Anda di halaman 1dari 6

LI Sindroma Metabolik

1g. Patofisiologi
Orang-orang denagn obesitas sentral (LP laki-laki >90cm dan perempuan >80cm
untuk kelompok Asia) mengalami penumpukan lemak intra-abdominal yang cukup
banyak. Obesitas sentral merupakan awal atau pencetus timbulnya sindroma metabolik.
Adapun gejala-gejala yang dialami pada sindroma metabolik adalah sebagai berikut.
a. Hiperglikemia
Peningkatan simpanan lipid pada tubuh akan menyebabkan terjadi inflamasi yang
terus menerus di dalam tubuh karena kadar lipid yang berlebihan dianggap sebagai benda
asing. Akibatnya, terjadi sekresi sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti IL-6 dan TNF alfa.
IL-6 dan TNF alfa merupakan sitokin-sitokin yang memicu terjadinya resistensi insulin
karena gangguan pada reseptor insulin. Selain itu, penumpukan lipid yang berlebihan
juga menurunkan sekresi adiponektin dari jaringan lemak. Adiponektin merupakan salah
satu insulin sensititizer sehingga apabila kadar adiponektin menurun maka akan semakin
menurunkan sensitivitas insulin. Resistensi insulin menyebabkan glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel dan diubah menjadi energi. Pada saat insulin tidak dapat digunakan,
maka akan terjadi peningkatan produksi hormon kontra-regulator salah satunya adalah
kortisol. Efek dari kortisol adalah meningkatkan glukoneogenesis di hati, glikogenolisis
di otot, dan lipolisis di jaringan adiposa yang pada akhirnya ketiga proses tersebut akan
meningkatkan glukosa darah. Selain itu, sekresi IL-6 dan TNF alfa juga ikut memicu
peningkatan produksi glukosa oleh hati. Semua proses tersebut mencetuskan kondisi
hiperglikemia.
b. Gatal-gatal dan Kesemutan
Resistensi insulin yang terjadi mengakibatkan sel-sel tubuh kekurangan energi, salah
satu sel yang mengalami kekurangan energi adalah sel syaraf perifer. Akibatnya sel syaraf
perifer mengalami kerusakan (neuropathy perifer) yang menimbulkan sensasi kesemutan.
Kerusakan yang terjadi juga memicu pengeluaran sitokin-sitokin pro inflamasi yang
dapat mengiritasi kulit dan menimbulkan rasa gatal. Selain itu, kondisi hiperinsulinemia
dan hiperglikemia juga berperan dalam neuropathy perifer dalam mekanisme penurunan
kecepatan aliran darah. Kondisi hiperinsulinemia dapat mengganggu proses pensinyalan
phospatidylinositol 3 kinase sehingga terjadi ketidakseimbangan sekresi endothelin 1 dan
produksi nitrit oxide, akibatnya terjadi penurunan kecepatan aliran darah. Sedangkan
kondisi hiperglikemia akan meningkatkan osmolaritas CES akibatnya cairan plasma
menjadi lebih kental dan lambat mengalir. Penurunan kecepatan aliran darahini
menyebabkan oksigen lambat mencapai sel-sel syaraf perifer akibatnya sel-sel syaraf
perifer lebih mudah mengalami kerusakan.
c. Capek/Lelah
Kondisi insulin resisten mengakibatkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan
tidak dapat diubah menjadi energi. Akibatnya, sel-sel tubuh kekurangan energi yang
dibutuhkan tubuh untuk melakukan aktivitas sehingga tubuh merasa lebih mudah lelah
saat beraktivitas.
d. Polifagi
Penumpukan lipid yang berlebih di jaringan tubuh akan memicu terjadinya reaksi
inflamasi yang terjadi secara terus menerus melalui pengeluran sitokin berupa IL-6 dan
TNF alfa. Kedua sitokin ini akan menurunkan sensitivitas leptin. Leptin merupakan
hormon yang dihasilkan oleh jaringan adiposa untuk mengatur rasa lapar di hipotalamus.
