Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada umumnya, penyakit-penyakit yang terjadi pada lanjut usia termasuk juga
penyakit infeksi sering memberikan gejala-gejala yang tidak jelas,
sehinggamemerlukan kecermatan untuk segera dapat mengenalnya, karena penaganan
atau pengobatan yang terlambat terhadap penyakit infeksi dapat berakibat fatal. Pada
infeksi slauran pernafasan misalnya, lansia sering tidak mengalami demam atau
hanyademam ringan disertai batuk-batuk ringan bahkan hanya didapati nafsu makan
berkurang atau tidak ada sama sekali, rasa lelah disertai penampilan seperti orang
binggung yang dialami dalam beberapa hari ini, yang jelas berbeda dengan gejala-
gejala penyakit pada infeksi orang dewasa. Gejala-gejala penyakit infeksi yang tidak
khas tadi bukan saja perlu dikenal dan dipahami oleh dokter ataupun
petugaskesehatan lainnya tetapi perlu juga dikenal dan dipahami oleh masyarakat
awam agar sesegera mungkin membawa lansia untuk mendapat pengobatan. Secara
umum, memang penyakit infeksi telah dapat dikendalikan, akan tetapai pada lansia
hal ini masih merupakan suatu masalah, karena berkaitan denganmenurunnya fungsi
organ tubuh dan daya tahan tubuh terhadap proses menua. Bahkandiluar negeri yang
kemjauan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak diragukan lagiternyata angka
kematian akibat beberapa penyakit infeksi pada lansia masih ajuh lebihtinggi
dibandingkan dengan orang dewas, yang membuktikan bahwa infeksi
masihmerupakan masalah penting pada lansia.Pada usia lanjut, selain terjadi
perubahan anatomik-fisiologik dapat timbul pula penyakit-penyakit pada sistem
pernafasan.
Umumnya, penyakit-prnyakit yang dideritakelompok usia lanjut merupakan
kelanjutan penyakit yang diderita sejak umur muda akibat gejala sisa penyakit yang
pernah diderita sebelumnya penyakitakibat kebiasaan- kebiasaan tertentu di masa
lalu !misalnya kebiasaan merokok,minum alkohol dan sebagainya dan penyakit-
penyakit yang mudah terjadi akibatusia lanjut. Penyakit-penyakit paru yang diderita
kelompok usia lanjut juga mengikuti pola penyebab atau kejadian tersebut.
B. Tujuan
Tujuan umum: Untuk mengetahui dan mengidentifikasi sindrome geriatri dan
gangguan kesehatan yang utama pada lansia
Tujuan khusus
1. Menjelaskan definisi Sindrom Geriatri
2. Menjelaskan jenis dan klasifikasi geriatri syndrome (Inkontinensia Urin, Jatuh,
Malnutrisi, Polifarmasi, Katarak).
3. Menjelaskan etiologi Geriatric Syndrome.
4. Menjelaskan manifestasi Geriatric Syndrome.
5. Menjelaskan Penatalaksanaan Geriatric Syndrome.
6. Menjelaskan Pencegahan Geriatri Syndrom.

C. RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Sindrom Geriatric


Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan kecacatan. Tamplan klinis
yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis. (Vina. 2015).
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi,
inkontinesia,ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan
angkamorbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah.
Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindrom geriatrik mungkin
memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda, dan memerlukan
interventasi dan strategi yang berfokus terhadap faktor etiologi (Panitaetal. 2011).
Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat
penuaan dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa problema klinik dari
penyakit pada lanjut usia yang sering dijumpai.Sindrom geriatri antara lain:
1. The O Complex” : fall, confusion, incontinence, iatrogenic disorders,impaired
homeostasis
2. “The Big Three”: Intelectual failure, instability, incontinence
3. “The 14 I ” : Immobility, impaction, Instability, iatrogenic, intelectual Impairment,
Insomnia, Incontinence, Isolation, Impotence, Immunodeffciency, Infection, Inanition,
Impairment of vision, smelling, hearing, Impecunity.
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau
lebih,diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologis. Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri
terjatuh dandapat mengalami patah tulang. inkontinesia urin didefinisikan sebagai
keluarnya urinyang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga mengakibatkan masalah sosial dan
higienis.inkontinesia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya
karena malu atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan dan menganggapnya sebagai
sesuatu yang wajar pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Gangguan depresi
padausia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus tidak dikenali. Gejala depresi
pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian dari proses menua. infeksi sangat
erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun pada usia lanjut. infeksi yang
sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih, pneumonia, sepsis, dan meningitis.
Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi dan faktor lingkungan memudahkan
usia lanjut terkena infeksi.
Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal yang
biasa akibat proses menua. Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan
kegiatan waktu senggang, status fungsional, sosial, dan mobilitas. Gangguan
penglihatan dan pendengaran berhubungan dengan kualitas hidup,
meningkatkandisabiltas fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul dan
mobilitas. Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. masalah yang
muncul sering tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama diderita sehingga
tampilan gejlamenjadi tidak jelas. Penyakit degeneratif yang banyak dijumpai pada
pasien geriatriadalah hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, osteoartritis, dan
penyakit kardiovaskular.

