Anda di halaman 1dari 150

BAB I

PENDAHULUAN

Acute fatty liver of pregnancy (AFLP) merupakan gangguan hati yang


unik pada ibu hamil. Pertama kali di uraikan pada tahun 1934 sebagai “yellow
acute atrophy of the liver” dan telah dianggap menjadi suatu penyakit klinik
yang spesifik pada tahun 1940. AFLP tergolong jarang terjadi, tetapi dapat
menimbulkan gangguan yang berat pada kehamilan trisemester ketiga atau
periode postpartum dan secara signifikan mengakibatkan mortalitas perinatal
dan maternal. AFLP dapat mengakibatkan gagal hati dan ensephalopati, jika
terjadi keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan kematian janin maupun ibu
(Ibdah, 2006).
Gejala klinis yang didapatkan pada AFLP bervariasi dan komplikasi
yang ditimbulkan dapat tumpang tindih dengan HELLP sindrom (hemolisis,
peningkatan enzim hati, dan penurunan trombosit) (Ibdah, 2006 ; Lapinsky,
2008).
Kasus berat AFLP harus dirawat diruangan intensif dengan
pengawasan dari tim multidisiplin. Kegagalan multisystem (multiple organ
failure/MOF) seringkali membutuhkan bantuan ventilasi dan dialysis.
Monitoring koagulasi secara ketat dengan koreksi yang agresif pada keadaan
koagulopati dengan pemberian faktor koagulasi yang sesuai. Sejumlah besar
volume glukosa 50% dapat diberikan untuk koreksi hipoglikemia. Seperti pada
preeklampsia, balans cairan dilakukan hati-hati terutama pada kondisi
gangguan fungsi ginjal dan udem paru (Porter, 2010).
Poin penting tatalaksana AFLP adalah koreksi perburukan koagulasi,
monitoring balans cairan, atasi hipoglikemia dan proses persalinan sesegera
mungkin (Cowie & Johnston, 2010)
Acute Liver Failure adalah suatu kelainan yang ditandai dengan
kegagalan hepatoseluler, gangguan koagulopati (International Normalized
Ratio (INR) ≥1.5) dan ensefalopati hati tanpa adanya riwayat penyakit hati
sebelumnya.
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan
fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.
Ensefalopati adalah disfungsi kortikal umum yang memiliki karakteristik
perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari), secara nyata terdapat
fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, halusinasi dan delusi yang sering
dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum meingkat, akan tetapi
dapat menurun). Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan perubahan
umum pada fungsi otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa
agitasi hiperalert hingga koma.
Pada makalah ini, akan dibahas satu kasus kematian seorang pasien,
wanita umur 26 tahun dengan diagnosa Penurunan kesadaran ec hipoglikemia
DD/ ensepalopati hepatikum grade II-III + sirosis bilier + kolestasis ekstrahepatal
ec koledokulitiasis + Acute liver failure. Pembahasan pada kasus pasien ini akan
dititik beratkan pada tatalaksana dan mekanisme kematiaan berdasarkan diagnosa
pasien diatas.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Pasien
Nama : Ny. A
Umur : 25 tahun
Alamat : Solok
No. RM : 01.05.83.31
Masuk RS : l5/8/ 2019
Pendidikan : SMU

Suami
Nama : Tn.F
Umur : 27 tahun
Pendidikan : SMU
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Solok Selatan

B. ANAMNESIS
Seorang pasien wanita, 25 tahun dikonsulkan dari medikal penyakit
dalam IGD RSUP dr. M Djamil Padang tanggal 15 April 2019 pukul 16.30 WIB
dengan penurunan kesadaran ec kolangitis + jaundice obstruksi ec susp CBD
stone + AKI + hipokoagulasi + ancaman DIC pada G1P0A0H0 gravid 31-32
minggu

C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


- Penurunan kesadaran sejak 1 hari yang lalu
- Pasien sebelumnya mengeluhkan muntah-muntah dan penurunan nafsu
makan sejak awal kehamilan
- Kuning seluruh tubuh sejak 4 hari yang lalu
- Demam (+) 1hari yang lalu
- Tanda inpartu (-)
- Pasien hamil anak pertama
- Tidak haid sejak ± 8 bulan yang lalu
- HPHT : 3-1-2019
- Gerak janin dirasakan sejak 3 bulan yang lalu

D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


- Riwayat menderita penyakit jantung, paru,hati ginjal, DM, hipertensi, dan
alergi tidak ada
- Riwayat pernah menderita sakit kuning disangkal

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit infeksi, keturunan dan
kejiwaan

F. RIWAYAT PERKAWINAN
1x tahun 2018

G. RIWAYAT KEHAMILAN/ABORTUS/PERSALINAN: 1 / 0 / 0
1. Sekarang

H. RIWAYAT KONTRASEPSI: (-)

I. RIWAYAT IMUNISASI : (-)

J. RIWAYAT KEBIASAAN
Merokok (-), alkoholik (-), pengguna obat-obatan terlarang (-)
PEMERIKSAAN FISIK :
Ku Kes TD Nd Nfs T SaO2

Berat delirium 136/78 120 22 37 C 100%


TB : 158 cm
LILA : 24 cm
BB sebelum hamil : 58 kg
BB hamil : 56 kg

BMI : 23,2  normoweight


Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5-2 cm H20
Thorak : Pulmo : bronkoveskuler, Rh+/+, Wh -/-
Cor : dalam batas normal
Abdomen : Status Obstetrikus
Genitalia : Status Obstetrikus
Ekstremitas : Edema +/+, RF +/+, RP -/-, Reflek patella +/+

Status obstetrikus
Abdomen :
I : Tampak membuncit seperti kehamilan 32 minggu
Pa : L1 : FUT teraba pertengahan prosesus xhypoideus dan pusat, teraba massa
besar, lunak, noduler
L2 : Teraba tahanan terbesar janin di kiri dan bagian-bagian kecil janin di
kanan
L3 : Teraba bagian keras, bulat, tidak terfiksir
L4 : Tidak diperiksa
His : (-) TFU 26cm TBJ 2.170 gram
Au : DJJ (-)

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan


USG

Janin hidup tunggal intra uterine letak


memanjang presentasi kepala
Aktivitas gerak janin (-)
BPD : 85 mm
FL : 62 mm
AC : 286 mm
EFW : 1.933 gram
SDP : 30 mm
FHR : (-)
Spalding sign : (+)
Plasenta tertanam di corpus posterior grade II

Kesan :
Gravid 32-33 minggu sesuai biometri
Janin meninggal
Presentasi kepala

HASIL LABOR TANGGAL 15/8/2019 PUKUL 17.05 WIB


PARAMETER HASIL RUJUKAN

Hemoglobin 10.3 12-14

Leukosit 22.360/mm3 5.000 – 10.000

Hematokrit 32 % 37– 43

Trombosit 285.000 /mm3 150.000– 400.000

APTT 44 detik 29,2– 39,4

PT 122,2 detik 10 – 13,6

d-dimer 13.098

GDS 30 < 200 mg/dL

Ureum 44 10,0 – 50,0 mg/dL

Kreatinin 4,2 0,6 – 1,2 mg/dL

Kalsium 9,5 8,1 – 10,4 mg/dL

Natrium 134 136 – 145 Mmol/L

Kalium 4,9 3,5 – 5,1 Mmol/L

Klorida Serum 107 97 – 111 Mmol/L

Total Protein 6,3 6,6 – 8,7 g/dl

Albumin 3,0 3,8 – 4,0 g/dL

Globulin 3,3 1,3 – 2,7 g/dL

SGOT 247 < 32 U/l

SGPT 62 <31 U/l

Bil.Total 8,4 0,,3-1,0

Bil. Direk 7,5 < 0.20

Bil.Indirek 0.9 <0.60

HBsAg Non Reaktif Negatif

HIV Non Reaktif Negatif


AGD
PH 7,27

PCO2 19

PO2 121

HCO3- 8,7

Becf

SO2
URINALISA RESULT REFERENCE VALUE

Protein - -

Glukosa - -
Leukosit 6-8 0-5
Eritrosit 25-30 0-1
Silinder - -
Kristal - -
Epitel + gepeng +
Bilirubin - -
Urobilinogen + +

DIAGNOSIS :
Penurunan kesadaran ec susp Sepsis Associated Ensefalopati dd/ hipoglikemia + susp
kolangitis + Ikterus kolestasis ec Susp CBD stone + DIC overt pada G1P0A0H0
gravid preterm 32-33 minggu + susp AFLP + IUFD

SIKAP :
Kontrol KU, VS, balance cairan
Saat ini tidak ada tindakan akut di bagian obgyn
Acc rawat bersama dengan bagian penyakit dalam

RENCANA :
Perbaikan KU
Transfusi FFP/Cryopresipitate
IVFD NaCl 0,9% 8 jam/kolf
Koreksi Meylon 300 mEq
Cefoperazone 3x1 gram
Inf Levofloxacin 1x750 mg
Protokol hipoglikemia
Pematangan serviks setelah transfusi cryo selesai  Misoprostol 25 mikro/6 jam
R/ Partus pervaginam
KONSUL NEUROLOGI
A/ Sepsis related Ensefalopati
susp kolangitis
ikterus kolestasis ec CBD stone
IUFD
Advice :
Saat ini tidak ditemukan defisit neurologis total/global yang menyebabkan penurunan
kesadaran pada pasien ini. Penurunan kesadaran di sebabkan oleh kelainan metabolik
yang berat

FOLLOW UP

16-08-2019 (06.00)
S/tanda inpartu (-)
pasien penurunan kesadaran
O/KU Kes TD ND Nf T
berat delirium 110/70 90 24 37.3
• Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik
• Abd : His (-), FHR (-)
• Genitalia :V/U tenamg, PPV (-)
• A/ Penurunan kesadarann ec susp SAE dd/ hipoglikemia + susp kolangitis + Ikterus
kolestasis ec Susp CBD stone + DIC overt pada G1P0A0H0 gravid preterm 32-33
minggu + susp AFLP + IUFD
p/
• Kontrol KU, VS, Tanda inpartu
• IVFD D5% 8 jam/kolf
• Inj cefoperazone 3 x 1 gr
• Inj levofloksasin 1 x 750 mg
• Inj vit K 3 x 10 mg
• Inj transamin 3 x 500 mg
• NGT alir, sementara puasa

Hasil Lab Tanggal 16/8/2019


PARAMETER HASIL RUJUKAN

Hemoglobin 9,0 gr/dl 9.5-15

Leukosit 20.250/mm3 5.000 – 16.000


Hematokrit 28 % 37 – 43

Trombosit 182.000/mm3 150.000 – 400.000

APTT >300 29,2 – 39,4

PT >300 10 – 13,6

16-08-2019 (12.00)
S/tanda inpartu (-)
pasien penurunan kesadaran
O/KU Kes TD ND Nf T
berat apatis 110/70 90 24 37.3
• Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik
• Abd : His (-), FHR ; (-)
• Genitalia :V/U tenamg, PPV (-)
• VT : pembukaan (-)

• A/ Penurunan kesadaran ec susp Sepsis Associated Ensefalopati dd/ hipoglikemia +


susp kolangitis + Ikterus kolestasis ec Susp CBD stone + DIC overt pada G1P0A0H0
gravid preterm 32-33 minggu + susp AFLP + IUFD
p/
•Kontrol KU, VS, PPV
•Induksi persalinan : Misoprostol 25 mcg pervaginam
•Terapi lain sesuai TS interne

16-08-2019 (16.00)

S/ pasien penurunan kesadaran


Pasien tampak kesakitan

O/KU Kes TD ND Nf T
berat delirium 110/70 90 24 37.3
• Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik
• Abd : His 2x/20"/sedang, FHR: (-)
• Genitalia :V/U tenamg, PPV (-)
• VT : pembukaan lengkap , ketuban (-), Sisa kehijauna, teraba kepala, UUK
depan , H III-IV

• A/ Penurunan kesadaran ec susp Sepsis Associated Ensefalopati dd/ hipoglikemia +


susp kolangitis + Ikterus kolestasis ec Susp CBD stone + DIC overt pada G1P0A0H0
gravid preterm 32-33 minggu + susp AFLP + IUFD

p/
•Kontrol KU, VS, PPV
•Pimpin persalinan
•Terapi lain sesuai TS interne

16-08-2019 (17.00)
S/ pasien penurunan kesadaran
os tampak kesakitan
O/KU Kes TD ND Nf T
berat Sopor 110/70 90 24 37.3
• Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik
• Abd : His 2-3x/25”/sedang, FHR ; (-)
• Genitalia :V/U tenamg, PPV (-)
• VT : pembukaan lengkap , ketuban (-), presentasi kepala, UUK depan , H III-IV
• A/ Penurunan kesadaran ec susp Sepsis Associated Ensefalopati dd/ hipoglikemia +
susp kolangitis + Ikterus kolestasis ec Susp CBD stone + DIC overt pada G1P0A0H0
gravid preterm 32-33 minggu + susp AFLP + IUFD
I/
•Kontrol KU, VS, PPV, DJJ
•IVFD RL + oksitosin 1 amp oksitosin 20 tpm /menetap
•Terapi lain sesuai TS interne

16-08-2019 (20.15)

S/ pasien penurunan kesadaran

O/KU Kes TD ND Nf T
berat Sopor 80/50 110 28 37.3

• Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik


• Abd : His (-), FHR: (-)
• Genitalia :V/U tenamg, PPV (-)
• VT : pembukaan lengkap , ketuban (-), presentasi kepala, UUK depan , H III-IV
• A/ syok Sepsis + Penurunan kesadaran ec susp Sepsis Associated Ensefalopati dd/
hipoglikemia + susp kolangitis + Ikterus kolestasis ec Susp CBD stone + DIC overt
pada G1P0A0H0 gravid preterm 32-33 minggu + susp AFLP + IUFD

I/
•Kontrol KU, VS, PPV, DJJ
•Drip oksitosin  stop
•Resusitasi cairan
•Drip vascon bertingkat (0,4 cc-0,8cc-1,2cc – 1,6cc –1,0 cc-2,1cc – 2,9cc)
•Terapi lain sesuai TS interne

17-08-2019 (00.00)

S/ pasien penurunan kesadaran

O/KU Kes TD ND Nf T
berat delirium 80/pulse 120 30 37.3
• Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik
• Abd : His (-), FHR: (-)
• Genitalia :V/U tenamg, PPV (-)
• VT : pembukaan lengkap , ketuban (-), presentasi kepala, UUK depan , H III-IV

A/ syok Sepsis + Penurunan kesadaran ec susp Sepsis Associated Ensefalopati dd/


hipoglikemia + susp kolangitis + Ikterus kolestasis ec Susp CBD stone + DIC overt
pada G1P0A0H0 gravid preterm 32-33 minggu + susp AFLP + IUFD

I/
•Kontrol KU, VS, PPV
•Drip vascon ( 0,4 cc-0,8cc-1,2cc – 1,6cc –1,0 cc-2,1cc – 2,9cc)
•Drip dobutamin (1,94 – 2,64 -3,3 –3,96 – 4,62)
•Terapi lain sesuai TS interne

17-08-2019 (01.00)

S/ pasien penurunan kesadaran

O/KU Kes TD ND Nf T
berat soporous 60/pulse 125 30 37.3
• Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik
• Abd : His (-), FHR: (-)
• Genitalia :V/U tenamg, PPV (-)
• VT : pembukaan lengkap , ketuban (-), presentasi kepala, UUK depan , H III-IV

• A/syok Sepsis + Penurunan kesadaran ec susp Sepsis Associated Ensefalopati dd/


hipoglikemia + susp kolangitis + Ikterus kolestasis ec Susp CBD stone + DIC overt
pada G1P0A0H0 gravid preterm 32-33 minggu + susp AFLP + IUFD
I/
•Kontrol KU, VS, PPV,
•Drip vascon 0,4 cc-0,8cc-1,2cc – 1,6cc –1,0 cc-2,1cc – 2,9cc)
•Drip dobutamin (1,94 – 2,64 -3,3 –3,96 – 4,62)
•Terapi lain sesuai TS interne

Labor 17/8/2019 Jam 00.45


PARAMETER HASIL RUJUKAN

Hemoglobin 6,1 gr/dl 9.5-15

Leukosit 21.620/mm3 5.000 – 16.000

Hematokrit 23 % 37 – 43

Trombosit 117.000/mm3 150.000 – 400.000

17-08-2019 (02.00)
S/ pasien penurunan kesadaran

O/KU Kes TD ND Nf T
berat soporous 60/pulse 110 26 37.3
• Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik
• Abd : His (-), FHR: (-)
• Genitalia :V/U tenamg, PPV (-)
• VT : pembukaan lengkap , ketuban (-), presentasi kepala, UUK depan , H III-IV
• A/ syok Sepsis + Penurunan kesadaran ec susp Sepsis Associated Ensefalopati dd/
hipoglikemia + susp kolangitis + Ikterus kolestasis ec Susp CBD stone + DIC overt
pada G1P0A0H0 gravid preterm 32-33 minggu + susp AFLP + IUFD
I/
•Kontrol KU, VS, PPV
•Drip vascon (0,4 cc-0,8cc-1,2cc – 1,6cc –1,0 cc-2,1cc – 2,9cc)
•Drip dobutamin (1,94 – 2,64 -3,3 –3,96 – 4,62)
•Terapi lain sesuai TS interne

