Anda di halaman 1dari 5

VITAMIN B2

Riboflavin (vitamin B2) tidak dapat disintesis dalam tubuh dan harus dipasok dari makanan.
Sumber vitamin B2 ditemukan di sebagian besar makanan, seperti dalam produk susu, daging, dan
sayuran hijau gelap. Kekurangan jarang terjadi karena defisien vitamin B2 karena makanan yang
cukup tersedia dan biasanya terjadi sebagai defisiensi multinutrien.
Beberapa kondisi dan obat-obatan dapat menurunkan efektivitas atau kadar riboflavin.
Suplementasi jarang diperlukan untuk mencegah ariboflavinosis ketika diet normal dikonsumsi.
Suplementasi untuk penurunan frekuensi sakit kepala migrain dan pencegahan katarak terkait usia
bisa bermanfaat. Tidak ada toksisitas.

DISKUSI:
1. Jelaskan baimanana obat-obatan dapat menurunkan efektivitas atau kadar riboflavin!
2. Bagaimana mekanisme riboflavin dalam metabolisme energi?
3. Efek samping mengkonsumsi riboflavin berlebihan berupa diare, frekuensi buang air
meningkat dan urine berwarna lebih kekuningan. Jelaskan!
4. Adakah kaitan antara defisiensi asupan riboflavin (vitamin B2) dengan demensia pada usia
lanjut? Jelaskan dengan disertai penelitian yang ada!

Hasil Diskusi
1. Riboflavin (vitamin B2) terdapat pada makanan hewani dan nabati seperti susu, keju, hati,
daging dan sayuran hijau. Riboflavin berfungsi sebagai komponen koenzim Flavin Adenin
Dinukleotida (FAD) dan Fkavin Adenin Mononukleotida (FMN). FMN dan FAD sangat
larut dalam air dan tidak tahan terhadap asam. Riboflavin di absorbsi di bagian atas usus
halus secara aktif oleh proses yang membutuhkan natrium untuk kemudian mengalami
fosforilasi hingga menjadi FMN di mukosa usus halus. (Almatsier, 2004). Kadar riboflavin
dalam tubuh manusia dapat berkurang apabila dikonsumsi dengan obat antidepresan
tetrasiklik (obat yang digunakan untuk mengobati masalah kejiwaan). Hal ini dikarenakan,
obat antidepresan menghambat penggabungan riboflavin ke dalam FAD dan FMN
(McCann, dkk, 2013).
Sebagian besar vitamin B2 dalam makanan dalam bentuk flavin koenzim yang terikat
enzim, sekitar 60-90% sebagai FAD. FAD dan riboflavin fosfat yang dihidrolisis dalam
lumen usus oleh nukleutida difosfat dan berbagai fosfatase spesifik untuk menghasilkan
riboflavin bebas yang diserap usus kecil bagian atas dengan mekanisme saturable dan
tergantung natrium. Didalam sel epitel mukosa usus, riboflavin bebas mengalami
fosforilasi dengan bantuan ATP dan sebagai FMN dialirkan mealalui vena porta ke hati.
(Sumbono, 2016).
Turunan fenotiazin seperti obat anti-psikotik klorpromazin dan antidepresan trisiklik
menghambat penggabungan riboflavin ke dalam FAD dan FMN, seperti halnya obat anti-
malaria, quinacrine, dan agen kemoterapi kanker , Adriamycin (McCann, et.al, 2013).
Daftar Pustaka :
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama
McCann, dkk. 2013. Riboflavin. Oregon State University: Linus Pauling Institute
(https://lpi.oregonstate.edu/mic/vitamins/riboflavin)
Sumbono. Aung. 2016. Ebbok Google, Biokimia Pangan Dasar, Jakarta di
https://books.google.co.id/books?id=sM4oDwAAQBAJ&pg=PA269&lpg=PA
269&dq=absorbsi+ribof&source=bl&ots=WIkabzaVyQ&sig=ACfU3U0snBW
yvscPW47auWk3Y8H8FcFs1w&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjh1_y-
_sXkAhWymOYKHRk9BNA4ChDoATAEegQICRAB#v=onepage&q=absorb
si%20ribof&f=false
2. Riboflavin merupakan komponen dasar dari koenzim flavin adenine dinucleotida (FAD)
dan flavin mononucleotida (FMN). FAD merupakan bagian dari ikatan transport electron
yang merupakan pusat produksi energi (Wulandari dan Fitriasih, 2014).

Gambar 1. FMN dan FAD

FMN dan FAD adalah koenzim dari kelas enzim dehidrogenase. Dalam siklus krabs
terjadi proses dehidrogenase suksinat dimana FAD mengkatalisis reaksi oksidasi suksinat
menjadi fumarate. Selama siklus katalitik FAD berfungsi sebagai pembawa sementara
sepasang atom hydrogen (H) yang dipindahkan dari molekul substrat, reaksi ini
ditampilkan dengan cara di bawah ini0 (Astawa, 2015).

suksinat + E-FAD → fumarat + E-FADH2

Pada proses tersebut suksinat dioksidasi oleh enzim suksinat dehydrogenase yang
menghasilkan fumarat dan 1 molekul FADH2. FADH2 akan dioksidasi melalui proses
fosforilasi oksidatif di dalam mitokondria yang menghasilkan 2 molekul ATP (Firani,
2017).

