Anda di halaman 1dari 19

KAJIAN PEMBUATAN BISKUIT (COOKIES) KAYA SERAT

DENGAN MENGGUNAKAN FORTIFIKASI JANTUNG PISANG


KEPOK KUNING

Di
S
U
S
U
N

Oleh : RIFKA YANI ULFA


P07131217 - 030
IIIREG A/ Jurusan Gizi

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES ACEH
JURUSAN DIV GIZI
2020
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belang ............................................................................................. 1


B. Rumusan masalah .................................................................................... 2
C. Tujuan penelitian .................................................................................... 3
1. Tujuan umun ..................................................................................... 3
2. Tujuan khusus .................................................................................... 3
D. Manfaat penelitian .................................................................................. 4
E. Keaslian penelitian ................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan teori .......................................................................................... 6


1. Status gizi............................................................................................7
2. Jantung pisang ...................................................................................8
B. Kerangka Teori ........................................................................................ 9
C. Hipotesa .................................................................................................. 10

BAB III METODE PENELITIAN


A. Desain penelitian.................................................................................... 11
B. Waktu dan tempat ................................................................................. 11
C. Alat dan bahan ...................................................................................... 12
D. Definisi operasional ............................................................................... 12
E. Pengujian organoleptik .......................................................................... 13
F. Pengujian kandungan serat .................................................................... 13
G. Pengujian kandungan air ........................................................................ 14
H. Pengujian kandungan protein................................................................. 15
I. Pengujian kandungan lemak .................................................................. 17
J. Pengujian kandungan abu ...................................................................... 17
K. Pengujian kandungan karbohidrat ......................................................... 18
Daftar pustaka ........................................................................................ 19
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar belakang
Pisang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki kandungan
karbohidrat, nutrisi, mineral, dan kandungan serat yang sangat tinggi. Kandungan gizi
pisang yang tinggi membuat pisang menjadi salah satu komoditas hortikultura yang
berpeluang sangat tinggi untuk diversifikasi pangan, food security dan agribisnis di
Indonesia (Yani, 2010). Selain karena kandungan gizinya yang tinggi, faktor lain yang
menyebabkan pisang berpeluang sangat tinggi untuk diversifikasi pangan adalah karena
di Indonesia, pisang termasuk buah tropika yang produksinya melimpah saat panen raya
karena kondisi iklim Indonesia yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman pisang (Adriani
dan Nasriati, 2011).
Menurut Bardosono (2014), produksi pisang di Indonesia pada tahun 2013 telah
mencapai 5,3 ton. Melimpahnya ketersediaan pisang menyebabkan pisang dirasakan
bukanlah komoditas penting dan tidak memberikan nilai tambah bagi produsen pisang
khususnya petani. Pisang juga merupakan komoditas hortikultura yang tidak memiliki
daya simpan yang lama, sehingga apabila kemelimpahan pisang tidak diimbangi dengan
pemanfaatnya maka akan meningkatkan potensi kebusukan komoditas tersebut. Saat ini,
selain dikonsumsi langsung sebagai buah – buahan, pengolahan pisang terbatas pada jenis
makanan seperti pisang goreng, kolak dan sale (Adriani dan Nasriati, 2011).
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan alternatif pengolahan lain yang dapat
memberikan nilai tambah dan daya tahan pisang (Adriani dan Nasriati, 2011). Salah satu
alternatif dari pemanfaatan pisang yaitu dapat diolah menjadi pati atau tepung mengingat
bahwa komponen utama penyusunnya adalah karbohidrat (Prabawati dkk., 2008).
Pengolahan pisang menjadi tepung pisang adalah alternatif utama yang mempunyai
prospek cukup baik, karena teknologi pengolahannya cukup sederhana, tidak mudah
rusak, dapat disimpan lebih lama, memberikan nilai tambah lebih tinggi, lebih mudah
dalam pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis untuk diversifikasi produk olahan,
mampu menciptakan peluang usaha pengembangan agroindustri pedesaan dan dapat
diolah menjadi berbagai jenis makanan (Masli, 2007).
Pada dasarnya, semua varietas pisang dapat diolah menjadi pati. Namun, tidak
semua varietas pisang menghasilkan pati dengan mutu yang baik. Salah varietas pisang
yang cocok untuk dijadikan tepung adalah pisang kepok putih karena buah pisang kepok
menghasilkan pati yang bermutu baik dengan warna lebih putih jika dibandingkan
dengan pati dari pisang ambon dan pisang siem yang menghasilkan pati bewarna coklat
kehitaman (Satuhu dan Supriyadi, 1999; Prabawati dkk., 2008), serta memanfaatkan
pisang kepok putih yang lebih tidak diminati oleh konsumen daripada pisang kepok
kuning. Tepung pisang yang terbuat dari pisang kepok memiliki kandungan karbohidrat
yang cukup tinggi, yaitu sekitar 76% (Murtiningsih dan Muhajir, 1990), sehingga dapat
digunakan sebagai sumber kalori (Napitupulu, 2012). Salah satu produk yang dapat
diolah dengan memanfaatkan tepung pisang kepok putih adalah biskuit.
Biskuit adalah suatu jenis makanan hasil olahan tepung yang sudah dikenal oleh
hampir seluruh masyarakat Indonesia. Produk ini banyak digemari oleh berbagai
kalangan masyarakat dari berbagai kelompok ekonomi dan kelompok umur termasuk
anak balita, anak usia sekolah, maupun orang tua, sebagai makanan selingan atau
makanan bekal (Moehji, 2000). Biskuit banyak digemari oleh masyarakat karena
merupakan produk pangan praktis yang dapat dimakan kapan saja dan dimana saja, dan
dengan pengemasan yang baik, biskuit memiliki daya simpan yang relatif panjang.
Biskuit juga banyak disukai oleh masyarakat karena harga biskuit yang terjangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat (Manley, 2000).
Pada umumnya biskuit yang telah beredar dipasaran merupakan biskuit yang
bahan baku utamanya adalah tepung terigu. Padahal, selama ini kebutuhan terigu di
Indonesia masih diperoleh dengan cara mengimpor dalam jumlah besar. Impor gandum di
Indonesia dari tahun 2012 ke 2013 naik sebesar 7,5% dari 6,2 juta ton menjadi 6,7 juta
ton, sedangkan pada kuartal I tahun 2014 impor gandum sebesar 1,5 juta ton. Jumlah ini
lebih banyak dari pada kuartal I tahun 2013 sebesar 1,3 juta ton (APTINDO, 2014). Hal
ini tentu saja menjadi perhatian utama untuk dapat menemukan alternatif bahan pangan
yang dapat digunakan sebagai pensubstitusi atau bahkan pengganti terigu pada produk
makanan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, tepung pisang dapat menjadi salah
satu alternatif bahan pangan yang dapat dijadikan bahan baku substitusi dalam
pembuatan biskuit sehingga dapat mengurangi ketergantungan akan tepung terigu
(Widaningrum dkk., 2005).
Produk biskuit yang berkualitas tentu saja tidak hanya produk dengan rasa yang
enak, namun juga memiliki kandungan gizi yang tinggi. Tepung pisang memiliki
kandungan protein yang rendah, yaitu sekitar 3,36 – 4,12% (Antarlina dkk., 2004), oleh
karena itu dalam pembuatan biskuit dengan bahan dasar tepung pisang perlu adanya
usaha nutrifikasi pangan sehingga nilai protein pada biskuit tersebut meningkat. Salah
satu cara untuk meningkatkan kandungan protein pada produk pangan olahan dari tepung
pisang adalah dengan penambahan sumber protein dari bahan lain dan salah satu sumber
protein yang dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan biskuit tepung
pisang adalah tempe.
Tempe merupakan produk fermentasi yang amat dikenal oleh masyarakat
Indonesia sebagai sumber protein nabati yang memiliki rasa enak dengan harga yang
sangat terjangkau. Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa kandungan gizi yang
terkandung di dalam tempe masih cukup tinggi dan mudah dicerna dan diserap oleh
tubuh manusia. Akan tetapi, tempe merupakan hasil fermentasi yang tidak dapat bertahan
lama jika dibiarkan tanpa perlakuan pengawetan. Tempe hanya tahan selama 2 x 24 jam,
lewat masa itu, kapang tempe mati dan selanjutnya akan tumbuh bakteri atau mikroba
perombak protein, akibatnya tempe mengalami pembusukan (Sarwono, 2005). Salah satu
cara untuk mencegah pembusukan sekaligus memperpanjang umur simpan tempe
tersebut adalah dengan mengolahnya menjadi tepung tempe (Oktavia, 2012).
Tepung tempe merupakan salah satu produk dari tempe yang cukup potensial
untuk dikembangkan sebagai produk pangan sumber energi yang bermanfaat, mengingat
nilai gizinya yang tinggi, terutama kandungan protein, 5 lemak, dan vitamin B12 (Dewi,
2006). Oleh karena itu, tepung tempe dapat dijadikan bahan tambahan sebagai sumber
protein dalam pembuatan biskuit dari tepung pisang karena kandungan proteinnya yang
tinggi, yaitu sekitar 43,31 % per 100 gram (Sarwono 2003). Dengan adanya penambahan
tepung tempe dalam biskuit yang terbuat dari pisang, maka biskuit yang dihasilkan tidak
hanya kaya akan kandungan karbohidrat, tetapi juga protein.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
penggunaan tepung pisang sebagai bahan substitusi tepung terigu dalam pembuatan
biskuit. Selain itu, penelitian mengenai pembuatan tepung tempe juga perlu dilakukan
sebagai bahan tambahan dalam pembuatan biskuit untuk meningkatkan kandungan
protein dalam biskuit tersebut. Dengan demikian, produk biskuit yang dihasilkan tidak
hanya memiliki rasa yang enak, namun juga memiliki kandungan gizi yang tinggi.