17-08-2019 (02.30)
S/ pasien penurunan kesadaran
O/KU Kes TD ND Nf T
berat soporous 50/pulse 125 30 37.3
• Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik
• Abd : His (-), FHR: (-)
• Genitalia :V/U tenamg, PPV (-)
• VT : pembukaan lengkap , ketuban (-), presentasi kepala, UUK depan , H III-IV

• A/ syok Sepsis + Penurunan kesadaran ec susp Sepsis Associated Ensefalopati dd/


hipoglikemia + susp kolangitis + Ikterus kolestasis ec Susp CBD stone + DIC overt
pada G1P0A0H0 gravid preterm 32-33 minggu + susp AFLP + IUFD

I/
•Kontrol KU, VS, PPV,
•Drip vascon (0,4 cc-0,8cc-1,2cc – 1,6cc –1,0 cc-2,1cc – 2,9cc)
•Drip dobutamin (1,94 – 2,64 -3,3 –3,96 – 4,62)
•Terapi lain sesuai TS interne

17-08-2019 (03.00)
S/ pasien penurunan kesadaran

O/KU Kes TD ND Nf T
berat koma 80/pulse 115 12 37.3
• Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik
• Abd : His (-), FHR: (-)
• Genitalia :V/U tenamg, PPV (-)
• VT : pembukaan lengkap , ketuban (-), presentasi kepala, UUK depan , H III-IV

• A/ syok Sepsis + Penurunan kesadaran ec susp Sepsis Associated Ensefalopati dd/


hipoglikemia + susp kolangitis + Ikterus kolestasis ec Susp CBD stone + DIC overt
pada G1P0A0H0 gravid preterm 32-33 minggu + susp AFLP + IUFD

I/
•Kontrol KU, VS, PPV
•Drip vascon (0,4 cc-0,8cc-1,2cc – 1,6cc –1,0 cc-2,1cc – 2,9cc)
•Drip dobutamin (1,94 – 2,64 -3,3 –3,96 – 4,62)
•Terapi lain sesuai TS interne

17-08-2019 (03.15)

S/ respon (-)
O/KU Kes TD ND Nf T
berat --- ---- --- ---
• Mata : midriasis , RC -/-
• Abdomen : -
• Genitalia : v/u tenang, PPV (-)
• A/apnea

I/
TD : tidak terukur
ND : tidak teraba
EKG : asisitole
Pasien dinyatakan meninggal pukul 10.30 WIB
Pasien dinyatakan meninggal dihadapan dokter, perawat dan keluarga

03. 15 WIB

Pasien dinyatakan meninggal di depan dokter, keluarga dan paramedis


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. ACUTE FATTY LIVER OF PREGNANCY (AFLP)

A. DEFINISI
Acute fatty liver of pregnancy (AFLP) merupakan gangguan hati yang unik pada
ibu hamil. Pertama kali di uraikan pada tahun 1934 sebagai “yellow acute atrophy
of the liver” dan telah dianggap menjadi suatu penyakit klinik yang spesifik pada
tahun 1940. AFLP tergolong jarang terjadi, tetapi dapat menimbulkan gangguan
yang berat pada kehamilan trisemester ketiga atau periode postpartum dan secara
signifikan mengakibatkan mortalitas perinatal dan maternal. AFLP dapat
mengakibatkan gagal hati dan ensephalopati, jika terjadi keterlambatan diagnosis
dapat menyebabkan kematian janin maupun ibu (Ibdah, 2006)

Gejala klinis yang didapatkan pada AFLP bervariasi dan


komplikasi yang ditimbulkan dapat tumpang tindih dengan
HELLP sindrom (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan
penurunan trombosit) (Ibdah, 2006 ; Lapinsky, 2008).

Kasus AFLP dapat terjadi pada rentang umur kehamilan


22 hingga 40 minggu serta segera setelah postpartum.
Kebanyakan kasus AFLP terjadi selama trimester ketiga,
biasanya antara minggu ke-30 dan 38 kehamilan, beberapa
diantaranya tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas hingga
setelah melahirkan (Joshi, 2010).

B. ETIOLOGI & PATOFISIOLOGI


Penyebab AFLP sampai saat ini belum diketahui secara
pasti. Namun dengan kemajuan teknologi molekuler akhir-
akhir ini, AFLP dianggap akibat dari disfungsi mitokondria
janin (Rahman, 2002). Proses dari oksidasi asam lemak di
mitokondria janin meliputi transportasi asam lemak dan 4
reaksi enzimatik. Normalnya, ada medium transport special
untuk asam lemak yang bertugas membawa asam lemak ke
bagian dalam

27
membrane mitokondria. Setelah ditransport ke bagian dalam
mitokondria, asam lemak akan dipecah oleh 4 jenis enzim.
Pemecahan asam lemak ini akan menghasilkan energy dari
asam lemak bebas untuk digunakan otak, jantung, liver dan otot
skeletal jika produksi glikogen menurun. Pada pasien AFLP
terjadi defisiensi dari enzim ketiga atau dikenal dengan Long
Chain 3-hydroxyacyl-CoA dehydrogenase (LCHAD) yang
berakibat tidak dipecahnya asam lemak dan pada akhirnya
terjadi penimbunan asam lemak rantai menengah dan panjang
(Wanders, Vreken, Boer, Wijburg & Gennip, 1999). Mekanisme
pasti dari penimbunan asam lemak hingga menyebabkan
kerusakan liver berat pada ibu masih belum jelas. Dugaan dari
peneliti adalah, timbunan asam lemak ini kembali ke ibu
melalui plasenta dan memasuki sirkulasi ibu. Timbunan asam
lemak ini kemudian dideposit di hepatosit hepar dan
memperberat kerja hepar ibu yang menimbulkan munculnya
gejala-gejala AFLP (Tein, 2000). Kadar normal asam lemak di
hepar adalah 5%, pada pasien AFLP kadar asam lemak di
hepatosit naik hingga 13-19%. Akumulasi asam lemak ini
ditambah dengan produksi ammonia dari aktivitas hepatosit
berlebih memberikan dampak nekrosis, inflamasi dan gagalnya
fungsi hepar yang pada akhirnya membuat keadaan koagulopati
dan hipoglikemia. Asam lemak ini sebagian kecil juga
terdeposit di ginjal, pancreas, otak, sumsum tulang (Sheehan,
1940 ; Varner & Rinderknecht, 1980 ; McNulty, 2004) Teori ini
didukung dengan hasil oksidasi asam lemak yang berangsur-
angsur normal setelah janin dilahirkan (Bellig, 2004).

C. EPIDEMIOLOGI
AFLP termasuk jarang terjadi, angka kejadian antara 1
dalam 10.000-15.000 kehamilan. Di Inggris angka kejadian
AFLP 1 kasus tiap

20.000 kelahiran, sedang studi kasus di luar Inggris


diperkirakan 1 kasus dalam 4.000 hingga 16.000 kelahiran
(Porter, 2010 ; Saravanan, 2008).

28
D. FAKTOR RESIKO

Disamping defisiensi LCHAD, karakteristik lain yang


sering teridentifikasi sebagai faktor resiko potensial AFLP
adalah primigravida, preeklampsia, janin laki-laki dan
kehamilan multipel. Hubungan antara faktor resiko tersebut
sehingga menyebabkan AFLP masih belum dapat
teridentifikasi. Satu hipotesis yang mungkin adalah kehamilan
multipel membuat seorang wanita mempunyai faktor resiko
lebih AFLP karena adanya peningkatan produksi dari metabolit
asam lemak yang berasal dari lebih dari satu janin (Simpson,
Luppi, O’Brien, 1998 ; Davidson, Simpson, Knox, D’Alton,
1998).

E. TANDA & GEJALA

Tanda dan gejala AFLP dapat muncul dengan berbagai


derajat keparahan. Sulit untuk menegakkan diagnosis AFLP
secara dini karena tanda gejalanya tidak khas seperti mual,
muntah, tidak nafsu makan, lemah, sakit kepala dan nyeri perut.
Pada pemeriksaan fisik, pasien biasanya didapatkan demam
dan kuning, tanda ini 70% muncul pada pasien AFLP. Hepar
biasanya tidak membesar dan tidak terpalpasi saat pemeriksaan
fisik. Pada kasus yang parah, dapat ditemukan kerusakan
multisystem seperti gagal ginjal akut, encephalopati,
perdarahan saluran cerna, pankreatitis dan koagulopati
(Simpson, Luppi, O’Broen, 1998 ; Kennedy, Hall, Seymour &
Hague, 1994 ; Tucker, Calhoun, Thorneycroft, Edwards, 1993).
AFLP juga berefek buruk bagi janin. Salah satu
komplikasi yang sering terjadi adalah asidosis metabolic pada
ibu karena gangguan pembuangan serum laktat yang terjadi
akibat kerusakan hapatosit (Woll & Record, 1979). Asidosis
metabolic pada ibu berefek langsung pada status asam basa
janin (Werner, Zoller, Baskin & Eichmann, 1988). Meskipun
begitu, koreksi cepat dari asidosis metabolic ibu menjadi
penting untuk perlindungan kesejahteraan janin. Terminasi
sesegera mungkin diperlukan pada kasus AFLP.

29
Tabel 1. Tanda dan gejala klinis AFLP (Nulty, 2011)
Tabel 2. Prevalensi gejala AFLP (Riely, Latham, Romero & Duffy,
1987)
F. TEMUAN LABORATORIUM

Gambaran laboratorium abnormal yang dapat


ditemukan pada AFLP adalah hyperbilirubinemia yang
meningkat hingga 3-40 mg/dL.

30
Dapat juga ditemukan pemanjangan prothrombine time,
peningkatan enzim liver (biasanya 300-500 U/L), DIC (75%
pasien), leukositosis (biasanya lebih dari 15.000), hipoglikemia
berat (sekunder akibat gagalnya proses glikogenolisis di hati),
peningkatan total bilirubin dan creatinin. Alkaline phosphatase
(ALP) mungkin meningkat hingga 10x nilai normal; ALP
normalnya memang meningkat sedikit pada trimester ketiga
(Tucker, Calhoun, Thorneycroft, Edwards, 1993 ; Woll &
Record, 1979 ; Warner, Zoller, Baskin & Eichmann, 1988 ;
Riely, Latham, Romero & Duffy, 1987).

Tabel 3. Gambaran laboratorium abnormal AFLP (Nulty, 2011)


G. DIAGNOSIS

Tanda dan gejala AFLP yang tidak spesifik


menimbulkan kesulitan dalam pengenalan dan diagnosis awal
karena menyerupai penyakit hepatitis virus akut, preeklampsia,
HELLP sindrom dan intrahepatic cholestasis. AFLP yang
ditegakkan sebelum melahirkan terjadi hanya pada 36% kasus.
Sekitar 50% pasien dengan AFLP memiliki tanda yang
menyerupai preeklampsia dengan atau tanpa HELLP sindrom
(Ko & Yoshida, 2006).

31
Diagnosis AFLP harus dipertimbangkan bila ditemukan
adanya gangguan fungsi liver pada wanita selama masa akhir
kehamilan. Castro dkk telah melaporkan sebanyak 28 kasus
AFLP selama 15 tahun. Digambarkan adanya masa prodromal
selama 1 hingga 21 hari (rata-rata 9 hari) dengan gejala mual
muntah (71%), malaise (64%), nyeri abdomen (50%), demam
(32%), kuning/jaundice atau warna urin gelap (29%), nyeri
kepala (21%), gatal (11%) dan nyeri tenggorokan (11%).
Hepatic encephalopathy merupakan gejala yang ditemukan
pada periode akhir penyakit dan sering merupakan pertanda
yang buruk pada AFLP.

Kriteria diagnosis AFLP yang disetujui secara universal


sampai saat ini masih belum ada, namun hasil penelitian UK
Obstetric Surveillance System (UKOSS) merekomendasikan
penggunaan Kriteria Swansea dalam diagnosis AFLP.

Tabel 4. Kriteri Swansea


Diagnosis AFLP ditegakkan jika didapatkan 6 atau
lebih gejala diatas dengan tanpa ditemukannya penyebab lain

32
H. DIAGNOSA BANDING

Sekitar 50% pasien dengan AFLP memiliki tanda yang


menyerupai preeklampsia dengan atau tanpa HELLP sindroma.
Temuan yang sama dapat berupa hemolysis, peningkatan enzim
liver, trombositopenia, proteinuria, hipertensi. Jaundice/kuning
merupakan tanda khas AFLP yang terjadi saat bilirubin pasien
naik hingga >2 mg/dL, jaundice ini menjadi pembeda AFLP
dengan preeklampsia. Tanda khas lain yaitu peningkatan PT
yang tidak didapatkan pada preeklampsia/HELLP kecuali
terjadi DIC/solusio plasenta. Tanda pembeda yang lain yaitu
hipoglikemia. Onset terjadinya AFLP juga lebih akut dibanding
preeklampsia yang dapat terjadi dalam beberapa hari hingga
minggu (Nulty, 2011 ; Gaffarnejad, 2007 ; Kho & Yoshida,
2006).

Diagnosis banding yang lain adalah hepatitis virus


dengan gejala mirip yaitu malaise, mual, muntah dan rasa nyeri
perut kanan atas. Hepatitis virus akut akan meningkatkan
transaminase melebihi AFLP, biasanya >1000 U/L. hepatitis
juga tidak menyebabkan hipertensi dan proteinuria. Tes
serologi hepatitis akan ditemukan positif dengan tidak disertai
peningkatan asam urat (Nulty, 2011).

Intrahepatic cholestasis juga menyebabkan jaundice,


meskipun begitu penyakit ini menyebabkan pruritus berat dan
peningkatan ALP. Intrahepatic cholestasis juga tidak berkaitan
dengan keluhan nyeri perut, mual, muntah, kegagalan fungsi
hepar dan DIC (Ko & Yoshida, 2006).
33
Tabel 5. Karakteristik penyakit yang mempengaruhi hepar.
I. MANAJEMEN

Diagnosis yang cepat, Stabilisasi/tatalaksana suportif


yang intensif dan melahirkan bayi secepat mungkin merupakan
kunci penanganan AFLP (Ko & Yoshida, 2006). Wanita yang
telah diduga mengalami AFLP seharusnya mendapat perawatan
di ruang intensif untuk mendapatkan penatalaksaan suportif
yang komprehensif, sekaligus persiapan persalinan. Persalinan
yang dipercepat akan memperbaiki outcome pasien. Perbaikan

34
klinis dan laboratorium akan segera tampak pada hari kedua
setelah persalinan (Porter, 2010).

Terapi suportif pada pasien AFLP adalah monitoring


perubahan progresif dari fungsi liver, hipoglikemia dan
koagulopati. Pencegahan dari perburukan hipoglikemia dapat
dicapai dengan pemberian 2.000-2.500 kalori per hari.
Sebagian besar pasien memerlukan cairan yang mengandung
lebih dari 5% dekstrose, kadang-kadang sampai 25% yang
diberikan melalui intravena atau NGT (Porter, 2010).

Saat kondisi pasien memburuk, terjadi MOF atau ada


ancaman untuk meninggal, sebaiknya pasien dirawat di ICU.
Ibu disyaratkan harus stabil sebelum dilakukan terminasi
kehamilan (Ko & Yoshida, 2006).

Langkah selanjutnya setelah pasien stabil adalah


melakukan terminasi kehamilan. Terminasi kehamilan terbaik
adalah secara pervaginam. Operasi SC lebih sering dipilih
karena terjadinya cepatnya penurunan kondisi pasien dan janin
dengan AFLP. Pada masa post partum, monitoring
hemodinamik penting dilakukan karena pasien AFLP rentan
terjadi perdarahan karena efek koagulopati. Transfusi cairan
dan produk darah mungkin diperlukan. Selain resiko
perdarahan, resiko terjadinya hipoglikemia juga perlu
diperhatikan, pemberian glukosa infus mungkin diperlukan.
Komplikasi potensial yang mungkin terjadi adalah pankreatitis
yang terjadi setelah kegagalan renal dan hepar. Disarankan
untuk melakukan cek lab serial serum lipase dan amylase
beberapa hari setelah persalinan (Ko & Yoshida, 2006).
35
Tabel 5. Penatalaksanaan suportif pasien dengan AFLP (Nulty,
2011)
Untuk menurunkan produksi buangan nitrogenous,
dapat dilakukan penghentian intake protein pada fase akut
AFLP. Bila sudah terjadi perbaikan klinis, protein dapat
diberikan bertahap. Beberapa pengecualian untuk obat yang di
metabolism di hati sebaiknya tidak diberikan.

