Anda di halaman 1dari 65

DAFTAR ISI

Daftar Isi 1
BAB 1 Pendahuluan 2
BAB 2 Laporan Kasus 5
BAB 3 Tinjaun Pustaka 23
3.1 Krisis Tiroid 23
3.1.1 Etiologi Krisis Tiroid 23
3.1.2 Diagnosis Krisis Tiroid 23
3.1.3 Tatalaksana Krisis Tiroid 27
3.2 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) 29
3.2.1 Etiologi DIC pada obstetrik 29
3.2.2 Diagnosis DIC 32
3.2.3 Tatalaksana DIC 33
3.3 Community Acquired Pneumonia (CAP) 36
3.3.1 Definisi CAP 36
3.3.2 Epidemiologi CAP 36
3.3.3 Etiologi CAP 37
3.3.4 Patogenesis CAP 37
3.3.5 Diagnosis CAP 40
3.3.6 Tatalaksana CAP 44
3.3.7 Komplikasi CAP 48
3.3.8 Prognosis CAP 50
3.4 Sepsis 50
3.4.1 Definisi Sepsis 50
3.4.2 Diagnosis Sepsis 51
3.4.3 Tatalaksana Sepsis 52
BAB 4 Diskusi 58
DAFTAR PUSTAKA 64

1
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Algoritma diagnostik krisis tiroid 27


Gambar 2 Algoritma tatalaksana krisis tiroid 28
Gambar 3 Bagan evaluasi pengobatan pneumonia komuniti 49
Gambar 4 Kriteria penghitungan Qsofa 52
Gambar 5 Algoritma penatalaksanaan resusitasi dan sepsis 56
Gambar 6 Strategi untuk menghambat progresi dari sepsis 57

2
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skor kriteria Burch dan Wartofsky untuk diagnosis krisis tiroid 26
Tabel 2 Kriteria diagnosis thyroid storm (TS) berdasarkan JTA 27
Tabel 3 Penyebab DIC yang paling sering pada bidang obstetri 32
Tabel 4 Sistem skor untuk diagnosis DIC 35
Tabel 5 Panduan pengganti produk darah pada perdarahan masif obstetri 36
Tabel 6 Terapi komponen darah 36
Tabel 7 Sistem skor pada CAP berdasarkan PORT 45
Tabel 8 Terapi antibiotik yang direkomendasikan menurut PDPI 47
Tabel 9 Skor penilaian organ failure (terkait sepsis) 52
Tabel 10 Rekomendasi The Surviving Sepsis Campaign 2016 55

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis tiroid dalam kehamilan dapat mengancam nyawa ibu dan janin, oleh

karena itu dibutuhkan diagnosis yang cepat dan penanganan segera. Hanya 1-2%

kasus hipertiroid dalam kehamilan yang bermanifestasi sebagai krisis tiroid dan

tingkat mortalitas berkisar 20-30%.1,2 Penyebab kematian yang utama adalah

terjadinya multiple organ failure, diikuti dengan congestive heart failure,

respiratory failure, aritmia, disseminated intravascular coagulation (DIC),

perforasi gastrointestinal, hypoxic brain syndrome dan sepsis.2 Pasien dengan

kondisi yang potensial fatal seperti syok, DIC dan multiple organ failure harus

secepatnya dirawat di ICU.2

Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi

respons host terhadap infeksi, yang ditunjukkan dengan peningkatan ≥ 2 total nilai

Sequential Organ Failure Assessment (SOFA).3,4 Angka mortalitas pasien sepsis

berdasarkan Surviving Sepsis Campaign pada ICU Amerika Serikat dan Eropa

didapatkan masing-masing adalah 28,3% dan 41,1%, sedangkan angka mortalitas

pasien sepsis berat di 150 ICU di 16 negara Asia mencapai 44,5%.5 Tingginya

angka mortalitas sepsis dikarenakan akibat kondisi sepsis yang dapat berkembang

menjadi syok septik yaitu suatu kondisi lanjut dari sepsis yang ditandai

abnormalitas sirkulasi dan metabolik atau seluler yang dapat meningkatkan risiko

kematian.6 Kondisi sirkulasi yang memenuhi kriteria syok septik adalah hipotensi

yang menetap sehingga membutuhkan vasopressor untuk mencapai MAP ≥65

mmHg dan serum laktat >2 mmol/L (18mg/dL) dengan resusitasi cairan yang

4
adekuat. Syok septik dapat meningkatkan mortalitas lebih dari 40%. Pasien sepsis

harus dapat diidentifikasi pada awal rawatan karena keterlambatan penilaian

derajat sepsis dan pemberian antibiotik berkaitan dengan peningkatan mortalitas

di rumah sakit.7

Sepsis dapat menyebabkan koagulopati dan berkembang menjadi DIC jika

infeksi/inflamasi yang terjadi cukup berat. Aktivasi transien fibrinolisis awalnya

dapat terjadi karena pelepasan aktivator plasminogen tipe jaringan (t-PA) dari sel

endothelial vaskular. Selanjutnya, sistem fibrinolitik ditekan oleh produksi

plasminogen activator inhibitor-1. Ketidakseimbangan antara koagulasi dan

fibrinolisis menyebabkan keadaan hiperkoagulatif dan disfungsi organ dalam

sepsis.8

DIC merupakan suatu manifestasi sekunder dari proses patologi yang

mendasari seperti infeksi, trauma, kanker, dan kegawatan di bidang obstetri.9

Penyebab DIC pada bidang obstetrik misalnya emboli cairan amnion, kematian

janin intrauterine, sindrom HELLP, pre-eklamsia/eklamsia, solusio plasenta atau

plasenta previa, abortus sepsis dan infeksi intrauterine, perdarahan postpartum

serta acute fatty liver.10

Retensi janin yang mati dapat memicu perdarahan ibu yang abnormal. DIC

yang terkait dengan kematian janin adalah proses kronis, dan pasien dapat

mengalami kondisi kompensasi atau dekompensasi. Pada kematian janin

intrauterine, tissue thromboplastic substances dari janin yang mati secara perlahan

tapi terus menerus di absorpsi, masuk ke dalam sirkulasi maternal dan

menginisiasi terjadinya DIC, dan bahkan dapat diikuti dengan fibrinolysis yang

signifikan.11,12

5
Pada makalah ini, akan dibahas satu kasus kematian seorang pasien, wanita

umur 18 tahun dengan diagnosis Penurunan kesadaran ec susp krisis tiroid +

hipoglikemi + elektrolit imbalance + Respiratoric Failure + Syok Sepsis +

hipoalbuminemia + Disseminated Intravascular Coagulation pada G1P0A0H0

gravid preterm 32-33 minggu + IUFD hari rawatan 1 di ICU. Pembahasan pada

kasus pasien ini akan dititik beratkan pada tatalaksana dan mekanisme kematiaan

berdasarkan diagnosis pasien diatas.

6
BAB 2
LAPORAN KASUS

Nama : Ny. GN

Umur : 18 Tahun

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

MR : 01 06 96 41

Alamat : Kerinci

PRIMARY SURVEY

Airway : Paten

Breathing : Simetris kiri dan kanan, frekuensi 15x/menit via oksigen sungkup

10 L/menit

Circulation : Nadi kuat angkat, CRT <2”  IVFD RL 20 tpm

Status Generalis

𝐾𝑈 𝐾𝑒𝑠 𝑇𝐷 𝑁𝐷 𝑁𝐹𝑆 𝑇 𝑆𝑝02


𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑜𝑝𝑜𝑟 100/67 135 15 38 78%

Urin sewaktu : 100 cc, warna kekuningan

Mata : Pupil isokor, Refleks cahaya +/+

Thorax : Suara nafas bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-

Abdomen : FUT teraba di pertengahan pusar – processus xyphoideus, His (-

), DJJ(-)

Genitalia : V/U tenang, PPV (-)

Diagnosis

Penurunan kesadaran padi G1P0A0H0 gravid preterm 32-33 minggu + IUFD

7
Sikap

Kontrol KU, VS

Informed consent

Cek laboratorium lengkap

Konsul penyakit dalam dan neurologi

Rencana

Intubasi  Konsul anestesi

Konsul Penyakit Dalam

A : - Penurunan kesadaran ec hipoglikemia

- CAP susp. Sepsis

- Riwayat hipertiroid

P:

Protokol hipoglikemia pasien tidak sadar

- Inj D40% 2 flc, bolus. IVFD D10% 6 jam /kolf

- Pantau GD /30 menit 

 Bila pasien belum sadar, GD < 100, inj D40% 2 flc

 Bila pasien belum sadar, GD < 100, ulangi inj D40% 2 flc

 Bila pasien belum sadar, inj dexametason 10 mg iv bolus, lanjutkan 2

mg/6 jam

- Inj. Ceftriaxon 2 x 1 g iv

- Nebu N-Acetylsistein 3x

- Cek TSH dan FT4

- EKG

8
- Kultur sputum, kultur darah

- Cek procalcitonin

- Urinalisis, Ro thoraks

Konsul Anestesi

A : Penurunan Kesadaran ec hipoglikemia pada gravid 32-33 minggu dengan

gagal nafas + elektrolit imbalance

P : Intubasi, pasang CVC, rawat ICU

ANAMNESIS

Seorang pasien wanita umur 18 tahun masuk ruang KB IGD PONEK

RSUP DR. M Djamil Padang tanggal 04-12-2019 pukul 05.30 WIB rujukan

RSUD Mayjen H.A. Thalib Kerinci dengan diagnosis G1P0A0H0 Gravid preterm

32-33 minggu + krisis tiroid

Riwayat Penyakit Sekarang :

 Sebelumnya pasien datang ke bidan dengan keluhan sesak nafas dan jantung

berdebar-debar. Pasien lalu dirujuk ke RS Kerinci. Dari pemeriksaan TD

120/80 mmHg, RR 28x/menit, HR 129x/menit, dan pasien tampak gelisah.