b. Rumusan masalah
1. Bagaimana kualitas biskuit yang terbuat dari tepung pisang kepok putih dan tepung
tempe berdasarkan uji kimia, fisik, mikrobiologi, dan organoleptiknya?
2. Berapa kombinasi tepung pisang kepok putih dan tepung tempe yang menghasilkan
kualitas biskuit terbaik?

c. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
a. Mengetahui kualitas biskuit yang terbuat dari tepung pisang kepok putih dan
tepung tempe berdasarkan uji kimia, fisik, mikrobiologi, dan organoleptiknya.
b. Mengetahui kombinasi tepung pisang kepok putih dan tepung tempe yang
menghasilkan kualitas biskuit terbaik.

2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui daya terima anak balita terhadap produk biscuit yang di
hasilkan

d. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pembuatan
tepung pisang kepok putih dan pemanfaatannya sebagai bahan alternatif pengganti tepung
terigu dalam pembuatan biskuit sehingga dapat mengurangi ketergantungan akan
kebutuhan tepung terigu yang selama ini masih diperoleh secara impor, sekaligus
memanfaatkan pisang kepok putih yang selama ini ketersediaannya melimpah, namun
kurang disukai konsumen, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomisnya. Penelitian
ini juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pembuatan dan pemanfaatan
tepung tempe untuk meningkatkan kandungan protein dalam biskuit, sekaligus
meningkatkan nilai ekonomis dan nilai guna tempe yang selama ini pemanfaatannya
masih terbatas.
Pemanfaatan tepung pisang kepok putih dan tepung tempe diharapkan dapat
menghasilkan produk biskuit yang tidak hanya enak untuk dikonsumsi, tetapi juga
memiliki kandungan gizi yang tinggi.
e. Keaslian penelitian
Pemanfaatan pisang menjadi biskuit telah dilakukan oleh Mailoa (2012) yaitu
mengenai pengembangan pisang tongka langit (Musa troglodyarium) menjadi biskuit.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengolah pisang tongka langit menjadi tepung dan
menjadikannya sebagai bahan subtitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit serta
mengetahui mutu biskuit berupa uji kimia dan uji organoleptik. Tujuan lain dari
penelitian ini yaitu untuk mengetahui daya terima anak balita terhadap produk biskuit
yang dihasilkan.
Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap dengan 3 kali
ulangan. Penelitian ini memiliki 4 tingkat perlakuan, yaitu: A1 = Biskuit dengan
campuran tepung pisang 20% dan tepung terigu 80% ; A2 = Biskuit dengan campuran
tepung pisang 40% dan tepung terigu 60% ; A3 = Biskuit dengan campuran tepung
pisang 60% dan tepung terigu 40% ; A4 = Biskuit dengan campuran tepung pisang 80%
dan tepung terigu 20%. Pengamatan dan analisis berupa uji kimia (kandungan
karbohidrat, protein, vitamin C, dan β-karoten) dan uji organoleptik berupa uji tingkat
kesukaan terhadap rasa biskuit yang dilakukan terhadap 20 orang anak balita (Mailoa,
2012).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah tepung pisang tongka
langit yang ditambahkan untuk mensubtitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit
menunjukkan kandungan karbohidrat yang semakin meningkat (mencapai 83,64% pada
perlakuan A4), sedangkan kandungan protein yang lebih tinggi berada pada perlakuan A1
dan A2, masing-masing 7,72% dan 7,59%. Kandungan vitamin C dan kandungan β-
karoten dari biskuit pada semua perlakuan menunjukkan nilai yang rendah. Biskuit
dengan tingkat subtitusi tepung pisang tongka langit 20%, 40%, 60% dan 80% dapat
diterima oleh panelis dengan nilai tingkat kesukaan yang tertinggi berada pada perlakuan
A1 dan A2, masingmasing 3,55 dan 3,50 (Mailoa, 2012).
Sayaangbakti dkk. (2013) juga telah melakukan penelitian mengenai pemanfaatan
tepung pisang sebagai bahan baku pembuatan biskuit, yaitu mengenai karakteristik
fisikokimia biskuit berbahan baku tepung pisang goroho (Musa acuminate sp.) Penelitian
ini bertujuan untuk mengembangkan produk 7 biskuit dari tepung pisang goroho,
mengevaluasi kualitas sensoris serta menganalisis kandungan kimia dari biskuit tepung
pisang goroho.
Penelitian ini menggunakan metode percobaan Rancangan Acak Lengkap
Faktorial, dengan objek penelitian adalah tepung pisang goroho merah dan tepung pisang
goroho putih dengan perlakuan pencampuran tepung pisang dan bahan pengikat (tepung
tapioka + tepung maizena).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas sensoris biskuit tepung pisang
goroho merah dan biskuit tepung pisang goroho putih yang paling disukai adalah yang
menggunakan konsentrasi bahan pengikat sebanyak 50 g. Biskuit tepung pisang goroho
merah dan biskuit tepung pisang goroho putih memiliki kandungan kimia yang sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia.
Winata (2015) juga telah melakukan penelitian dalam substitusi tepung terigu
dalam pembuatan biskuit keras dengan menggunakan bahan baku tepung kacang mete