Transfusi, hemodialisa, pemberian plasmapheresis dan


kortikosteroid dapat digunakan untuk mengobati gagal hati
fulminant dan sebaiknya dipikirkan untuk pasien yang tidak
respon dengan manajemen tradisional. Transplantasi hati dapat
dipertimbangkan untuk kasus yang sangat berat.

Gangguan koagulasi ringan tidak memerlukan koreksi


bila persalinan dapat dilakukan dengan minimal trauma dan
tidak

36
menimbulakan banyak perdarahan. Jika persalinan diduga akan
menimbulkan banyak perdarahan atau pasien direncanakan
operasi, gangguan koagulopati sebaiknya dikoreksi dengan
pemberian platelet, FFP atau cryopresipitat. Keberhasilan
penggunaan antithrombin dan faktor VII juga telah dilaporkan
dalam beberapa penelitian.

Penggunaan antibiotiK spektrum luas akan menurunkan


infeksi. Pemberian profilaksis antasida dan H2 blocking agent
dapat menurunkan resiko terjadinya perdarahan gastrointestinal
(Porter, 2010).

Kasus berat AFLP harus dirawat diruangan intensif


dengan pengawasan dari tim multidisiplin. Kegagalan
multisystem (multiple organ failure/MOF) seringkali
membutuhkan bantuan ventilasi dan dialysis. Monitoring
koagulasi secara ketat dengan koreksi yang agresif pada
keadaan koagulopati dengan pemberian faktor koagulasi yang
sesuai. Sejumlah besar volume glukosa 50% dapat diberikan
untuk koreksi hipoglikemia. Seperti pada preeklampsia, balans
cairan dilakukan hati-hati terutama pada kondisi gangguan
fungsi ginjal dan udem paru (Porter, 2010).

Poin penting tatalaksana AFLP adalah koreksi


perburukan koagulasi, monitoring balans cairan, atasi
hipoglikemia dan proses persalinan sesegera mungkin (Cowie,
2010).

J. ANALGESIA
Paracetamol umumnya aman pada gangguan hepar
apabila dipakai dalam dosis normal. NSAID merupakan
kontraindikasi karna dapat mengganggu fungsi platelet dan
dapat memicu gangguan ginjal (Porter, 2010).

K. OUTC
OME
Outcom
e
matern
al
Jika persalinan dapat sesegera mungkin dilakukan maka
mortalitas ibu dan bayi akan sangat menurun. Komplikasi yang
dapat dialami ibu

37
diantaranya DIC, hipoglikemia berat, encephalopati hepatic,
pankreatitis, gagal ginjal akut dan ruptur hepar (Froelich &
Reid, 2009).

Angka kematian ibu dan janin dengan AFLP dulunya


setinggi 75-85%, namun dengan semakin membaiknya
diagnosis awal dan tatalaksana yang cepat angka ini turun
menjadi 18-23% (Porter, 2010). Kematian pasien dengan AFLP
biasanya terjadi karena sepsis, gagal ginjal, gangguan sirkulasi,
pankreatitis atau perdarahan gastrointestinal (Ranjan

& Smith, 1997). Pada pasien yang selamat, fungsi hepar


mungkin masih akan ditemukan menurun atau menetap hingga
1 minggu post partum kemudian berangsur-angsur membaik.

Perbaikan pada pasien AFLP dimulai dari fungsi hepar,


koagulasi dan ammonia, kemudian diikuti dengan perbaikan
kratinin sepanjang tidak terjadi kerusakan ginjal. Perbaikan
total biasanya terjadi beberapa minggu setelah janin dilahirkan
dan tidak terdapat sekuele (Rolfes & Ishak, 1985).

Wanita dengan riwayat AFLP mempunyai kemungkinan


sebesar 25% untuk terjadinya kembali AFLP pada kehamilan
selanjutnya. Pasien harus diedukasi mengenai kemungkinan
pada kehamilan selanjutnya dan jika pasien memutuskan untuk
hamil kembali, kehamilannya harus dimonitor sejak dini untuk
mengenali tanda dan gejala AFLP (Tein, 2000 ; Knox & Olans,
1996 ; Reyes et al, 1994 ; Maclean, Cameron, Cumming,
Murphy, Mills & Hilan, 1994 ; Zhurcher, 1995 ; Back & Riely,
1993)
Meski data kasus AFLP telah terkumpul cukup banyak,
patofisiologinya masih tetap belum jelas. Saat ini tatalaksana
dengan manajemen suportif dan terminasi sesegera mungkin
masih menjadi pilihan terbaik.

Outcome janin

Pada masa lalu, angka kematian janin dengan ibu AFLP


sangat tinggi yaitu 85%, namun saat ini dengan semakin
seringnya AFLP terdeteksi sejak dini dan terapi yang tepat,
angka mortalitasnya turun menjadi 23%. Meskipun angka
kematian janin menurun, namun pada kasus AFLP sering
ditemukan fetal distress pada ibu dengan kondisi yang

38
stabil. Penyabab terjadinya fetal distress pada ibu dengan AFLP
yang secara klinis stabil belum diketahui. Keadaan yang
mungkin adalah terjadinya insufisiensi uteroplasenta (Froelich,
Reid, 2009). Dibutuhkan monitoring janin ketat dan resusitasi
yang baik pada kasus AFLP (Fesenmeier, Coppage, Lambers,
Barton & Sibai, 2005).

AFLP merupakan penyakit yang jarang terjadi,


mengancam nyawa dan sering terjadi pada trimester ketiga dan
awal post partum. Diagnosis awal AFLP sering sulit ditegakkan
karena tanda dan gejalanya sering menyerupai penyakit lain
seperti preeklampsia, hepatitis virus dan kolestasis. Meskipun
begitu, dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
lab yang hati-hati dan tepat, diagnosis AFLP dapat ditegakkan.
Stabilisasi ibu diikuti dengan persalinan segera merupakan
terapi utama dari AFLP.

II. AKUT LIVER


FAILURE A.
DEFINISI

Acute Liver Failure adalah suatu kelainan yang ditandai


dengan kegagalan hepatoseluler, gangguan koagulopati
(International Normalized Ratio (INR) ≥1.5) dan ensefalopati hati
tanpa adanya riwayat penyakit hati sebelumnya. Menurut Lee et al
(2012), ALF adalah sindrom klinis yang mengancam jiwa akibat
nekrosis hepatoseluler tanpa adanya penyakit hati sebelumnya,
dan terjadi dalam 26 minggu dari cedera awal (Altinbas,
Beechmann, Akkiz, Gerken & Canbay, 2015 ; Lee, 2012).
B. EPIDEMIOLOGI

Acute Liver Failure merupakan kasus yang jarang. Insiden


dan prevalensi ALF sulit untuk diketahui karena kurangnya
pendataan sebelumnya yang komprehensif atau program
surveilans berbasis populasi. Dilaporkan kejadian ALF 2300-2800
kasus setiap tahun di Amerika Serikat

39
dan 400 kasus per tahun di Inggris. ALF diperkirakan
penyumbang 0,1% dari semua kematian di Amerika Serikat dan
6% dari kematian yang berhubungan dengan penyakit hati. Mori
et al (2005) melaporkan bahwa berdasarkan surveilans
epidemiologi nasional, kejadian tahunan ALF di Jepang terus
menurun setiap tahunnya, diperkirakan 3700 kasus pada tahun
1972, 1050 kasus pada tahun 1995, dan 429 kasus pada tahun
2004 (Bernal & Auzinger, 2010 ; Mori et al, 2005).

Acute Liver Failure sering terjadi pada orang dewasa


muda, sekitar dekade keempat kehidupan. Dalam penelitian
Fabrega et al (2013) menemukan bahwa rata-rata mengenai usia
45 tahun dengan perempuan: laki-laki=1,8:1 Hingga saat ini, tidak
pasti mengapa wanita lebih sensitif terhadap ALF (Altinbas,
Bechmann, Akkiz, Gerken & Canbay, 2015).

C. KLASIFIKASI

Sejumlah sistem klasifikasi telah dikembangkan untuk


ALF. Beberapa peneliti telah mengembangkan sistem untuk
mengklasifikasikan ALF: Sistem, O’Grady, Bernauau dan Sistem
Jepang yang dikembangkan oleh Mochida (Gambar 1) (O’Grady,
Schaim & William, 1993 ; Bernuau, Rueff & Benhamou, 1986 ;
Mochida, Nakayama, Matsui, Nagoshi & Fujiwara, 1996).

Terminologi yang dikembangkan oleh O'Grady et al pada


tahun 1993 masih digunakan untuk deskripsi ALF pada orang
dewasa. Klasifikasi ini menilai pentingnya ensefalopati pasca
cedera hati untuk prognostik dengan membagi munculannya
menjadi tiga kelompok: "hiper-akut," "akut," dan "sub-akut".
Klasifikasi ini digunakan dengan menentukan kejadian
ensefalopati setelah ikterik, masing-masing dalam waktu 7 hari, 8-
28 hari, dan lebih dari 28 hari. (Tabel 6) (O’Grady, Schaim &
Williams, 1993).

40
Tabel 6. Klasifikasi, Gejala Klinis dan Prognosis ALF menurut
sistem

O’Grady (O’Grady, Schaim & Williams, 1993)

Hiper-akut Akut Sub-akut


Interval ikterik ke 0-7 hari 8-28 hari >28 hari
encefalopati
Keparahan +++ ++ +
koagulopati
Keparahan ikterik + ++ +++
Derajat hipertensi ++ ++ +/-
intracranial
Tingkat Baik Sedang Buruk
kelangsungan hidup
tanpa transplantasi
hati
Penyebab Acetaminophen, Hepatitis B Non-
hepatitis A dan E acetaminophen
DILI

Klasifikasi Bernuau et al membagi gangguan menjadi gagal hati

fulminan dan subfulminant (waktu dari ikterik untuk menjadi


ensefalopati kurang atau lebih dari 2 minggu) (Bernuau, Rueff,
Benhamou, 1986).
Gambar 1. Klasifikasi Acute Liver Failure

41
D. PENYEBAB

Acute liver failure lebih jarang terjadi di negara maju


daripada di negara berkembang, dimana infeksi virus (hepatitis A,
B, dan E) adalah penyebab dominan. Kepedulian masyarakat akan
kesehatan (misalnya, vaksinasi dan sanitasi) merupakan salah satu
faktor yang mengakibatkan berkurangnya kejadian infeksi ini di
Amerika Serikat dan sebagian besar di Eropa Barat. Kerusakan
hati yang diinduksi obat adalah penyebab paling umum dari ALF
di daerah ini (Mochida, Nakayama, Matsui, Nagoshi & Fujiwara,
2008).

Etiologi ALF bervariasi di berbagai negara. Dalam sebuah


penelitian di Spanyol dari 267 pasien, Escorsell et al (2007)
membuktikan adanya perubahan signifikan pada penyebab ALF
dari waktu ke waktu. Antara 1992 dan 1995, infeksi virus adalah
penyebab dominan dari ALF (61/145 kasus, 42%). Namun, antara
tahun 1995 dan 2000, etiologi virus menurun menjadi 30%
(37/122 kasus). Dalam periode waktu yang sama, ALF terkait obat
meningkat (27% vs 13% sebelum 1995). Faria et (2006)
melaporkan penyebab utama ALF, sebelum tahun 1996 hepatitis
virus akut menjadi penyebab terbanyak (42%), obat sebesar 25%,
etiologi lainnya 11% dan penyebab yang tidak diketahui sebesar
22%. Setelah tahun 1996, HBV menurun secara signifikan (15%,
p <0,0001), sedangkan overdosis parasetamol meningkat secara
signifikan (15%) (Ercorsell, Mas & de la Mata, 2007 ; Faria et al,
2006).

Amerika Serikat mengalami evolusi yang sama.


Dilaporkan antara tahun 1987 dan 1991 pada 459 pasien, kira-kira
sepertiga kasus terkait HBV hepatitis (22,9%), sepertiga hepatitis
lain (22,9%), diikuti oleh terkait obat (parasetamol: 4,6%, obat
lain: 10,7%). Namun pada tahun 2002, Ostapowicz G et al
melaporkan dari 308 pasien dengan ALF, parasetamol adalah
penyebab paling umum (39%), diikuti oleh penyebab tak jelas
(17%), reaksi obat idiosinkratik (13%), infeksi HBV dan HAV
(7%) , dan penyebab lainnya (24%) (Ostapowicz et al, 2002).

42
Gambar 2. Etiologi ALF di Dunia42
 Virus

Secara global, hepatitis A dan E bertanggung jawab


pada sebagian besar kasus ALF, dengan tingkat kematian
lebih dari 50% dilaporkan di negara berkembang. Hepatitis
merupakan penyebab paling umum dari ALF di India,
Pakistan, Cina, dan Asia Tenggara. Sebaliknya, infeksi virus
akut merupakan penyebab yang jarang di Amerika Serikat dan
sebagian besar Eropa Barat (Bernal & Wendon, 2013).

Hepatitis A ditularkan melalui rute fekal-oral, melalui


konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi. Tingginya
insiden infeksi berhubungan erat dengan kebersihan dan
sanitasi yang buruk. Frekuensi infeksi virus telah menurun
secara mencolok di banyak negara maju, setelah penggunaan
vaksinasi hepatitis yang efektif (Bernal & Wendon, 2013).
43
Sekitar 1·5 juta kasus hepatitis A akut terjadi di
seluruh dunia setiap tahun, kurang dari 1% dari pasien akan
berkembang menjadi gagal hati. Rezende et al (2003)
melaporkan pada ALF akibat hepatitis A akut dipengaruhi
oleh viral load, usia, jenis kelamin dan toksisitas obat
terutama parasetamol merupakan faktor yang berkontribusi
(Rezende et al, 2003).

Pada saat terjadi infeksi hepatitis A, sebagian besar


pasien hanya menunjukkan gejala yang ringan atau tidak
terdapat gejala. Namun hanya beberapa yang berkembang
menjadi penyakit serius yang mengancam jiwa. Bahkan
sangat jarang infeksi hepatitis A dapat menjadi ALF. Di
negara berkembang, hepatitis A masih menjadi salah satu
penyebab ALF. Alasan untuk berbagai tingkat keparahan
infeksi tidak dipahami tetapi telah dianggap berhubungan
dengan faktor virulensi virus, meskipun hal ini masih
kontroversial; dengan usia pasien, dengan orang yang lebih
tua mengembangkan penyakit yang lebih berat; atau dengan
koinfeksi dengan virus hepatitis lainnya. Faktor genetik
merupakan predisposisi untuk kerentanan keparahan infeksi.
Kim et al (2011) membuktikan kerentanan terjadinya ALF
pada hepatitis A diatur oleh polimorfisme pada gen yang
mengkode reseptor untuk HAV, HAVCR1, juga dikenal
sebagai TIM 1 (Kim et al, 2011).

Mirip dengan hepatitis A, hepatitis E virus ditularkan


melalui rute fekal-oral dan endemik di seluruh negara-negara
tropis dan subtropis, dengan epidemi periodik yang sebagian
besar disebabkan oleh pasokan air yang terkontaminasi.
Hepatitis E biasanya menghasilkan ALF pola hiperakut
(Bernal, Auzinger, Dhawan & Wendon, 2010).

Hepatitis B ditularkan secara vertikal maupun


horizontal oleh paparan darah atau cairan tubuh dari orang
yang terinfeksi. Penyakit ini menyebabkan hampir 30% dari
ALF di Eropa, dan merupakan penyebab utama di Asia, sub-
Sahara Afrika, dan cekungan Amazon. Kurang dari 4% dari
kasus hepatitis B akut akan berkembang menjadi ALF, tetapi
kematian lebih tinggi dari infeksi hepatitis A atau E. ALF
yang terkait

44
dengan hepatitis B dapat menyebabkan tidak hanya dari
infeksi akut baru tetapi juga infeksi kronis ketika perubahan
status virus. ALF akibat hepatitis B memiliki masa inkubasi
lebih lama dan prodromal dibandingkan hepatitis A atau E,
dan biasanya memiliki pola akut daripada hiperakut (Bernal,
Auzinger, Dhawan & Wendon, 2010).