Pasien mempunyai riwayat hipertiroid, dokter mendiagnosis dengan susp.

Krisis tiroid. Karena tidak ada ICU dan keterbatasan fasilitas pasien kemudian

dirujuk ke RSUP M Djamil Padang dengan diagnosis G1P0A0H0 gravid 32-

33 minggu + suspek krisis tiroid. Pasien terpasang infus RL dan kateter urin

jam 23.30. Dalam perjalanan, sekitar jam 03.30 pasien perlahan mengalami

penurunan kesadaran, tidak merespon saat dipanggil.

9
 Dari aloanamnesis : pasien sebelumnya mengeluh jantung berdebar-debar,

nafas sesak, keringat banyak dan gelisah dalam 2 hari terakhir.

 Kejang (-), sakit kepala sebelumnya tidak ada, demam tinggi sebelumnya

tidak ada.

 Keluar lendir campur darah dari kemaluan (-)

 Keluar air-air yang banyak dari kemaluan (-)

 Keluar darah yang banyak dari kemaluan (-)

 Tidak haid sejak 8 bulan yang lalu

 HPHT 22-04-2019 TP 29-01-2020

 RHM : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)

 ANC tidak teratur ke bidan, tidak pernah ke SpOG.

 Riwayat menstruasi ; menarche usia 11 tahun, siklus teratur, lamanya 4-6 hari,

banyaknya 1-2x ganti duk/hari, nyeri haid (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Pasien dikenal menderita hipertiroid sejak 2018, konsumsi obat PTU

3x100mg. Namun tidak rutin kontrol. Tidak pernah kontrol dan minum obat

hipertiroid selama kehamilan.

 Riwayat hipertensi (-)

 Riwayat diabetes mellitus (-)

 Riwayat penyakit jantung (-)

 Riwayat penyakit paru (-)

 Riwayat penyakit hepar (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:

10
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, penyakit menular

dan penyakit kejiwaan.

Riwayat perkawinan : 1 x tahun 2018

Riwayat kehamilan / abortus / persalinan : 1/0/0

1. Sekarang

Riwayat pemakaian kontrasepsi : (-)

Riwayat Imunisasi : (-)

Riwayat kebiasaan : Merokok (-), alkohol (-), narkoba (-)

PEMERIKSAAN FISIK (Post Resusitasi) :


• Keadaan umum : Berat

• Kesadaran : Sopor

• Tekanan darah : 110/68 mmHg

• Nadi : 120 x/menit

• Nafas : 16 x/menit (terintubasi)

• Temperatur : 36,80C

PEMERIKSAAN SISTEMIK

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : tidak ditemukan kelainan

Hidung : tidak ditemukan kelainan

Tenggorokan : tidak ditemukan kelainan

Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tampak membesar

Thorak :

11
 Jantung

- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

- Palpasi : ictus cordis teraba 2 jari medial LMCS RIC V

- Perkusi : batas jantung dalam batas normal

- Auskultasi : BJ murni reguler, bising (-)

 Paru

- Inspeksi : simetris kiri = kanan

- Palpasi : fremitus kiri = kanan

- Perkusi : sonor

- Auskultasi : vesikuler , rhonki-/-, wheezing -/-

Ekstremitas : Edema -/-, reflek fisiologis +/+/+/+, refleks Patologis -/-/-/-,

Akral hangat

STATUS OBSTETRIKUS

Abdomen :

 Inspeksi : tampak membuncit sesuai usia kehamilan preterm,

linea mediana hiperpigmentasi (+), striae gravidarum

(+), sikatrik (-)

 Palpasi :

- Leopold I : FUT teraba pertengahan proc. xyphoideus-pusat

Teraba massa besar, lunak, noduler

- Leopold II : Teraba tahanan terbesar janin di sebelah kanan,

teraba bagian-bagian kecil janin di sebelah kiri

- Leopold III : teraba massa bulat, keras, melenting, tidak terfiksir

- Leopold IV : Tidak dilakukan

12
His : (-)

TFU : 27 cm

TBA : 2170 gram

 Auskultasi : DJJ (-)

Genitalia : V/U tenang, PPV (-)

USG

13
• Janin meninggal tunggal intrauterin, letak memanjang presentasi kepala

• Aktivitas gerak janin (-)

• Biometri :

BPD : 9,06 cm

14
FL : 6,19 cm

AC : 26,04 cm

TBJ : 2582 gram

FHM: (-)

 Plasenta tertanam di corpus anterior maturasi grade III

Kesan :

• Gravid 32-33 minggu sesuai biometri

• IUFD

Index Wayne

Score : 20

Kesan : Toksik/hipertiroid

15
Hasil Laboratorium IGD RHESUS 4/12/2019

Parameter Hasil Nilai Rujukan Unit


Hemoglobin 13,9 13,0-14,0 g/dl
Leukosit 15.360 5,0-10,0 103/mm3
Trombosit 214.000 150,0-400,00 103/mm3
Hematokrit 46% 37,0-43,0 %
Total protein 3,9 6,6-8,7 g/dl
Albumin 1,6 3,8-5,0 g/dl
Globulin 2,3 1,3-2,7 g/dl
Bilirubin total 0,64 0,3-1,0 mg/dl
Bilirubin direk 0,57 <0,20 mg/dl
Bilirubin indirek 0,07 <0,60 mg/dl
SGOT 187 <32 u/l
SGPT 53 <31 u/l
Ureum 70 10-50 mg/dl
Kreatinin 1,5 0,6-1,2 mg/dl
Natrium 134 136-145 mmol/l
Kalium 6,5 3,5-5,1 mmol/l
Klorida 110 97-111 mmol/l
HbsAg Non reaktif Non reaktif
HIV Non reaktif Non reaktif

Konsul Neurologi

A : Saat ini kemungkinan adanya lesi struktural intrakranial belum dapat

disingkirkan karena kondisi GCS yang rendah dan faktor metabolik berat

P : Brain CT-Scan tanpa kontras jika kondisi stabil untuk menyingkirkan adanya

lesi intrakranial

16
Diagnosis:

• Penurunan kesadaran ec susp krisis tiroid + hipoglikemi + gangguan

elektrolit + hipoalbuminemia + AKI + gagal nafas pada G1P0A0H0 gravid

32-33 minggu

• IUFD

Sikap:

• Kontrol KU, VS, jaga patensi airway

• O2 10 lpm (terintubasi)

• Informed Consent

• IVFD RL 20 tpm

Rencana

• Rawat ICU

Konsul Penyakit Dalam

A : Penurunan kesadaran ec cerebral emboli

Hipertiroid on therapy

Hiperkalemia

Gangguan faal hepar

Hiperglikemia reaktif

P : untuk dilakukan operasi dengan risiko :

 Kardiovaskuler : moderate risk (lee criteria) risiko komplikasi 0,6%

 Pulmonary : risiko ringan – sedang

 Metabolik : risiko sedang – berat

 Fall hemostasis : stabil

17
Anjuran :

 Konsul neurologi untuk penurunan kesadaran

Pre op :

 Loading PTU 600 mg  1 jam kemudian lugol 10 gtt

 PTU 4 x 200 mg

 Propanolol 4 x 20 mg

 Lugol 4 x 10 gtt

 Dexamethason 4 x 10 mg

 Cek GD, bila GD > 200 mg/dL  bolus insulin subkutis 6 IU

 D5% 12 jam/kolf 1 jam sebelum OK

Post op :

 PTU 3 x 200 mg (2 jam post op)

 Propanolol 2 x 20 mg (2 jam post op)

 IVFD D5% 12 jam/kolf

 Sliding scale 4 jam/kolf selama 24 jam

o GDS < 200 : (-)

o GDS 200 – 250 : insulin 8 IU (SC)

o GDS 251 – 300 : insulin 16 IU (SC)

o GDS 301 – 350 : insulin 16 IU (SC)

o GDS > 350 : insulin 20 IU (SC)

18
04-12-2019 ( Hari Rawatan 1 )
Follow Up Laboratorium
S Pasien tidak sadar Parameter Hasil Normal
O Hb 13,9 9,5-15
KU Kes TD ND NF SpO2 𝑇 Leucosit 15.360 5000-10.000
Berat DPO 112/67 102 on venti 100% 39,8 HT 46 37-43
Trombosit 214.000 150.000-
 Mata : konjungtiva tidak anemis , Sklera 400.00
tidak ikterik PT 11,9 10-13,6
 Thorax : bunyi jantung reguler, bising (- APTT 33,3 26,8-36,2
), gallop (-), suara nafas vesikuler, Ureum 70 10-50
rhonki -/-, wheezing -/-
 Abdomen :Tampak membesar sesuai
kehamilan preterm. His (-), DJJ (-)
 Genitalia :V/U normal, PPV (-)

A Penurunan kesadaran ec susp krisis Kreatinin 1,5 0.6-1.2


tiroid + hipoglikemi + gangguan D-dimer - <500
elektrolit + hipoalbuminemia + AKI + GDS 129 <200
gagal nafas pada G1P0A0H0 gravid 32- Albumin 1,6 3,8-5,0
33 minggu + IUFD
I Kontrol KU, VS, PPV, Balance cairan, Globulin 2,3 1,3-2,7
IVFD NaCl 0.9 % 1000 cc /24 jam Tot 0,64 0,3-1,0
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g iv bilirubin
Transfusi albumin 20 % Bil direct 0,57 <0,2
Transfusi FFP 2 unit Bil Indirect 0,07 <0,6
Inf. Paracetamol 4 x 1 g iv LDH - 240-480
Inj. Omeprazol 2 x 40 mg iv SGOT 187 <32
Kalitake 3 x 1 per NGT SGPT 53 <31
PTU 3 x 100 mg per NGT Ca - 8,1-10,4
Nebu combivent 6x Na 134 136-145
Nebu fluimucyl 2x K 6,5 3,5-5,1
Cl 110 97-111
Analisa Gas Darah
PH 7,35
PaO2 80-100
PaCO2 35-45
HCO3- 22-26
SaO2 93-99
BE -2-2
P