dan tepung kulit singkong. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh
kombinasi tepung kacang mete dan tepung kulit singkong terhadap kualitas fisik, kimia,
mikrobiologis, dan organoleptik biskuit.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5
kombinasi tepung kacang mete dan tepung kulit singkong yaitu kontrol (100% tepung
terigu), 40% : 10%, 30% : 20%, 25% : 25%, dan 20% : 30%. Hasil yang diperoleh dari
kombinasi tepung kacang mete dan tepung kulit singkong memberi pengaruh terhadap
kadar air sebesar 3,0263-4,503% (tidak signifikan), kadar abu sebesar 1,3%-2,083%
(signifikan), kadar protein sebesar 6,872%-8,657% (tidak signifikan), kadar lemak
sebesar 16,416% - 26,316% (signifikan), kadar karbohidrat sebesar 60,616% - 71,483%
(signifikan), kadar 8 serat sebesar 10,13% - 20,93% (signifikan), teksur sebesar 2,862
N/mm2 - 5,015 N/mm2 (signifikan), angka lempeng total sebesar 3 CFU/g - 60 CFU/g
(tidak signifikan) dan angka kapang khamir sebesar 3 CFU/g - 30 CFU/g (tidak
signifikan). Kadar air, kadar protein, angka lempeng total, dan angka kapang khamir
semua produk biskuit sudah memenuhi standar SNI biskuit.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan tepung kacang mete dan
tepung kulit singkong dengan kombinasi 30% : 20% menghasilkan biskuit dengan
kualitas yang paling baik terutama ditinjau dari hasil uji kadar lemak sebesar 23,21%,
serat 15,93% dan uji organoleptik tekstur dan aroma dengan tingkat kesukaan yaitu suka
(Winata, 2015). Penelitian mengenai biskuit tempe telah dilakukan oleh Sarbini dkk.
(2009) yaitu uji fisik, organoleptik, dan kandungan zat gizi biskuit tempe-bekatul dengan
fortifikasi Fe dan Zn untuk anak kurang gizi.
Penelitian ini bertujuan menemukan formulasi biskuit tempe bekatul yang
memiliki kualitas paling baik ditinjau dari sifat fisik, organoleptik, daya simpan dan
analisis zat gizi. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental murni dengan
Rancangan Acak Lengkap dimana formulasi tempe dan bekatul dibagi 3 kelompok (A, B,
dan C). Setiap kelompok diberi fortifikasi Fe dan Zn, sedangkan rasio tempe dan bekatul
untuk masing-masing kelompok adalah 1:1 (A), 3:1 (B), and 7:3 (C).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proteinbiskui dari ke -3 formula yang
digunakan berbeda signifikan (p<0.001), dimana biskuit C memiliki kandungan protein
tertinggi (20.14 g/100 g). Berdasarkan uji mikrobiologis tampak bahwa semua biskuit
pada penyimpanan hari ke-35 masih sesuai dengan 9 Standar Nasional Indonesia, dimana
jumlah koloni <1x106 koloni /g, biscuit C menunjukkan jumlah koloni terkecil. Biskuit
yang paling disukai dari segi warna, tekstur, dan rasa adalah biskuit C ( p=<0.01),
sedangkan untuk aroma adalah biscuit B (Sarbini dkk.,20009).
Penelitian mengenai pemanfaatan tepung tempe juga telah dilakukan oleh
Nurhidayah dan Nurahman (2004) yaitu mengenai nutrifikasi makanan jajanan dari bahan
dasar tepung terigu dengan penambahan tepung tempe. Pada penelitian ini dilakukan
penambahan tepung tempe pada makanan jajanan berbasis terigu (donat) dengan variasi
penambahan 5%, 10%, 15% dan 20% serta 0% sebagai kontrol. Hasil analisa kadar
protein menunjukkan semakin banyak penambahan tepung tempe sernakin tinggi kadar
protein makanan jajanan. Analisa statistik dengan uji ANAVA menunjukkan ada
pengaruh penambahan tepung tempe pada makanan jajanan terhadap kadar proteinnya.
Penilaian organoleptik dengan 25 panelis menunjukkan citarasa yang paling disukai
adalah pada penambahan tepung tempe 15%. Uji Friedman untuk analisa organoleptik
menunjukkan tidak ada pengaruh penambahan tepung tempe pada makanan jajanan
(donat).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan teori
Tepung merupakan komponen paling banyak dalam pembuatan makanan. Tepung
terigu berfungsi sebagai bahan dasar untuk pembentukan adonan pada makanan (Matz
dalam Soliha, 2008). Tepung terigu berfungsi untuk membangun kerangka kue, mengikat
bahan lain, dan mendapatkan tekstur kue yang baik. Tepung merupakan unsur susunan
adonan cake dan juga menahan bahan-bahan lainnya. Selain tepung terigu dalam
pembuatan kue, tepung ketan, tepung beras, sampai tepung singkong juga baik untuk
membuat cake atau semacamnya (Tobing, 2010).
Berdasarkan kandungan proteinnya tepung terigu dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu :
a. Tepung Terigu Hard (Hard Wheat) yaitu tepung terigu yang kandungan protein yang
bermutu tinggi yakni 11% - 13%, memiliki daya serap air yang tinggi, mudah
dicampur, memiliki kemampuan menahan udara (gas holding) sehingga dapat
menghasilkan produk dengan volume yang baik serta dapat menyesuaikan pada suhu
yang diperlukan (U.S. Wheat Assosiated,1981 ;1). Tepung ini cocok untuk
pembuatan adonan choux pastry dan paff pastry dipasaran dikenal dengan nama cakra
kembar 8 produk dari bogasari, dan tali emas produk dari sri boga ratu raya.