Schiodt FV et al (2003) membuktikan tingkat


kelangsungan hidup tanpa transplantasi secara signifikan lebih
tinggi untuk pasien hepatitis A (69%) dibandingkan dengan
pasien hepatitis B (19%, p = 0,007), sedangkan kejadian
transplantasi hati lebih sering pada pasien hepatitis B (62%)
dari pada pasien hepatitis A (19%, p = 0,017). Meskipun
hepatitis A adalah penyebab paling umum dari hepatitis virus
akut, perkembangan menjadi ALF merupakan kasus yang
jarang. Begitu juga dengan hepatitis C, hanya dilaporkan
menjadi penyebab ALF pada beberapa kasus (Wan, Yin &
Yao, 2013).

Penyebab ALF akibat virus juga dapat disebabkan


oleh virus herpes simpleks 1 dan 2, virus varicella zoster,
virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, dan Parvovirus B19.
Menurut Levitsky J (2008) pasien imunosupresi atau wanita
hamil (biasanya pada trimester ketiga) lebih berisiko, namun
kejadian virus herpes pada ALF telah dilaporkan pada orang
sehat (Wan, Yin & Yao, 2013).

 Drug-Induced Liver Injury (DILI)

Drug-Induced Liver Injury menjadi penyebab sekitar


50% ALF di Amerika Serikat. Ostapowicz et al (2002) meneliti
di 17 pusat di Amerika Serikat dari 308 kasus ditemukan 160
(52%) adalah karena obat, dimana acetaminophen (APAP)
menyumbang 75% dari obat menginduksi kerusakan hati.
(Ostapowicz et al, 2002).

Dosis terapeutik acetaminophen (APAP) adalah 325-


1000 mg/dosis setiap 4-6 jam, dengan dosis maksimal 4 gr/hari.
Namun belakangan ini US Food and Drug Administration
(FDA) menurunkan dosis maksimal 4 g/hari menjadi 3,25
g/hari. Dosis tunggal acetaminophen

45
penyebab ALF adalah lebih atau sama dengan 7,5-10 g/hari.
Overdosis berulang ≥10 g/hari atau ≥6 g dalam 24-48 jam
dapat dikaitkan dengan hepatotoksisitas berikutnya dan pasien
harus menjalani evaluasi di fasilitas perawatan kesehatan. Batas
bawah 4-10g untuk evaluasi dapat dipertimbangkan dalam
populasi berisiko tinggi. Pada suatu laporan kasus Kurtovics et
al (2003) menemukan terjadinya ALF pada pemberian dosis
4g/hari pada pasien malnutrisi. Meskipun kebanyakan studi
telah melaporkan keamanan penggunaan jangka pendek dan
jangka panjang dari acetaminophen pada dosis maksimum yang
dianjurkan 4 g, studi Watkins et al (2006) pada 145
sukarelawan sehat melaporkan bahwa asupan harian
acetaminophen 4 g selama 14 hari dikaitkan dengan
peningkatan asimtomatik SGPT (ALT) (> 3 kali batas atas
normal) hingga 40% dari subyek (Wang, Yin & Yao, 2013).

Cedera hepatoselular tergantung pada dosis yang


diberikan, dimana Acetaminophen-induced hepatotoxicity
memiliki karakteristik bentuk hiperakut dari ALF. Kegagalan
multiorgan sering progresif, dengan keparahan yang lebih besar
daripada yang terlihat pada ALF karena penyebab lain (Bernal
& Wendon, 2013).

Kurang dari 10% dari DILI berkembang menjadi ALF,


diperkirakan hanya satu sampai dua kasus per juta orang per
tahun. Obat yang bertanggung jawab untuk setiap lokasi
berbeda. Pola ALF serupa juga dapat dilihat pada kerusakan
hati yang diinduksi obat yang disebabkan oleh narkoba seperti
MDMA (3,4-methylenedioxy-N-methylamphetamine, juga
dikenal sebagai ekstasi) atau kokain. Lange-Brock N (2002)
melaporkan kejadian ALF pada pemakai rutin MDMA, namun
tidak jelas dosis MDMA penyebab AL (Wang, Yin & Yao,
2013).

 Keganasan

Penyebab ALF yang jarang dilaporkan adalah infiltrasi


ganas dari hati yang disebabkan oleh salah satu tumor organ
padat atau keganasan hematologi. Hati adalah lokasi yang
paling umum untuk penyebaran

46
hematogen dari tumor padat. Kegagalan fungsi hati yang berat
secara klinis dengan koagulopati dan ensefalopati akibat
keterlibatan tumor metastatik dapat ditemukan (Wang, Yin &
Yao, 2013).

Etiologi yang paling umum dari infiltrasi ganas ke hati


banyak berasal dari limfoma dan kanker payudara. Rich N et al
(2015) melaporkan ALF akibat keganasan yang paling umum
adalah limfoma atau leukemia (33%), kanker payudara, (30%),
dan kanker usus besar (7%). Diagnosis dikonfirmasi dengan
biopsi pada 15 kasus (55%) dan otopsi pada 6 kasus. Dua puluh
empat pasien (89%) meninggal dalam waktu 3 minggu akibat
ALF (Ostapowicz et al, 2002).

 Penyebab lain

Cedera hepatoseluler iskemik akut, atau hepatitis


hipoksia, dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung
primer, peredaran darah, atau gagal napas. Hal ini mungkin
disebabkan oleh sepsis berat disertai dengan tanda-tanda gagal
jantung dan peningkatan sementara kadar aminotransferase
darah. Prognosis tergantung pada penyebab hipoksia hati dan
tingkat keparahan cedera hati (Bernal, Auzinger, Dhawan &
Wendon, 2010).

Stine et al (2015) melaporkan pasien dengan obstruksi


vena hati, dengan sindrom Budd-Chiari, dapat mengalami ALF.
Sindrom Budd-Chiari disebabkan oleh terhalangnya saluran
aliran vena hepatik akibat obstruksi vena hepatika, vena kava
inferior, atau keduanya dan berhubungan dengan keadaan
hiperkoagulasi (Wang, Yin & Yao, 2013).
Gangguan metabolisme yang diturunkan walaupun
jarang namun merupakan penyebab penting dari ALF yaitu
acute fatty liver in pregnancy, intoleransi fruktosa,
galaktosemia, defisiensi acyltransferase lesitin-kolesterol,
sindrom Reye, tyrosinemia, dan penyakit Wilson. Penyebab
lain dari ALF termasuk racun (misalnya, Amanita phalloides
dan racun Bacillus cereus), sindrom HELLP pada kehamilan
(hemolisis, peningkatan enzim hati, dan jumlah trombosit yang
rendah), dan heat

47
stroke. Kasus ini sering mengikuti pola sub-akut, dan tingkat
kelangsungan hidup buruk tanpa transplantasi (Bernal,
Auzinger, Dhawan

& Wendon, 2010).

E. PATOFISIOLOGI

Acute liver failure disebabkan oleh cedera langsung pada


hepatosit berupa nekrosis, dan respon terhadap kekebalan bawaan
yang dimediasi melalui aktivasi monosit, makrofag, sel dendrit,
leukosit, sel natural killer (NK), dan sel natural killer T (NKT).
Sel-sel ini mengekspresikan reseptor yang mampu mengenali
Pathogen-Associated Molecular Patterns (PAMPs) pada hepatitis
virus dan Damage-Associated Molecular Patterns (DAMPs) pada
sel hati yang dikenai, sehingga mengarah ke aktivasi jalur
transduksi sinyal yang menentukan pola sitokin. Awalnya terjadi
secara lokal dalam hati, akhirnya mengenai sirkulasi sistemik.
Namun, ALF tanpa bukti histologis nekrosis hepatoseluler juga
dapat dilihat, sebagai contoh pada acute fatty liver in pregnancy
dan sindrom Reye. Laporan menyatakan bahwa pada tingkat sel,
baik nekrosis hepatosit dan apoptosis dapat hidup berdampingan
dalam pengaturan ALF (Kim et al, 2011).

Ensefalopati hepatikum sering terjadi pada ALF. Ensefalopati


hepatikum dapat berupa edema serebral dan hipertensi
intrakranial. Mekanisme yang tepat tidak sepenuhnya dipahami,
tetapi terjadi perubahan dalam aliran darah serebral (Cerebral
Blood Flow/CBF) dan autoregulasi cerebral. Keberadaan
neurotoksin seperti amonia, inflamasi sistemik, dan hipo-
osmolalitas tampaknya memainkan peran utama. Peningkatan
CBF, bersamaan dengan hilangnya auto-regulasi, menyebabkan
terjadinya hipertensi intraserebral. Amonia adalah racun saraf
yang paling sering dipelajari dalam konteks ini, dengan tingkat
serum> 124 umol / L terbukti berhubungan dengan tingginya
insiden edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
(ICP), dan tingkat> 150 umol / L pada herniasi otak. Amonia
dihasilkan dari glutamin dalam usus yang kemudian
dimetabolisme terutama di hati menjadi urea, dan diekskresikan
dalam urin. Amonia yang mencapai otak diubah menjadi

48
glutamin oleh astrosit, yang dalam konsentrasi tinggi
menyebabkan edema sehingga terjadi stres oksidatif. Inflamasi
sistemik, terutama dengan adanya sepsis, juga menyebabkan stres
oksidatif, kerusakan endotel dengan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah otak, dan perubahan dalam aliran darah, yang
menyebabkan terjadinya edem cerebral dan hipertensi intrakranial
(Wang, Yin & Yao, 2013).

Acute Liver Failure yang diinduksi obat dapat terjadi pada


reaksi obat idiosinkratik atau pada kasus parasetamol
(acetaminophen/APAP), yang tergantung dosis. Parasetamol
terutama dimetabolisme di hati melalui glucuronidation dan
sulphation, dengan jumlah kecil dimetabolisme oleh sistem
sitokrom P450. N-asetil-p-benzoquinon imina beracun (NAPQI),
yang dihasilkan melalui jalur P450 selanjutnya terkonjugasi oleh
glutation. Dalam pengaturan overdosis parasetamol, glutation
dapat menurun, yang mengakibatkan cedera hepatosit langsung
melalui NAPQI. Induksi sistem P450 melalui penggunaan alkohol
kronis atau barbiturat dan penurunan glutathione dalam
pengaturan seperti pada kekurangan gizi dapat meningkatkan
risiko terjadinya acetaminophen-induced hepatotoxicity (Rezende
et al, 2003).
Gambar 3. Metabolisme Acetaminophen-induced hepatotoxicity

49
F. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis dari ALF tergantung pada tingkat


keparahan cedera hati dan penyebab kerusakan hati awal.
Gambaran klinis berkisar dari gejala tidak spesifik yang ringan,
(mual, muntah dan perut tidak nyaman), kebingungan, agitasi dan
koma. Penelitian Shakil A (2003) menunjukkan gejala ALF yang
muncul dominan adalah ikterik (49%), mual dan muntah (47%),
perubahan tingkat mental (42%), nyeri perut (34%), dan kelelahan

(31%). Gejala lain termasuk demam (21%), urin gelap (21%),


malaise (17%), anoreksia (16%), dan mialgia atau artralgia (10%)
(Rezende et al, 2003).

Diagnosis dapat dibuat ketika informasi yang mendukung


dari biokimia hati dan koagulasi tersedia. Setelah diagnosis
dikonfirmasi, penilaian skor ensefalopati sangat penting, yang
dapat dinilai dengan skala modified Parsons-Smith (Tabel 2.2).
Secara keseluruhan, angka kematian lebih tinggi pada pasien
dengan skor ensefalopati III dan IV, dimana edema serebral
merupakan faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kematian
yang lebih tinggi. Edema serebral diperkirakan terjadi hingga 80%
pasien ALF (Wang, Yin & Yao, 2013).

Tanda-tanda klinis dari peningkatan tekanan intrakranial


seperti hipertensi, bradikardi, peningkatan tonus otot dengan sikap
abnormal dan gangguan refleks cahaya pupil cenderung terjadi
akhir dan dengan demikian tidak memberikan petunjuk yang dapat
diandalkan untuk intervensi terapeutik dini. Demikian pula,
pencitraan radiografi tidak cukup sensitif untuk mendeteksi edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. Pemantauan
tekanan intrakranial langsung memberikan informasi real-time,
memungkinkan deteksi dini dari peningkatan tekanan intrakranial.
Pengukuran tekanan intracranial dapat dilakukan dengan
pengukuran tekanan jugularis bola mata, yang memungkinkan
untuk pemantauan lebih dekat dan intervensi yang tepat (Bernal &
Wendon, 2013).

50
Tabel 7. Skala Modified Parsons-Smith pada Ensefalopat
Hepatkum (Bernal & Wendon, 2013)
Grade Manifestasi Klinis Tanda Neurologi Skala Koma
Glasgow
0/ Normal Hanya tampak pada tes 15
sub neuropsykometri
klinik
1 Kewaspadaan kurang, Tremor, apraxia, 15
perhatian kurang incoordinasi
2 Letargi, disorientasi, Asterixis, ataxia, 11-15
Perubahan disartria
kepribadian
3 Somnolen hingga Asterixis, ataxia 8-11
semi-stupor
4 Koma ±Deserebrasi <8

Perubahan kardiovaskular dari ALF mirip dengan yang


diamati pada syok septik dan ditandai dengan hipotensi dan
resistensi vaskuler sistemik yang rendah dalam hubungan dengan
curah jantung yang tinggi. Gagal ginjal yang ditandai dengan
oliguri sering terjadi pada ALF. Betrosian at al (2007) melaporkan
insiden gagal ginjal pada ALF bervariasi dari 40% sampai 85%,
tergantung pada etiologi, dengan 75% kasus disebabkan oleh
overdosis parasetamol dan 30-50% akibat penyebab lain.
Kehadiran gagal ginjal dalam hubungan dengan ALF biasanya
merupakan indikator prognosis (Rezende et al, 2003).

Imunitas pasien terganggu pada ALF. Imunosupresi ini


terwujud dengan penurunan sintesis pelengkap dari gagal hati,
disfungsi sel Kupffer dan kelainan pada adhesi neutrofil dan
produksi superoksida. Gangguan ini menyebabkan gangguan
opsonisasi terhadap bakteri dan ragi, penurunan endotoksin dan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi keseluruhan. Infeksi
bakteri terbukti terjadi hingga 80% dari pasien ALF, dan sepsis
adalah penyebab utama kematian. Patogen penyebab termasuk
Staphylococcus aureus (70% dari gram positif sepsis) dan
Escherichia coli (penyebab paling umum dari gram negatif
sepsis). Infeksi jamur terjadi pada sekitar 30% pasien

51
dan hampir selalu disebabkan oleh Candida albicans. Perlu dicatat
bahwa demam dan leukositosis adalah penanda infeksi utama pada
ALF, namun gejala dan tanda ini tidak selalu hadir pada sepertiga
dari pasien yang terinfeksi (Wang, Yin & Yao, 2013).

G. DIAGNOSIS

Diagnosis ALF ditegakkan berdasarkan onset dari penyakit


hati dengan waktu protrombin/INR yang memanjang, yang
disertai dengan perubahan mental atau dikenal dengan
encefalopati hepatikum, awalnya, agitasi dan kebingungan, tetapi
berkembang menjadi koma. Kehadiran ensefalopati menunjukkan,
kondisi yang mengancam jiwa yang parah yang memerlukan
rawat inap segera (Wang, Yin & Yao, 2013).

Riwayat yang akurat mungkin sulit atau tidak mungkin


didapatkan dari pasien encefalopati, dan riwayat sirosis atau
adanya stigmata hati menunjukkan penyakit hati kronis. Ikterik
tidak tampak pada tahap awal. Evaluasi laboratorium awal harus
dinilai secara luas (Tabel 8) (Bernuau, Rueff & Benhamou, 1986).

Tabel 8. Evaluasi laboratorium pada ALF (Bernuau, Rueff &


Benhamou, 1986).

Darah lengkap Leukosit, hemoglobin, hematokrit dan


trombosit
Enzim hepar AST, ALT, alkaline fosfatase, total
bilirubin dan albumin
Kimia klinik serum Natrium, kalium, klorida, bikarbonat,
kalsium, magnesium, fosfat, glukosa,
blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin
Prothrombin time/INR
Analisa gas darah dan laktat
Kadar Acetaminofen
Skrining toksikologi
Marker hepatitis Anti-HAV IgM, HBsAg, anti-HBc IgM,
anti-HCV, anti-HEV (sesuai indikasi)
Marker autoimun ANA, antismooth muscle antibody, kadar
IgG
Tes kehamilan
Kadar ceruloplasmin Jika penyakit Wilson dicurigai

52
Kadar serum fosfat yang rendah dan peningkatan α-
fetoprotein dapat menunjukkan tanda-tanda regenerasi hati. Dalam
analisis retrospektif Baquerizo et al (2003) pada pasien ALF, 74%
pasien yang masih hidup pada minggu pertama memiliki kadar
fosfat <2,5, sedangkan pasien dengan kadar fosfat serum> 5 tidak
bertahan (Bernuau, Rueff & Benhamou, 1986).