19
05-12-2019 ( Hari Rawatan 2 )
07.00 WIB
Follow Up Laboratorium
S Pasien tidak sadar, demam tinggi Parameter Hasil Normal
O Hb 12.5 12-16
KU Kes TD ND NF SpO2 T Leucosit 24.440 5000-10.000
Berat DPO 96/60 116 on venti 100% 40,8 HT 42 37-43
Trombosit 122.000 150.000-
 Mata : konjungtiva Anemis , Sklera 400.00
tidak ikterik PT 18.5 9,1-12,3
 Abdomen :Tampak membesar sesuai APTT 46.1 26,8-36,2
kehamilan preterm. His (-), DJJ (-) Ureum 136 10-50
 Genitalia :V/U normal, PPV (-)
 Balance Cairan /24 Jam : + 2318
- Input : 2610 cc
- Output : 292 cc
 SOFA score : 6
A Penurunan kesadaran ec susp krisis Kreatinin 3.1 0.6-1.2
tiroid + hipoglikemi teratasi + sepsis D-dimer <500
gangguan elektrolit + hipoalbuminemia GDS 142 <200
+ AKI + DIC pada G1P0A0H0 gravid Albumin 2.3 3,8-5,0
32-33 minggu + IUFD

I Kontrol KU, VS, PPV, Balance cairan, Globulin 1.9 1,3-2,7


informed consent terminal Tot - 0,3-1,0
IVFD triofusin 1000 bilirubin
Meylon 100 mEq Bil direct - <0,2
Transfusi albumin 20 % Bil Indirect - <0,6
Inf. Ca Glukonas 3 g LDH - 240-480
Inj. Meropenem 3 x 500 mg (IV) SGOT - <32
Inf. Paracetamol 4 x 1 g (IV) SGPT - <31
Inj. Omeprazol 2 x 40 mg (IV) Ca 7,3 8,1-10,4
Inj. Metilprednisolon 2 x 62.5 mg (IV) Na 136 136-145
Kalitake 3 x 1 per NGT K 7,2 3,5-5,1
PTU 3 x 100 mg per NGT Cl 97-111
Lugol 4 x 10 tts per NGT Analisa Gas Darah
Nebu combivent 6x PH 7.12 7,35
Nebu fluimucyl 2x
PaO2 80-100
Nebu ventolin 4x
PaCO2 35-45
HCO3- 22-26
SaO2 93-99
BE -2-2
P

20
06-12-2019 ( Hari Rawatan 3 )
07.00 WIB
Follow Up Laboratorium
S Pasien tidak sadar Parameter Hasil Normal
O Hb 10,9 12-14
KU Kes TD ND NF SpO2 T Leucosit 17,450 5000-10.000
Berat DPO 80/70 145 on venti 100% 40 HT 35 37-43
Trombosit 33.000 150.000-
 Mata : konjungtiva tidak anemis , 400.00
Sklera tidak ikterik PT 20.5 9,1-11,3
 Abdomen :Tampak membesar sesuai APTT 59.0 21,7-28,7
kehamilan preterm. His (-), DJJ (-) Ureum 177 10-50
 Thoraks : rhonki -/-, wheezing -/-
 Genitalia :V/U tenang, PPV (-)
 Balance cairan : +1.568
- Input : 2218 cc
- Output : 650 cc
 SOFA Score : 7

A Penurunan kesadaran ec susp krisis Kreatinin 5,5 0.6-1.2


tiroid + gangguan elektrolit + D-dimer 28.073 <500
hipoalbuminemia + AKI + septik shock GDS 326 <200
ec ? + DIC pada G1P0A0H0 gravid 32- Albumin 2.3 3,8-5,0
33 minggu + IUFD

I Kontrol KU, VS, PPV, Balance cairan, Globulin 2,4 1,3-2,7


IVFD triofusin 1000 Tot - 0,3-1,0
Norepinefrin 4 mg / 50 cc bilirubin
Transfusi albumin 20 % Bil direct - <0,2
Inf. Ca Glukonas 3 g Bil Indirect - <0,6
Transfusi FFP 2 unit LDH - 240-480
Transfusi TC 10 unit SGOT - <32
Inj. Meropenem 3 x 500 mg (IV) SGPT - <31
Inf. Paracetamol 4 x 1 g (IV) Ca - 8,1-10,4
Inj. Omeprazol 2 x 40 mg (IV) Na 137 136-145
Inj. Metilprednisolon 2 x 62.5 mg (IV) K 7,0 3,5-5,1
Kalitake 3 x 1 per NGT Cl 105 97-111
PTU 3 x 100 mg per NGT Analisa Gas Darah
Lugol 4 x 10 tts per NGT PH 7,131 7,35
Nebu combivent 6x
PaO2 187,1 80-100
Nebu fluimucyl 2x
PaCO2 54,9 35-45
Nebu ventolin 4x
HCO3- 17.800 22-26
Cendolyter 6 x 2 tts
SaO2 97,4 93-99
BE -9.800 -2-2

21
07-12-2019 ( Hari Rawatan 4 )
07.00 WIB
Follow Up Laboratorium
S Pasien tidak sadar Parameter Hasil Normal
O Hb 9,5 9,5-15
KU Kes TD ND NF SpO2 T Leucosit 21.970 5000-10.000
Berat DPO 96/60 116 on venti 100% 40,8 HT 31 37-43
Trombosit 86.000 150.000-400.00
 Mata : konjungtiva tidak anemis , sklera PT - 9,1-12,3
tidak ikterik APTT - 26,8-36,2
 Abdomen :Tampak membesar sesuai Ureum 239 10-50
kehamilan preterm. His (-), DJJ (-)
 Genitalia :V/U normal, PPV (-)
A Penurunan kesadaran ec susp krisis Kreatinin 6,8 0.6-1.2
tiroid + gangguan elektrolit + D-dimer - <500
hipoalbuminemia + AKI + septik shock GDS 199 <200
ec susp. HAP + DIC pada G1P0A0H0 Albumin 3,0 3,8-5,0
gravid 32-33 minggu + IUFD

I Kontrol KU, VS, PPV, Balance cairan, Globulin 1.9 1,3-2,7


IVFD triofusin 1000 Tot - 0,3-1,0
Inf. Ca Glukonas 4 g bilirubin
Transfusi FFP 2 unit Bil direct - <0,2
Norepinefrin 8 mg / 50 cc Bil Indirect - <0,6
Inj. Meropenem 3 x 500 mg iv LDH - 240-480
Inf. Paracetamol 4 x 1 g iv SGOT - <32
Inj. Omeprazol 2 x 40 mg iv SGPT - <31
Inj. Metilprednisolon 2 x 62.5 mg iv Ca 6,8 8,1-10,4
Inj. Dexametason 3 x 1 amp iv Na 132 136-145
Kalitake 3 x 1 per NGT K 7,7 3,5-5,1
PTU 3 x 100 mg per NGT Cl 97-111
Lugol 4 x 10 tts per NGT Analisa Gas Darah
Nebu combivent 6x PH 7,35
Nebu fluimucyl 2x
PaO2 80-100
Nebu ventolin 4x
PaCO2 35-45
Cendolyter 6 x 2 tts
HCO3- 22-26
SaO2 93-99
BE -2-2
P

22
07-12-2019 ( Hari Rawatan 4 )
Follow Up 08.00 WIB
S Pasien tidak sadar
O
KU Kes TD ND NF SpO2
Berat DPO 87/58 145 on venti 100%
Mata : Pupil 3/3, refleks cahaya +/+

A Penurunan kesadaran ec susp krisis tiroid + gangguan elektrolit + hipoalbuminemia +


AKI + septik shock ec susp. HAP + DIC pada G1P0A0H0 gravid 32-33 minggu +
IUFD

P Kontrol KU, VS

07-12-2019 ( Hari Rawatan 4 )


Follow Up 09.00 WIB
S Pasien tidak sadar
O
KU Kes TD ND NF SpO2 T
Berat DPO 84/53 162 on venti 100% 39,1
Mata : Pupil isokor 3/3, refleks cahaya +/+

A Penurunan kesadaran ec susp krisis tiroid + gangguan elektrolit + hipoalbuminemia +


AKI + septik shock ec susp. HAP + DIC pada G1P0A0H0 gravid 32-33 minggu +
IUFD

P Kontrol KU, VS

07-12-2019 ( Hari Rawatan 4 )


Follow Up 10.00 WIB
S Pasien tidak sadar
O
KU Kes TD ND NF SpO2
Berat DPO 68/47 43 on venti 93%
Mata : Pupil 6/6, refleks cahaya +/+
Abdomen : His (-)
Thoraks : Rhonki +/+, wheezing -/-
Genitalia : V/U tenang, PPV (-)

A Penurunan kesadaran ec susp krisis tiroid + gangguan elektrolit + hipoalbuminemia +


AKI + septik shock ec susp. HAP + DIC pada G1P0A0H0 gravid 32-33 minggu +
IUFD

P Kontrol KU, VS, PPV

23
07-12-2019 ( Hari Rawatan 4 )
Follow Up 10.10 WIB
S Tidak ada respon
O
KU Kes TD ND NF SpO2
Berat DPO − − on venti 76%
Mata : Pupil 6/6, refleks cahaya +/+

A Cardiac arrest
P RJP

07-12-2019 ( Hari Rawatan 4 )