b. Tepung Terigu Medium (Medium Wheat) yaitu tepung terigu yang memiliki
kandungan protein sedang yaitu sekitar 9% -10%. Jenis tepung ini memiliki sifat
fleksibel atau serbaguna dapat untuk membuat roti, tetapi lebih tepat untuk membuat
cake dan adonan sejenisnya (family cake). Dipasaran tepung ini dikenal dengan nama
segitiga biru produk dari bogasari dan beruang biru dari sri boga.
c. Tepung Terigu Soft (Soft Wheat), yaitu tepung terigu dengan kandungan protein
rendah yaitu sekitar 7% - 8%, memiliki sifat sukar diaduk dan diragikan serta daya
serapnya rendah. Tepung ini tepat untuk membuat cake, cookies dan kue-kue,
dipasaran dikenal dengan nama kunci yang merupakan produk dari bogasari, dan pita
merah produk dari sri boga ratu raya (Aprilia, 2015).

1. Status gizi
Informasi nilai gizi tepung terigu per 100 g sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Gizi pada Tepung Terigu per 100 g.


Unsur gizi Kadar
Energi 326 kkal
Air 12 g
Protein 10,3 g
Lemak 1.0 g
Karbohidrat 76,3 g
Serat 2,7 g
Kalsium 15,0 g
magnesium 22,0 g
Sumber : Depkes RI (2005:15-16)

Pada umumnya tepung yang dikenal luas penggunaannya adalah tepung terigu.
Berdasarkan kandungan proteinnya, biasanya jenis tepung terigu yang tersedia di
pasar memiliki kandungan protein berkisar antara 8%-9%, 10%-11%, dan 12%- 14%.
Di dalam tepung terdapat senyawa Gluten, yang secara khas membedakan tepung
terigu dengan tepung-tepung lainya. Gluten adalah suatu senyawa pada tepung yang
bersifat kenyal dan elastis, yang sangat diperlukan dalam pembuatan roti atau kue
agar dapat mengembang dengan baik. Umumnya kandungan gluten menentukan
kadar protein tepung terigu, semakin tinggi kadar gluten semakin tinggi kadar protein
tepung terigu (Aprilia, 2015).

