Anda di halaman 1dari 5

Nama : Chris Fany Ester Pasaribu

Fidewana Sari Saragih


Kevin Kassner
Lantina Bangun
Nova Sembiring
Victor Sebastian Silalahi
Kelas/Jurusan : Crash Program/Teologi
Mata Kuliah : Seminar Sejarah Gereja
Dosen : Dr. Jah Jahaman Damanik

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) SEMINAR SEJARAH GEREJA


I. Identitas Buku
Judul Buku : Masyarakat Adat (Pengakuan Kembali, Identitas
dan Keindonesiaan)
Pengarang/Penyuting : Pdt. Jimmy M.I. Sormin
Penerbit : BPK-Gunung Mulia

II. Ringkasan Buku1


Mengapa masayrakat adat dijadikan tema utama dalam seminar agama-agama
(SAA) kali ini? Karena melalui diskusi dalam SAA ini kita ingin mengidentifikasi
kuasa-kuasa jahat yang bekerja secara sistematis dan struktural untuk
mendiskriminasi dan memarjinalisasi mkasyarakat adat. Bahkan masayrakat adat
terkesan mendaapat ancaman dari berbagai arah: dari kebijakan pemerintah yang
diskriminatif yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila, dari oknum pemerintah
yang tamak, dari para pemodal yang tamak dan bahkan dari berbagai kelomp0ok dan
institusi agama tertentu terhadap putusan MK atas dimasukkannya agama lokal dalam
kolom KTP menujukkan masih hidupnya ancaman terhadap eksistensi masyarakat
adat dengan segala identitasnya. Ada masa gereja bersikap keji terhadap kelompok
masyarakat adat. Dimana relasi antara Kristen dan Non-Kristen, terutama dengan
masyarakat adat bukan saja menjadi subjek-objek, melainkan juga menjadi
polarisasi-“anak Allah VS anak setan”. Akan tetapi ada perubahan besar dalam sikap
gereja terhadap yang lain, termasuk terhadap masyarakat adat. WW, misalnya,
1
Jimmy M.I. Sormin, Masyarakat Adat (Pengakuan Kembali, Identitas dan Keindonesiaan), (BPK-
Gunung Mulia), 13-17

1
mengembangkan mission from the margins untuk menyatakan solidaritasnya kepada
masyarakat adat. Tidak lagi melihat masyarakat adat sebagai objek penginjilanj,
melainkan masyarakat adat dipandang sebagai semangat untuk penginjilan. Artinya
ada transformasi hermeneutik, dimana kita harus keluar dari narasi-narasi lama yang
polarisasi dan imperialisme era kolonialisme. Gereja dan teologinya tidak boleh stuck
atau stagnasi. Gereja harus mampu cair, karena gereja ditempa oleh pengalaman-
pengalaman sosial-politik dan spiritual. Masyarakat adat menurut Wikipedia,
dihubungkan dengan tiga hal: penduduk asli, kelompok minoritas, serta kaum
tertindas atau kaum yang termajinalkan oleh karena identitas mereka yang berbeda
dari identitas yang dominan di suatu negara atau wilayah. Oleh karena itu, pada
situasi tertentu sering masyarakat adat menjadi korban dari praktik rasialisme.
Sedangkan menurut definisi PBB tentang masyarakat adat (indigenous people 1969)
menyatakan bahwa masyarakat adat itu adalah sekelompok orang yang hidup dan
tinggal secara turun temurun di daerah tertentu yang kemudian ditaklukkan, dijajah
dan bahkan dimarjinalkan oleh etnik pendatang yang berasal dari daerah lain di bumi
ini. Masyarakat adat juga mengalami berbagai bentuk penindasan, ketidakadilan dan
dehumanisasi dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu ada aspek penting menyangkut
eksistensi dan persoalan yang dihadapi masyarakat adat, yaitu:
1. Posisi teologi gereja terhadap eksistensi masyarakat adat.
2. Langkah-langkah praktis dan strategis yang sebaiknya diambil oleh gereja
untuk memperkuat masyarakat adat sehingga mereka dimampukan
memperjuangkan hak, martabat dan kesetaraan mereka dalam konteks
kewargaan dan kemanusiaan.
3. Upaya strategis gereja dalam memfasilitasi pemberdayaan ekonomi
masyarakat adat, termasuk perjuangan mempertahankan hak-hak mereka atas
tanahy leluhur yang bukan saja menjadi “bunda” kehidupan bagi segala
makhluk.
4. Upaya strategis yang seharusnya gereja lakukan dalam memperkuat
masyarakat adat untuk mempertahankan keunikan budaya dari ancaman
imperialisme budaya baik budaya modern maupun budaya kelompok agama
manapun.