Follow Up 10.30 WIB
S Tidak ada respon
O
TD ND NF SpO2
Tidak terukur Tidak terukur on venti Tidak terukur

Telah dilakukan RJP sebanyak 5 siklus dan pemberian epinefrin tapi tidak ada respon

Pasien dinyatakan meninggal di depan keluarga dan perawat

24
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Krisis Tiroid

Tirotoksikosis berat dapat mengalami eksaserbasi akut dan keadaan darurat

ini dikenal dengan krisis tiroid atau "badai tiroid". Hal ini biasanya dipicu oleh

infeksi, dengan riwayat tirotoksikosis yang telah berlangsung lama.13 Krisis tiroid

dalam kehamilan dapat mengancam nyawa ibu dan janin. Hanya 1-2% kasus

hipertiroid dalam kehamilan yang bermanifestasi sebagai krisis tiroid dan tingkat

mortalitas berkisar 20-30%.1 Kematian pada ibu disebabkan karena terjadinya

aritmia jantung. Mekanisme terjadinya aritmia diduga akibat peningkatan eksitasi

miokardial yang disebabkan oleh hormon tiroid.14 Angka kematian janin yang

tinggi disebabkan karena komplikasi dalam kehamilan seperti keguguran, berat

bayi lahir rendah, kelahiran prematur, pre-eklamsi dan malformasi kongenital.15–17

3.1.1 Etiologi

Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid adalah tindakan bedah, infeksi,

trauma, kehamilan dan persalinan. Kehamilan trimester pertama biasanya

mencetuskan krisis tiroid karena kadar hCG paling tinggi pada usia kehamilan

tersebut. Namun, beberapa kasus krisis tiroid pada kehamilan disebabkan oleh

pre-eklamsi, persalinan dan seksio cesarean atau penghentian terapi

hipertiroid.17,18

3.1.2 Diagnosis

Diagnosis krisis tiroid biasanya ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis,

yang dinilai dengan skor Burch dan Wartofsky. Skor Burch dan Wartofsky

dapat menilai kemungkinan dan tingkat keparahan krisis tiroid. Skor 45 atau lebih

25
merupakan kecurigaan tinggi krisis tiroid, skor 25-44 mendukung diagnosis dan

skor dibawah 25 bukanlah krisis tiroid.1,17

Tabel 1 Skor kriteria Burch dan Wartofsky untuk diagnosis krisis tiroid2

26
Tabel 2 Kriteria diagnosis thyroid storm (TS) berdasarkan Japan Thyroid
Association2

Algoritma diagnosis krisis tiroid dapat dilihat pada Gambar 1. diduga

mengalami krisis tiroid bila penderita mengalami demam (≥38ºC), takikardi

(≥130X/menit), atrial fibrilasi, congestive heart failure, penurunan kesadaan (GCS

≤14) dan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, diare dan kuning. Bila

pasien memiliki riwayat penyakit grave, riwayat keluarga dengan penyakit tiroid

dan penurunan berat badan dalam waktu singkat dan pada pemeriksaan fisik

ditemukan goiter, bruit pada anterior leher dan eksoftalmus, kemungkinan

terjadinya krisis tiroid lebih tinggi. Kondisi pasien harus dievaluasi melalui

Analisa gas darah, monitor ekg, rontgen toraks, urinalisis, darah lengkap, kimia

darah dan factor pembekuan. Kadar FT3, FT4, TSH dan TRAb harus secepatnya

27
dilakukan pemeriksaan bila pasien memenuhi kriteria diagnosis krisis tiroid. Bila

pemeriksaan lab ini tidak dapat dilakukan, rujuk pasien ke RS yang memiliki

fasilitas ICU.2

Gambar 1 Algoritma diagnostik krisis tiroid2

Pada RS yang memiliki fasilitas ICU, lakukan evaluasi ulang ABCDE dan

tatalaksana krisis troid (Gambar 2). Pasien kriss tiroid dengan syok, DIC atau

multiple organ failure harus dirawat di ICU. Untuk menilai kebutuhan ICU, harus

digunakan skor APACHE II, skor GCS, vital sign (suhu tubuh, tekanan darah,

denyut nadi, dan pernapasan), analisis gas darah arteri (pH, PaO2, HCO3-, dan

tekanan oksigen alveolar (A-aDO2), elektrolit (Na, K, dan Cl), hasil hematologi

(hematokrit (Hct) dan jumlah sel darah putih (WBC)), usia dan riwayat penyakit

kronis. Bila skor APACHE II adalah ≥9 poin masuk ke ICU dianjurkan. 2

28
Gambar 2 Algoritma tatalaksana krisis tiroid2

3.1.3 Tatalaksana

Prinsip tatalaksana krisis tiroid pada kehamilan sama dengan wanita yang

tidak hamil, dan harus memiliki tim khusus seperti spesialis endokrin, spesialis

feto-maternal.

Berdasarkan The American Thyroid Association Guidelines, salah satu

terapi krisis tiroid dalam kehamilan adalah obat antitiroid. Pilihan pertama adalah

propylthiouracil (PTU). Dosis yang diberikan 200-250 mg/6 jam, dapat diberikan

secara oral atau dengan NGT.18 Obat anti tiroid dapat menembus sawar darah

plasenta. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kelainan pada janin, kadar

29
FT4 dijaga pada batas teratas dari kadar normal, kemudian disarankan untuk

memeriksa kadar FT4 tiap 2-6 minggu.19

Iodin, glukokortikoid, dan propranolol juga diberikan pada pasien dengan

krisis tiroid. Iodin dengan konsentrasi tinggi pada cairan Lugol diberikan untuk

mengahambat pelepasan hormon tiroid yang tersimpan dari kelenjar tiroid. Iodin

dapat diberikan secara oral 1 jam setelah pemberian PTU (potassium iodide: 4-8

tetes setiap 6-8 jam; sodium ipodat dosis loading 2 gram dan selanjutnya 1

gram/hari) atau melalui intravena (sodium iodide 1 gram dalam 250-500 mL

normal salin, melalui infus, dua kali sehari).18 Glukokortikoid mencegah

perubahan T4 menjadi T3 di perifer dan mungkin dapat memberikan dampak pada

penyebab dari penyakit autoimun.17,18 Dosis dexametason yang diberikan 8

mg/hari.18 Propanolol sebagai beta bloker digunakan untuk menghambat pengaruh

adrenergik pada hormon tiroid yang berlebihan. Namun, beta bloker seperti

propranolol dapat menyebabkan intrauterine growth restriction dan bradikardi

janin jika dikonsumsi jangka panjang. Oleh karena itu, dalam 2-6 minggu setelah

krisis tiroid, penggunaan propranolol harus dihentikan. Propanolol digunakan

sebagai terapi awal dan dapat diberikan secara oral (40-80 mg/6-8 jam) atau

secara intravena (0,5-1 mg selama 10 menit, diikuti dengan 1-3 mg setiap

beberapa jam) atau dapat juga menggunakan esmolol secara intravena (dosis

loading 0,25-0,,5 µg/kg, diikuti dengan pemberian melalui infus 0,05-0,1

µg/kg/menit.18,19

Keadaan janin harus dievaluasi secara perodik. Risiko bagi janin pada

wanita hamil dengan Grave Disease yang aktif adalah hipertiroid dan hipotiroid.

30
Hal tersebut dapat disebabkan oleh pengendalian hipertiroid yang buruk selama

kehamilan dan akibat overdosis obat antitiroid.17

3.2 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan sindrom

klinikopatologi yang didapat, ditandai dengan aktivasi sistem koagulasi yang

mengakibatkan deposit fibrin di mikrovaskular, sehingga mengakibatkan

gangguan pasokan darah ke organ maupun perdarahan, sebagai akibat konsumsi

trombosit dan faktor koagulasi. DIC bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu

manifestasi sekunder dari proses patologi yang mendasari seperti infeksi, trauma,

kanker, dan kegawatan di bidang obstetri.9

3.2.1 Etiologi DIC pada obstetrik

Penyebab DIC pada bidang obstetrik dapat dilihat pada tabel 2. Beberapa

kondisi ini membutuhkan pertimbangan ulang pada saat diagnosis. Misalnya,

terjadinya emboli cairan ketuban sangat mendadak sehingga walaupun DIC telah

dilaporkan mencapai 83% kasus, diagnosisnya bisa sulit dalam situasi seperti itu.

Berdasarkan beberapa studi, emboli cairan ketuban tidak dapat diprediksi atau

dicegah dan bahwa tidak ada pemeriksaan standar atau protokol untuk

mengonfirmasinya. Namun, jika tes koagulasi abnormal dihubungkan dengan

gejala dan tanda-tanda hipotensi akut atau hipoksia dalam 30 menit setelah

melahirkan, diagnosis DIC dianggap sebagai penyebab sekunder akibat emboli

cairan ketuban.10

31
Tabel 3 Penyebab DIC yang paling sering pada bidang obstetri10

Kematian janin intrauterin (IUD) sering dikaitkan dengan DIC. Namun,

kejadian IUD yang tidak terdiagnosis jarang terjadi di lingkungan obstetri karena

persalinan spontan biasanya terjadi dalam dua minggu pertama sementara

gangguan koagulasi cenderung terjadi setelah satu bulan kematian janin. Jika

janin dipertahankan lebih lama, 25% kasus menyebabkan koagulopati yang

dimediasi oleh pelepasan media tromboplastin-like dari produk konsepsi yang

mati.10

Pre-eklampsia merupakan penyebab signifikan terhadap morbiditas

mortalitas ibu dan neonatus, terjadi 3-5% kehamilan, diduga akibat kelainan

respons ibu terhadap plasentasi. Dengan demikian, keparahan klinisnya

tergantung pada sejauh mana abnormal invasi plasenta yang dapat mengirimkan

sinyal inflamasi. Plasentasi yang abnormal dapat disebabkan oleh suatu bentuk

maladaptasi imun ibu-ayah yang dimulai pada saat deposisi semen pada traktus

genital wanita. Hal ini memprovokasi kaskade seluler dan molekuler yang

menyerupai respons inflamasi klasik. Pada pelepasan syncytiotrofoblas akan lebih

meningkatkan respons inflamasi dan nitrat oksida sehingga dapat mempotensiasi

agregasi trombosit dan iskemia utero-plasenta yang menyebabkan preeklampsia.10

Solusio plasenta terjadi akibat pecahnya arteri desidua maternal hingga

menyebabkan diseksi darah pada pertemuan desidua-plasenta. Patofisiologi yang

tepat dalam banyak kasus tidak diketahui tetapi gangguan plasentasi, insufisiensi

32
plasenta dan hipoperfusi utero-plasenta dianggap sebagai mekanisme utama.