2. Jantung pisang

Jantung pisang adalah bunga yang dihasilkan oleh pokok Pisang (Musa spp.) yaitu sejenis
tumbuhan dari keluarga Musaceae yang berfungsi untuk menghasilkan buah pisang. Jantung
Pisang dihasilkan semasa proses pisang berbunga dan menghasilkan tandan pisang sehingga
lengkap. Hanya dalam keadaan tertentu atau spesis tertentu jumlah tandan dan jantung pisang
melebihi dari pada satu. Ukuran jantung pisang sekitar 25 – 40 cm dengan ukur lilit tengah
jantung 12 – 25 cm.
Kulit jantung pisang luar adalah sederhana keras dan akan terbuka apabila sampai waktu
bagi mendedahkan bunga betina. Bunga betina dan bunga jantan ini menghasilkan manisan
atau nektar bagi menarik serangga menghisapnya dan menjalankan proses pembungaan.
Struktur jantung pisang mempunyai banyak lapisan kulit dari yang paling gelap coklat-ungu
kemerahan dibagian luar dan warna putih krim susu dibagian dalam. Terdapat susunan bunga
berbentuk jejari diantara kulit tersebut dan ditengahnya terdapat bagian yang 10 lembut
(Panji R, 2012).

Jantung pisang mengandung energi (31 k.akl), karbohidrat (71 g), protein (1,2 g), lemak
(0,3 g), mineral terutama fosfor (50 mg), kal sium (30 mg) dan zat besi maupun vitamin
seperti beta karotin (pro vitamin A) (170 mg), Vitamin B1(0,06 mg) dan C (9 mg)dan juga
mengandung serat yang cukup tinggi. Kandungan serat dalam jantung pisang dapat
memperlancar pencernaan serta mengikat lemak dan kolesterol untuk dibuang bersama
kotoran. Jantung pisang juga dapat menghindarkan kita dari penyakit jantung dan stroke
karena dapat memperlancar sirkulasi darah dan bersifat antikoagulan (mencegah
penggumpalan darah).

Kandungan gizi yang terdapat pada berbagai jenis jantung pisang sebagaimana disajikan
pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Gizi Jantung Buah Pisang (per 100 g)

Jenis Protein Lemak Karbohidrat Mineral (mg) Vitamin (mg)


pisang (g) (g) (g) Ca Fe P A B C
Raja 1,38 0,43 8,65 4,00 0,20 60 160 0,04 8,00
Susu 1,32 0,32 7,72 4,00 0,30 40 150 0,05 10,00
Kepok 1,26 0,35 8,31 6,00 0,40 50 140 0,06 9,00
Klutuk 2,10 0,46 6,24 8,00 0,70 60 170 0,04 7,00
Lilin 1,02 0,38 7,50 3,00 0,10 30 165 0,03 8,00
Sumber :potro dan rusita (2006)

Menurut Putro dan Rosita (2006), jantung pisang sesuai dengan jenis pisangnya
terdapat empat rasa yang berbeda, yaitu : a) Rasa gurih dan hambar, terdapat pada jantung
pisang kepok, jantung pisang batu (klutuk), dan jantung pisang hutan,. b) Rasa asam, terdapat
pada jantung pisang marlin, jantung pisang 11 kole dan jantung pisang muli,. c) Rasa sepat,
terdapat pada jantung pisang susu, tanduk dan jantung pisang raja, d) Rasa pahit, terdapat
pada jantung pisang ambon putih dan jantung pisang nangka. Jenis pisang yang digunakan
dalam pembuatan biskuit jantung pisang adalah jantung pisang kepok. Jantung berbentuk
bulat telur, agak melebar, kelopak luar berwarna ungu dan sebelah dalam berwarna merah.
Jenis jantung pisang ini memiliki kadar protein lebih tinggi dari jenis jantung pisang lainnya,
protein yang dihasilkan jantung pisang ini menimbulkan rasa gurih. Jantung pisang memiliki
aroma khas yang langu dan memiliki getah (Laurencius, 2013). Jantung pisang kepok kuning
memiliki kandungan saponin dan tanin yang rendah sehingga memiliki rasa yang gurih.
jantung pisang juga dapat dikatakan mempunyai kandungan gizi yang tinggi seperti
protein, lemak, karbohidrat, kalsium, besi, fosfor, vitamin A, B dan vitamin C. Kalori yang
terdapat pada jantung pisang rata–rata mencapai 360 kalori. Jantung pisang mempunyai
kandungan serat yang cukup tinggi dan kandungan gula yang rendah, oleh karena itu tepung
jantung pisang sangat baik bagi pencernaan (Kusnandar, 2010). Serat merupakan kelompok
polisakarida yang tidak dapat dicerna yang terdapat dalam bahan pangan. Serat atau
polisakarida yang tidak dapat dicerna adalah seluosa, hemiselulosa, lignin, pektin dan gum.
Menurut Wickramarachci dan Ranamukhaarachci (2005), serat kasar yang terkandung dalam
jantung pisang segar adalah 20,31 ± 1,38 g per 100 g. Serat kasar yang terkandung pada
jantung pisang kering adalah 17,41 ± 1,42 g per 100 g. Jantung pisang memiliki kandungan
gula reduksi yang apabila dipanaskan akan membentuk reaksi karamelisasi dan apabila
bereaksi dengan asam amino akan membentuk reaksi maillard. Warna coklat diakibatkan
oleh proses maillard, proses maillard merupakan reaksi yang terjadi akibat gugusgugus
karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer yang menghasilkan warna
coklat pada produk makanan (Winarno, 2002).

Biskuit Menurut SNI 01-2973-1992 biskuit adalah produk yang diolah dengan
memanggang adonan dari tepung terigu dengan penambahan makanan lain dan dengan atau
tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Biskuit diklasifikasikan ke dalam
empat jenis yaiut biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer. Biskuit keras adalah jenis
biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih apabila dipatahkan penampang
potongannya berteksur padat, dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. Bahan yang
digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat (binding material)
dan bahan pelembut (tenderizing material). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu
bubuk, putih telur, sedangkan bahan pelembut terdiri dari gula, lemak atau minyak
(shortening), bahan pengembang, dan kuning telur (Faridah, 2008).

