Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FARMAKOTERAPI II

“SKIZOFRENIA”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

IVAN JULIO G 701 17 012


REZA AFRIANO G 701 17 047
MUTIARA G 701 17 109
FARDHANY EKAPUTRA G 701 16 257

KELAS A

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarokatu, Pertama-tama marilah kita ucapkan puji syukur


atas kehadirat Allah yang maha kuasa, yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga saya bisa
menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “Depresi”

Ucapan terima kasih kami ucapkan juga kepada dosen pembimbing mata kuliah
farmakoterapi II sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya berharap makalah ini
dapat memberikan sumbangsi untuk menambah pengetahuan para pembaca. Dalam pembuatan
makalah ini saya mengharapkan agar di berikan saran dan masukan dari semua pihak karena
saya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih ada kekurangan.

Demikian dan Terima kasih.

Palu, Februari 2020

Kelompok 6
DAFTAR ISI

SAMPUL…………………………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….
I.1 Latar Belakang…………………………………………………..

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………..

II.1 Defenisi…………………………………………………………..
II.2 Epidemiologi……………………………………………………..
II.3 Etiologi……………………………………………………………
II.4 Patofisiologi………………………………………………………
II.5 Faktor Risiko…………………………………………………….
II.6 Klasifikasi………………………………………………………..
II.7 Tanda/Gejala dan Diagnosa……………………………………..
II.8 Prognosis - Monitoring………………………………………….
II.9 Tatalaksana Terapi……………………………………………..
a. Terapi farmakologi………………………………………....
b. Terapi nonfarmakologi……………………………………..

BAB III PENUTUP…………………………………………………….

III.1 Kesimpulan………………………………………………………
III.2 Saran……………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Salah satu gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di seluruh dunia
adalah skizofrenia. Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa semakin modern dan
industrial suatu masyarakat, semakin besar pula stressor psikososialnya, yang pada
gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak mampu mengatasinya. Salah satu
penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia. Data WHO pada tahun 2012 menunjukkan
bahwa angka penderita gangguan jiwa mengkhawatirkan secara global, sekitar 450 juta
orang yang menderita gangguan mental. Orang yang mengalami gangguan jiwa sepertiganya
tinggal di negara berkembang, sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan mental itu tidak
mendapatkan perawatan.

Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen kesehatan mengatakan bahwa jumlah


penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat
penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa rasa cemas depresi, stress, penyalahgunaan
obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Di era globalisasi, gangguan kejiwaan
meningkat sebagai contoh penderita tidak hanya dari kalangan bawah sekarang kalangan
pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga terkena gangguan jiwa. Pasien
skizofrenia mengalami halusinasi disebabkan karena ketidakmampuan pasien dalam
menghadapi stresor dan kurangnya kemampuan dalam mengenal dan cara mengontrol
halusinasi sehingga menimbulkan suatu gejala.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Defenisi
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang banyak terdapat dalam masyarakat.
Skizofrenia merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh bermacam penyebab yang
ditandai dengan penyimpangan pikiran dan persepsi serta afek yang tidak wajar yang
ditandai dengan gangguan pikiran, bahasa, persepsi, dan sensasi mencakup pengalaman
psikotik berupa gejala positif dan negatif (Yusuf dkk, 2015).

Skizofrenia (schzophernia; dibaca “skit-se-fri-nia”) adalah salah satu gangguan jiwa


berat yang dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku individu. Skizofrenia
adalah bagian dari gangguan psikosis yang terutama ditandai dengan kehilangan
pemahaman terhadap realitas Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindroma dengan variasi
penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating” yang luas serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan
pengaruh genetic, fisik dan social-budaya (Yudhantara, dan Istiqomah, 2018).

Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir,
kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan
dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal
yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autism (Zahnia dan Sumekar,
2016).

II.2 Epidemiologi
Epidemiologi schizophrenia atau lebih sering disebut skizofrenia merupakan penyakit
yang umum terjadi di seluruh dunia baik dari negara berkembang maupun negara maju.
Angka mortalitas pada pasien dengan gangguan ini juga relatif tinggi akibat keinginan
untuk bunuh diri pada pasien karena tidak tahan dengan halusinasi yang terjadi pada
dirinya. Secara global diperkirakan sekitar 1% di seluruh dunia. Perkiraan prevalensi dari
negara tidak berkembang secara signifikan lebih rendah jika dibandingkan dari negara
berkembang atau maju. Imigran-imigran yang menuju ke negara maju menunjukkan
peningkatan angka schizophrenia yang dapat diturunkan ke generasi berikutnya (Ayano,
2016).

