah perempuan. Naim memberikan contoh,
teman perempuannya yang bekerja merasa tidak nyaman untuk tinggal dalam satu barak bersama laki-
laki lainnya. Seharusnya, ada akomodasi yang diberikan agar perempuan ini bisa merasa nyaman bekerja.
Beragam langkah dan kebijakan telah dilaksanakan untuk memberikan partisipasi perempuan yang
representatif di tempat kerja. Kebijakan tersebut dimulai dari hal yang sederhana, seperti blind test untuk
penerimaan pekerja, hingga hal-hal yang lebih kompleks, seperti penegakan regulasi-regulasi yang
memastikan partisipasi perempuan yang representatif. Sebenarnya, seluruh perubahan tersebut ada di
tangan kita. Kesetaraan gender bukanlah mimpi apabila kita sebagai masyarakat benar-benar bergerak
bersama menuju tujuan itu.
Inilah saatnya perubahan tersebut dimulai. Sekarang.

Anda mungkin juga menyukai