Solusio plasenta juga menunjukkan peran penting melalui trombin, yang memiliki

sifat uterotonik yang kuat selain berperan penting dalam koagulasi. Plasenta dari

wanita dengan persalinan prematur sering menunjukkan perdarahan plasenta lama

yang mendukung konsep produksi trombin dalam mempotensiasi solusio plasenta

dan kelahiran prematur spontan. Konsekuensi perdarahan pada pemisahan

plasenta prematur juga dapat memungkinkan masuknya faktor jaringan plasenta

ke dalam sirkulasi untuk meningkatkan pembentukan dan koagulasi trombin.

Pemisahan plasenta telah terbukti berkorelasi dengan pembentukan fibrin dan

trombositopenia yang menunjukkan bahwa koagulasi dimulai dari lapisan

plasenta.10

Perdarahan postpartum (PPH) merupakan penyebab lain perdarahan yang

dikaitkan dengan DIC. Koagulopati terjadi akibat kehilangan darah yang

berlebihan, konsumsi faktor pembekuan dan efek lanjut dari transfusi masif dalam

pengaturan asidosis dan hipotermia. Abortus septik dan infeksi janin intrauterin

juga menyebabkan DIC dengan mekanisme yang mirip dengan sepsis dimana

proses inflamasi mendisregulasi koagulasi.10

Sindrom dengan haemolysis, elevated liver enzymes and low

platelets (HELLP) ditandai dengan kerusakan sel endotelial yang prominen pada

hepar. Kondisi ini terjadi akibat inflamasi akut yang dimediasi oleh plasenta dan

liver-targeted di mana apoptosis hepatosit Fas-dependent telah diamati. Disfungsi

endotel, aktivasi trombosit dan komplemen dengan pelepasan mediator inflamasi

adalah faktor-faktor berbeda yang menjadi predisposisi terhadap DIC. Kondisi

lain yang spesifik-hepar tetapi berbeda secara mekanis adalah acute fatty liver of

33
pregnancy (AFLP). Biasanya terjadi pada trimester ketiga kehamilan dan sering

berakibat fatal.10

3.2.2 Diagnosis

Diagnosis DIC berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium tunggal yang dapat digunakan untuk

mendiagnosis atau menyingkirkan diagnosis DIC. Tujuan pemeriksaan ini adalah

untuk mengidentifikasi DIC, evaluasi derajat serta monitor efeknya dari waktu ke

waktu. Kombinasi pemeriksaan sering dilakukan dengan interval waktu tertentu

untuk memantau pasien secara ketat apakah terjadi perbaikan klinis atau terjadi

perburukan. Pemeriksaan tersebut antara lain:20

 D-dimer

 Fibrinogen

 Prothrombin time (PT)

 Fibrin degradation products

 Complete blood count (CBC)

 Partial thromboplastin time (PTT)

Sub-komite Scientific dan Standardisasi DIC dari International Society on

Thrombosis and Haemostasis (ISTH) merekomendasikan penggunaan system

skor untuk DIC overt (Tabel 3). Skor ini telah terbukt sensitive untuk DIC infetif

maupun non-infektif, sensitivitasnya 91% dan spesifisitas 97% serta terdaat

korelasi antara kenaikan skor dan mortalitas. Skor 5 atau lebih dianggap

kompatibel dengan DIC.9,10

34
Tabel 4 Sistem skor untuk diagnosis DIC10

DIC overt, adalah suatu kondisi dimana sel endotel (pembuluh darah) dan

darah beserta komponennya kehilangan kemampuan untuk kompensasi dan

mengembalikan homeostasis dalam hal respon terhadap injury. Akibatnya terjadi

suatu kondisi dekompensasi dengan manifestasi disfungsi multiorgan akibat

trombotik dan/atau perdarahan. DIC non-overt didefinisikan sebagai kondisi

klinik dari kerusakan pembuluh darah yang mengakibatkan stres berat dari sistem

hemostasis, namun pada saat itu respon tubuh masih dapat menjaga agar tidak

terjadi pengaktifan lebih lanjut dari sistem hemostasis dan inflamasi.9

3.2.3 Tatalaksana

3.2.3.1 Penatalaksanaan penyakit yang mendasari

Terapi utama penderita dengan DIC ditujukan pada penyakit yang

mendasarinya. Perbaikan DIC tergantung derajat berat penyakit yang mendasari

seperti pengeluaran segera janin dan plasenta akan mengembalikan homeostasis

pada penderita dengan DIC obstetrik.9

3.2.3.2 Terapi suportif dan komponen darah

Terapi suportif penderita dengan DIC meliputi:9,10

1. Support hemodinamik yang cukup untuk mempertahankan perfusi.

35
2. Transfusi suportif dengan produk darah yang sesuai dengan klinis dan hasil

laboratorium.

Panduan pengganti produk darah dapat dilihat pada tabel 4 dan komponen

produk darah yang dapat diberikan dapat dilihat pada tabel 5

Tabel 5 Panduan pengganti produk darah pada perdarahan masif obstetri11

Tabel 6 Terapi Komponen Darah10

3.2.3.3 Heparin

Pemberian heparin pada penderita dengan DIC terbatas pada kondisi

adanya bukti tromboemboli vena atau arteri, deposit fibrin luas yang

mengakibatkan purpura fulminan dan iskemik akral atau infark pembuluh darah

36
kulit. Dalam hal ini heparin (unfractionated) dapat diberikan dengan dosis penuh

secara infus kontinyu, karena alasan waktu paruh yang pendek dan reversible.

Dosis yang disesuaikan dengan berat badan (misalnya 10U/kg/jam) dapat

digunakan tanpa memandang target rasio aPTT dengan kisaran 1.5-2.5 kali

kontrol. Monitoring aPTT pada penderita seperti ini sulit, oleh karena itu

observasi adanya tanda perdarahan dianggap lebih penting.10

3.2.3.4 Inhibitor Koagulasi Spesifik

Pemberian obat ini harus hati-hati pada penderita dengan trombositopenia

berat (30.000/µL) karena banyak menimbulkan perdarahan akibat inaktifnya

faktor Va dan VIIIa).10

3.3 Community Acquired Pneumonia (CAP)

3.2.1 Definisi

Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh

mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Community Acquired Pneumonia

adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit.22

3.2.2 Epidemiologi

Penyakit saluran napas merupakan salah satu penyebab tingginya

mortalitas dan morbiditas di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru

praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di

masyarakat atau di dalam rumah sakit. Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi

saluran napas bawah akut di parenkim paru yang serius dijumpai sekia 15-20%.

Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti

dengan angka kematian antara 20-35 %. Pneumonia komuniti menduduki

peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.22

37
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang

jelas. Namun pada kebanyan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati

adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh.21

38
3.2.3 Etiologi

Menurut kepustakaan penyebab Community Acquired Pneumonia banyak

disebabkan bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini

laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang

ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri

Gram negatif.22

Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia

(Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan

bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil

pemeriksaan sputum sebagai berikut:22

- Klebsiella pneumoniae 45,18%

- Streptococcus pneumoniae 14,04%

- Streptococcus viridians 9,21%

- Staphylococcus aureus 9%

- Pseudomonas aeruginosa 8,56%

- Steptococcus hemolyticus 7,89%

- Enterobacter 5,26%

- Pseudomonas spp 0,9%

3.2.4 Patogenesis

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru,

karena dilindungi oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi

ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang

biak dan menimbulkan penyakit.22

39
Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan terjadinya

infeksi saluran napas. Paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah

bakteri agar tidak masuk kedalam paru. Mekanisme pembersihan tersebut adalah:

1. Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi :

 Reepitelisasi saluran napas

 Aliran lendir pada permukaan epitel

 Bakteri alamiah atau "ephitelial cell binding site analog"

 Faktor humoral lokal (IgG dan IgA)

 Komponen mikroba setempat

 Sistem transpor mukosilier

 Reflek bersin dan batuk

2. Mekanisme pembersihan di Respiratory exchange airway, meliputi :

 Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan. Surfaktan adalah Suatu

Glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa komponen berfungsi

memperkuat fagositosis dan killing terhadap bakteri oleh makrofag

 Sistem kekebalan humoral lokal (IgA).

IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung (10 % dari total protein

sekret hidung). Bakteri yang sering mengadakan kolonisasi pada saluran

napas atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan merusak IgA. Bakteri

gram negatif (P.aeroginosa, E.colli, Serratia spp, Proteus spp, dan

K.penumoniae) mempunyai kemampuan untuk merusak IgA. Defisiensi dan

kerusakan setiap komponen pertahanan saluran napas atas menyebabkan

kolonisasi bakteri patogen sebagai fasiliti terjadinya infeksi saluran napas

bawah.