B. Jenis dan klasifikasi sindrom geriatric (Vina, 2015)


1. Inkontinensia urin
a. Definisi inkontinensia urin
Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga
menimbulkan masalah higienis dan sosial Inkontinensia urin adalah masalah
yang sering dijumpai pada orang lanjut usia dan menimbulkan masalah fisik
dan psikososial, seperti dekubitus, jatuh, depresi dan isolasi dari lingkungan
sosial Inkontinensia urin terdapat bersifat akut atau persisten, Inkontinensia
urin yang bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang
mendasar diatasi masalahnya infeksi saluran kemih, obat–obatan, gangguan
kesadaran, vaginitis atrofik dan masalah psikologik Inkontinensia urin yang
persisten biasanya dapat dikurangi dengan berbagai terapi modalitas (Martin
dan Frey, 2005).
b. Etiologi inkontinensia urin
Mengetahui penyebab inkontinensia sangat penting untuk pengelolaan yang
tepat. Pertama-tama harus diusahakan membedaka apakah penyebab
inkontinensia berasal dari: (Whitehead, Fonda).
1) Kelainan urologik: misalnya radang, batu, tumor, dan vertikel.
2) Kelainan neurologik: misalnya, stroke, trauma pada medulla spinalis,
demenisa dll.
3) Lain-lain: misalnya, hambatan mobilitas, situasi tempat berkemih yang
tidak memadai/jauh dan sebagainya.
Adapun klasifikasi Inkontenensia urine. Inkontinensia urin dapat di
klasifikasikan menjadi 2 yaitu:
1) Inkontinensia urine akut (Transient incontinence): Inkontinensia urin ini
merupakan terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan
biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau masalah iatrogenic
menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebab umum dari Inkontinensia
Urin Transien ini sering disingkat DIAPPERS, yaitu:
a) Delirium atau kebingungan pada kondisi berkurangnya kesadaran
baik karena pengaruh dari obat atau operasi, kejadian inkontinensia5
dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab
delirium.
b) Infection: infeksi saluran kemih seperti urethritis dapat
menyebabkan iritasi kandung kemih dan timbul frekuensi, disuria dan
urgensi yang menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai toilet
untuk berkemih.
c) Atrophic Uretritis atau Vaginitis: jaringan teriritasi dapat
menyebabkan timbulnya urgensi yang sangat berespon terhadap
pemberian terapi estrogen.
d) Pharmaceuticals -dapat karena obat-obatan, seperti terapi diuretic
yang meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih.
e) Psychological Disorder: seperti stres, depresi, dan anxietas.
f) Excessive Urin Output: karena intake cairan, alkoholisme diuretik,
pengaruh kafein.
g) Restricted Mobility: dapat penurunan kondisi fisik lain yang
mengganggu mobilitas untuk mencapai toilet.
h) Stool Impaction: dapat pengaruh tekanan feses pada kondisi
konstipasi akan mengubah posisi pada kandung kemih dan menekan
saraf.
2) Inkontinensia urin kronik (persisten):
Inkontinensia urin tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung
dengan lama (lebih dari 6 bulan) ada 2 penyebab Inkontinensia urin
kronik (persisten) yaitu: menurunnya kapasitas kandung kemih akibat
hiperaktif dan karena kegagalan pengosongan kandung kemih akibat
lemahnya kontraksi otot detrusor. Inkontinensia urin kronik ini
dikelompokkan lagi menjadi 4 tipe (stress, urge, overflow , fungsional).
Berikut ini adalah penjelasan masing-masing tipe Inkontinensia urin
kronik atau persisten:
a) Inkontinensia urin tipe stress: Inkontinensia urin terjadi apabila urin
dengan secara tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di
dalam perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan
estrogen. Pada gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk,
mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal yang lain yang
meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat
dilakukan dengan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises,
dan beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.
b) Inkontinensia urin tipe urge: timbulnya pada keadaan otot detrusor
kandung kemih yang tidak stabil, di mana otot ini bereaksi secara
berlebihan Inkontinensia urin dapat ditandai dengan ketidakmampuan
menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul manifestasinya
dapat merupa perasaan ingin kencing yang mendadak (urge), kencing
berulang kali (frekuensi) dan kencing di malam hari (nokturia).
c) Inkontinensia urin tipe overflow : pada keadaan ini urin mengalir
keluar dengan akibat isinya yang sudah terlalu banyak di dalam
kandung kemih, pada umumnya akibat otot detrusor kandung kemih
yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada gangguan saraf
akibat dari penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang,
dan saluran kencing yang tersumbut. Gejalanya berupa rasanya tidak
puas setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung
kemih), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.
d) Inkontinensia urin tipe fungsional: dapat terjadi akibat penurunan
yang berat dari fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat
mencapai ketoilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi pada demensia
berat, gangguan neurologic, gangguan mobilitas dan psikologik
(Setiati, 2007; Cameron, 2013).