Penurunan sensitivitas leptin akan berujung pada kondisi resistensi leptin. Pada kondisi
ini, hipotalamus gagal menangkap stimulasi leptin akibatnya terjadi kegagalan
mengontrol rasa lapar akibatnya seseorang dapat mengalami polifagi dan jaringan
adiposa melakukan kompensasi terus menerus memproduksi leptin, sehingga kadar leptin
cukup tinggi pada penderita obesitas dan diabetes mellitus tipe 2. Selain itu, sel-sel tubuh
yang kekurangan energi juga memberikan respon dengan mengaktifkan pusat rasa lapar
di hipotalamus.
e. Poliuria
Kondisi hiperglikemia menyebabkan terjadinya peningkatan osmolaritas CES.
Peningkatan osmolaritas CES memicu terjadinya diuresis osmotik, akibatnya frekuensi
buang air kecil menjadi meningkat (poliuria).
f. Polidipsia
Kondisi diuresis osmotik menyebabkan tubuh mengalami kehilangan cairan dan
elektrolit (dehidrasi). Kondisi dehidrasi ini akan dideteksi oleh sel-sel jukstaglomerular
sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan renin yang akan menstimulasi aktivasi sistem
renin angiotensin aldosteron. Angiotensin II akan memicu pengeluaran hormon ADH dari
hipotalamus dan mengaktifkan pusat rasa haus di hipotalamus (polidipsi).
g. Hipertensi
Ada 6 mekanisme yang terlibat dalam hipertensi, yaitu sebagai berikut.
1. Pengeluaran IL-6 dan TNF alfa memicu hepar untuk mengeluarkan C-reactive
protein. C-reactive protein dapat menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel
menyebabkan endotel tidak elastis sehingga ikut serta dalam mekanisme
peningkatan tekanan darah.
2. Pengeluaran IL-6 dan TNF alfa memicu inflamasi vaskuler akibatnya terjadi
pengeluaran ROS yang juga berkontribusi dalam disfungsi endotel sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan darah.
3. Aktivasi sistem RAA mengaktifkan Angiotensin II. Angiotensin II akan memicu
sekresi epinefrin oleh medulla adrenal. Epinefrin akan meningkatkan respon
simpatis, seperti vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan kontraktilitas
jantung akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah. Kondisi hiperinsulinemia juga
menguatkan respon smpatis.
4. Kondisi hiperinsulinemia akan mengganggu pensinyalan phosphatidylinositol 3
kinase yang berdampak pada ketidakseimbangan sekresi endothelin 1 dan produksi
NO akibatnya terjadi penurunan kecepatan aliran darah. Penurunan kecepatan aliran
darah ini memicu respon tubuh untuk semakin meningkatkan tekanan di pembuluh
darah. Peningkatan osmolaritas CES akibat hiperglikemia juga memperlambat aliran
darah.
5. Peningkatan simpanan lipid di hati dalam bentuk trigliserida memicu peningkatan
produksi apolipoprotein B dan penurunan kolesterol ester. Hal ini tentu
meningkatkan kadar VLDL (apo B-100, C, E dan trigliserida) dan menurunkan
kadar HDL (apo A-I. A-II, C, E dan kolesterol ester). Meski LDL (apo B-100 dan
kolesterol ester) juga menggunakan kolesterol ester dalam pembentukannya, namun
dengan kadar trigliserida serum puasa >180 mg/dL terjadi modifikasi komposisi
LDL sehingga akan tetap terjadi peningkatan produksi LDL namun dengan densitas
yang kecil (small dense LDL). Small dense LDL ini justru lebih atherogenic
dibanding LDL. Pengangkutan lipid dari hati ke pembuluh darah dalam jangka
waktu lama akan menyebabkan lipid singgah di membran basal endotel dan
menempel pada glycosaminoglycan (atherosclerosis). Penumpukan lipid pada
dinding endotel ini akan mempersempit lumen pembuluh darah sehingga darah sulit
lewat dan membutuhkan tekanan yang lebih tinggi akibatnya terjadi peningkatan
tekanan darah.