40
 Makrofag alveolar dan mediator inflamasi

 Penarikan netrofil

3. Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik

Mekanisme pertahanan saluran napas subglotis terdiri dari anatomik, mekanik,

humoral dan komponen seluler. Mekanisme penutupan dan refleks batuk dari

glotis merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari orofaring. Bila terjadi

gangguan fungsi glotis maka hal ini berbahaya bagi saluran napas bagian

bawah yang dalam keadaan normal steril. Tindakan pemasangan pipa

Nasogastrik, alat trakeostomi memudahkan masuknya bakteri patogen secara

langsung ke saluran napas bawah. Gangguan fungsi mukosiliar dapat

memudahkan masuknya bakteri patogen ke saluran napas bawah, bahkan

infeksi akut oleh M.pneumoniae, H.Influenzae dan virus dapat merusak

gerakan silia.

4. Mekanisme pembersihan di respiratory gas exchange airway

Bronkiolus dan alveoli mempunyai mekanisme pertahanan sebagai berikut :

 Cairan yang melapisi alveoli :

a. Surfaktan

b. Aktivitas anti bakteri (non spesifik) : FFA, lisozim, iron binding

protein.

Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme

untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara

mikroorganisme mencapai permukaan :

1. Inokulasi langsung

2. Penyebaran melalui pembuluh darah

41
3. Inhalasi bahan aerosol

4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi. Secara

inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau

jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5-2,0 nm melalui udara dapat

mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila

terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi

aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini

merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Sekresi orofaring
8-10
mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 /ml, sehingga aspirasi dari

sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri

yang tinggi dan terjadi pneumonia.

Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau

aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas

sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian

tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.

3.2.5 Diagnosis

3.2.5.1 Gambaran klinis

a. Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan22,23 :

 Demam (dapat melebihi 40°C)

 Menggigil

42
 Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah.

Batuk darah dapat ditemukan pada pasien pneumococcal pneumonia,

Klebsiella pneumonia, atau Legionella pneumonia.

 Sesak napas

 Nyeri dada.

b. Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik toraks tergantung dari luas lesi di paru. Pada

inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas. Palpasi

fremitus dapat mengeras, pada perkusi dapat redup, pada auskultasi terdengar

suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah

halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.22,23

3.2.5.2 Pemeriksaan penunjang

a. Gambaran radiologis

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk

menegakkan diagnosis. Pemeriksaan rontgen toraks mungkin tidak ditemukan

kelainan pada CAP tahap awal. Pada pasien ini, pemeriksaan foto toraks ulang

dianjurkan dalam waktu 24 jam. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat

sampai konsolidasi dengan air broncogram. Foto toraks hanya merupakan

petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa

sering memperlihatkan infiltrat bilateralatau gambaran bronkopneumonia

sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi

pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.22,24,25

b. Pemeriksaan labolatorium

43
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,

biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada

hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED.
22

Menentukan etiologi diperlukan pemeriksaan sputum, kultur darah dan

serologi. Pemeriksaan sputum dengan pewarnaan gram dapat menetukan

organisme penyebab jika spesimen dikumpulkan dengan benar, tidak ada

kontaminasi saliva, dan jika organisme predominan ditemukan. Kultur darah

dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.Pada pemeriksaan serologi

didapatkan peningkatan yang signifikan dari titer IgM (biasanya ditemukan pada

fase akut infeksi), kombinasi IgM dan pemeriksaan asam nukleat dapat menjadi

metode yang optimal untuk mendiagnosis infeksi M. pneumonia.22,24

Diagnosis CAP didapatkan dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisis,

rontgen toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti CAP ditegakkan jika pada

rontgen torak terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2

atau lebih gejala di bawah ini :

 Batuk yang semakin meningkat

 Perubahan karakteristik dahak / purulen

 Suhu tubuh > 38°C (aksila) / terdapat riwayat demam

 Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial

dan ronki

 Leukosit > 10.000 atau < 4500. 22

44
Penilaian derajat keparahan CAP dapat dilakukan dengan menggunakan

sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team

(PORT) seperti tabel di bawah ini :

Tabel 7 Sistem skor pada CAP berdasarkan PORT


Karakteristik Penderita Jumlah Poin
Faktor Demografi
Usia : Laki-laki Umur (tahun)
Perempuan Umur (tahun)-10
Perawatan di rumah +10
Penyakit Penyerta
Keganasan +30
Penyakit hati +20
Gagal jantung kongesif +10
Penyakit serebrovaskular +10
Penyakit ginjal +10
Pemeriksaan fisik
Perubahan status mental +20
Pernapasan >30x/menit +20
Tekanan darah sistolik <90 mmHg +20
Suhu tubuh >40°C atau <35°C +15
Nadi >135x/ menit +10
Hasil Laboratorium dan Radiologi
Analisis gas darah arteri : pH < 7,35 +30
BUN> 30 mg/dl +20
Natrium <130 mEq/l +20
Glukosa >250 mg/dl +10
Hematokrit <30% +10
PO2 <60 mmHg +10
Efusi Pleura +10
Sumber : PDPI, 2003

3.2.6 Tatalaksana

Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi

penatalaksanaan pneumonia komuniti.22

A. Kriteria rawat inap pneumonia komuniti adalah :

1. Skor PORT lebih dari 70

2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila

dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.

45
 Frekuensi napas > 30/menit

 Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg

 Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral

 Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus

 Tekanan sistolik < 90 mmHg, tekanan diastolik < 60 mmHg

3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

B. Kriteria perawatan intensif

Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah

penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu

(membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok

septik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg,

foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90

mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk

perawatan Ruang Rawat Intensif.

Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:22

a. Penderita rawat jalan

Pengobatan suportif / simptomatik

 Istirahat di tempat tidur

 Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi

 Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas

 Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran

Pemberian antiblotik harus diberikan kurang dari 8 jam

b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa

Pengobatan suportif / simptomatik

46
 Pemberian terapi oksigen

 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit

 Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam

c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif

Pengobatan suportif / simptomatik

 Pemberian terapi oksigen

 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit.

Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Pengobatan antibiotik kurang dari 8 jam

Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanis

Tabel 8 Terapi antibiotik yang direkomendasikan menurut PDPI.21

47
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan/memburuk

maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti. Dalam

hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan ada tidaknya faktor

modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan

mikroorganisme patogen yang spesifik misalnya Streptococcus pneumoniae yang

resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor modifikasis adalah: (ATS 2001)

a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin

 Umur lebih dari 65 tahun

 Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir

 Pecandu alkohol

 Penyakit gangguan kekebalan

 Penyakit penyerta yang multipel

b. Bakteri enterik Gram negatif

 Penghuni rumah jompo

 Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru

 Mempunyai kelainan penyakit yang multipel

 Riwayat pengobatan antibiotik

c. Pseudomonas aeruginosa

 Bronkiektasis

 Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari

 Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir

 Gizi kurang

Pada pneumonia atipik pengobatan yang digunakan masih tetap

menggunakan antibiotik sebagai pengobatan utama. Antibiotik terpilih pada

48
pneumonia atipik yang disebabkan oleh M.pneumoniae, C.pneumoniae dan

Legionella adalah golongan :

 Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)

 Fluorokuinolon respiness

 Doksisiklin

Evaluasi Pengobatan

Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak

ada perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita,

obat-obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya.

Gambar 3 Bagan evaluasi pengobatan pneumonia komuniti

3.2.7 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi :

 Efusi pleura

 Empiema

 Abses Paru

49
 Pneumotoraks

 Gagal napas

 Sepsis

Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory

response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti

klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38oC atau <36oC) ; takikardi;

asidosis metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi

dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis yang

berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau

hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status

mental.

Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi

yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut,

dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:

1. Infeksi paru-paru (pneumonia)

2. Flu (influenza)

3. Appendisitis

4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)

6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter

telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit

7. Infeksi pasca operasi

50
3.2.8 Prognosis

Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,

bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan

yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita

yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5%

pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit

menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka

kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I

0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2%

dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian

penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS

Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%,

tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20-

35%.22

3.3 Sepsis

3.3.1 Definisi

Sepsis adalah kondisi yang mengancam jiwa karena infeksi akut yang

ditandai dengan satu atau lebih disfungsi organ.26 Hasil dari database catatan

kesehatan AS yang besar termasuk sekitar 150.000 pasien dengan dugaan infeksi

akut mengungkapkan bahwa skor quick Sequential (Sepsis-related) Organ Failure

Assessment (qSOFA) score dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan

sepsis di luar lingkungan perawatan intensif.