c. Manifestasi inkontinensia urin


1) inkontinensia stress: keluarnya urin selama batuk, mengejan.
2) Inkotinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru berkemih.
3) Enuresis nocturnal: keluarnya urin saat tidur malam hari

d. Penatalaksanaan
1) Kateterisasi luar
Terutama pada pria dengan memakai sitim kateter-kondom. Efek samping
yang terutama adalah iritasi pada kulit, dan serin g lepas. Tetapi ada juga
laporan yang menunjukan insiden infeksi saluran kemih meningkat dengan
kateterisasi macam ini. Metode ini hanya dianjurkan pada pria yang tidak
menderita retensio urin dan mobilitasnya masih cukup baik.
2) Kateterisasi intermiten
Katerterisasi ini dapat dicoba pada wanita lanjut usia yang menderita
inkontinensia. Frekuensi pemasangannya 2 hingga 4x sehari, dengan
sangat memperhatikan steriltas dan teknik prosedurnya.
3) Kateterisasi secara menetap
Kateterisasi secara menetap harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang
tepat misalnya utuk ulkus dekubitus yang teganggu penyembuhannya
karena adanya inkontensia urin. Komplikasi dari kateterisasi secara terus
menerus ini disamping infeksi, juga mungkin menyebabkan batu kandung
kemih, abses dan bahkan proses keganasan dari saluran kemih.

Pengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar


dapat dikerjakan sebagai berikut: (Fonda; Reuben dkk)
1) Program rehabilitasi anatara lain:
a) Melatih respon kandung kemih agar bail lagi
b) Melatih prilaku berkemih
c) Melatih otot-otot dasar panggul
d) Modifikasi tempat untuk berkemil (urinal, komodo)
2) Katerisasi baik secara berkala (intermiten) atau menteap (indwelling)
3) Obat-obatan, anatar lain untuk relaksasi kandung kemil, esterogen
4) Pembedahan, misalnya; untuk mengangkat penyebab sumbatan atau
keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain.
5) Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk
kemudahan berkemilh, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan
penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