Penelitian Sakaida et al (2005) menunjukkan sitokrom c


sebagai penanda untuk mendeteksi keberadaan ALF. Serum
sitokrom tingkat c pada pasien ALF secara signifikan lebih tinggi
daripada hepatitis akut tanpa ALF, hepatitis kronis, hepatitis
kronis dengan eksaserbasi akut, sirosis, atau kanker hati (Kim et
al, 2011).

Biopsi hati dapat diindikasikan jika ALF disebabkan oleh


penyakit metastatik, limfoma, atau proses infiltratif lainnya.
Biopsi perkutan tidak dilakukan pada gangguan koagulopati. Oleh
karena itu, biopsi hati dilakukan melalui transjugular. Hal ini
jarang dilakukan, namun biopsi hati akan membantu menjelaskan
diagnosis, walaupun temuan histologis umumnya tidak mengubah
pengobatan. Menurut Miraglia et al (2006) histologi hati dapat
memberikan informasi diagnostik yang penting pada pasien
dengan ALF. Biopsi hati membantu dalam membuat diagnosis
spesifik (misalnya, infeksi virus herpes, penyakit Wilson, AIH,
dan keganasan), yang dapat memandu terapi yang lebih spesifik
(Rezende et al, 2003).

H. PENATALAKSANAAN
Setiap pasien dengan ALF membutuhkan rencana
manajemen secara keseluruhan yang dimulai dengan identifikasi
etiologi, resusitasi, dan penilaian awal dari prognosis. Pasien harus
dirujuk ke pusat-pusat yang memiliki transplantasi hati (Mori,
Itanai & Washio, 2006).
 Pemantauan dan investigasi

Pasien ALF idealnya harus dirawat di unit intensif,


terutama saat terjadi ensefalopati hepatikum (≥Grade 3)
dimana pasien membutuhkan perlindungan jalan nafas,
kardiovaskular, paru, ginjal, atau dukungan

53
otak. Mempertahankan homeostasis metabolik melalui
kontrol tekanan darah, oksigenasi, gizi, kadar glukosa, dan
pemeliharaan elektrolit serum, sangat penting dilakukan
(Mori, Itanai & Washio, 2006).

Terdapat kontroversi dalam penggunaan pemantauan


tekanan intrakranial. Pemantauan sistem saraf pusat secara
invasif dan optimalisasi otak dianggap gagal dalam
meningkatkan kelangsungan hidup. Keays et al dikutip
dalam Privitera et al menunjukkan menurunnya kematian
otak pada pasien ensefalopati hepatikum kelas 4 yang
dikelola dengan pemantauan invasif dengan kelangsungan
hidup meningkat 6 kali lipat dari 10-60 jam (Lee, 2012).

Kateter vena sentral (CVP) harus dipertimbangkan


pada setiap pasien ALF dengan hipotensi, asidosis atau gagal
ginjal. Pasien dengan gagal ginjal dipasang kateter urin.
Analisa gas darah dan kadar laktat berguna dalam
menentukan prognosis. Kadar amonia arteri (> 150 umol/L)
dan / atau tekanan oksigen vena jugularis (<65 mmHg atau>
85 mmHg) dapat membantu untuk mengidentifikasi pasien
berisiko terjadinya hipertensi intrakranial. Hitung darah
lengkap, waktu pembekuan dan kimia klinik harus diperiksa
setidaknya setiap 12 jam dan glukosa darah dimonitor setiap
2 jam. Jika riwayat yang jelas untuk hepatotoksisitas
parasetamol kurang, skrining imunologi, mikrobiologi dan
toksikologi harus dilakukan (Bernau, Rueff & Benhamou,
1986).

Bernal et al (2004) menunjukkan 25-50% pasien


ALF dengan ensefalopati kelas 3-4, mengalami hipertensi
intrakranial akut karena edema otak terutama pasien dengan
hiperakut dan akut yang berusia <35 tahun. Jika skor
ensefalopati memburuk sampai kelas 3/4, intubasi trakea
elektif dan ventilasi buatan dengan pasien dirawat pada
posisi head-up 20º. Perkembangan ketidakstabilan
hemodinamik dan kegagalan organ multipel dapat terjadi
dengan cepat, dan tekanan arteri harus dipantau invasif pada
pasien ini (Bernal & Wendon, 2013).

Pemantauan tekanan intrakranial harus juga


dipertimbangkan jika fasilitas dan tenaga ahli tersedia.
Sebuah studi multicenter Vaquero

54
et al (2005) menunjukkan bahwa monitor tekanan
intrakranial hanya digunakan pada 28% pasien dengan ALF
dan ensefalopati berat; Sepuluh persen memiliki perdarahan
intrakranial, dan dapat mengakibatkan kematian (Bernal &
Wendon, 2013).
 Kardiovaskular dan Manajemen Cairan

Kegagalan sirkulasi adalah keadaan umum pada


penyakit yang berat dan ditandai dengan vasodilatasi
sistemik, vasoplegia dan hipotensi (meskipun curah jantung
meningkat), dan disfungsi miokard subklinis. Terapi cairan
agresif untuk mempertahankan volume sirkulasi dan perfusi
jaringan dicapai dengan infus yang cepat dari kristaloid atau
koloid. Ada kecenderungan untuk menghindari natrium yang
berlebihan pada pasien dengan penyakit hati kronis, dan ini
sering digunakan dalam perawatan pasien dengan ALF.
Penggunaan berlebihan dari dekstrosa 5% pada resusitasi
tahap awal pada keadaan hiponatremia berat, dapat
menyebabkan ensefalopati atau kejang, dan terdapat bukti
bahwa edema serebral lebih menonjol pada pasien
hiponatrami (Kim et al, 2011).

 Manajemen pernapasan

Intubasi trakea dianjurkan pada pasien dengan


ensefalopati kelas 3/4. Hal ini biasanya tidak diindikasikan
untuk hipoksemia tetapi untuk mengontrol karbon dioksida
dan perlindungan jalan napas. Shunting intrapulmonary
jarang pada ALF dibandingkan dengan penyakit hati kronis.
Hiperventilasi umumnya tidak dianjurkan kecuali terjadi
hiperemia serebral; sebaliknya, tujuannya adalah untuk
mempertahankan normocapnia (Kim et al, 2011).
 Manajemen ginjal

Hingga 75% pada pasien dengan ALF mengalami


gagal ginjal akut. Penyebab gagal ginjal dalam pengaturan
ini adalah multifaktorial,

55
termasuk dehidrasi, nefrotoksisitas, hipotensi, sepsis, dan
sindrom hepatorenal. Manajemen termasuk menghindari
agen nefrotoksik, pengobatan infeksi, menjaga perfusi
ginjal, hingga dialisis. Sedangkan tujuan utama dari
dukungan ginjal adalah untuk mengontrol azotaemia,
mengobati kelainan elektrolit dan asidosis metabolik, dan
menjaga keseimbangan cairan, juga sangat efektif dalam
menghilangkan amonia. Leithead et al (2011) menunjukkan
53,5% pasien ALF mengalami gagal ginjal dan 64,9%
memerlukan terapi pengganti ginjal (Kim et al, 2011).

 Manajemen Central Nervous System (CNS)

Pada pasien ALF, kadar amonia darah yang tinggi


telah terbukti berhubungan dengan angka kematian dan
komplikasi. L-ornithine L-aspartat (LOLA) mengurangi
kadar amonia dengan meningkatkan pembuangan amonia di
hepar dan metabolisme perifer. Penelitian Acharya SK et al
(2009) membuktikan infus LOLA tidak menunjukkan
manfaat dalam ensefalopati pada ALF, dimana tidak dapat
menurunkan amonia atau meningkatkan kelangsungan hidup
pada pasien ALF (Mori, Itanai & Washio, 2006).
 Manajemen metabolik

Hipoglikemia adalah manifestasi umum di ALF, karena


penurunan homeostasis glukosa yang berat. Glukosa
diberikan untuk profilaksis atau pengobatan hipoglikemia
dan lipid sebagai pasokan energi. Pemantauan glukosa
diperlukan dan i.v. dextrose diperlukan untuk
mempertahankan normoglycemia (Mori, Itanai & Washio,
2006).
Kelainan metabolik lain seperti hipofosfatemia dan
hipomagnesemia harus diatasi. ALF ditandai dengan
disfungsi metabolik yang berat karena kehilangan fungsi sel
hati. Nutrisi parenteral diperlukan dalam kasus tersebut.
Penggunaan asam amino untuk mendukung sintesis protein
telah terbukti membantu.

56
 Terapi spesifik

Apabila diperlukan, obat penawar khusus harus


diberikan sesegera mungkin. Dalam kasus overdosis
parasetamol, N-asetil sistein harus dimulai pada awal pasien
masuk, terlepas dari hasil darah dan konsentrasi
parasetamol, sebagai pengobatan dini yang akan memiliki
dampak yang besar pada hasil berikutnya. Perbaikan tampak
ketika N-asetil sistein diberikan lebih dari 24 jam setelah
overdosis parasetamol. Setelah dosis loading N-asetil sistein
150 mg/kg, infus dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
yang dianjurkan 100 mg/kg sampai INR kurang dari 2,0.
Ada bukti yang berkembang bahwa pemberian N-asetil
sistein dapat secara klinis bermanfaat dalam non-
acetaminophen-induced ALF, meskipun mekanisme kerja
dari NAC dalam situasi ini tidak jelas (Bernal, Auzinger,
Dhawan & Wendon, 2010).

Kelumpuhan kekebalan tubuh, disfungsi neutrofil,


dan penekanan sumsum tulang terlihat pada ALF
mempengaruhi terjadinya infeksi bakteri sekunder dan
sepsis. Sepsis memperburuk encefalopati hepatikum, edema
serebral, keadaan jantung dan gagal ginjal menghalangi
transplantasi, yang memperburuk keadaan pasien. Terapi
antibiotik profilaksis, meskipun secara rutin digunakan,
belum menunjukkan manfaat kelangsungan hidup, tetapi
dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam tingkat
infeksi dan intensitas SIRS. Terapi antimikroba spektrum
luas yang dimulai pada semua pasien pada saat masuk dan
dimodifikasi secara berkala sesuai dengan organisme
diidentifikasi dan laporan sensitivitas (Ostapowicz et al,
2002)
Antimikroba profilaksis spektrum luas dengan
cakupan aktivitas gram positif dan gram negatif termasuk
anti-jamur (misalnya piperasilin dengan Tazobactam dan
fluconazole) harus diberikan pada awalnya, pada saat
dicurigai infeksi. Namun, manfaat ini harus seimbang
terhadap risiko berkembangnya patogen yang multi-resisten.
Menurut Karvellas (2014) membuktikan antimikroba
profilaksis tidak mengubah

57
tingkat infeksi atau meningkatkan kelangsungan hidup,
sehingga penelitian ini tidak mendukung penggunaan rutin
profilaksis antimikroba pada pasien ALF (O’Grady, Schaim
& Williams, 1993).

Terapi penurun amonia dengan laktulosa telah


menjadi andalan pengobatan untuk encefalopati hepatikum,
namun pemberian oral sering bermasalah pada perubahan
status mental. Als-Nielsen et al (2004) menunjukkan, dalam
tinjauan sistemik, bahwa laktulosa dan laktitol lebih efektif
daripada plasebo dalam mengobati encefalopati hepatikum.
Namun efek samping laktulosa yaitu potensi distensi kolon
harus dipertimbangkan, khususnya di kalangan pasien yang
sedang dipersiapkan untuk operasi transplantasi hati
(O’Grady, Schaim & Williams, 1993).

Pemberian Rifaximin (Xifaxan, Salix), antibiotik oral


yang telah digunakan baik dalam pengobatan dan
pencegahan encefalopati hepatikum pada penyakit hati
kronis, belum dievaluasi untuk kemanjurannya dalam ALF
sehingga tidak dapat direkomendasikan sebagai monoterapi
encefalopati hepatikum. Bass et al (2010) menemukan
pemberian rifaximin dalam kombinasi dengan laktulosa
pada kasus encefalopati hepatikum yang berat dengan dosis
400 mg 3 kali sehari, mengurangi risiko terjadinya
ensefalopati hepatik (Bernuau, Rueff, Benhamou, 1986).
 Transplantasi hati

Transplantasi hati adalah pengobatan definitif pada


pasien ALF yang memenuhi kriteria untuk transplantasi.
Pemilihan pasien didasarkan pada kriteria prognostik King’s
College Hospital, yang memiliki nilai prediktif positif untuk
kematian pada pasien di ICU tanpa transplantasi 0,98 dan
nilai prediksi negatif 0,82. Kriteria lain menggunakan
konsentrasi faktor V juga telah divalidasi. Kelangsungan
hidup pasien 1-tahun dan 5-tahun yang menjalani
transplantasi hati untuk ALF adalah sekitar 20% lebih
rendah dari kasus elektif untuk

58
pasien sirosis. Perbedaan ini mencerminkan tingkat
keparahan penyakit dan kurangnya pilihan dalam pemilihan
donor. Kontraindikasi mutlak untuk transplantasi hati
termasuk sepsis, hipotensi refrakter, acquired
immunodeficiency syndrome dan hipertensi intrakranial yang
tidak terkontrol dengan dugaan kerusakan saraf permanen.
Setelah pasien dipilih untuk menjalani transplantasi hati,
kesesuaian mereka untuk transplantasi harus ditinjau secara
berkala karena sifat progresif dari penyakit (Bernal,
Auzinger, Dhawan & Wendon, 2010).

Transplantasi hati auxiliary adalah pilihan alternatif di


mana transplantasi hati parsial dilakukan sambil menunggu
hati untuk regenerasi. Keuntungan utama dari prosedur ini
adalah potensi terjadinya imunosupresi di kemudian hari.
Namun prosedur ini tidak digunakan secara luas karena
fungsi awal yang buruk pada transplantasi parsial, kegagalan
regenerasi jangka panjang dan terjadinya imunosupresi pada
sebagian besar pasien (Bernal, Auzinger, Dhawan &
Wendon, 2010).

Belakangan ini, keberhasilan terkait transplantasi pada


ALF ditemui di beberapa negara, terutama pada anak-anak.
Menurut Jin et al, terdapat sistem penilaian sederhana
prognostik yang meliputi 5 variabel prediktif yaitu
persyaratan vasopressor, perkiraan laju filtrasi glomerulus,
konsentrasi natrium serum, usia penerima, dan usia donor,
pada saat transplantasi hati yang dapat membantu
memperkirakan kelangsungan hidup pasca-transplantasi
pada pasien ALF, terlepas dari jenis transplantasi (Bernal &
Wendon, 2013).
I. PROGNOSIS

Kriteria prognostik untuk ALF telah dikembangkan dengan


Kriteria King College yang paling banyak digunakan untuk
prediksi transplantasi hati pada ALF (Tabel 9). Sejumlah tes
laboratorium dan klinis telah digambarkan sebagai penanda
prognostik, termasuk faktor V, faktor VII, α-fetoprotein

59
(AFP), laktat, pH arteri, fosfat, amonia, natrium, jumlah
trombosit, bilirubin, aspartat aminotransferase (AST), SGPT
(ALT), Rasio International Normalized (INR), Model Tahap Akhir
Penyakit Liver (Meld) skor, dan volume hati (Altinbas,
Bechmann, Akkiz, Gerken & Canbay, 2015).

Tabel 9. Kriteria King’s College untuk Transplantasi Hat


Acetaminofen Non-acetaminofen
pH < 7,3 PT>100 detik (INR>6,5)

Atau 3 kriteria berikut: Atau 3 kriteria berikut:

1. Grade 3-4 encefalopati 1. Usia<10 atau >40 thn


2. PT>100 detik 2. Etiologi (non-A, non-B hepatitis,
(INR>6,5) halothane, idiosyncratic drug
3. Kreatinin serum>3,4 reaction, peny.Wilson)
mg/dl 3. Periode ikterik ke encephalopathy
> 7 hari
4. PT>50 detik (INR>3,5)
5. Bilirubin serum > 17,5 mg/dl

Acetaminophen, hepatitis A, iskemia dan kehamilan


setidaknya memiliki 60% tingkat kelangsungan hidup jangka
pendek tanpa transplantasi, sementara DILI, hepatitis B, hepatitis
autoimun dan penyebab lainnya sekitar 30% bertahan hidup
spontan (Wan, Yin & Yao, 2013)

Baru-baru ini, beberapa kriteria prognostik tambahan telah


diusulkan. Beberapa laporan telah mencatat bahwa faktor
makrofag dapat memainkan peran yang dominan dalam
menentukan beratnya penyakit pada pasien dengan ALF. Protein
CD163 terutama pada makrofag, dengan bentuk larut CD163
(SCD163) dibebaskan dari makrofag. Hiraoka et al membuktikan
bahwa menurunnya tingkat sCD163 memiliki prognosis yang baik
untuk ALF. Sedangkan, Ozawa et al membuktikan kombinasi dari
Feritin/Alanin aminotransferase rasio merupakan penanda untuk
memprediksi tingkat keparahan dan prognosis ALF (Wan, Yin &
Yao, 2013).