51
3.3.2 Diagnosis

Skor qSOFA menunjukkan potensi adanya sepsis jika dua dari tiga

indikator berikut dipenuhi: (1) laju pernapasan ≥22 bpm, (2) tekanan darah

sistolik ≤100 mmHg, dan (3) setiap perubahan akut dalam kondisi mental.26

Gambar 4 Kriteria penghitungan Qsofa26

Diagnosis klinis sepsis didasarkan pada pasien yang mengalami infeksi dan

peningkatan SOFA score, dengan perubahan dalam skor < 2

Tabel 9 Skor Penilaian organ failure (terkait sepsis)

Syok septik didefinisikan sebagai 'bagian dari sepsis dengan kegagalan

sirkulasi, seluler dan metabolik yang mendalam terkait dengan risiko kematian

yang lebih besar dibanding sepsis.26 Kriteria diagnostik syok septik adalah

52
'dibutuhkan vasopresor untuk mempertahankan MAP> 65 mm Hg dan tingkat

serum laktat >2 mmol/L dengan atau tanpa adanya hipovolemia.26

3.3.3 Tatalaksasna

3.3.3.1 Rekomendasi untuk Penanganan sepsis

1. Diagnosis Sepsis

Sepsis sebagai kombinasi infeksi akut + dua parameter berikut: laju

pernapasan ≥ 22 bpm, tekanan darah sistolik ≤ 100 mmHg, dan segala perubahan

akut dalam kondisi mental. kriteria ini belum divalidasi untuk mengenali pasien

dengan sepsis akibat infeksi nonbakteri seperti malaria, demam berdarah, atau

penyakit menular tropis lainnya.26

2. Identifikasi jenis infeksi yang mendasarinya

Rinci riwayat penyakit pasien dan lakukan pemeriksaan fisik head-to-toe

secara sistematis untuk mengidentifikasi tipe infeksi yang mendasarinya; Kenali

penyakit dengan infeksi lokal sesuai dengan epidemiologi; lakukan evaluasi

diagnostik tambahan seperti pengujian laboratorium dan / atau pencitraan

radiografi atau ultrasonik untuk mengidentifikasi sumber infeksi.26

3. Identifikasi patogen mikrobiologis penyebab

Mengambil dua atau lebih set kultur darah dan sekresi jaringan / tubuh dari

tempat infeksi yang dicurigai, lakukan sensitivitay test antibiotik.26

4. Identifikasi Syok Sepsis

Syok didefinisikan sebagai perfusi jaringan sistemik yang tidak adekuat

dengan dysoxia seluler / hipoksia. Syok septik baru-baru ini didefinisikan sebagai

hipotensi arteri yang membutuhkan terapi vasopresor untuk mempertahankan

tekanan darah arteri rata-rata < 65 mmHg setelah resusitasi cairan yang adekuat.26

53
3.3.3.2 Elemen Inti Perawatan Suportif Umum untuk Pasien dengan Sepsis

dan Syok Septik

1. Kortikosteroid untuk tatalaksana Syok yang sulit teratasi


Direkomendasikan pemberian hidrokortison intravena (200 mg per hari,
atau dosis setara kortikosteroid lain) pada pasien dewasa dengan syok septik, yang
meskipun resusitasi cairan yang memadai dan dukungan vasopresor tetap secara
hemodinamik tidak stabil. Catatan: Ketidakstabilan hemodinamik dapat
didefinisikan oleh tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg selama lebih dari
1 jam meskipun terapi cairan dan vasopresor memadai. Hidrokortison dapat
diberikan dengan infus terus menerus atau bolus selama 5-7 hari, atau sampai
dihentikannya terapi vasopresor, diikuti oleh pengurangan dosis sesuai petunjuk
klinis.
2. Sedasi
Sedasi kontinu atau intermiten bisa diminimalkan pada pasien sepsis
dengan ventilasi mekanis, Manajemen sedasi intravena untuk pasien septik
berventilasi mekanis memerlukan perawatan yang penuh perhatian dan keahlian
medis serta staf yang berkompeten. Kontrol nyeri yang memadai harus dicapai
pada semua pasien jika diperlukan, dan target sedasi ringan yang ditujukan untuk
secara umum.
3. Neuromuscular blocking agents
Blokade neuromuskuler maksimum 2 hari pada pasien dengan ventilasi
mekanis dengan ARDS dan rasio PaO2 / FiO2 <150 mmHg. Beberapa kelompok
percaya bahwa neuromuscular blocking agents tidak boleh diberikan ketika sedasi
dan analgesia dapat menghalanggi dissinkroni pasien-ventilator
a. Profilaksis tromboemboli vena
b. Stress ulcer prophylaxis
Direkomendasikan bahwa profilaksis ulkus stres diberikan kepada pasien
dengan sepsis atau syok septik dengan faktor risiko perdarahan GI, Faktor
risiko perdarahan GI termasuk ventilasi mekanis selama> 48 jam, koagulopati,
terapi penggantian ginjal, penyakit hati , beberapa komorbiditas.
c. Manajemen gula darah

54
Pendekatan protokol untuk manajemen glukosa darah pada pasien ICU dengan
sepsis, dimulai ketika glukosa darah> 180 mg / dL (> 10 mmol / L), dengan
target nilai glukosa darah ≤180 mg / dL (≤10 mmol / L)
d. Enteral feeding
Kami menyarankan pemberian makanan enteral dini yang ditoleransi pada
pasien dengan sepsis dan syok septik. Keterangan: Pertimbangan tambahan
termasuk memulai asupan oral atau enteral dalam waktu 24-48 jam pada pasien
yang cukup diresusitasi dan stabil secara hemodinamik, mengambil langkah-
langkah untuk mengurangi risiko aspirasi, dan menyadari akan sindrom
refeeding dalam beberapa hari pertama setelah inisiasi nutrisi enteral
e. Renal replacement therapy
Meskipun berdasarkan data berbasis populasi Acute Kidney Injury (AKI)
belum jelas, Acute on Cronic Kidney Diseases diperkirakan mencapai sekitar
3% dari semua kematian di India, dan AKI kemungkinan berkontribusi pada
proporsi yang jauh lebih tinggi pada kematian akibat sepsis.
f. Terapi Cairan
Sepsis secara tradisional diobati dengan resusitasi cairan volume besar, yang
sering menyebabkan akumulasi cairan tubuh. Namun, banyak penelitian telah
menunjukkan bahwa keseimbangan cairan positif secara independen terkait
dengan disfungsi organ dan penurunan kelangsungan hidup. Mencapai
keseimbangan cairan negatif, atau "de-resusitasi," dapat meningkatkan fungsi
organ dan hasil dari pasien yang sakit kritis.
Tabel 10 Rekomendasi The Surviving Sepsis Campaign 2016

55
Gambar 5 Algoritma penatalaksanaan resusitasi dan sepsis26

56
Gambar 6 Strategi untuk menghambat progesi dari sepsis

57
BAB 4
DISKUSI

Terdapat banyak hal yang harus dibahas pada kasus ini :

1. Kenapa kasus ini perlu menjadi perhatian?

2. Apakah diagnosa awal pada pasien ini sudah tepat ?

3. Apa pertimbangan perawatan ICU pada pasien ini ?

4. Apakah penyebab sepsis pada pasien ini ?

5. Bagaimana tatalaksana yang tepat untuk penaganan AKI sehingga pasien tidak jatuh

pada CKD, dan kapan waktu yang tepat untuk memulai Hemodialisa ?

6. Kenapa bias terjadi DIC pada pasien ini ?

7. Apa penyebab gagal nafas pada pasien ini ?

8. Apa penyebab kematian pada pasien ini ?

58
PEMBAHASAN:

1. Kenapa kasus ini perlu menjadi perhatian?

Target kematian Ibu sesuai standar mutu PONEK di RSUP Dr.M.Djamil Padang
adalah 0%, sehingga diperlukan pembahasan lebih lanjut dan mendalam mengenai
kasus kematian ini untuk meningkatkan kualitas pelayanan PONEK sebagai
unggulan RSUP Dr.M.Djamil Padang yang bertaraf internasional.

2. Apakah diagnosa awal pada pasien ini sudah tepat ?

Diagnsosi awal pasien ini adalah Penurunan kesadaran ec susp krisis tiroid +
hipoglikemi + elektrolit imbalance + Respiratoric Failure + Syok Sepsis +
hipoalbuminemia pada G1P0A0H0 gravid preterm 32-33 minggu + IUFD, dasar
diagnosis pasien ini didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Krisis tiroid dapat dicurigai jika terdapat trias gejala yaitu gejala dan
tanda tirotoksikosis, hipertermia serta penurunan kesadaran. Pada anamnesis riwayat
penyakit dahulu diketahui bahwa pasien telah dikenal menderita penyakit tiroid sejak
tahun 2018, tetapi pasien tidak mengonsumsi obat anti tiroid, mengalami penurunan
kesadaran yang berangsur-angsur sejak 1 hari SMRS, pasien banyak tidur , kemudian
gelisah saat di perjalanan (meracau) kemudian tidak menyahut dan tidak dapat
dibangunkan serta suhu 40º. Ini sudah memenuhi kriteria krisis tiroid. Pada
pemeriksaan gula darah sewaktu di IGD RSUP Dr. M. Djamil didapatkan hasil 19
mg/dl yang menandakan telah terjadi hipoglikemia, pemeriksaan laboratorium
hematologi Hb 13,9 g/dl, leukosit 15.360/mm3, hematokrit 46%, trombosit
214.000/mm3, pemeriksaan elektrolit, natrium 135 mmol/l, kalium 6,8 mmol/l dan
klorida 114 mmol/L, pemeriksaan imunologi, T3: 4,55 nmol/l, TSH 0,00 µiu/ml dan
FT4 27,98 pmol/l, pemeriksaan lainnya, prokalsitonin 7,20. Pada pemeriksaan urin
didapatkan leukosit: 250-300/LPB. Berdasarkan pemeriksaan tersebut kemungkinan
terjadi urosepsis. Sehingga, diagnosis awal pada pasien ini sudah tepat.

3. Apa pertimbangan perawatan ICU pada pasien ini ?

Pasien datang ke RSUP dr.M.Djamil dalam keadaan kesadaran koma, tekanan darah

110/70 mmHg, nadi 130x/menit, nafas 10-12x/menit, gasping, saturasi oksigen 60%,

segera dilakukan intubasi dan pemasangan CVC oleh dokter spesialis anestesi. Pada

pemeriksaan abdomen didapatkan DJJ tidak ada dan kontraksi tidak ada, pada

59
pemeriksaan USG abdomen didapatkan janin tunggal mati intrauterine yang

menandakan telah terjadi IUFD. Oleh sebab itu, pasien ini membutuhkan monitoring

yang ketat untuk perbaikan klinis pasien.

4. Apakah penyebab sepsis pada pasien ini ?

Pada pemeriksaan hematologi, leukosit 15.360/mm3 dan pada pemeriksaan urin

didapatkan leukosit: 250-300/LPB. Hal ini berarti telah terjadi septicemia dan

urosepsis. Pada pemeriksaan prokalsitonin didapatkan hasil 7,20mng/ml yang

menandakan berisiko tinggi untuk menjadi sepsis berat.