Menurut Kane dkk., untuk masing-masing tipe dari inkontinensia ada


beberapa hal khusus yang dianjurkan,misalnya:
1) Inkontinensia tipe stres:
a) Latih otot-otot dasar panggul
b) Latih penyesuaian berkemih
c) Obatan-obatan untuk merelaksasikan kandung kemih dan estrogen
keadaan patologik yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih
bagian bawah.
2) Inkontinensia tipe luapan:
a) Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten dan kalau tidak mungkin
secara menetap
b) Tindakan pembedahan untuk mengngkat penyebab sumbatan
3) Inkontinensia tipe fungsional:
a) Penyesuaian sikap berkemih anatara lain dengan jawaban dan
kebiasaan berkemih
b) Pakaian dalam dalam kain penyerap khusus lainnya
c) Penyesuaian/ modifikasi tempat berkemih.
Pemakaian obat-obatan untuk merelaksasi otot-otot kandung kemih pada
umumnya mempunyai sifat anti-kolinergenik. Efek samping yang harus diperhatikan
antara lain mulut terasa kering, dan bahkan dapat mencetuskan terjadinya rettensio
urin. Kemungkinan retensio urin ini kandung kemih. Demikian juga obat-obatan
dengan sifat anti-kolinegrik ini dapat mengakibatkan penurunan fungsi kognitif,
delirum dan hipotensi postural (Broklehurst dkk; Kane dkk).
Penggunaan obat-obatan hormonal, bila berlangsung bebrapa bulan harus
diberikan secara siklik, dan kalau perlu ditambhakan progresteron. Bila diberikan
dalam kombinasi demikian, sefek samping masing-maisng obat harus diperhatikan
misalnya perdarahan pervaginam dan kemungkinan ada perubahan kerah keganasan
(Kane dkk.)
Inkontinensia urin merupakan keluhan yang banyak dijumpai pada lanjut usia.
Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur, lebih banyak didapatkan pada
wanita dan pada penderita-penderita lanjut usia yang dirawat di bangsal akut.
2. Instability (instabilitas dan jatuh)
a. Definisi instability (instabilitas dan jatuh)
Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan jatuh pada
orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor
intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor
yang terdapat di lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan
masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah: mengobati berbagai kondisi yang
mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa
latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai,
serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup,
pegangan, lantai yang tidak licin (Kane et al., 2008; Cigolle et al., 2007).
b. Etiologi (instabilitas dan jatuh)
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor,
antara lain:(Kane, 1994; Reuben, 1996; Tinetti,1992; Campbell, 1987,
Brocklehurst, 1987)
1) Kecelakaan (merupakan penyebab utama)
a) Murni kecelakaan, misalnya terpleset, tersandung.
b) Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan akibat
proses menua, misalnya karena mata kurang jelas, benda-benda yang ada
di rumah tertabrak, lalu jatuh.
2) Nyeri kepala dan/atau vertigo.
3) Hipotensiorthostatic:
a) Hipovolemia / curah jantung rendah
b) Disfungsi otonom terlalu lama berbaring
c) Pengaruh obat-obat hipotensi.
4) Obat-obatan
a) Diuretik / antihipertensi
b) Antidepresan trisiklik
c) Sedativa
d) Antipsikotik
e) Obat-obat hipoglikemik
f) Alkohol.
5) Proses penyakit yang spesifik, misalnya:
a) Aritmia
b) Stenosis
c) Stroke
d) Parkinson
e) Spondilosis
f) Serangan kejang.
6) Idiopatik (tidak jelas sebabnya)
7) Sinkope (kehilangan kesadaran secara tiba-tiba):
a) Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba
b) Terbakar matahari
Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan
berbagai jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-farmakologi dapat
menjadi pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut, namun obat
tetap menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari.
Prinsip penggunaan obat yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi
kajian multi/interdisiplin yang mengedepankan pendekatan secara holistik
(Setiati, Siti 2013).
c. Manifestasi (instabilitas dan jatuh)

d. Penatalaksanaan (instabilitas dan jatuh)


Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi faktor
risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus
terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik,
neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain),
sosiomedik dan ahli lain yang terkait serta keluarga penderita.
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena
perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh. Lebih banyak pasien jatuh
karena kondisi kronik, multifaktoralsehingga diperlukan terapi gabungan antara
obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Pada kasus lain intervensi diperlukan
untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian,
penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya

3. Inanitation (malnutrisi)
a. Inanitation (malnutrisi)
Kelemahan nutrisi merujuk pada hendaya yang terjadi pada usia lanjut karena
kehilangan berat badan fisiologis dan patologis yang tidak disengaja.
Anoreksia pada usia lanjut merupakan penurunan fisiologis nafsu makan dan
asupan makan yang menyebakan kehilangan berat badan yang tidak
diinginkan (Kane et al., 2008). Pada pasien kekurangan nutrisi disebakan oleh
keadaan pasien dengan gangguan menelan, sehingga menurunkan nafsu
makan pasien.
b. Etiologi Inanitation (malnutrisi)
Etiologi malnutrisi yaitu : malnutrisi primer terjadi sebab dietnya mutlak salah
satu kurang, malnutrsi sekunder atau bersayarat. Kelemahan nutrisi panda
hendaya terjadi pada lansia karena kehilangan berat badan fisiologis dan
patologis yang tidak disengaja. Anoreksia pada lanjut usia merupakan
penurunan fisiologis, nafsu makan dan asupan makan yang menyebabkan
kehilangan berat badan yang tidak diinginkan.
Faktor predisposisi malnutrisi adalah: pancaindra untuk rasa dan bau
berkurang, kehilangan gigi alamiah, gangguan motilitas usus akibat tonus otot
menurun, penurunan produksi asam lambung.
c. Manifestasi Inanitation (malnutrisi)
1) Kelelahan dan kekurangan energi.
2) Pusing.
3) System kekebalan tubuh yang rendah (mengakibatkan tubuh kesulitan
melawan infeksi).
4) Kulit kering dan bersisik.
5) Gigi yang membusuk.
6) Gusi bengkak dan berdarah.
7) Sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat.
8) Berat badan berkurang.
9) Pertumbuhan yang lambat.
10) Kelemahan pada otot.
11) Perut kembung.
12) Tulang yang mudah patah.
13) Terdapat masalah pada fungsi organ tubuh.
d. Penatalaksanaan
4. Polifarmasi
a. Definisi polifarmasi
Polifarmasi adalah penggunaan beberapa obat. Walaupun tidak ada jumlah
pasti obat yang dikomsumsi untuk mendefinisikan polifarmasi, mayoritas
menggunakan 3 sampai 5 obat per pasien. Polifarmasi biasanya terjadi pada
pasien lanjut usia yang memiliki banyak masalah kesehatan, yang memerlukan
terapi obat obatan yang beragam. Penyakit utama yang sering diderita usia
lanjut adalah hipertensi, gagal jantung, diabetes militus, gangguan fungsi hati,
dan ginjal. Juga terdapat berbagai keadaan yang khas dan sering mengganggu
lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan
pendengeran. Semua itu menyebabkan pasien usia lanjut mendapatkan
pengobatan yang relative banyak jenisnya (Roy dan Varsha, 2005).