Penanda serum lain yang mungkin memiliki makna


prognostik adalah Gc-globulin, suatu actin scavenger yang
biasanya menurun pada pasien

60
dengan ALF. Pasien non-acetaminophen-induced ALF yang masih
bertahan tanpa transplantasi hati memiliki kadar Gc-globulin
tinggi dibanding populasi lain. Namun, tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kelompok pasien dengan acetaminophen-
induced ALF (Ostapowicz et al, 2002).

Dalam studi lain, peneliti mengamati kadar serum dari


osteopontin, sitokin multifungsi, pada pasien dengan ALF. Pasien
dengan ALF secara signifikan memiliki tingkat osteopontin lebih
tinggi yang signifikan daripada pasien hepatitis akut, dan mereka
dengan serum tingkat osteopontin memiliki prognosis yang lebih
buruk secara signifikan dibandingkan pasien dengan kadar
osteopontin serum tidak meningkat (Rezende et al, 2003).

III. ENSEF
ALOPATI
A.
DEFINISI

Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk


menjelaskan kelainan fungsi otak menyeluruh yang dapat akut
atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati adalah disfungsi
kortikal umum yang memiliki karakteristik perjalanan akut hingga
sub akut (jam hingga beberapa hari), secara nyata terdapat
fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, halusinasi dan
delusi yang sering dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor
(secara umum meingkat, akan tetapi dapat menurun). Penggunaan
istilah ensefalopati menggambarkan perubahan umum pada fungsi
otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa
agitasi hiperalert hingga koma (“Ensefalopati”, 2013).
Istilah ensefalopati biasanya diikuti oleh kata lain yang
menunjukkan penyebab dari kelainan otak tersebut.Beberapa jenis
ensefalopati berdasarkan penyebabnya: (“Ensefalopati”, 2013)

a. Ensefalopati hepatik, yaitu ensefalopati akibat kelainan fungsi


hati.

b. Ensefalopati uremik, yaitu ensefalopati akibat gangguan fungsi


ginjal.

61
c. Ensefalopati hipoksia, yaitu ensefalopati akibat kekurangan
oksigen pada otak.

d. Ensefalopati wernicke, yaitu ensefalopati akibat kekurangan zat


tiamin (vitamin B1), biasanya pada orang yang keracunan
alcohol.

e. Ensefalopati hipertensi, yaitu ensefalopati akibat penyakit


tekanan darah tinggi yang kronis.

f. Ensefalopati salmonela, yaitu ensefalopati yang diakibatkan


bakteri Salmonella penyebab sakit tipus.

B. ETIOLOGI

Penyebab ensefalopati keduanya banyak dan beragam.


Beberapa contoh penyebab ensefalopati meliputi (“Ensefalopati”,
2013) :

a) menular (bakteri, virus, parasit, atau prion).

b) anoxic (kekurangan oksigen ke otak, termasuk penyebab


traumatis),

c) beralkohol (toksisitas alkohol).

d) hepatik (misalnya, gagal hati atau kanker hati).

e) uremik (ginjal atau gagal ginjal).


f) Penyakit metabolik (hiper atau hipokalsemia, hipo- atau
hipernatremia, atau hipo- atau hiperglikemia).

g) tumor otak.

h) banyak jenis bahan kimia beracun (merkuri, timbal, atau


amonia).

i) perubahan tekanan dalam otak (sering dari perdarahan,


tumor, atau abses).

j) gizi buruk (vitamin yang tidak memadai asupan B1 atau


penarikan alkohol).

C. GEJALA

Meskipun penyebabnya banyak dan beragam,


setidaknya satu gejala hadir dalam semua kasus adalah kondisi
mental yang berubah. Kondisi mental berubah mungkin kecil
dan berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun
(misalnya, pada hepatitis mengalami penurunan kemampuan
menggambar desain sederhana, disebut apraxia) atau

62
mendalam dan berkembang pesat (misalnya, anoksia otak
menyebabkan koma atau kematian dalam beberapa menit).
Seringkali, gejala perubahan status mental dapat hadir seperti
tidak dapat memberikan perhatian, penilaian buruk atau
buruknya koordinasi gerakan. Gejala serius lainnya yang
mungkin terjadi antara lain : (“Ensefalopati”, 2013)

a) Letargi.

b) Demensia.

c) Kejang.

d) Tremor.

e) Otot berkedut dan mialgia,

f) Respirasi Cheyne-Stokes (pola pernapasan diubah


terlihat dengan kerusakan otak dan koma).

g) Koma.

Seringkali keparahan dan jenis gejala berhubungan


dengan penyebab kerusakan. Misalnya, kerusakan hati akibat
alkohol (sirosis alkoholik) dapat mengakibatkan tremor tangan
involunter (asteriksis), sedangkan anoksia berat (kekurangan
oksigen) dapat menyebabkan koma. Gejala lain mungkin tidak
parah dan akan lebih terlokalisasi seperti kelumpuhan saraf
kranial (kerusakan salah satu dari 12 saraf kranial yang keluar
otak). Beberapa gejala mungkin sangat minimal dan hasil dari
cedera berulang ke jaringan otak. Sebagai contoh, ensefalopati
kronis traumatik (CTE), karena cedera seperti gegar otak
berulang kali ditopang oleh pemain sepak bola dan lain-lain
yang bermain olahraga dapat menyebabkan perubahan lambat
dari waktu ke waktu yang tidak mudah di diagnosis.
Kecederaan tersebut dapat mengakibatkan depresi kronis atau
perubahan kepribadian lain yang dapat mengakibatkan hal yang
lebih serius (Sheerwood, 2001 ; Mumenthaler & Mattle, 2006 ;
Haberland, 2006)

63
D. KLASIFIKASI

1. Ensefalopati
Akibat Infeksi a.
Definisi

Infeksi sistem saraf pusat termasuk didalamnya


meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, empiema
subdural atau epidural dan abses otak. Virus dan bakteri
menyebabkan meningitis, infeksi jamur dapat terjadi pada
pasien yang menjalani transplantasi dan pada pasien yang
mengalami imunosupresi.(6)Ensefalitis dan ensefalopati
harus dapat dibedakan, dimana pada ensefalopati terjadi
kerusakan fungsi otak tanpa adanya proses inflamasi
langsung di dalam parenkim otak. Pasien dapat
menunjukkan gejala ensefalopati global seperti koma atau
status epileptikus. Diagnosis dan pengobatan awal dengan
antibiotik atau antiviral yang sesuai menjadi penting (Di
Carlo & Frankel, 2004).

b. Patogenesis.

Patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas.


Beberapa kemungkinan diajukan sebagai penyebab adanya
kerusakan otak selama sepsis berat yaitu efek endotoksin
dan mediator inflamasi, disfungsi sawar darah otak dan
kerusakan cairan serebrospinal, perubahan asam amino dan
neurotransmiter, apoptosis, stress oksidatif dan
eksitotoksisitas akan tetapi hipotesis yang paling dipercaya
adalah multifaktorial (Di Carlo & Frankel, 2004).
Endotoksin.

Toksin bakteri dan partikelnya, lipopolisakarida,


merupakan salah satu penyebab disfungsi otak selama sepsis.
Lipopolisakarida pada keadaan sepsis akan meningkat dan akan
bereaksi langsung dengan otak dalam organ sirkumventrikular
yang tidak dilindungi oleh sawar darah otak. Lipopolisakarida
dapat berikatan dengan reseptor seperti reseptor menyerupai
toll, menginduksi sintesis sitokin inflamasi, prostaglandin dan
nitrit okside dari mikroglia dan astrosit. Pada konsentrasi yang
rendah, endotoksin dapat menginduksi sekresi sitokin
inflamasi, IL-6 dari

64
monosit/makrofag, yang akan bereaksi langsung dengan
menginduksi ekspresi mediator inflamasi (Di Carlo & Frankel,
2004).

Ketika infeksi terjadi, maka makrofag/monosit perifer


akan mensekresi sitokin inflamasi termasuk didalamnya, IL-1,
TNF α, dan IL-6 yang memegang peranan penting dalam
memediasi respon serebral dalam infeksi. Ketiga mediator
tersebut dapat menginduksi cyclooxygenase 2 (COX2) dari sel
glia dan mensintesis prostaglandin E2 yang bertanggung jawab
dalam aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal akan berlaku
demam dan perubahan kebiasaan. Aktifasi dari kaskade
komplemen, diantaranya anafilaktoksin C5a juga dikaitkan
dengan disfungsi otak selama sepsis, kemungkinan dengan
menginisiasi kerusakan sawar darah otak (Di Carlo & Frankel,
2004).

Mereka akan menginduksi ekspresi dari molekul adhesi


pada sel

endotelial mikrovasel otak, merekajuga menginduksi


sekresi sitokin

proinflamasi dan nitrit oxide syntase(NOS).Aktifasi


endotelial

menghasilkan permeabilitas yang meningkat dan kerusakan sawar


darah

otak dengan konsekuensi selanjutnya akan terbentuk


edema otak
vasogenik. Kaki astrosit disekitar pembuluh darah
korteksakan

mengalami pembengkakan dan akan terjadi ruptur


membran dan

melepaskan dinding pembuluh darah.


Pembengkakan kaki astrosit

merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan sawar darah


otak. Edema

otak yang terjadi pada ensefalopati sepsis lebih


berkaitan dengan

hilangnya autoregulasi dibandingkan dengan kerusakan sawar


darah otak

meskipun jika edema vasogenik awal dapat menjadi edema


sitotoksik (Di

Carlo & Frankel, 2004).

c. Gejala Klinis

Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi sepsis berat


dan menyebabkan kegagalan multiorgan. Keadaan klinis
yang paling sering ditimbulkan adalah penurunan tingkat
kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan hingga
tak berespon dan koma. Status konfusional fluktuatif,
inatensi dan kebiasaan yang tidak sesuai juga terkadang
65
timbul pada pasien ensefalopati ringan. Pada kasus yang
lebih berat dapat menimbulkan delirium, agitasi dan
deteriorasi kesadaran dan koma. Gejala motorik jarang
terjadi pada ensefalopati sespsis, dan banyak terjadi pada
ensefalopati metabolik, misalnya asteriksis, mioklonus dan
tremor. Pada ensefalopati sepsis yang mungkin timbul
adalah berupa rigiditas paratonik, merupakan resisten yang
tergantung pada kecepatan menjadi gerakan pasif. Kejang
juga dapat timbul pada ensefalopati septik, tetapi tidak
umum, disfungsi saraf kranial dan lateralisasi jarang terjadi
dan harus dapat menyingkirkan penyebab lain yang
mungkin (Di Carlo & Frankel, 2004).

d. Diagnosis

Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung


pada penyingkiran penyebab lain yang mungkin dari
deteriorisasi otak (metabolik atau struktural). EEG
merupakan merupakan salah satu pemeriksaan penunjang
yang sensitif dan dapat menunjukkan abnormalitas
walaupun pemeriksaan neurologis normal. Pemeriksaan
EEG pada ensefalopati septik ini tidak spesifik, karena juga
dapat ditemukan pada pengaruh sedasi dan kerusakan
metabolik. CT Scan kepala tidak ditemukan kelainan, akan
tetapi dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya
kerusakan otak yang disebabkan oleh hipoksik/iskemik.
Perkembangannya adalah penggunaan biomarker untuk
mendeteksi adanya ensefalopati septik, yaitu S100B dan
NSE. S100B adalah protein yang terikat oleh kalsium yang
dihasilkan oleh sistem saraf pusat, terutama oleh
selastroglial. S100B akan meningkat pada serum dan cairan
serebrospinal setelah terjadi cedera otak. NSE adalah enzim
glikolitik intrasitoplasmik enolase yang dapat ditemukan
pada sel saraf dan jaringan neuroendokrin dan meningkat
pada sirkulasi darah setelah meningkatnya kematian sel saraf
(Di Carlo & Frankel, 2004).

e. Penatalaksanaan

66
Pengobatan ensefalopati septik secara khusus masih
belum ada, penanganannya dilakukan dengan penanganan
sepsis pada umumnya.(7)Dibutuhkan terapi suportif seperti
menjaga suhu lingkungan yang hangat, memberi pengobatan
simptomatik seperti muntah, anemia dan demam. Kemudian
dilakukan pemberian antibiotik untuk penanganan definitif
selama kurang lebih 14 hari (Di Carlo & Frankel, 2004).

2. Ensefalopati akibat
toksis Ensefalopati
yang diinduksi obat.

a. Definisi

Ensefalopati nonsirosis hiperamonia merupakan salah


satu komplikasi dari pemberian asam valproat, tanpa disertai
adanya penyakit hepar primer sebelumnya (Cotena &
Piazza, 2012).

b. Gejala Klinis

Biasanya kasus asimptomatik dan disertai adanya


peningkatan ringan enzim serum hepar. Secara klinis pasien
dapat menunjukkan keadaan dimana terjadi disfungsi
kognitif dalam beberapa derajat. Gejala dapat dimulai pada 2
minggu awal setelah terapi dimulai hingga berkisar 3-5
tahun berikutnya (Cotena & Piazza, 2012).

c. Etiologi
Anti konvulsan lainnya yang dapat berefek seperti
asam valproat adalah fenobarbital dan phenitoin.
Fenobarbital dan phenitoin meningkatkan kadar ammonia
pada pasien yang mengkonsumsi asam valproat secara
bersamaan. Pada salah satu penelitian, penambahan
toporimate inhibitor siklus urea lainnya, pada penggunaan
asam valproat mempercepat terjadinya ensefalopati pada
pasien asimtomatis. Beberapa obat lainnya yang dapat
menyebabkan keadaan hiperamonia, yang mungkin dapat
merusak siklus urea atau meningkatkan produksi ammonia
renal ke dalam sirkulasi. Obat tersebut antara lain glysin
yang

digunakan selama reseksi prostat transuretra, yang


menstimulasi produksi

67
ammonia, selain itu carbamazepin, dan salisilat dosis tinggi
juga memberikan kesan yang sama (Cotena & Piazza,
2012).

d. Patogenesis

Asam valproat dapat juga menginduksi


hepatotoksisitas dengan mekanisme yang menyerupai
hiperamonia hepatik dengan adanya gejala neurologis. Pada
beberapa kasus hal ini berkaitan dengan defisensi enzim
siklus urea, ornithine transcarbamilase, dengan outcome yang
jelek. Intake asam valproat, yang merupakan asam lemak,
dapat menginduksi hiperamonia dengan cara metabolismenya
dalam hati, yang menghasilkan metabolit toksik yang dapat
menghambat carbamoyl-phosphate-synthetase, yang
merupakan reaksi enzimatik pertama pada siklus urea, yang
dapat mencegah ekskresi ammonia (Leise, Poterucha, Kamath
& Kim, 2014)

e. Penatalaksanaan

Pengobatan utama pada ensefalopati yang diinduksi


oleh penggunaan asam valproat adalah dengan menghindari
konsumsi asam valproat, yang dapat memberikan perbaikan
utuh dalam waktu beberapa hari. Suplementasi carnitine juga
menunjukkan penurunan gejala toksisitas yang diinduksi
asam valproat (Cotena & Piazza, 2012).

3. Ensefalopati
akibat metabolik
a. Definisi dan
Klasifikasi

Ensefalopati dengan masalah metabolik sebagai


dasarnya merupakan masalah baik bagi neonatus maupun
anak, dengan outcome fungsional bergantung pada waktu
dan intervensi yang hati-hati. Ensefalopati metabolik adalah
pengertian umum keadaan klinis yang ditandai dengan:

1) Penurunan kesadaran sedang sampai berat.

2) Gangguan neuropsikoatrik kejang, lateralisasi.

3) Kelainan fungsi neurotransmitter otak.

4) Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bakteri yang jelas.