5. Bagaimana tatalaksana yang tepat untuk penanganan AKI sehingga pasien

tidak jatuh pada CKD, dan kapan waktu yang tepat untuk memulai

Hemodialisa ?

Pada hari rawatan kedua di ICU pasien di diagnosis dengan Penurunan kesadaran ec

susp krisis tiroid + hipoglikemi + elektrolit imbalance + Respiratoric Failure + Syok

Sepsis + hipoalbuminemia +Acute Kidney Injury + Disseminated Intravascular

Coagulation pada G1P0A0H0 gravid preterm 32-33 minggu + IUFD. AKI

merupakan suatu keadaan penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu

berupa kenaikan kadar kreatinin serum > 0.3 mg/dl (≥ 26.4 ɲmo/l), presentasi

kenaikan kreatinin serum ≥ 50% (1.5 x kenaikan nilai dasar), atau pengurangan

produksi urin (oliguria yang tercatat ≤ 0.5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam),

sementara hasil ureum 136 mg/dl dan kreatinin 3,1 mg/dl yang berarti telah terjadi

peningkatan kreatinin > 2,5 x nilai dasar).

Tujuan utama tatalaksana AKI mencegah terjadinya kerusakan ginjal,

mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik

dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh

secara spontan. Penatalaksanaan gagal ginjal meliputi, perbaikan faktor prerenal dan

post renal, evaluasi pengobatan yang telah doberikan pada pasien, mengoptimalkan

60
curah jantung dan aliran darah ke ginjal, mengevaluasi jumlah urin, mengobati

komplikasi akut pada gagal ginjal, asupan nutrisi yang kuat, atasi infeksi, perawatan

menyeluruh yang baik, memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi, dan

pemberian obat sesuai dengan GFR. Pada dasarnya tata laksana AKI sangat

ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan

pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat

dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh

pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah

prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi

pascarenal, dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan

pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.

Dengan adanya komplikasi AKI seperti hipervolemia, edema paru akut atau

keseimbangan cairan besar kumulatif positif, hiperkalemia, asidosis metabolik (pH

kurang dari 7,1) dan gejala uremik (mual dan muntah persisten, peri-karditis,

neuropati, atau tidak jelas penyebabnya penurunan status mental) dialisis harus

dipertimbangkan sebagai terapi andalan. Modalitas RRT termasuk hemodialisis

intermiten (IHD), terapi pengganti ginjal berkelanjutan (CRRTs), dan terapi hybrid,

seperti berkelanjutan rendah efisiensi dialisis (SLED).

6. Kenapa bisa terjadi DIC pada pasien ini ?

Penyebab DIC pada pasien ini adalah sepsis. DIC merupakan suatu kejadian

sekunder yang disebabkan oleh infeksi, trauma, keganasan, kehamilan, syok

dll sehingga mengakibatkan tercetusnya proses koagulasi intravascular

disertai konsumsi trombosit dan faktor pembekuan itravaskuler berlebihan

dengan formasi thrombin. Bersamaan dengan itu, terjadi aktivasi system

fibrinolitik, sehingga dihasilkan fibrin degradation product (FDP dan D-

dimer). Tidak ada pemeriksaan laboratorium tunggal yang dapat digunakan

61
untuk mendiagnosis atau menyingkirkan diagnosis DIC. Sub-komite

Scientific dan Standardisasi DIC dari International Society on Thrombosis

and Haemostasis (ISTH) merekomendasikan penggunaan sistem skor untuk

DIC overt. Pada pasien ini didapatkan skor ≥5 yang dianggap kompatibel

dengan DIC yaitu jumlah trombosit 33.000 (skor 2), D-dimer 28.073 (skor 3),

masa prothrombin 20,5 detik (skor 2) dan untuk pemeriksaan fibrinolegen

tidak ada fasilitas, sehingga total skor adalah 7 yang berarti adalah DIC overt.

Sistem skor untuk diagnosis DIC10

Bila skor ≥5, penilaian skor harus dilakukan setiap hari.

7. Apa penyebab gagal nafas pada pasien ini ?

Gagal napas diketahui dengan adanya insufusiensi pulmonal, hiperkarbia dan


dispnea. Analisi gas darah arteri masih merupakan baku emas dan merupakan
indicator definitif dari pertukaran gas untuk menilai gagal napas. Gas darah arteri
memberikan informasi status asam-basa (dengan ukuran pH dan menghitung
bikarbonat) sama seperti kadar PaO2 dan PaCO2. Pada gagal nafas tanda utama
adalah berdasarkan pemeriksaan laboratorium berupa adanya hipoksemia
(PaO2<50-60 mmHg, SaO2<90%; PaO2<60 mmHg dengan FiO2 40% atau rasio
PaO2/FiO2<300) dan hiperkapnia (PaCO2>50 mmHg dengan asidosis Ph <7,25;
PaCO2>40 mmHg dengan distress pernapasan berat atau PaCO2>55 mmHg. Pada
pasien ini, pCO2 29,6 dan pO2 148,8.

62
8. Apa penyebab kematian pada pasien ini ?

Penyebab kematian pasien ini diduga adalah akibat syok sepsis.

63
DAFTAR PUSTAKA

1. Singh, S., Biswas, M., Jose, T., Dey, M. & Saraswat, M. A rare case of
thyroid storm following caesarean section. Int. J. Reprod. Contraception,
Obstet. Gynecol. 5, 933–936 (2016).
2. Satoh, T. et al. 2016 Guidelines for the management of thyroid storm from
The Japan Thyroid Association and Japan Endocrine Society (First edition)
The Japan Thyroid Association and Japan Endocrine Society Taskforce
Committee for the establishment of diagnostic criteria a. Endocr. J. 63,
1025–1064 (2016).
3. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al: Guidelines for the management
of severe sepsis and septic shock. The International Sepsis Forum. Soc.
Crit. Care Med. Eur. Soc. Intensive Care Med. 39, 580–637 (2013).
4. Singer, M. et al. The third international consensus definitions for sepsis and
septic shock (sepsis-3). JAMA - J. Am. Med. Assoc. 315, 801–810 (2016).
5. Phua, J. et al. Management of severe sepsis in patients admitted to Asian
intensive care units: Prospective cohort study. Bmj 342, (2011).
6. Levy, M. M., Evans, L. E. & Rhodes, A. The surviving sepsis campaign
bundle: 2018 update. Crit. Care Med. 46, 997–1000 (2018).
7. Chen, K. & Pohan, H. BAB 43. in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
(ed. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, S. B.) 4125–4129
(Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2014).
8. Iba, T., Levy, J. H., Raj, A. & Warkentin, T. E. Advance in the
Management of Sepsis-Induced Coagulopathy and Disseminated
Intravascular Coagulation. J. Clin. Med. 8, 728 (2019).
9. Suharti, C. Bab 31. in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. (ed. Setiati
S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, S. B.) 2789–2795 (Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2014).
10. Thachil, J. & Toh, C. H. Disseminated intravascular coagulation in
obstetric disorders and its acute haematological management. Blood Rev.
23, 167–176 (2009).
11. Sultana, S., Begum, A. & Khan, M. Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) in Obstetric Practice. J. Dhaka Med. Coll. 20, 68–74
(1970).
12. Kramer, J., Otten, H. M., Levi, M. & Ten Cate, H. The association of
disseminated intravascular coagulation with specific diseases. Reanimation
11, 575–583 (2002).
13. Ahluwalia, R. et al. Trust Guideline for the Management of Suspected
Thyroid Emergencies. 1–11 (2018).
14. Anjo, D. et al. Thyroid storm and arrhythmic storm: A potentially fatal
combination. Am. J. Emerg. Med. 31, 1418.e3-1418.e5 (2013).
15. Decroli, G. P. & Decroli, E. Krisis Tiroid pada Wanita Multipara Usia 42
Tahun. J. Kesehat. Andalas 8, 178 (2019).
16. The American College of Obstetricians and Gynecologists. Thyroid
Disease in Pregnancy. Pract. Bull. Obstet. Gynecol. 125, 996–1005 (2015).
17. Delport, E. F. A thyroid-related endocrine emergency in pregnancy. J.

64
Endocrinol. Metab. Diabetes South Africa 14, 99–101 (2009).
18. Khoo, C. M. & Lee, K. O. Endocrine emergencies in pregnancy. Best
Pract. Res. Clin. Obstet. Gynaecol. 27, 885–891 (2013).
19. Alexander, E. K. et al. 2017 Guidelines of the American Thyroid
Association for the Diagnosis and Management of Thyroid Disease during
Pregnancy and the Postpartum. Thyroid 27, 315–389 (2017).
20. Association of Surgical Technologist. Guidelines for Best Practices for
Treatment of Disseminated Intravascular Coagulation Introduction. 1–14
(2018).
21. Dahlan Z. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
22. PDPI. Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia [serial online] 2003 (diunduh 16 Desember 2019). available from:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-
pneumoniakom/pnkomuniti.pdf
23. Baer S. Community Acquired Pneumoni [serial online] 2011 (diunduh 16
Desember 2019). available from : http://emedicine.medscape.com
24. Chalmers JD. The Modern Diagnostic Approach to Community-Acquired
Pneumonia in Adults. Semin Respir Crit Care Med. 2016;37(6):876-885.
25. Niederman MS, Zumia A. Understanding Community-acquired Respiratory
Tract Infections New Concepts of Disease Pathogenesis and New
Management Strategies. Curr Opin Pulm Med. 2016;22(3):193-195.
26. Dondorp A M, Dunser M W, Sepsis Managenent in Resource-limited
Setting, 2019

65

Anda mungkin juga menyukai