Daftar Pustaka :

Wulandari, Leni. Fitriasih, Yuli. 2014. Pentingnya Suplemen Tablet Besi Bagi
Peningkatan kadar Hemoglobin Pada Remaja Putri. Diakses pada: 11
September 2019. (Available at:
http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/majalahilmiahsultanagung/article/downlo
ad/2776/2032 )
Astawa, I Putu Ari. 2015. Bahan Ajar Biokimia. Struktur vitamin dan koenzim yang
larut dalam air. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar. Diakses
pada: 11 September 2019.(Available at:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/950dca7eb6a308459815
218ed112c215.pdf)
Firani, Novi K. 2017. Tinjauan Biokimia Dan Patologis. Universitas Brawijaya Press.
Malang. Diakses pada 10 September 2019. (Available at:
https://books.google.co.id/books?id=RzNTDwAAQBAJ&dq=rantai+karbon+s
uksinat+dan+fumarat&hl=id&source=gbs_navlinks_s)

3. Urin meningkat akibat kelebihan asupan riboflavin yang diakbitkan karena tubuh
menyerap riboflavin dengan kapasitas tunggal diatas 27mg dan menyimpannya dalam hati,
jantung dan ginjal. Ketika terdapat jumlah yang berlebih saat dikonsumsi, riboflavin tidak
diserap diekskresikan dalam urin (National Intitutes of Health, 2018). Simpanan riboflavin
dalam hati dan ginjal yang berlebih dapat mengakibatkan keracunan sehingga menimbukan
efek samping berupa diare (Sandra DK,).
Riboflavin atau flavin utama yang diekskresikan dalam urin manusia dalam jumlah yang
signifikan berupa 7 alpha-hydroxyriboflavin dan jumlah yang lebih kecil berupa 8 alpha-
hydroxyriboflavin. Selain itu, jumlah yang lebih rendah berupa 10-hydroxyethylflavin dan
lumiflavin (timbul dari proses fotodekomposisi) merupakan bagian dari flavin yang tidak
diserap, yang mencerminkan tingkat asupan. Semakin banyak kelebihan flavin yang tidak
diserap semakin meningkatkan konsumsi air putih untuk proses pengeluaran yang
mengakibatkan frekuensi buang air meningkat (Powers HJ, 2003).
Vitamin B2 merupakan zat padat yang berwarna kuning-oranye yang larut dalam air.
Vitamin B2 paling mudah dikenali secara visual karena penampakan warna kuning pada
urin dari orang yang mengkonsumsinya. Pada konsumsi vitamin B2 yang melebihi
kebutuhan dapat mengakibatkan urin menjadi berwarna kuning cerah (flavinuria)
(Sumbono, 2016).

Daftar pustaka
National Intitutes of Health. 2018. Riboflavin di
https://ods.od.nih.gov/factsheets/Riboflavin-HealthProfessional/ (diakses 11
September 2019)
Sumbono, 2016. Biokimia Pangan Dasar. Deepublish di
https://books.google.co.id/books?id=sM4oDwAAQBAJ&printsec=frontcover
&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false (diakses
10 September 2019)
Sandra DK. Penyakit Kelebihan dan Kekurangan Vitamin
(https://www.academia.edu/8786514/Penyakit_Kelebihan_dan_Kekurangan_
Vitamin)

4. Defisiensi riboflavin menyebabkan konsentrasi plasma hemosistein meningkat


dihubungkan dengan meningkatnya pravalensi penurunan kognitif serta peningkatan risiko
perkembangan demensia. Semakin tinggi homosistein dapat meningkatkan risiko penyakit
jantung dan beberapa penyakit kronis lainnya.
Menurt jurnal Pratiwi (2013) dengan judul Pola Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik,
Riwayat Penyakit, Riwayat Demensia Keluarga, Dan Kejadian Demensia Pada Lansia Di
Panti Werdha Tresna Bogor Zat gizi mikro diketahui berkaitan dengan kejadian demensia
pada lansia, terutama vitamin B kompleks. Kekurangan vitamin B kompleks pada lansia
dapat meningkatkan risiko terjadinya demensia. Risk factors terdiri dari usia, riwayat
penyakit, dan riwayat demensia keluarga. Hasil uji korelasi antara tingkat kecukupan
vitamin B1, B2, dan B6 dengan kejadian demensia menunjukkan bahwa terdapat hubungan
negatif yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin B1, B2, dan B6 dengan kejadian
demensia (p<0.05). Hal ini berarti semakin rendah tingkat kecukupan vitamin B1, B2, dan
B6 maka semakin tinggi nilai CDR.

Daftar pustaka
Pratiwi, Chairunnisa Utami. 2013. Pola Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Riwayat
Penyakit, Riwayat Demensia Keluarga, Dan Kejadian Demensia Pada Lansia Di
Panti Werdha Tresna Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan, Vol 8(2): 129—136.

Anda mungkin juga menyukai