Riset kesehatan Dasar pada tahun 2013 menyebutkan prevalensi skizofrenia dan
gangguan jiwa berat di Indonesia yaitu 1,7%. Walaupun skizofrenia tidak gangguan mental
lainnya, gangguan jiwa ini menyebabkan gangguan fungsi individu, seperti akademik,
pekerjaan, dan fungsi sehari-hari yang lain dalam taraf berat. Secara umum skizogfrenia
mempunyai onset remaja hingga dewasa muda. Onset usia pada pria berkisar antara usia
18-25 tahun sedangkan pada wanita pada usia 25-35 tahun. Onset yang jarang dapat terjadi
pada usia dini dan pada usia lanjut di atas 40 tahun (Yudhantara, dan Istiqomah, 2018).

Kejadian skizofrenia pada pria lebih besar daripada wanita. Kejadian tahunan
berjumlah 15,2% per 100.000 penduduk, kejadian pada imigran dibanding penduduk asli
sekitar 4,7%, kejadian pada pria 1,4% lebih besar dibandingkan wanita. Di Indonesia,
hampir 70% mereka yang dirawat di bagian psikiatri adalah karena skizofrenia. Angka di
masyarakat berkisar 1-2% dari seluruh penduduk pernah mengalami skizofrenia dalam
hidup mereka.2 Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang banyak dapat
memiliki prevalensi skizofrenia yang tinggi. Namun sangat disayangkan data prevalensi
skizofrenia tidak dimiliki oleh Indonesia, oleh sebab itu perlu dilakukan kajian skizofrenia
secara komprehensif agar pencegahan penyakit skizofrenia dapat dilakukan dengan baik
(Zahnia dan Sumekar, 2016).

II.3 Etiologi
Penyebab skizofrenia masih belum diketahui secara jelas. Penelitian menunjukkan
adanya kelainan pada struktur dan fungsi otak. Kombinasi faktor genetik dan lingkungan
berperan dalam perkembangan skizofrenia. Faktor genetik dapat menjadi penyebab
skizofrenia sekitar 0,6-1,9% pada populasi U.S (ChisholmBurns et al., 2016). Seseorang
dengan riwayat kedua orang tua mengalami skizofrenia berisiko 40% untuk menderita
skizofrenia (Dipiro et al., 2011). Pada kembar monozigot, jika satu kembar telah
didiagnosis menderita skizofrenia maka kemungkinan kembar lainnya menderita
skizofrenia sekitar 50% (Chisholm-Burns et al., 2016).
II.4 Patofisiologi

Menurut Sinuraya, dkk (2018) beberapa patofisiologi skizofrenia berdasarkan


penyebabnya adalah:

a. Peningkatan ukuran ventrikel, penurunan ukuran otak dan asimetri otak. Penurunan
volume hipokampus berhubungan dengan kerusakan neuropsikologis dan
penurunan respons terhadap antipsikotik tipikal.
b. Hipotesis dopaminergik.
Skizofrenia dapat disebabkan oleh hiperaktivitas atau hipoaktivitas dopaminergik
pada area tertentu di otak serta ketidaknormalan reseptor dopamin (DA).
Hiperaktivitas reseptor dopamin (DA) pada area mesocaudate berkaitan dengan
munculnya gejala-gejala positif. Sementara hipoaktivitas reseptor dopamin (DA)
pada area korteks prefrontal berkaitan dengan munculnya gejala-gejala negatif.
Dopamin disekresikan oleh neuron yang badan selnya terletak di bagian tegmentum
ventral mesensefalon, medial dan superior substansia nigra. Neuron-neuron ini
menyebabkan kondisi hiperaktivitas dopaminergik pada sistem mesolimbik.
Dopamin tersebut disekresikan ke bagian medial dan anterior sistem limbik,
terutama hipokampus, amygdala, anterior caudate, nukleus dan bagian lobus
prefronta yang merupakan pusat pengendali perilaku.
c. Disfungsi glutamatergik. Penurunan aktivitas glutamatergik berkaitan dengan
munculnya gejala skizofrenia.
d. Kelainan serotonin (5-HT). Pasien skizofrenia memiliki kadar serotonin 5HT yang
lebih tinggi. Hal ini juga berkaitan dengan adanya peningkatan ukuran ventrikel.