h. Dislipidemia (Peningkatan LDL, TAG, dan Penurunan HDL)
Peningkatan simpanan lipid di hati dalam bentuk trigliserida memicu peningkatan
produksi apolipoprotein B dan penurunan kolesterol ester. Hal ini tentu meningkatkan
kadar VLDL (apo B-100, C, E dan trigliserida) dan menurunkan kadar HDL (apo A-I. A-
II, C, E dan kolesterol ester). Meski LDL (apo B-100 dan kolesterol ester) juga
menggunakan kolesterol ester dalam pembentukannya, namun dengan kadar trigliserida
serum puasa >180 mg/dL terjadi modifikasi komposisi LDL sehingga akan tetap terjadi
peningkatan produksi LDL namun dengan densitas yang kecil (small dense LDL).
Peningkatan trigliseridan, LDL, dan penurunan HDL merupakan 3 kriteria penegakan
diagnosis dislipidemia.
i. Acanthosis Nigricans
Kondisi hiperinsulinemia dapat mengaktifkan reseptor insulin like growth factor.
Aktivasi reseptor tersebut akan mengaktifkan fibroblas dermal dan keratinosit sehingga
terjadi deposit glycosaminoglycan di dermal. Deposit GAGs menyebabkan terjadinya
hiperkeratosis dengan pigmentasi yang lebih gelap dibandingkan dengan warna kulit
(acanthosis nigricans)
j. Mikroalbuminuria
Peningkatan simpanan lipid pada tubuh akan menyebabkan terjadi inflamasi yang
terus menerus di dalam tubuh karena kadar lipid yang berlebihan dianggap sebagai benda
asing. Akibatnya, terjadi sekresi sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti IL-6 dan TNF alfa.
sekresi sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti IL-6 dan TNF alfa akan memicu sekresi ROS
(Reactive Oxygen Species). ROS dapat menyebabkan terjadinya hipertrofi glomerular
dan kerusakan podosit akibatnya terjadi gangguan filtrasi sehingga mikroalbumin dapat
lewat dari filtrasi glomerular dan ikut terbuang bersama urine.
1i. Komplikasi dan SKDI
Komplikasi
a. Non-alcoholic fatty liver disease
Perlemakaan hati merupakan komplikasi yang sering terjadi. Penumpukan trigliserida dan
juga reaksi inflamasi berperan dalam hal ini. 2-3% dari penduduk USA dan negara-negara
barat mengalami non-alcoholic fatty liver disease.
b. Hiperurisemia
Hiperurisemia menunjukkan adanya kerusakan peran insulin pada reabsorbsi asam urat di
tubulus renalis. Pada kondisi ini terjadi peningkatan dimethylarginine asimetris, inhibitor
sintesis NO endogen yang menyebabkan terjadinya disfungsi endotel.
c. Cardiovascular Disease
Resiko sindrom metabolik berkembang menjadi CVD 34% pada pria dan 16% pada
wanita. Resiko stroke iskemik lebih besar pada orang dengan sindroma metabolik (19%)
dibandingkan dengan penderita diabetes saja (7%) dan kebanyakan terjadi pada wanita.
Penderita sindroma metabolik juga beresiko terkena penyakit vaskuler perifer.
d. Obstructive Sleep Apnea
OSA sering dikaitkan dengan obesitas, hipertensi, peningktan sitokin di sirkulasi, IGT,
dan resistensi insulin. Kondisi resistensi insulin juga ditemukan lebih parah pada
penderita OSA.
SKDI Sindroma Metabolik
3B Gawat Darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosi klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan.
Daftar Pustaka
Tanto, C., dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius.
James, L.J. 2013. Harrison’s Endocrionology 3rd edition. Philadelphia: McGraw Hill
Education.
Konsil Kedokteran Indonesia, 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia
Batubara, J.R.L. 2010. Acanthosis Nigricans dan Hubungannya dengan Resistensi
Insulin pada Anak dan Remaja. Sari Pediatri., 12 (2): 67-73.
Haris, S., Tambunan, T. 2009. Hipertensi pada Sistem Metabolik. Sari Pediatri., 11 (4):
257-63)

Anda mungkin juga menyukai