b. Interaksi obat
Suatu interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat
dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi. Dua
atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang bersamaan efeknya secara
tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bias bersifat potensiasi atau
antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek
lainnya. Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran
obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya.

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan


toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang
rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik.

c. Mekanisme interaksi obat


1) Interaksi farmakokinetik
Interaksi ini terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbs, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau
mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek
farmakologinya (Martin, 2009).
2) Interaksi farmakodinamik
Interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis,
antagonis atau efek samping yang hamper sama. Interaksi ini dapat terjadi
karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat0obat yang bekerja
pada system fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi
dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (Martin,
2009).
d. Jenis-jenis obat-obatan
5. Katarak
a. Definisi katarak
Katarak adalah penurunan progresif kejernihan lensa. Lensa menjadi keruh
atau berwarna putuh abu-abu, dan ketajaman penglihatan berkurang.
Katarakterjadi pada lensa yang secara normal transparan terurai dan
mengalami kogualasi pada lensa (Crowin, 2009).
b. Etiologi katarak
Sebagian besar katarak, yang disebut katarak senilis terjadi akibat perubahan
degeneratif yang berhubungan dengan penuaan. Pajanan sinar matahari selama
hidup dan predisposisi herediter berperan dalam perkembangan katarak
senilis. Katarak juga dapat dapat terjadi pada usia beberapa saja setelah trauma
lensa, infeksi mata, atau pajanan terhadap radiasiatau obat tertentu. Janin yang
terpajan pirus rubela apat mengalami katarak. Individu yang mengalami
diabetes melitusjangka panjang sering mengalami katarak, yang kemungkinan
besar diakibatkan oleh gangguan aliran darah ke mata dan perubahan
penanganan dan metabolisme glukosa (Crowin, 2009).
c. Manifestasi Klinis
Penurunan ketajaman penglihatan secara progresif. Terjadi kekaburan
penglihatan, silau, dan hilangnya persepsi warna (Crowin, 2009).
d. Penatalaksanaan katarak
e. Pathway Katarak

Usia lanjut dan proses Traumatik atau cedera Penyakit metabolik


penuaan Kongenital. pada mata (misalnya DM)

Nukleus mengalami perubahan warna menjadi coklat


kekuningan

Perubahan fisik (perubahan pd serabut halus multiple


(zunula) yg memanjang dari badan silier kesekitar daerah
lensa)

Hilangnya tranparansi Kurang terpapar


lensa terhadap informasi
Resiko Cedera
tentang prosedur
Perubahan kimia dlm protein lensa
tindakan pembedahan

Gangguan koagulasi CEMAS


penerimaan
sensori/status
organ indera Terputusnya protein lensa disertai influks
air kedalam lensa
Menurunnya
ketajaman Tidak mengenal Kurang
Usia meningkat
penglihatan sumber informasi pengetahuan
Penurunan enzim menurun

Gangguan persepsi
Degenerasi pada lensa
sensori-perseptual Resiko Cedera
penglihatan
KATARAK
Mata ditutup beberapa hari dan
mengaburkan pandangan menggunakan kacamata

prosedur invasif
Post op pengangkatan katarak

Resiko tinggi terhadap


Nyeri infeksi

D. Pencegahan Sindrom Geriatric


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Gerontik, Jakarta: EGC.


Suryanto. 2008. Konsep Lansia. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/4/jtptunimus-gdl-s1-
2008-suyantog2a-184-3-bab2.pdf diakses pada tanggal 26 September 2019.
Vina. 2015. LP Geriatric Syndrome. http://docslide.us/document/lp-geriatric-syondrome-
vina.html diakses pada tanggal 27 September 2019.

Anda mungkin juga menyukai