II.5 Faktor Risiko


Penyakit autoimun merupakan salah satu faktor risiko skizofrenia. Skizofrenia
meningkat pada satu tahun setelah penyakit autoimun terdiagnosis. Pada penyakit
autoimun seperti lupus eritematous sistemik, ditemukan prevalensi gejala neuropsikiatrik
yang tinggi yang dapat dipengaruhi oleh autoantibodi yang melewati barrier darahotak.
Efek ini berkaitan dengan afinitas antibodi terhadap reseptor N metil-d-aspartat di otak,
sebuah reseptor yang menjadi pusat terhadap teori patofisiologi skizofrenia saat ini.
Adanya infeksi berat juga meningkatkan risiko skizofrenia secara signifikan. Peningkatan
inflamasi pada penyakit autoimun dan infeksi dapat mempengaruhi otak melalui jalur yang
berbeda. Satu jalur yang mungkin adalah peningkatan permeabilitas barier darah-otak
membuat otak terpengaruh oleh komponen autoimun seperti autoantibodi dan sitokin
(Zahnia dan Sumekar,2016).

II.6 Klasifikasi
Menurut referensi Hospital Authority (2018) , dinyatakan bahwa klasifikasinya yaitu :

Tipe skizofrenia Gejala - gejala Umum

Paranoid 1. Gangguan psikomotor , seperti adanya stupor,


negativisme, rigiditas, postur aneh, agitasi dan mutisme
(bisu)
2. Cenderung mengalami waham kebesaran
3. Ansietas, marah dan agumentatif
4. Hubungan interpersonal menguat
5. Berpotensi berperilaku agresif pada diri sendiri atau
orang lain
6. Keterampilan kognitif dan afektif tetap utuh.
7. Gangguan psikomotor , seperti adanya stupor,
negativisme, rigiditas, postur aneh, agitasi dan mutisme
(bisu)
8. Cenderung mengalami waham kebesaran
9. Ansietas, marah dan agumentatif
10. Hubungan interpersonal menguat
11. Berpotensi berperilaku agresif pada diri sendiri atau
orang lain
12. Keterampilan kognitif dan afektif tetap utuh.
Katatonik 1. Gangguan psikomotor , seperti adanya stupor,
negativisme, rigiditas, postur aneh, agitasi dan mutisme
(bisu)
2. Respon motorik tidak lazim dalam bentuk diam dan
pada posisi di tempat (waxy flexibility) atau pada posisi
kegiatan eksesif.
3. Tingkah laku ganjil dengan tubuh dan wajah yang
menyeringai (grimering)
4. Sering mengulang atau meniru kata-kata orang lain
5. Catatan immobility , yaitu gangguan perilaku motoric
dimana orang itu tetap diam tanpa bergerak dalam kurun
waktu lama dengan postur tubuh yang ganjil.
Tidak terbeban 1. Waham dan halusinasi
2. Inkoheren
3. Perilaku tidak terorganisasi
yang tidak dapat digolongkan
ke dalam salah satu tipe.

Disorganisasi 1. Perilaku kacau balau, bingung


ataupun ganjil yang
menyebabkan gangguan berat
dalam aktivitas sehari-hari.
2. Kurang memiliki hubungan
3. Kehilangan asosiasi
4. Bicara tidak teratur
5. Afek datar dan tidak sesuai
6. Gangguan kognitif