68
Gangguan metabolik yang biasa terjadi adalah
disfungsi hepar, disfungsi renal dan gangguan metabolik.
Gangguan yang paling sering terjadi adalah disfungsi hepar,
sehingga yang dibahas dalam referat kali ini adalah
ensefalopati hepatik. Kerusakan genetik dari metabolism
dapat menimbulkan bayi dengan ensefalopati yang berat dari
hanya hiperammonemia saja. Ketika kerusakan metabolik
terjadi setelah beberapa bulan hingga tahun kemudian,
derajat insufisiensi hepar dapat mempersulit kerusakan
metabolik tersebut. Pada hepatitis akut maupun fulminan
karena beberapa etiologi (misalnya infeksi, obat, toksik)
peningkatan ammonia serum mungkin hanya sedang tapi
faktor lain yang berkontribusi terjadinya ensefalopati yang
dapat terjadi dalam beberapa hari. Varian ketiga,
ensefalopati berat dihasilkan oleh ketoasidosis diabetik.
Edema serebral yang sangat berkaitan dengan ketoasidosis
diabetik.

b.
Pat
ofis
iolo
gi -
Teo
ri
Am
onia
Amonia sejak lama dikenal sebagai neurotoksin yang
bertanggung jawab dalam patogenesis ensefalopati hepatik.
Amonia dihasilkan dari beberapa jaringan termasuk ginjal dan
otot meskipun konsentrasi tertingginya berada pada vena
porta yang berasal dari bakteri pada kolon dan metabolisme
glutamine pada usus kecil. Pada orang normal, berkisar 80-
90% ammonia diekskresikan melalui metabolisme pertama.
Ekskresi berkurang baik pada keadaan hepatitis kronik
maupun akut. Mekanisme hiperammonaemia menyebabkan
ensefalopati masih belum terlalu jelas, penelitian
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar ammonia
pada sel hepatosit yang mengakibatkan perubahan pada
neurotransmiter terutama agonis GABA, sehingga
menyebabkan kegagalan penyediaan energi untuk otak.
Detoksifikasi ammonia pada astrosit menyebabkan akumulasi
glutamine, yang merupakan penyebab utama terjadinya
pembengkakan astrosit. Pada hepatitis akut,

69
pembengkakan glial juga ditemukan ketika adanya
pembengkakan otak. Pasien dengan ensefalopati hepatik
memiliki kadar serum ammonia lebih dari 90%, dan
menurunnya kadar serum ammonia berhubungan dengan
perbaikan tingkat ensefalopati hepatik. Penelitian
eksperimental menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
kuat antara kadar glutamine pada cairan serebro spinal dengan
derajat ensefalopati hepatik, tetapi kerusakan fungsi kognitif
seperti memori episodik, perhatian berkesinambungan yang
terjadi pada ensefalopati hepatik menunjukkan hubungan
dengan kadar ammonia serum ketika diperiksa dengan tes
psikometrik komputer (Leise, Poterucha, Kamath & Kim,
2014).

- Teori kesalahan neurotransmiter

Neurotransmiter serebral diregulasi oleh konsentrasi


asam amino dan prekusornya pada sistem saraf pusat. Pada
pasien dengan disfungsi hepar berat, konsentrasi sirkulasi
plasma dari asam amino aromatik

(AAA) yaitu triptopan, tyrosin dan phenilalanin


meningkat sedangkan konsentrasi asam amino rantai ganda
(leucine,isoleucine dan valine) menurun, akibatnya terjadi
produksi neurotransmiter yang salah (octopamide dan
phenilethanolamide) yang kemudian berkembang menjadi
ensefalopati hepatik.

c. Gejala Klinis
Derajat gangguan status mental pada ensefalopati
diklasifikasikan berdasarkan kriteria. West Haven berkisar
dari gangguan pola tidur hingga perubahan fungsi kognitif
dan koma dalam.

d. Penatalaksaan

Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien


dengan ensefalopati hepatik adalah perawatan suportif,
identifikasi dan pengobatan terhadap faktor yang
mempercepat, mereduksi produk nitrogen oleh usus dan
identifikasi pasien yang membutuhkan terapi jangka panjang.
Identifikasi dan menghilangkan faktor presipitasi yaitu
infeksi. Kultur cairan tubuh dapat menjadi penanda infeksi.
Pasien dengan asites sebaiknya dilakukan parasentesis
diagnostik.

70
Setelah dilakukan resusitasi, maka yang perlu
dilakukan selanjutnya adalah keseimbangan cairan. Tujuan
penting yang ingin dicapai adalah normovolumik, karena
adanya hidrasi yang kurang 16 maupun lebih akan
mengganggu. Pemberian cairan yang sering dilakukan
pertama kali adalah pemberian cairan kira kira 70% dari
maintenance.Status hidrasi sebaiknya dimonitor dengan
menggunakan tekanan vena sentral,dengan target 6-8cm
H2O.Monitoring urin juga diperlukan untuk memonitoring
hidrasi,dan indikator fungsi renal.Pemberian cairan secara
intra vena sebagai media pemberian elektrolit dan glukosa
dimana pada keadaan ensefalopati terganggu. (Leise,
Poterucha, Kamath & Kim, 2014).

e. Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya ensefalopati metabolik


adalah terutama dengan memberi pengobatan sesegera
mungkin jika ditemui adanya gangguan di hati. Selain itu bila
memiliki penyakit hati sebelumnya, sebaiknya memeriksakan
rutin untuk mencegah terjadinya enefalopati (Leise,
Poterucha, Kamath & Kim, 2014).

f. Prognosis

Ensefalopati hepatik merupakan penyakit hati stadium


terminal dengan tanda prognostik yang jelek dan
mengindikasikan tingkat survival yang pendek. Pada
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 42% dapat
bertahan hidup dalam waktu satu tahun, sedangkan 23% yang
dapat bertahan hingga tiga tahun. (Mumenthaler & Mattle,
2006).

4. Ensefalop
ati akibat
iskemik a.
Definisi

Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang


kurang dari normal dan iskemia. Merujuk pada aliran darah ke
sel atau organ tidak mencukupi untuk mempertahankan fungsi
normalnya. Penyebab terjadinya keadaan hipoksia dapat
dibagi menjadi dua yaitu saat di dalam kandungan dan setelah
dilahirkan.

b. Patofisiologi

71
Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab
cedera permanen yang penting pada sel sistem saraf pusat
yang mengakibatkan kematian neonatus atau nantinya, jejas
dapat bermanifestasi sebagai pals serebral atau defisiensi
mental.(6).Penyebab saat di dalam kandungan terdiri dari
(Haberland, 2006)

1) Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat


hipoventilasi

selama anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal


pernapasan,atau keracunan karbon monoksida.

2) Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi yang


dapat merupakan komplikasi anestesi spinal atau
akibat kompresi vena kaca dan aorta pada uterus
gravid.

3) Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian


plasenta akibat adanya tetani uterus yang disebabkan
oleh pemberian oksitosin berlebihan.

4) Pemisahan plasenta premature.

5) Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat


adanya kompresi atau pembentukan simpul pada tali
pusat.

6) Vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain.


7) Insufisiensi plasenta karena berbagai sebab,
termasuk toksemia dan pasca maturitas.

Hipoksia yang tejadi sesudah lahir, dapat merupakan


akibat dari (Haberland, 2006) :

1) Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan


kandungan oksigen darah ke tingkat kritis, akibat
perdarahan berat atau penyakit hemolitik.

2) Syok cukup berat, yang sampai mengganggu


pengangkutan oksigen ke sel-sel vital, akibat
perdarahan adrenal, perdarahan intraventrikular,
infeksi yang berlebihan atau kehilangan darah yang
masif.

72
3) Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal
terjadinya pernapasan yang adekuat pada pasca lahir,
akibat cacat, nekrosis atau jejas pada otak.

4) Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat


akibat adanya bentuk penyakit jantung kongenital
sianosis atau defisiensi fungsi paru yang berat. Janin
yang mengalami hipoksik iskemik kronis dapat
mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri tanpa
tanda tanda tradisional gawat janin (misalnya
bradikardi). Velosimetri bentuk gelombang
umbilikalis melalui Doppler (memperlihatkan
kenaikantahanan vascular janin) dan kordosintesis
(memperlihatkan hipoksia janin) dapat
mengidentifikasi bayi hipoksik kronis. Selanjutnya
kontraksi uterus mengurangi oksigen umbilikalis,
menekan kardiovaskular janin dan system saraf
pusat, menghasilkan skor APGAR rendah dan
hipoksia pasca lahir dalam kamarbersalin
(Haberland, 2006).

c. Gejala Klinis

Secara khas, ensefalopati hipoksia iskemik pada


neonates memiliki karakteristik edema serebral, nekrosis
kortikal, dan keterlibatan ganglia basalis Kedua lesi dapat
menyebabkan atropi kortikal, retardasi mental dan kuadriplegi
atau diplegispastika. Sesudah lahir, kombinasi hipoksia janin
kronis dan jejas hipoksik iskemik mengakibatkan
neuropatologi spesifik sesuai umur kehamilan. Bayi cukup
bulan memperlihatkan nekrosis neuron korteks (nantinya
atrofi korteks) dan jejas iskemia parasagital. Bayi preterm
memperagakan LPV (nantinya diplegia spastik), status
marmoratus ganglia basalis dan PIV. Bayi cukup bulan, lebih
sering dari pada bayi preter, memperlihatkan infark korteks
setempat atau multifokal yang menghasilkan kejang kejang
setempat (fokal) dan hemiplegia. Perangsangan asam amino
dapat memainkan peranan penting dalam patogenesis asfiksia
jejas otak (Haberland, 2006).

d. Penatalaksanaan

73
Pencegahan dan pengobatan nantinya diarahkan pada
keadaan dasar yang menyebabkannya, kematian dan
kecacatan kadang-kadang dapat dicegah melalui pengobatan
terhadap gejala yang timbul dengan memberikan oksigen
atau pernafasan buatan dan koreksi disfungsi multiorgan
terkait. Edema otak dapat timbul pada 24 jam berikutnya
dan mengakibatkan depresi batang otak yang berat. Selama
waktu ini dapat terjadi aktivitas kejang yang mungkin berat
dan kejang ini refrakter terjadap dosis biasa antikonvulsi.
Lorazepam (0,05-0,1 mg/kgBB/iv) dapat digunakan selama
kejang akut, sedangkan untuk mensupresi kejang secara
terus menerus mungkin memerlukan dosis pembebanan i.v.
20-25mg/kgBB fenobarbital atau 20mg/kgBB fenitoin.
Walaupun sebagian besar kejang sering merupakan akibat
dari ensefalopati hipoksik iskemik, kejang pada bayi baru
lahiryang mengalami asfiksia dapat juga disebabkan oleh
hipokalsemi atau hipoglikemia.(6)Pada keadaan hipoksik
iskemik terjadi turunnya suhu berkisar 20C. Terapi
hipotermia lebih bermaksud pada resusitasi dibandingkan
dengan neuroprotektor. Pada bayi dengan respon minimal
pada resusitasi konvensional, ditempatkan pada tempat
berisi air dingin berkisar 23-300C dan didiamkan hingga ia
menangis.

e. Prognosis

Pasien yang dapat hidup dengan ensefalopati hipoksik


iskemik stadium 3 memiliki insidensi kejang yang tinggi dan
mengalami kecacatan yang serius terutama pada
perkembangan sarafnya. Prognosis dari asfiksia berat juga
tergantung pada cedera pada sistem organ lain.
E. DIAGNOSA BANDING

Diagnosis ensefalopati adalah masing masing jenis


ensefalopati (iskemik, metabolik, toksik dan septik) selain itu
ensefalopati juga harus dibedakan dengan:

1. Ensefalitis

2. Perdarahan intracranial

3. Edema serebri

74
F. PENGOBATAN

Pengobatan ensefalopati bervariasi dengan penyebab


utama dari gejala. Akibatnya tidak semua kasus ensefalopati
diperlakukan sama. Beberapa contoh yang berbeda "perawatan
ensefalopati" untuk penyebab yang berbeda. (“Ensefalopati”,
2013)

Kunci untuk pengobatan ensefalopati apapun adalah


untuk memahami penyebab dasar dan dengan demikian
merancang skema pengobatan untuk mengurangi atau
menghilangkan penyebab. Ada satu jenis ensefalopati yang
sulit atau tidak mungkin untuk mengobati itu adalah
ensefalopati statis (negara atau kerusakan otak mental yang
diubah yang permanen). Yang terbaik yang dapat dilakukan
dengan ensefalopati statis, jika mungkin, untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut dan melaksanakan rehabilitasi untuk
memungkinkan individu untuk tampil di tingkat fungsional
tertinggi (“Ensefalopati”, 2013).

G. KOMPLIKASI

Komplikasi ensefalopati bervariasi dari tidak ada


gangguan mental sehingga mengarah pada kematian.
Komplikasi dapat sama dalam beberapa kasus. Komplikasi
tergantung pada penyebab utama dari ensefalopati dan dapat
diilustrasikan dengan mengutip beberapa contoh dari berbagai
penyebab (“Ensefalopati”, 2013).
a. Hepatik ensefalopati (pembengkakan otak dengan
herniasi, koma, kematian)

b. Metabolik ensefalopati (mudah marah, lesu, depresi,


tremor, kadang-kadang, koma atau kematian)

c. Anoxia-ensefalopati (berbagai komplikasi, dari tidak


ada di anoksia jangka pendek untuk perubahan
kepribadian, kerusakan otak parah sampai mati dalam
acara anoxic jangka panjang)

d. Uremik ensefalopati (letargi, halusinasi, pingsan, otot


berkedut, kejang, kematian)

75
e. Ensefalopati Hashimoto (kebingungan, intoleransi
panas, demensia)

f. Ensefalopati Wernicke (kebingungan mental, kehilangan


memori,penurunan kemampuan untuk menggerakkan
mata)

g. Bovine spongiform ensefalopati (BSE) atau "penyakit


sapi gila" (ataksia, demensia, dan mioklonus atau otot
bergetar tanpa irama atau pola)

h. Shigella ensefalopati (sakit kepala, leher kaku, delirium,


kejang, koma)

i. Penyebab Infeksi ensefalopati anak (lekas marah, susah


makan, hypotonia, kejang, kematian)

H. PROGNOSIS

Prognosis untuk pasien dengan ensefalopati tergantung


pada penyebab awal dan secara umum, tempoh waktu yang
dibutuhkan untuk membalikkan, menghentikan, atau
menghambat penyebabnya. Akibatnya, prognosis bervariasi
dari pasien ke pasien dan berkisar di prognosis yang buruk
yang sering menyebabkan kerusakan otak permanen atau
kematian. Prognosis sangat bervariasi ini dicontohkan oleh
pasien yang mendapatkan ensefalopati dari hipoglikemia. Jika
pasien dengan hipoglikemia diberikan glukosa pada tanda-
tanda pertama dari ensefalopati, sebagian besar pasien sembuh
sepenuhnya. Penundaan dalam mengoreksi hipoglikemia (jam
sampai hari) dapat menyebabkan kejang atau koma, yang dapat
dihentikan oleh pengobatan dengan lengkap atau pemulihan
dengan kerusakan otak permanen minimal. Penundaan atau
beberapa keterlambatan dalam pengobatan dapat menyebabkan
prognosis yang buruk dengan kerusakan otak, koma, atau
kematian (“Ensefalopati”, 2013).

76
BAB IV

PEMBAHASAN

A. DIAGNOSIS

Diagnosis awal yang ditegakkan pada pasien


ini adalah

G1P0A0H0 parturien preterm 34-35 minggu kala 1 fase laten +


susp.

AFLP + Hipoalbuminemia + hipoglikemia, Janin hidup tunggal


intrauterin

presentasi kepala.

Diagnosis kehamilan dan usia kehamilan ditegakkan


melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan USG dimana
didapatkan pasien hamil pertama dengan usia kehamilan 34-35
minggu dengan presentasi kepala, saat dilakukan pemeriksaan
dalam, didapatkan pembukaan 2-3cm, maka pasien didiagnosis
dengan G1P0A0H0 parturient preterm 34-35 minggu.

Anamnesis yang mengarah kepada AFLP adalah adanya


kuning/jaundice (prevalensi >70%) nyeri ulu hati (prevalensi
50-60%), mual dan muntah (prevalensi 50-60%). Faktor resiko
yang ada pada pasien ini adalah kehamilan pertama.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik. Tanda ini


mengarah pada terjadinya jaundice pada pasien yang sesuai dengan AFLP.