Biskuit diklasifikasikan ke dalam 4 jenis yaitu :

1. Biskuit keras adalah jenis kue kering yang dibuat dengan jenis adonan yang keras
(jumlah shortening dan gula yang digunakan lebih sedikit), berbentuk pipih, bila dipatahkan
penampang potongannya bertekstur padat.

2. Crackers adalah jenis kue kering yang dibuat dari adonan keras melalui proses
fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah ke rasa asin dan gurih,
renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berlapislapis.

3. Wafer adalah jenis kue kering yang dibuat dari adonan cair (jumlah adonan cair
yang digunakan lebih banyak), berpori-pori kasar, relatif renyah dan bila dipatahkan
penampang potongannya berongga-rongga.

4. Cookies adalah jenis kue kering yang dibuat dari adonan lunak (jumlah lemak dan
gula yang digunakan lebih banyak) atau keras, relatif renyah (BSN, 1992). Biskuit
merupakan salah satu makanan ringan atau snack yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat.
Produk ini merupakan produk kering yang memiliki kadar air rendah.

Menurut Saksono (2012) menyatakan bahwa berdasarkan data asosiasi industri, tahun
2012 konsumsi biskuit meningkat menjadi 5 – 8 % didorong oleh kenaikan konsumsi
domestik. Biskuit dikonsumsi oleh seluruh kalangan usia, baik bayi hingga dewasa namun
dengan jenis yang berbeda-beda. Informasi nilai gizi pada biskuit berbahan baku tepung
terigu dengan ukuran porsi 2 ½ keping ( 140 g) sebagaimana disajikan.

pada Tabel 3.

Tabel 3. Informasi Nilai Gizi Biskuit (Cookies) “Nissin” :

No Komponen Kandungan %
1 Serat kasar -
2 Air -
3 Protein 12
4 Lemak 32
4 Abu -
6 karbohidrat 56

Sumber :www.fatsecret.co.id

Tabel 4. Syarat mutu biscuit yang baik menurut SNI 2973:2011

NO Kriteria uji Satuan Persyaratan


Keadaan
1 Bau - Normal
2 Rasa - Normal
3 Warna - Normal
4 Kadar air (b/b) % Maks .5
5 Protein (N X 6,25) (b/b) % Min.5
Sumber :SNI 2973 :2011

B. Kerangka teori
Tepung terigu merupakan bahan baku utama untuk pembuatan biskuit
dikarenakan kandungan gluteinnya yang cukup tinggi akan tetapi harganya relatif mahal.
Tepung terigu memiliki kandungan air 12%, karbohidrat 74,5%, protein 9%, lemak 1,2%,
abu 0,46% dan kalori 340 kal. Saat ini produsen biasanya menggunakan 100% tepung
terigu untuk menghasilkan biskuit yang baik. Menurut SNI 2973-2011, biskuit yang baik
memiliki syarat kandungan air maksimal 5%, protein 5 %, dan lemak 1%.
Biskuit harus memiliki aroma dan rasa yang normal serta memiliki tekstur yang
renyah. Jantung pisang kepok kuning mengandung energi (31 kakl), karbohidrat (71 g),
protein (1,2 g), lemak (0,3 g), mineral terutama fosfor (50 mg), kalsium (30 mg) dan zat
besi maupun vitamin seperti beta karotin (pro vitamin A), Vitamin B1 dan C dan juga
mengandung serat yang cukup tinggi. Kandungan serat dalam 5 jantung pisang dapat
memperlancar pencernaan serta mengikat lemak dan kolesterol untuk dibuang bersama
kotoran. Jantung pisang juga dapat menghindarkan kita dari penyakit jantung dan stroke
karena dapat memperlancar sirkulasi darah dan bersifat antikoagulan (mencegah
penggumpalan darah) (Novitasari et al, 2013).
Jantung pisang kepok kuning berbentuk bulat telur, agak melebar, kelopak luar
berwarna ungu dan sebelah dalam berwarna merah. Jenis jantung pisang ini memiliki
kadar protein 1,26 g dan rendah akan kandungan lemak yaitu sebesar 0,35 g, protein yang
dihasilkan jantung pisang ini menimbulkan rasa gurih yang dapat mengalahkan rasa pahit
dan tannin (Laurencius, 2013).
Jantung pisang kepok kuning memiliki kandungan serat yang relatif tinggi (1,42
g) dan memiliki harga yang relatif murah. Saat ini biskuit yang dibuat dengan
menggunakan tepung terigu kandungan seratnya relatif rendah. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan oleh Florentia (2016), pembuatan biskuit dapat difortifikasi dengan
tepung jantung pisang sebanyak 25%. Setelah dilakukan penelitian pendahuluan oleh
peneliti, pembuatan tepung jantung pisang kepok kuning, menghasilkan tepung yang
berwarna hitam dan berbau langu.
Penambahan tepung jantung pisang kepok kuning sebesar 30% ke dalam adonan
biskuit menghasilkan biskuit yang berwarna hitam. Tekstur yang dihasilkan juga menjadi
sangat keras dan tidak disukai oleh panelis.
Oleh karena itu untuk menghasilkan biskuit yang tidak berwarna kehitaman dan
dapat memperkaya kandungan serat pada biskuit maka perlu dilakukan penelitian 6
pendahuluan dengan fortifikasi bubur jantung pisang sebanyak 30%.
Penambahan bubur jantung pisang sebanyak 30% menghasilkan adonan yang sulit
lengket dan sulit dibentuk. Jika dibandingkan dengan biskuit yang difortifikasi dengan
tepung jantung pisang, biskuit dengan fortifikasi bubur jantung pisang memiliki warna,
tekstur, rasa dan aroma yang lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan,
jantung pisang kepok kuning yang lebih baik digunakan untuk penelitian utama adalah
bubur jantung pisang dengan konsentrasi