2
Sebagai catatan terakhir, persoalan ketidakadilan dan penindasan yang dialami
masyarakat adat ini karena apatisme terhadap penindasan dan ketidakasilan yang
dialami sesama kita adalah tanda terjadinya kelumpuhan spiritual yang kronis.
Kemitmens sebagai gereja adalah untuk mulai membicarakan dan mengumuli
berbagai persoalan menyangkut hak dan martabat masyarakat adat atas jati dirinya
dan atas tanah leluhurnya. Karena Kristus memanggil gereja (kita) untuk
mengabarkan dan memberlakukan Injil Kerajaan Allah yang berisi keadilan dan
perdamaian bagi umat manusia sebagai imago dei, bagi kebaikan segala makhluk dan
bagi keutuhan ciptaan Tuhan.

III. Tanggapan
Masyarakat adat adalah sebagai komunitas yang memiliki asal usul leluhur secara
turun temurun yang hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
ideologi, ekonomi, politik, budaya dan sosial yang khas. Masyarakat adat masih
memgang nilai-nilai tradisi dalam sistem kehidupannya. Gereja dan adat sering sekali
mengalami proses saling mempengaruhi, baik secara sadar atau tidak. Buku Jimmy
Sormin yang berjudul “Masyarakat Adat: Pengakuan Kembali Identita dan
Keindonesiaan” pada halaman 13-17 dengan sub judul “Posisi Gereja-Gereja
Terhadap Masyarakat Adat” menyatakan bahwa posisi masyarakat adat masih berada
dalam tekanan dan ketidakadilan, masih terjadi diskriminasi kepada masyarakat adat.
Ini disampaikan dengan tegas bahwa pemerintahan dan gereja belum memberikan
jawaban yang pasti dan jelas terkaitan keberadaan (pengakuan) masyarakat adat. Dan
nyatanya disampaikan bahwa, masyarakat adat mengalami banyak penindasan baik
dari hak-hak tnaah leluhur dan martabat sebagai masyarakat adat. Gereja yang
seharusnya menyatakan keadilan dan perdamaian tersebut seperti yang disampaikan
pada halaman 13-17.
Jadi yang dapat menjadi tanggapan kelompok adalah, masyarakat adat tidak bisa
terlepas dari namanya semua bangsa Indonesia. Apalagi sebagai gereja adat (HKBP,
HKI, GKPS, GBKP, GKPA, GKPI, GKI, dll), dimana gereja-gereja ini lahir dan
berkembang ditengah-tengah masyarakat adat. Tentunya gereja harus memiliki sikap
yang pasti dan jelas. Gereja tidak lagi harus menanggap masyarakat adat sebagai
saingan. Karena tugas gereja bukan mengkristenisasikan masyarakat yang ada,

3
melainkan tugas gereja adalah mewartakan Kerajaan Allah yaitu keadilan dan
perdamaian. Akan tetapi gereja juga tidak boleh membiarkan praktik-praktik dari
masyarakat adat yang sesat, artinya gereja harus mampu mentranformasikan
kebudayaan-kebudayaan yang salah menuju pada pemahaman yang benar sesuai
kebenaran Kristus. Posisi Gereja adalah sebagai pelurus jalan, maksudnya adalah
gereja bukan sebagai penghilang kebudayaan atau gereja menjadi lembaga yang
mengkristenkan yang non kristen, bukan. Gereja adalah sebagai alat untuk
mentransformasikan apa yang ada dalam masyarakat adat yang menyimpang dari
ajaran Alkitab (dalam kata lain memperbaharui). Karena masyarakat itu penting tetap
ada, karena merekalah yang memahami lingkungan dan situasi dimana gereja itu
berada karena faktor bahwa mereka adalah sekelompok yang turun temurun berada
disana. Relasi hubungan yang baik antara gereja dan masyarakat adat juga harus ada.
Gereja harus bisa berjalan bersama dengan masyarakat adat. Akhirnya yang dapat
kami simpulkan adalah gereja harus mampu menerima dan memberi penghargaan
terhadap adat, gereja harus selektif terhadap adat (menerima yang sesuai dan menolak
yang bertentangan dengan Alkitab), dan penghargaan gereja terhdap karya nenek
moyang sebagai salah satu warisan yang sangat berharga. Oleh karena itu, kita perlu
mengingat kesaksian Rasul Paulus: “Dan di dalam agama Yahudi aku jauh lebih
maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai orang
yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangku. Tetapi waktu Ia, yang
telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya,
berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di
antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan
kepada manusia;” (Gal. 1:14-16) dan “Sungguhpun aku bebas terhadap semua
orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh
memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku
menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi
orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang
hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum
Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat.
Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti

4
orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar
hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat
memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang
yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan
mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku
sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu
ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.” (1 Kor. 9:19-
23).

IV. Daftar Pustaka


Sormin Jimmy M.I., Masyarakat Adat (Pengakuan Kembali, Identitas dan
Keindonesiaan), BPK-Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai