Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

GANGGUAN SOMATOFORM

Disusun oleh :

AQILAH FARAH SALSABIL

7060118023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan nikmat, rahmat,
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah “Gangguan Somatoform”.
Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. keluarga, sahabat, dan
kita sebagai penerus hingga akhir zaman.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada fasilitator dan teman-teman yang telah
membimbing dan membantu kami dalam mempelajari, memahami, dan menyelesaikan laporan
ini. Kami menyadari masih bahwa laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki kesalahan
dikemudian hari.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata kami ucapkan terima kasih dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Makassar, 23 Oktober 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gangguan somatoform merupakan gangguan yang tidak sepenuhnya dijelaskan
oleh kondisi medis umum atau gangguan mental lain dan untuk memenuhi kriteria
diagnostik harus disebabkan oleh adanya tekanan. Gangguan Somatisasi mengacu pada
perkembangan gejala somatik yang tidak ditemukan atau disebabkan oleh penyakit
medis. Somatisasi adalah istilah yang awalnya terkait dengan teori psikodinamik, dimana
penyebab penyakit dikarenakan konflik psikologis atau suatu kondisi kejiwaan yang
diubah menjadi penyakit fisik.
Dalam kajian psikodinamik, somatisasi merupakan salah satu gangguan yang
sering digunakan individu untuk menghindari diri dari permasalahan karena enggan
menerima tanggungjawab, teguran ataupun hukuman. Hal ini dilakukan karena efek
somatisasi hanya berpengaruh pada diri sendiri dan tidak berpengaruh pada orang lain.
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai oleh
banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem organ yang tidak
dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya
keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (seperti gastrointestinal dan
neurologis)
Gangguan somatisasi biasanya menunjukkan berbagai gejala, seperti sakit kepala,
adanya rasa nyeri pada bagian tubuh, sulit tidur, sakit perut/nyeri pada perut, gangguan
pada menstruasi, dan kelelahan. Semua sakit tersebut tanpa dibuktikan adanya penyakit
medis, hal ini dikarenakan individu dengan gangguan somatisasi merasa sakit pada
sebagian besar hidupnya dan selalu mengeluhkan penyakit tubuh kepada dokter setiap
individu merasa sakit.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan gangguan somatoform
2. Menjelaskan gangguan somatosasi
3. Menjelaskan gangguan konversi
4. Menjelaskan gangguan hipokondriasis
5. Menjelaskan gangguan nyeri
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui gangguan somatoform
2. Untuk mengetahui gangguan somatosasi
3. Untuk mengetahui gangguan konversi
4. Untuk mengetahui gangguan hipokondriasis
5. Untuk mengetahui gangguan nyeri
BAB II

PEMBAHASAN

A. GANGGUAN SOMATOFORM
1. Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani “soma” yang berarti tubuh
2. Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan dimana :
a. Gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis namun
tidakdapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang mendukung
penyakit fisik sebagai penyebab gejala.
b. Adanya dugaan kuat bahwa gejala-gejala tersebut berkaitan dengan
faktor psikologis.
3. Gangguan ini mencakup interaksi antara tubuh dengan pikiran (body-
mindinteraction).
4. Gangguan-gangguan yang termasuk di dalam kategori “gangguan somatoform”
memiliki beberapa ciri umum yang sama:
a. Manifestasi stres psikologik menjadi gejala somatik
b. Perilaku sakit yang abnormal (abnormal illness behavior) yaitu
disebabkanadanya ketidaksesuaian antara pengertian yang ditangkap
pasien tentangkondisi sakitnya (perceived illness) dengan penyakit yang
dialaminya(documented disease)
c. Adanya amplifikasi, yaitu dimana sensasi dari gejala fisik mengakibatkan
rasacemas (anxiety), kemudian rasa cemas dan aktivasi autonomik
yangdiasosiasikan dengan rasa cemas tersebut mengakibatkan eksaserbasi
gejala fisik.
d. Penderitaan (distress) yang bermakna dan seringnya angka kunjungan
untuk pelayanan medis
B. Klasifikasi Gangguan Somatoform
Terdapat beberapa versi penggolongan gangguan somatoform :
1. Menurut ICD-10/PPDGJ-III
a. Gangguan somatisasi (F.45.0)
b. Gangguan somatoform tidak terinci (F.45.1)
c. Gangguan hipokondrik (F 45.2)
d. Disfungsi otonomik somatoform (F 45.3)
e. Gangguan nyeri somatoform menetap (F 45.4)
f. Gangguan somatoform lainnya (F. 45.8)
C. Gangguan Somatisasi
1. Gangguan somatisasi merepresentasikan bentuk ekstrim dari gangguan
somatoform dimana gejala multipel yang melibatkan berbagai sistem organ
tidakdapat dijelaskan secara medis.
Beberapa bentuk kronis dari proses somatisasi tidak dapat memenuhi kriteria
gangguan somatisasi, sehingga dimasukkan dalam kategori gangguansomatoform
tidak terinci.
2. Prevalensi gangguan somatisasi adalah sebagai berikut :
a. Prevalensi sepanjang hidup 0,2-2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Rasio
wanita : pria adalah 5 : 1. Onset biasanya dimulai saat remaja
b. Adanya asosiasi antara sexual abuse dengan gangguan somatisasi. Pada
pasien-pasien semacam ini gejala umumnya berupa nyeri pelvik kronik
dan gangguan gastrointestinal fungsional
3. Etiologi gangguan somatisasi adalah sebagai berikut :
a. Faktor Psikososial
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial gejala
gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan
untukmenghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau
menyimpulkan perasaan. Pengajaran orang tua, contoh orang tua, dan
budaya dapat mengakibatkan pasien terbiasa menggunakan somatisasi.
b. Faktor Biologis
Transmisi genetik yang berperan dalam gangguan somatisasi terjadi pada
10-20% wanita turunan pertama sedangkan saudara laki-lakinya
cenderungmenjadi penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian
antisosial. Pada kembar monozigot transmisi terjadi 29% sedangkan
dizigot 10%.
4. Presentasi Klinis
Pasien yang memiliki gangguan somatisasi datang dengan keluhan somatik yang
banyak serta riwayat yang rumit. Bahkan terkadang pasien sudah melakukan
pemeriksaan dengan alat-alat canggih. Gejala umum yang dikeluhkan adalah
mual, muntah, sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek,
amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi. Pasien beranggapan ia
sakitsepanjang hidupnya. Sering terdapat gejala neurologik seperti
gangguankeseimbangan, merasa ada gumpalan di tenggorokan, afonia, retensi
urin, hilangmodalitas sensorik raba dan nyeri, buta, bangkitan, hilang kesadaran
bukan karena pingsan.
Pasien merasa menderita dan sering mengalami depresi serta kecemasan.
Ancaman bunuh diri sering dilaporkan namun angka bunuh diri aktual sangat
jarang. Pasien gangguan somatisasi biasanya tampak mandiri, terpusat pada
diri,haus penghargaan, serta manipulatif.
5. Menurut DSM-IV-TR, gangguan somatisasi memiliki kriteria diagnosis sebagai
berikut :
a. Riwayat gejala fisik yang banyak (atau suatu keyakinan bahwa dirinya
sakit) yang mulai sebelum usia 30 tahun, berlangsung selama beberapa
tahun, dan mengakibatkan perilaku mencari pertolongan medis (”medical
seeking behavior”) atau hendaya yang bermakna.
b. Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi kapanpun
selama perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus dipenuhi. Gejala-
gejala yang dimaksud antara lain :
1) 4 gejala nyeri (melibatkan minimal 4 lokasi atau fungsi yang
berbedameliputi kepala dan leher, abdomen, punggung, sendi,
ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan
seksual, dan saat berkemih)
2) 2 gejala gastrointestinal selain nyeri (meliputi mual, kembung,
muntah,diare, dan intoleransi makanan)
3) Satu gejala seksual (kehilangan keinginan seksual, disfungsi
seksual, mens ireguler, perdarahan mens yang berlebihan, muntah-
muntah selama hamil)
4) Satu gejala pseudoneurologik yang bukan nyeri (meliputi
gangguan keseimbangan, kelemahan, kesulitan menelan, afonia,
retensi urin, halusinasi, pandangan ganda, kebutaan, ketulian,
kejang, disosiasi, dan kehilangan kesadaran)
c. Gejala-gejala tersebut bukanlah akibat gangguan kondisi medis, ataupun
kalau terdapat gangguan kondisi medis, gejala dan efeknya pada pasien
melebihi dari apa yang biasanya dapat disebabkan gangguan kondisi
medis tersebut.
d. Gejala-gejala tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat secara sengaja
atau berpura-pura
6. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis biasanya
ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimulai saat remaja.
Masalah menstruasi merupakan gejala paling dini yang muncul pada wanita.
Keluhan seksual sering berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan. Periode
keluhan yang ringan 6-9 bulan, sedangkan yang berat 9-12 bulan. Biasanya pasien
sudah memulai mencari pertolongan medis sebelum 1 tahun.
7. Tatalaksanaa
a. Pendekatan untuk tatalaksana gangguan somatisasi harus bersifat realistis
dan berfokus pada care dan bukan cure.
b. Beberapa poin klinis yang bermanfaat, berdasarkan asumsi bahwa adanya
kebutuhan psikologis yang merupakan penyebab mendasar dari
gangguansomatisasi :
1) Pasien tidak selalu mencari kesembuhan tetapi mungkin
menginginkan adanya relasi dengan praktisi
2) Pasien ingin dokter mengakui bahwa dirinya sakit.
3) Berikan reassurance (dukungan) secara lambat dan berhati-hati.
Pasienseringkali tidak suka dan menolak (resisten) dengan
pernyataan- pernyataan bahwa dirinya tidak sakit, bahwa gejalanya
bersumber dari emosi/psikis.
4) Hindari dikotomi tubuh-pikiran dalam menginterpretasikan gejala.
5) Tunjukkan kepedulian pada distress pasien dan tunjukkan
keinginanuntuk menolong.
6) Hindari penjelasan prematur mengenai hubungan antara gejala
fisik dan fenomena psikologis. Lakukan penjelasan secara bertahap
yang membuat pasien mengerti dan menganggapnya serius.
Hindari saran-saran yang menyatakan bahwa segala masalah
terletak dalam “kepala” pasien.
7) Targetkan optimalisasi fungsi :
a) Usahakan untuk mengerti sumber stres dan sarana coping,
serta tetapkan target untuk perilaku adaptasi yang lebih
baik.
b) Tanamkan agar pola perilaku dan komunikasi pasien
jangan sepertiorang sakit terus menerus. Kapan saja bila
memungkinkan, bicarakan hal-hal lain dan diskusikanlah
selain daripada gejala fisik
c) Ajarkan bahwa adanya relasi erat antara tubuh, otak, dan
pikirandengan menggunakan contoh-contoh sederhana
yang bisa diterima pasien (muka memerah bila merasa
malu, mulut kering bila berbicara di depan umum, sesak
dan jantung berdegup cepat bilacemas, sakit kepala bila
tegang)
c. Buat jadwal pertemuan terencana, misalnya 1 bulan sekali.
d. Batasi penggunaan alat diagnostik dan obat-obatan. Beberapa pemeriksaan
fisik yang terfokus dan pemeriksaan lab yang kadang-kadang saja sifatnya.
Tanda (sign) harus lebih diandalkan daripada gejala (symptoms).
e. Terapi kelompok dan terapi kognitif-perilaku dapat bermanfaat.
f. Belum terdapat psikofarmaka yang efektif untuk mengatasi gejala
gangguan somatisasi, dan hanya dianjurkam bila terbukti ada komorbid
gangguan psikiatris lainnya.
8. Prognosis
Gangguan somatisasi cenderung bersifat kronis dan berfluktuasi. Remisi total
jarang tercapai. Dengan tatalaksana yang tepat maka distress dapat dikurangi
namun tidak dapat sama sekali dihilangkan.
D. Gangguan Somatoform Tidak Terinci
Pasien yang memiliki riwayat gangguan somatisasi dan pada kunjungan tidak memenuhi
kriteria lengkap (jumlah dan lokasi spesifik) dari gangguan somatisasi dimasukkan
sebagai gangguan somatoform tidak terinci (undifferentiated somatoform disorder), yang
cirinya adalah :
1. Satu atau lebih gejala fisik selain nyeri (lelah, hilang nafsu makan,
gejalagastrointestinal atau berkemih)
2. Gejala bukan akibat kondisi medis umum, yang kalaupun ada, tidak
diperkirakanmemiliki dampak yang sedemikian berlebihan pada pasien
3. Gejala bukan dibuat-buat dan disengaja
4. Durasi 6 bulan atau lebih
5. Bukan diakibatkan gangguan mental lain seperti depresi
E. Gangguan Konversi
1. Gangguan konversi didefinisikan sebagai kehilangan fungsi tubuh yang
tidaksesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi.
DSM-IV membatasi gangguan konversi hanya pada gejala neurologik.
2. Epidemiologi
Data statistik yang dimiliki saat ini terbatas, dan angka prevalensi diperkirakan 1-
3% dari jumlah kunjungan rawat jalan. Angka berbeda untuk setiap jenis
populasi. 5-15% kasus gangguan konversi pada pasien yang
memerlukankonsultasi di sebuah rumah sakit umum dilaporkan oleh beberapa
peneliti. Di Amerika Serikat, terdapat rumah sakit veteran dimana 25-30%
pasiennyamengalami gangguan konversi. Gangguan konversi jauh lebih umum
padawanita, populasi pedesaan, penduduk negara berkembang, orang-orang
statussosioekonomi rendah, anggota militer yang pernah terpapar medan perang,
dan pengetahuan medis yang rendah.
3. Etiologi
a. Faktor Psikoanalitik
Sesuai nama gangguan ini yaitu “konversi”, menurut teori psikoanalitik
pasien-pasien tersebut memiliki konflik alam bawah sadar yang tidak
terselesaikan. Konflik terjadi ketika muncul hasrat tetapi oleh alam bawah
sadar dikenali sebagai sesuatu yang terlarang. Konflik ini menimbulkan
suatu kecemasan yang kemudian demi mengurangi rasa cemas itu maka
dikonversikan menjadi gejala fisik yang sebetulnya adalah ekspresi samar
darihasrat terlarang tersebut. Misalnya pasien gangguan konversi dengan
gejala vaginismus mengeluarkan gejala tersebut untuk melindungi pasien
dari konflik akibat hasrat seksual yang terlarang. Jadi dapat disimpulkan
pada gangguan somatoform gejala-gejalanya bersifat simbolik.
b. Faktor Pembelajaran
Ada teori yang menyebutkan gejala konversi dapat dilihat sebagai perilaku
yang dapat dipelajari secara classic conditioning.
c. Faktor Biologis
Terjadi hipometabolisme pada area hemisfer serebri yang dominan dan
hipermetabolisme pada area yang non-dominan
4. Gejala Klinis
Dapat terjadi berbagai macam gejala neurologis pada gangguan konversi.
Presentasi klinis yang dianggap paling umum adalah psychogenic non-
epilepticseizure (pseudoseizure). Gejala pseudoneurologik berupa kelemahan
ekstremitas lebih jarang. Gejala konversi yang ringan kadang-kadang terjadi,
misalnya nyeri dada pada saat kehilangan orang yang dicintai.
5. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosis menurut DSM-IV adalah :
a. Satu atau lebih gejala atau defisit motorik volunter atau sensorik
yangdiperkirakan sebagai suatu kondisi neurologis atau kondisi medik
umumlainnya
b. Faktor psikologis dinilai berkaitan dengan gejala dan defisit karena
permulaan atau eksaserbasi gejala dan defisit didahului stressor psikologis
c. Gejala atau defisit tidak dengan sengaja dibuat atau berpura-pura
d. Gejala atau defisit setelah cukup penelusuran tidak dapat dijelaskan secara
penuh sebagai kondisi medik umum atau sebagai akibat langsung dari zat,
atausecara kultural sebagai perilaku atau pengalaman penebusan.
e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan atau hendaya yang bermakna
secara klinis di bidang sosial, pekerjaan atau fungsi lain atau menuntut
evaluasi medis
f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak
terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan bukan
karena gangguan mental lainnya.
6. Perjalanan Penyakit
Hampir semua gejala awal (90-100%) dari pasien dengan gangguan konversi
membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari sebulan. Sebanyak 75%
pasien tidak pernah mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalamiepisode
tambahan saat stresor psikis muncul kembali.
7. Tatalaksana
Sebelum memulai tatalaksana kita perlu kembali pada pemahaman teorigangguan
konversi bahwa gejala merupakan suatu bentuk perlindungan pasienterhadap
kecemasan akibat konflik intrapsikik. Menghilangkan mekanisme defense ini
(misal melalui hypnosis) akan membuat pasien merasa rentan dan tak berdaya,
sehingga penanganan haruslah memperhatikan stresor psikologis yangmendasari
munculnya gejala konversi.
a. Terapi non farmakologis
Sugesti yang kuat serta pendidikan yang empatik sangat penting. Mirip
dengan gangguan somatisasi pasien perlu diajarkan hubungan erat antara
pikiran, otak,dan tubuh. Dokter perlu berbicara secara apa adanya tentang
definsi dan pemahaman medis terkini mengenai gangguan konversi serta
berbicara dengan yakin bahwa gejala ini akan sembuh dengan cepat
b. Wawancara pasien dibawah pengaruh amobarbital atau hypnosis
Ketika sugesti dan edukasi tidak berhasil dilakukan, maka teknik
amobarbital dan hypnosis dapat dicoba. Penggunaan teknik ini
membutuhkan pelatihan dan pengalaman, dapat membantu praktisi untuk
memasuki wilayah konflik intrapsikis yang sebelumnya ditutup oleh
pasien. Selama masa “altered-state” pasien dapat mengalami penurunan
gejala karena efek relaksasi. Amobarbital sendiri perlu diingat adalah obat
anti kejang sehingga ia dapat mengurangi gejala kejang akibat real-
seizure.
1) Indikasi terapi ini :
a) Pemulihan fungsi pseudoneurologik
b) Membedakan gangguan konversi dengan malingering
c) Abreaksi gangguan strest pasca trauma
d) Pemulihan memory akibat fugue psikogenik dan amnesia
2) Kontraindikasi terapi ini :
a) Kontraindikasi absolut berupa riwayat alergi dan porfiria
b) Infeksi atau sumbatan saluran pernapasan
c) Gangguan fungsi jantung, liver dan renal yang berat
d) Kecanduan barbiturate
e) Hipotensi atau hipertensi yang significant
f) Minimal 12 jam sesudah minum alkohol terakhir bila ada
kecurigaan keracunan alkohol
g) Pasien paranoid
h) Pasien menolak proseduriii.
3) Risiko dari terapi ini :
a) Risiko utama adalah gangguan pernapasan yang dapat
mengarahkepada apneu, khususnya jika pemberian terlalu
cepat(>50mg/min) atau dosis terlalu besar (>500 mg)
b) Kolaps vasomotor dan laryngospasma, lebih jarang
ditemukan
c) Regresi psikotik
c. Psikoterapi Psikodinamik
Dapat membantu pasien memahami konflik intrapsikis dan simbolisasi
8. Prognosis
Faktor-faktor yang membuat prognosis lebih baik antara lain onset yang akut,
stresor yang teridentifikasi, durasi gejala singkat, level kecerdasan pasien, gejala
kelumpuhan, gejala kebutaan. Pasien dengan gejala kejang atau tremor biasanya
memiliki prognosis lebih buruk.
F. Hipokondriasis
1. Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi dengan
ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius dan tidak maumenerima
penjelasan medis yang menunjukkan bahwa dirinya tidak menderita sakit.
2. Epidemiologi
Prevalensi hipokondriasis pada rawat jalan adalah 4-9%
3. Etiologi
Hipokondriasis disebabkan pasien memiliki skema kognitif yang salah. Pasien
menginterpretasikan sensasi fisik yang mereka rasakan secara berlebihan.Menurut
teori psikodinamik hipokondriasis terjadi karena permusuhan dan agresi
dipindahkan ke dalam bentuk somatik melalui mekanisme repression dan
displacement. Kemarahan yang dimaksud berasal dari kejadian penolakan dan
ketidakpuasan di masa lalu. Selain kemarahan, dapat juga penyebabnya adalah
rasa bersalah dan gejala timbul karena pasien ingin menebus kesalahannya
melalui penderitaan somatik.
4. Gambaran Klinis
Pasien terus merasa dirinya menderita penyakit serius yang belum bisa dideteksi
walaupun hasil laboratorium sudah menyatakan negatif dan dokter sudah
meyakinkan bahwa pasien tidak mengidap sakityang serius.
5. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan DSM-IV, kriteria diagnosis hipokondriasis adalah sebagai
berikut :
a. Preokupasi dengan ketakutan atau ide bahwa seseorang mempunyai
penyakitserius berdasarkan interpretasi yang salah terhadap gejala-gejala
tubuh.
b. Preokupasi menetap meskipun telah dilakukan evaluasi medik dan
penentraman
c. Keyakinan pada kriteria A tidak mempunyai intensitas seperti waham
d. Preokupasi menimbulkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atauhendaya dalam bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
e. Lamanya gangguan sekurangnya 6 bulan
f. Preokupasi bukan disebabkan gangguan cemas menyeluruh, gangguan
obsesif kompulsif, gangguan panik
6. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodik, yang durasinya setiap
episode berkisar antara bulan-tahun. Dapat terjadi periode tenang di antara
episode-episode.
7. Tatalaksana
a. Kesabaran dan reassurance adalah kunci sebab pasien hipokondriasis
sering menggunakan sumber daya medis dan menguras waktu dokter
b. Psikoterapi
1) Psikoterapi psikoanalitik umumnya tidak bermanfaat
2) Terapi Suportif bermanfaat bila didukung hal-hal berikut :
a) Ada informasi akurat mengenai gejala
b) Edukasi mengenai mispersepsi dan misinterpretasi gejala
dan sensasi somatik
c) Kunjungan dan pemeriksaan fisik secara berkala
d) Reassurance
e) Penggunaan anxiolytic singkat selama periode stress tinggi
3) Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) merupakan bentuk psikoterapi
pilihan
c. Farmakoterapi
Obat golongan SSRI bermanfaat pada pasien dengan hipokondriasis
terisolasi (tanpa ko-morbid psikiatris seperti gangguan cemas atau panik).
Fluoxetineatau paroxetine dengan dosis max 60 mg/h dan dapat juga
sertraline dosis minimal 150 mg/h.
8. Prognosis
Hipokondriasis cenderung menjadi kronis dengan periode remisi dan
eksaserbasiyang dipicu stres. Prognosis yang baik berkaitan dengan status sosial
ekonomiyang tinggi, pengobatan terhadap cemas dan depresi yang responsif,
onset gejala mendadak, tidak ada gangguan kepribadian, dan tidak ada gangguan
medis non-psikiatrik yang terkait. Bila yang menderita hipokondriasis adalah
anak-anak maka akan membaik saat remaja atau dewasa awal.
G. Gangguan Nyeri
1. Menurut DSM-IV gangguan nyeri adalah nyeri yang merupakan keluhan utama
dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor psikologislah yang berperan dalam
pengalaman nyeri pasien dan perilaku mencari pertolongan medis
2. Epidemiologi
Sekitar 7 juta orang di Amerika mengeluhkan hendaya akibat nyeri pinggang
bawah. Gejala nyeri sendiri merupakan gejala paling umum yang akan dijumpai
dalam praktek kedokteran. Waspadai keluhan nyeri akibat ketergantungan opioid
dan benzodiazepine iatrogenik. Nyeri kronik biasanya dikaitkan dengan gejala
depresi berat (25-50%), atau dystimia (60-100%).
3. Etiologi
a. Faktor Psikodinamiki.
1) Bentuk ekspresi konflik intrapsikis secara simbolik melalui tubuh.
2) Pasien dengan aleksitimia tidak mampu perasaannya secara verbal
sehingga menggunakan tubuh untuk mengekspresikan diri
3) Beberapa orang menganggap luka emosional sebagai
kelemahansehingga memindahkan (displacing) masalah pada
tubuh
4) Bisa juga sebagai bentuk penebusan terhadap rasa berdosa atau
bersalah
b. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat ketika pasien dihargai atau dicemaskan dan
dihambat ketika pasien diabaikan
c. Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit diobati dapat menjadi sarana untuk memanipulasi
hubungan interpersonal, misalnya memastikan kesetiaan pasangan
untukmempertahankan perkawinan yang rapuh
d. Faktor Biologis
Defisiensi endorfin dapat menjadi penyebab. Demikian juga pada pasien
dengan kelainan struktur limbik dan sensorik, abnormalitas tersebut dapat
menjadi faktor predisposisi.
4. Gambaran klinis
Pasien dengan gangguan nyeri akan datang dengan keluhan utama nyeri di
berbagai lokasi biasanya nyeri pinggang bawah, nyeri kepala, nyeri fasialatipikial.
Pasien umumnya punya riwayat panjang perawatan medis dan pembedahan.
Banyak yang mengunjungi beberapa dokter, meminta obat dalam jumlah besar,
bahkan mendesak pembedahan.
5. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan DSM-IV :
a. Nyeri pada satu tempat atau lebih yang menjadi fokus utama dan cukup
beratuntuk menjadi perhatian klinis
b. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya dalam
bidangsosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya
c. Faktor psikologis berperan penting dalam awitan, keparahan, eksaserbasi,
atau bertahannya nyeri
d. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau berpura-pura
e. Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan mood, cemas, atau
psikotik, dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.

Beri kode sebagai berikut :

a. Gangguan nyeri berasosisasi dengan faktor psikologis : dimana faktor


psikologis dinilai mempunya peranan dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi,atau bertahannya nyeri. Bilamana ada gangguan medis
umum hal tersebutdinilai tidak berperan dalam gejala nyeri yang
ditimbulkan
b. Gangguan nyeri berasosiasi baik dengan faktor psikologis maupun
kondisimedik umum. Gangguan medis umum yang dimaksud perlu
dicantumkan pada Axis III pada bagan diagnosis multiaksial.

Selanjutnya juga perlu digolongkan apakah berdasarkan


perjalanannyagangguan nyeri ini bersifat akut atau kronik, dengan kriteria
akut < 6 bulan dan kronik 6 bulan atau lebih.

6. Perjalanan Klinis
Nyeri muncul secara tiba-tiba dan derajat keparahan meningkat dalam
beberapaminggu atau bulan
7. Tatalaksana
a. Kenali dan tangani semua gangguan medis umum yang mungkin
berkontribusiterhadap gejala nyeri
b. Seperti pada gangguan somatisasi dan hipokondriasis, target tatalaksana
bukanlah kesembuhan melainkan perawatan, sebab tidak mungkin
menghilangkan nyeri
c. Terapis perlu mendiskusikan sejak awal bahwa sumber nyeri pasien
adalah psikogenik, menjelaskan berbagai sirkuit dalam otak yang terlibat
denganemosi seperti sistem limbik akan mempengaruhi sensorik. Namun
terapisharus memahami bahwa nyeri yang dialami pasien sebagai sesuatu
yang nyata
d. Klinik nyeri (pain clinic) dengan pendekatan multidisipliner sering
bermanfaat, sekaligus menunjukkan pada pasien bahwa penderitaan
mereka ditangani secara serius
e. Terapi perilaku yang membimbing pasien untuk menerima rasa nyeri
danmengoptimalisasi fungsi mereka walaupun tetap ada rasa nyeri
f. Farmakoterapi yang dapat menolong adalah golongan antidepresan
trisiklik dan SSRI. Golongan analgetik, sedatif, dan anticemas tidak
bermanfaat bahkan dapat menimbulkan ketergantungan dan memperparah
gejala.
8. Prognosis
Prognosis umumnya kronik dan pada akhirnya menimbulkan penderitaan dan
ketidakberdayaan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan dimana :
a. Gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis namun
tidakdapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang mendukung
penyakit fisik sebagai penyebab gejala.
b. Adanya dugaan kuat bahwa gejala-gejala tersebut berkaitan dengan
faktor psikologis.
2. Gangguan somatisasi merepresentasikan bentuk ekstrim dari gangguan
somatoform dimana gejala multipel yang melibatkan berbagai sistem organ
tidakdapat dijelaskan secara medis.
3. Gangguan konversi didefinisikan sebagai kehilangan fungsi tubuh yang
tidaksesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi.
DSM-IV membatasi gangguan konversi hanya pada gejala neurologik.
4. Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi dengan
ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius dan tidak maumenerima
penjelasan medis yang menunjukkan bahwa dirinya tidak menderita sakit.
5. Menurut DSM-IV gangguan nyeri adalah nyeri yang merupakan keluhan utama
dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor psikologislah yang berperan dalam
pengalaman nyeri pasien dan perilaku mencari pertolongan medis.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut
:
1. Kepada semua agar kiranya dapat memahami gangguan somatoform.
2. Sebaiknya kita mempelajari lagi lebih dalam dan memperbanyak membaca buku
tentang penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Darien, Alfa Cipta. 2011. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Rumah Sakit Kepolisian
Pusat Raden Said Sukanto. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

Anda mungkin juga menyukai