C. Hipotesa
Terdapat formulasi biskuit kaya serat terbaik yang memiliki sifat kimia, fisik, dan
organoleptik yang disukai oleh konsumen serta sesuai dengan SNI 2973 : 2011.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL)
dengan faktor tunggal yaitu formulasi bubur jantung pisang. Perlakuan pada penelitian ini
menggunakan 6 taraf formulasi tepung jantung pisang dan tepung terigu (b/b) yaitu A1
(0:100), A2 (5:95), A3 (10:80), A4 (15:75), A5 (20:80) dan A6 (25:75) dengan ulangan
sebanyak 4 kali. Penelitian ini terdiri dari empat tahapan, yaitu pembuatan bubur jantung
pisang, pembuatan biskuit , pengujian kandungan serat pada biskuit dan pengujian sifat
organoleptik. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan sidik ragam dan
dilanjutkan dengan uji lanjut BNT pada taraf 5%. Masing-masing sampel dari setiap
ulangan akan diuji kandungan serat dan sifat organoleptiknya. Perlakuan yang terbaik
selanjutnya akan diuji kandungan serat, air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat.
Formulasi perbandingan bubur jantung pisang dan tepung terigu disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Formulasi Perbandingan Bubur Jantung Pisang dan Tepung Terigu


Kode sampel Jantung pisang (J) Tepung terigu (T)
A1 0 100
A2 5 95
A3 10 90
A4 15 85
A5 20 80
A6 25 75

B. Waktu penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan di Laboratorium
Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung,
Laboratorium Teknologi Pangan Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Terpadu
dan Sentra Inovasi Teknologi Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan November 2018 – Februari 2019.

C. Alat dan bahan


Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain timbangan, blender, neraca
analitik, baskom, oven, spatula, pisau, loyang, mixer, erlenmeyer, pipet voume, hot plate,
kertas saring, beaker glass,cawan petri dan alat analisis serat lainnya. Bahan-bahan yang
digunakan adalah jantung pisang, tepung terigu,telur,gula, susu skim, margarin, mentega,
garam, H2SO4, NaOH, Alkohol, K2SO4 dan aquades.
D. Definisi operasional

Bubur jantung pisang (30%) dan tepung terigu (70%) dicampurkan dan diaduk hingga
tercampur merata di dalam satu wadah. Susu skim 10 g, telur 1 butir, gula 45 g, margarin 25
g, dan mentega 25 g dicampurkan dalam satu wadah dan diaduk hingga merata. Setelah itu
tepung dan campuran bahan lainnya dicampurkan dan diaduk selama 3 menit sampai merata.
Adonan biskuit diratakan hingga ketebalan ± 4cm kemudian dicetak dengan menggunakan
cetakan kue berbentuk bulat dengan diameter ± 4 cm. Adonan yang telah dicetak kemudian
dipanggang dengan menggunakan oven pada suhu 80°C selama 10 menit dan suhu 180oC
selama 60 menit.

E. Pengujian organoleptik

Uji organoleptik yang dilakukan adalah dengan menggunakan uji skoring meliputi
pengujian terhadap warna, rasa, aroma, dan tekstur, sedangkan untuk penerimaan
keseluruhan dilakukan dengan uji hedonik. Penilaian dilakukan dengan menggunakan 25
panelis semi terlatih untuk uji skoring dan 25 panelis semi terlatih untuk uji hedonik
(Meilgaard et al, 1999). Panelis diminta memberikan nilai sesuai dengan penilaian terhadap
atribut sensori yang dinilai yaitu warna, rasa, aroma dan tekstur untuk uji skoring serta
penerimaan keseluruhan untuk uji hedonik. Pengujian dilakukan oleh 25 panelis semi
terlatih untuk uji skoring dan 25 panelis semi terlatih untuk uji hedonik yang dilakukan di
Laboratorium Uji Sensori Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung.

F. Pengujian Kandungan Serat

Analisis kandungan serat dilakukan dengan menggunakan metode pelarutan dengan asam
dan basa menurut AOAC, sampel seberat 2 gram diambil dan dipindahkan ke dalam
erlenmeyer 600 ml ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih (1,25 g H2SO4 pekat/100
ml = 0,25 N H2SO4) selama 30 menit dengan kadangkala digoyangkan. Selanjutnya
suspensi diambil melalui kertas saring dan residu yang tertinggal dalam erlenmeyer dicuci
dengan aquades mendidih. Residu dalam kertas saring dicuci sampai air cucian tidak
berasam lagi. Kemudian residu dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam
erlenmeyer kembali dengan spatula, sisanya dicuci dengan larutan NaOH mendidih (1,25 g
NaOH/100 ml = 0,31 N NaOH) sebanyak 200 ml sampai semua residu masuk ke dalam
erlenmeyer. Kemudian larutan dididihkan dengan pendingin balik dengan kadangkala
digoyangkan selama 30 menit. Kemudian larutan disaring dengan kertas saring yang
diketahui beratnya yang telah dipijarkan, dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Cuci residu
dengan aquades mendidih dan kemudian dengan ±15 ml alkohol 95%. Kertas saring
dikeringkan dengan isinya pada 110°C sampai berat konstan (1-2 jam), dinginkan dalam
desikator dan ditimbang.
G. Pengujian Kandungan Air

Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode Gravimetri (AOAC, 2005).
Prinsipnya adalah dengan menguapkan molekul air bebas yang ada dalam sampel. Sampel
lalu ditimbang sampai didapat bobot konstan dengan asumsi semua air yang terkandung
dalam sampel sudah diuapkan. Selisih bobot sebelum 24 dan sesudah pengeringan
merupakan banyaknya air yang diuapkan. Cawan dikeringkan menggunakan oven pada suhu
100 – 105oC selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan
uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2g dalam cawan yang sudah
dikeringkan (B) kemudian dioven pada suhu 100 – 105oC selama 6 jam, lalu didinginkan
dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (C).