Hasil lab pasien menggambarkan telah terjadinya gangguan multi

organ dimana ditemukan :


1. Hiperbilirubin : Bil tot/dir/indir 10/7,5/2,5
2. Gangguan fungsi hepar : SGOT 144 & SGPT 155
3. Hipoglikemia : GDS 59
4. Koagulopati : APTT 56,4 & PT 26,3
5. Gangguan fungsi ginjal : Creatinin 1,9
6. Hipoalbuminemia : albumin 2,3

Jika dianalisis menggunakan kriteria Swansea,


diagnosis AFLP dapat ditegakkan karena temuannya lebih dari
6, yaitu :

1. Pasien mengeluh muntah

2. Pasien mengeluh nyeri perut

77
3. SGOT & SGPT >42

4. Creatinin >150 umol/l (setara 1,7 mg/dL)

5. GDS <4mmol (setara 72 mg/dL)

6. Leukositosis >11.000

7. Koagulopati, PT>14 dan APTT >34

Diagnosis AFLP sedini mungkin pada pasien ini penting


dilakukan agar terminasi kehamilan dapat segera dilakukan.
Pada kasus ini, terminasi secara SC segera dilakukan. Namun
keadaan psien mengalami perburukan pada hari ke-2 post SC.
Pasien mengalami penurunan kesadaran yang kemungkinan
diakibatkan oleh 2 kondisi yaitu hipoglikemia DD/
ensepalopati hepatikum.

Pada hari ke-4 post SC dilakukan peritoneal lavage,


berhasil dikeluarkan cairan asites 1000cc.

Pasien pu kemudian didiangnosa : Penurunan kesadaran


ec sepsis related ensepalopati + Acute Liver Failure + AKI +
Hiperkalemia Hipernatremia + sirosis bilier + Kolestasis
ekstrahepatal + hipoglikemia + hipokalsemia + asites + ileus
paralitic ec susp. peritonitis pada P1A0H1 Post SCTPP ai
AFLP.
78
AFLP mempunyai tanda & gejala yang menyerupai
penyakit lain seperti preeklampsia, HELLP sindrom, hepatitis
virus akut dan cholestasis intrahepatic. Kejadian AFLP juga
termasuk langka, insidensinya hanya sebesar 1 dalam 10.000-
15.000 kehamilan. AFLP yang berhasil ditegakkan sebelum
persalinan hanya berkisar 36%.

Diferensial diagnosis dari AFLP selanjutnya dapat


disingkirkan. Untuk preeklampsia dan HELLP sindrom, pada
pasien ini tidak ditemukan adanya hipertensi. Onset munculnya
penyakit AFLP hingga terjadinya perburukan berlangsung lebih
akut yaitu sekitar 4 hari dibanding onset preeklampsia yang
biasanya berkisar mingguan. Pasien juga didapatkan

79
hipoglikemia dan jaundice yang biasanya tidak didapatkan pada
pasien preeklampsia maupun HELLP sindrom. Perbedaan
temuan-temuan ini dapat menyingkirkan diferensial diagnosis
preeklampsia dan HELLP sindrom.

Untuk menyingkirkan hepatitis dilakukan tes serologi


dengan hasil HbsAg rapid non reaktif, anti HCV non reaktif
pada pasien ini. Transaminase pada pasien ini yang meninggi
juga menjadi indikator namun tidak bisa menyingkirkan
diagnosis banding hepatitis virus akut.

Diagnosis banding cholestasis intrahepatic disingkirkan


karena tidak ditemukan adanya pruritus berat. Cholestasis
intrahepatik juga tidak menimbulkan gejala nyeri perut, mual,
muntah dan gagal fungsi hepar. Pasien sebaiknya diperiksa
Alkalin Phosphatase (ALP) sebagai pembeda antara AFLP dan
cholestasis, dimana pada cholestasis terjadi peningkatan ALP.

Diagnosis Akut Liver Failure (ALF) ditegakkan


berdasarkan onset dari penyakit hati dengan waktu
protrombin/INR yang memanjang, yang disertai dengan
perubahan mental atau dikenal dengan encefalopati hepatikum,
awalnya, agitasi dan kebingungan, tetapi berkembang menjadi
koma. Kehadiran ensefalopati menunjukkan, kondisi yang
mengancam jiwa yang parah yang memerlukan tatalaksana
segera.

B. TATALAKSANA
Diagnosis yang cepat, Stabilisasi/tatalaksana suportif
yang intensif dan melahirkan bayi secepat mungkin merupakan
kunci penanganan AFLP. Tatalaksana awal pada pasien ini
sudah tepat, yakni dengan terminasi kehamilan segera secara
SC karena karena terjadi cepatnya penurunan kondisi pasien
dengan AFLP.

Wanita yang telah diduga mengalami AFLP seharusnya


mendapat perawatan di ruang intensif untuk mendapatkan
penatalaksaan suportif yang komprehensif, sekaligus persiapan
persalinan. Persalinan yang dipercepat akan memperbaiki
outcome pasien. Perbaikan klinis dan

80
laboratorium akan segera tampak pada hari kedua setelah
persalinan. Pada kasus ini, pasien sempat mendapatkan
perawatan intensif post SC di ruang ROI. Namun pada hari ke-
2 post SC pasien dipindahkan ke ruangan HCU kebidanan. Satu
hari di ruang HCU pasien kembali mengalami perburukan
sehingga kembali dipindahkan ke ruang rawatan ROI.
Sebaiknya pada kasus ini, pasien tidak perlu buru-buru
dipindhkan ke ruang rawatan biasa karena proses kerusakan
multi organ masih mungki terjadi, sehingga perlu pemantauan
intensif di ruang rawatan intensif.

Pada masa post partum, monitoring hemodinamik


penting dilakukan karena pasien AFLP rentan terjadi
perdarahan karena efek koagulopati. Transfusi cairan dan
produk darah mungkin diperlukan. Selain resiko perdarahan,
resiko terjadinya hipoglikemia juga perlu diperhatikan,
pemberian glukosa infus mungkin diperlukan. Komplikasi
potensial yang mungkin terjadi adalah pankreatitis yang terjadi
setelah kegagalan renal dan hepar. Saat kondisi pasien
memburuk, terjadi MOF atau ada ancaman untuk meninggal.
81
BAB V

KESIMPULAN

1. Penegakan diagnosa dan tatalaksana awal pasien ini sudah tepat

2. Penatalaksanaan post SC pasien ini kurang adekuat karena


pasien tidak sepenuhnya mendapatkan perawatan di ruang
intensif pasca tindakan. Karena pada kasus AFLP dalam
kehamilan tatalaksana pasca terminasi kehamilan sangat
menentukan outcome pasien.

3. Penyebab kematian pada pasien ini adalah MODS (Multiple


Organ Dysfunction Syndrome)

4. Diperlukan kerjasama yang baik antar bagian Obgyn, ICU dan


Penyakit dalam untuk menatalaksana pasien ini.
82
DAFTAR PUSTAKA

Altinbas A, Bechmann L, Akkiz H, Gerken G, Canbay A, 2015. Acute


liver failure. Hepatology A Clinical Textbook ; 29 : 635-47.

Bacq Y, Riely CA, 1993. Acute fatty liver of pregnancy: The


hepatologist’s view.

Gastroenterologist ; 1:257-64.

Bellig LL, 2004. Maternal acute fatty liver of pregnancy and the
associated risk for long-chain 3-hydroxyacyl-coenzyme a
dehydrogenase (LCHAD) deficiency in infants. Adv Neonatal
Care ; 4:26-32.

Bernal W, Auzinger G, Dhawan A, Wendon J, 2010. Acute liver failure.


Lancet :

376: 190-201

Bernal W, Wendon J, 2013. Acute liver failure. The New England


Journal of Medicine ; 369: 2525-34.

Bernuau J, Rueff B, Benhamou J, 1986. Fulminant and subfulminant liver


failure:

definitions and causes. Seminars in Liver Disease ; 6(2): 97-106.

Cotena S, Piazza O. 2012. Sepsis Associated Encephalopathy.


Traditional Medicine ;2 (3): 20-27.
Cowie P, Johnston IG, 2010. Acute Fatty Liver Of Pregnancy. In
Anaesthesia Tutorial Of The Week 191
(www.totw.anesthesiologists.org); Page 1-5

Davidson KM, Simpson LL, Knox TA, D’Alton ME, 1998. Acute fatty
liver of pregnancy in triplet gestation. Obstet Gynecol ; 91:806-
8.

Di Carlo JV, Frankel LR, 2004. Neurologic Stabilization. In :


BehrmanRE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson Text
Book of Pediatrics. 17Th ed. Saunders An Imprint of Elsevier
Science, Philadelphia.

Ensefalopati. [serial 101262], 2013. [cited] 3 Desember 2014.


Available from :Charles Patrick Davis
http://www.medicinenet.com.encephalopathy

Escorsell A, Mas A, de la Mata M, Spanish Group for the Study of


Acute Liver Failure, 2007. Acute Liver Failure in Spain:
Analysis of 267 Cases. Liver Transplantation ; 13: 1389-95.

Faria L, Ichai P, Saliba F, Azoulay D, Antonini T, Ben Hamida S, et al,


2006. Etiology, outcome and early causes of death in 500
patients with acute liver failure: 20 year single center
experience Hepatology ; 370A
83
Fesenmeier MF, Coppage KH, Lambers DS, Barton JR, Sibai BM,
2005. Acute fatty liver of pregnancy in 3 tertiary care centers.
Am J Obstet Gynecol ; 192:1416-9.

Froelich M, Reid RW, 2009. Liver Disease. In Obstetrics Anesthesia


Principles and Practice edited by Ceznuts. 4th edition. Mosby
Elsevier Philadelphia; Page 1015

Gaffarnejad M, 2007. Acute Fatty Liver Of Pregnancy And


Preeclampsia In A Triplet Gestation. Tehran University Of
Medical Sciences Acta Medica/Ranica. Vol. 45 (2); Page 161-
164

Haberland C, 2006. Clinical Neuropathology. Demos Medical


Publishing, New York.

Ibdah JA, 2006. Acute Fatty Liver of Pregnancy : An Update on


Pathogenesis and Clinical Implications. In World Journal of
Gastroenterology, Beijing China. Vol. 12; Number 45-46

Joshi D et al, 2010. Liver Disease In Pregnancy. In www.thelancet.com.


Vol. 375

Kennedy S, Hall PM, Seymour A, Hague WE, 1994 Transient diabetes


insipidus and acute fatty liver of pregnancy. Br J Obstet
Gynaeco l; 101:387-91.

Kim HY, Eytheramonho MB, Pichavant M, Cambaceres CG,


Matangkasombut P, Cervio G, et al, 2011. A polymorphism in
TIM1 is associated with susceptibility to severe hepatitis A
virus infection in humans. The Journal of Clinical Investigation
; 121 (3): 1111-8.

Knox TA, Olans LB, 1996. Liver disease in pregnancy. N Engl J Med ;
335:569-76.

Ko HH, Yoshida E, 2006 Acute fatty liver of pregnancy. Canadian


Journal of Gastroenterology ; 20(1):25-30.

Laish I, Ari ZB. 2011. Noncirrhotic hyperammonaemic


encephalopathy. Journal of The International Association for
Study of The Liver ; 1259-1270.

Lapinsky SE, 2008. Critical Care Medicine In Pregnancy. In Critical


Care Medicine. 3rd edition. Mosby Elsevier, Philadelphia; Page
1702-1703

Lee WM, 2012. Acute Liver Failure. Semin Respir Crit Care Med ;
33:36-45

Leise M.D, Poterucha JJ, Kamath PS, Kim WR, 2014. Management of
hepatic encephalopathy in the hospital. Mayo Clinic
proceedings, 89(2), 241–253.

84
Lynch CM et al, 1999. AFLP : A Confusing Clinical Entity. In Case
Report. Turner White Communications Inc; Page 69-70

MacLean MA, Cameron AD, Cumming GP, Murphy K, Mills P, Hilan


KJ, 1994. Recurrence of acute fatty liver of pregnancy. Br J
Obstet Gynaecol ; 101:453-4.

Mark Mumenthaler, M.D., Heinrich Mattle, M.D, 2006. Fundamental


of Neurology, 1st edition. Thieme Medical Publisher, New
York.

McNulty J, 2004. Acute fatty liver of pregnancy. In: Foley MR, Strong
TH, Garite
TJ, eds. Obstetric Intensive Care Manual, 2nd edn. New
York: The

McGraw-Hill Companies Inc : 207-15.

Mochida S, Nakayama N, Matsui A, Nagoshi S, Fujiwara K, 2008. Re-


evaluation of the Guideline published by the Acute Liver
Failure Study Group of Japan in 1996 to determine the
indications of liver transplantation in patients with fulminant
hepatitis. Hepatology Research ; 38: 970-9.

Mori M, Itanai F, Washio S, 2006. Estimated number of patients with


intractable liver diseases in Japan based on nationwide
epidemiology surveillance. Annual Report of Epidemiology
Research for Intractable Diseases in Japan, the Ministry of
Health, Welfare and Labor (2005) : 39–42.
Mumenthaler M, Mattle H, 2006. Fundamental of Neurology, 1st
edition. Thieme Medical Publisher, New York. Chapter 21 :
Neurology

Nulty J, 2011. Acute Fatty Liver Of Pregnancy. In Obstetric Intensive


Care Manual. 3rd edition. McGraw Hill Companies; Page 183-
189

O’Grady J, Schaim S, Williams R, 1993. Acute liver failure:


redefining the

syndromes. Lancet ; 342: 273-75.

Ostapowicz G., Fontana R.J., Schiodt F.V., Larson A., Davern T.J.,
Han S.H., and al, 2002 . Results of a prospective study of acute
liver failure at 17 tertiary care centers in the United States Ann
Intern Med ; 137 (12) : 947-954

Porter TF, 2010. Acute Fatty Liver Of Pregnancy. In Critical Care


Obstetrics. 5th edition. Wileyblackkell Publication; Page 385-
386

Rahman TM, Wendon J, 2002. Severe hepatic dysfunction in


pregnancy. QJM ; 95:343-57.

Ranjan V, Smith NC, 1997. Acute fatty liver of pregnancy. J Obstet


Gynaecol ; 17:285-6.
85
Reyes H, Sandoval L, Wainstein A, et al, 1994 Acute fatty liver of
pregnancy: A clinical study of 12 episodes in 11 patients. Gut ;
35:101-6.

Rezende G, Roque-Afonso A.M, Samuel D, Gigou M, Nicand E, Ferre


V, et al, 2003. Viral and clinical factors associated with the
fulminant course of hepatitis A infection. Hepatology ; 38 (3) :
613-8

Riely CA, Latham PS, Romero R, Duffy TP, 1987. Acute fatty liver of
pregnancy. A reassessment based on observations in nine
patients. Ann Intern Med ; 106:703-6.

Rolfes DB, Ishak KG, 1985. Acute fatty liver of pregnancy: A


clinicopathologic study of 35 cases. Hepatology ; 5:1149-58.

Saravanan PA, 2008 Acute Fatty Liver Of Pregnancy. In The Indian


Anesthetists Forum (www. theiaforum.org).

Sheehan HL, 1940. The pathology of acute yellow atrophy and


delayed chloroform poisoning. J Obstet Gynaecol Br Emp ;
47:49-62.

Sherwood, L, 2001. Susunan Saraf Pusat. Patofisologi tubuh manusia.


ECG, Jakarta.

Simpson KR, Luppi CJ, O’Brien-Abel N, 1998. Acute fatty liver of


pregnancy. J Perinat Neonatal Nur s; 11:35-46.

Simpson KR, Luppi CJ, O’Brien-Abel N, 1998. Acute fatty liver of


pregnancy. J Perinat Neonatal Nurs ; 11:35-46.
Tein I, 2000. Metabolic disease in the fetus predisposes to maternal
hepatic complications of pregnancy. Pediatr Res ; 47:6-8.

Tucker ED, Calhoun BC, Thorneycroft IH, Edwards MS, 1993.


Diabetes insipidus and acute fatty liver: A case report. J Reprod
Med ; 38:835-8.

Varner M, Rinderknecht NK, 1980. Acute fatty metamorphosis of


pregnancy. A maternal mortality and literature review. J Reprod Med ;
24:177-80.

Wanders RJ, Vreken P, den Boer ME, Wijburg FA, van Gennip AH,
IJlst L, 1999. Disorders of mitochondrial fatty acyl-CoA beta-
oxidation. J Inherit Metab Dis ; 22:442-87.

Wang D, Yin Y, Yao Y, 2013. Advances in the management of acute


liver failure. World J Gastroenterol ; 19 (41): 7069-77

86
Werner CJ, Zoller DP, Baskin WN, Eichmann RE, 1988. Acute fatty
liver of pregnancy associated with maternal and fetal metabolic
acidosis. J Fam Pract ; 26:198-9.

Woll PJ, Record CO, 1979 Lactate elimination in man: Effects of


lactate concentration and hepatic dysfunction. Eur J Clin Invest ;
9:397-404.

Zurcher K, 1995. [Uncomplicated second pregnancy following acute


fatty liver of pregnancy]. Schweiz Med Wochenschr ;
125:1003-5.
87

Anda mungkin juga menyukai