H. Pengujian Kandungan Protein

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl (AOAC, 2005), yaitu oksidasi
bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia oleh asam sulfat. Selanjutnya
amonia bereaksi dengan kelebihan asam membentuk amonium sulfat. Amonium sulfat yang
terbentuk diuraikan dan larutan dijadikan basa dengan NaOH. Amonia yang diuapkan akan
diikat dengan asam borat. Nitrogen yang terkandung dalam larutan ditentukan jumlahnya
dengan titrasi dengan menggunakan larutan baku asam. Prosedur analisis kadar protein
sebagi berikut : % 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 = 𝐵 − 𝐶 𝐵 − 𝐴 𝑥 100% 25 sampel ditimbang sebanyak 0,1 -
0,5 g, dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, kemudian didekstruksi sampai larutan
menjadi hijau jernih dan S02 hilang. Larutan dibiarkan dingin dan dipindahkan ke labu 50
ml NaOH dan diencerkan dengan aquades sampai tanda tera, kemudian dimasukkan ke
dalam alat destilasi, ditambahkan dengan 5 – 10 ml NaOH 30-33% dan dilakukan destilasi.
Destilat ditampung dalam larutan 10 ml asam borat 3% dan beberapa tetes indikator (larutan
bromcresol green 0,1% dan larutan metil merah merah 0,1%) dalam alkohol 95% secara
terpisah dan dicampurkan antara 10 ml bromcresol green dengana 2 ml metil merah
kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai larutan berubah warnanya menjadi
merah muda.

I. Pengujian Kandungan Lemak

Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode Soxhlet (AOAC, 2005), yaitu lemak
yang terdapat dalam sampel diekstrak dengan menggunakan pelarut lemak nonpolar.
Prosedur analisis kadar lemak adalah labu lemak yang akan digunakan dioven selama 15
menit pada suhu 105oC, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap
air dan ditimbang (A). sampel ditimbang sebanyak 5 g (B) lalu dibungkus dengan kertas
timbel, ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet
yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dioven dan diketahui bobotnya.
Pelarut heksan dituangkan sampai sampel terendam dan dilakukan refluks atau ekstraksi
lemak selama 5-6 jam atau sampai pelarut lemak yang turun ke labu lemak berwarna jernih.
Pelarut lemak yang telah digunakan, disuling dan ditampung setelah itu ekstrak lemak yang
ada dalam labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 100 – 105oC selama 10 menit, lalu
labu lemak didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (C). Tahap
pengeringan labu lemak diulangi sampai diperoleh bobot yang konstan.

J. Pengujian Kandungan Abu

Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode oven (AOAC, 2005). Prinsipnya
adalah pembakaran bahan-bahan organik yang diuraikan menjadi air dan karbondioksida
tetapi zat anorganik tidak terbakar, zat anorganik ini disebut abu. Cawan yang akan
digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100 – 105oC. Cawan
didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel
ditimbang sebanyak 2g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian dibakar di atas
nyala pembakar sampai tidak berasap dan dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur
bersuhu 500 – 600oC sampai pengabuan sempurna. Sampel yang sudah diabukan
didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Tahap pembakaran dalam tanur diulangi
sampai didapat bobot yang konstan. Penentuan kadar abu dihitung dengan rumus sebagai
berikut :

K. Pengujian Kandungan Karbohidrat

Penentuan kadar karbohidrat dihitung menggunakan metode by difference (Winarno,


1996) dengan rumus sebagai berikut :

% 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 = 100% − 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 + 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 + 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 + 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟


𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘 %
DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan, N., Kusnandar, F., dan Herawati, D. 2011. Analisis Pangan. Dian Rakyat.
Jakarta. 170 hlm.

American Association of Cereal Chemists (AACC). 2000. Approved Methods of The


American Association of Cereal Chemists (10th ed). St. Paul : American Association of
Cereal Chemist. Junral Sains dan Teknologi Pangan. Vol. 2 No. 2.

Alfi dan Arief. 2014. Makalah Tanaman Pisang. www.myangelradit.blogspot.com.


Diakses pada 15 Agustus 2018.

Andon. 1987. Serat Makanan dan Kesehatan. www.belajartanpabuku.com. Diakses pada


22 Agustus 2018.

Andriana, D dan Zulhaida. L. 2015. Uji Daya Terima dan Kandungan Gizi Biskuit
dengan Penambahan Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus ) dan Daun Bangun
Bangun (Coleus amboinicus Lour). Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara. Hlm.
1-2.

Anonim. 2007. Kalori Biskuit Gandum. www.fatsecret.co.id. Diakses pada 24 Maret


2019.

Aprilia, P. 2015. Pengaruh Substitusi Tepung Jantung Pisang terhadap Kualitas Chiffon
Cake. Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang. Semarang. 195 hlm.

Ariantya, F. 2016. Kualitas Cookies dengan Kombinasi Tepung Terigu, Pati Batang
Aren (Arenga pinnata) dan Tepung Jantung Pisang (Musa paradisiaca). Universitas
Atmajaya Yogyakarta. Yogyakarta. Hlm. 4.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1992. SNI 01-2973-1992. BSN. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan.


Direktorat Gizi. Jakarta. Hlm. 14.

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 2014. Jantung Pisang Kaya Serat dan Manfaat.
http://dishut.jabarprov.go.id/. Diakses pada 23 September 2018.

Anda mungkin juga menyukai