Residual 1. Minimal pernah mengalami


satu episode skizofrenik dengan
gejala psikotik yang menonjol diikuti oleh episode lain
tanpa
gejala psiotik
2. Emosi tumpul
3. Menarik diri dari dunia realita
4. Pengalaman persepsi tidak
biasa
5. Perilaku eksentrik
6. Pemikiran tidak logis
7. Kehilangan asosiasi
8. Adanya delusi dan halusinasi
yang aneh-aneh dan salah, ideide yang tidak wajar,
pemalas
dan memiliki afek yang datar.
II.7 Tanda/Gejala dan Diagnosa
A. Gejala
Menurut Zahnia dan Sumekar (2016) ada beberapa gejala skizofrenia yang dapat
ditemukan, antara lain yaitu :
a. Gangguan pikiran
Biasanya ditemukan sebagai abnormalitas dalam bahasa, digresi berkelanjutan
pada bicara, serta keterbatasan isi bicara dan ekspresi.
b. Delusi
Merupakan keyakinan yang salah berdasarkan pengetahuan yang tidak benar
terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan latar belakang sosial dan kultural
pasien.
c. Halusinasi Persepsi sensoris dengan ketiadaan stimulus eksternal.
Halusinasi auditorik terutama suara dan sensasi fisik bizar merupakan halusinasi
yang sering ditemukan.
d. Afek abnormal
Penurunan intensitas dan variasi emosional sebagai respon yang tidak serasi
terhadap komunikasi.
e. Gangguan kepribadian motor
Adopsi posisi bizar dalam waktu yang lama, pengulangan, posisi yang tidak
berubah, intens dan aktivitas yang tidak terorganisis atau penurunan pergerakan
spontan dengan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
II.8 Prognosis – Monitoring
Menurut
1) Usia pertama kali timbul (Onset), makin muda makin buruk.
2) Mula timbulnya akut atau kronik, apabila akut lebih baik.
3) Tipe skizofrenia, episode skizofrenia akut dan katatonik lebih baik.
4) Cepat, tepat serta teraturnya pengobatan yang di dapat.
5) Ada atau tidaknya faktor pencetusnya, jika ada lebih baik.
6) Ada atau tidaknya faktor keturunan, jika ada lebih baik.
7) Kepribadian prepsikotik, jika schizoid, skizotim, atau introved lebih jelek.
8) Keadaan sosial ekonomi, bila rendah lebih jelek.
II.9 Tatalaksana Terapi
Algoritma Farmakoterapi Skizofrenia

(Wells et al., 2015)

Wells, et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook 9th Edition. New York: McGraw-Hill

Algoritma Farmakoterapi Skizofrenia yang Disarankan

Stage 1 A Stage 1 B

Istirahat Antipsikotik

Monoterapi antipsikotik kecuali Monoterapi Antipsikotik kecuali


klozapin klozapin. Antipsikotik yang
sebelumnya menghasilkan
efikasi yang buruk tidak boleh
digunakan

Stage 2

Pasien tidak memberikan respon baik


terhadap antipsikotik pada tahap 1A atau
1B

Monoterapi antipsikotik kecuali klozapin


tidak digunakan pada tahap 1A atau 1B.

Klozapin dipertimbangkan pada pasien


bunuh diri
Gunakan
Antipiskotik Long-
Acting injectable
Stage 3 (LAI) pada stage 2
atau 4 jika
Pasien tidak memberiakn respon baik kepatuhan pasien
terhadap dua antipsikotik yang diuji rendah atau jika
pasien memilih LAI
Rekomendasi monoterapi klozapin
sebagai pengobatan

Stage 4

Pasien kurang berespon terhadap klozapin

Monoterapi alterantif antipsikotik yang


setara dengan kombinasi antipsikotik.
Farmakoterapi Skizofrenia

Antipsikotik

Penggunaan Antipsikotik sebagai farmakoterapi digunakan untuk mengatasi gejala


psikotik dengan berbaagai etiologi, salah satunya skizofrenia. Antipsikotik diklasifikasikan
menjadi antipsikotik generasi pertama dan antipsikotik generasi kedua. Antipsikotik
Generasi Pertama Antipsikotik generasi pertama merupakan antipsikotik yang bekerja
dengan cara memblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik ini memblokir sekitar 65%
hingga 80% reseptor D2 di striatum dan saluran dopamin lain di otak. Jika dibandingkan
dengan antipsikotik generasi kedua, antipsikotik ini memiliki tingkat afinitas, risiko efek
samping ekstrapiramidal dan hiperprolaktinemia yang lebih besar. Antipsikotik generasi
pertama efektif dalam menangani gejala positif dan mengurangi kejadian relaps. Sebanyak
30% pasien skizofrenia dengan gejala akut menghasilkan sedikit atau tanpa respon
terhadap pengobatan antipsikotik generasi pertama. Antipsikotik generasi pertama
memiliki efek yang rendah terhadap gejala negatif. Antipsikotik generasi pertama
menimbulkan berbagai efek samping, termasuk ekstrapiramidal akut, hiperprolaktinemia
serta tardive dyskinesia. Efek samping tersebut disebabkan oleh blokade pada jalur
nigrostriatal dopamine dalam jangka waktu lama. Antipsikotik generasi pertama memiliki
afinitas yang rendah terhadap reseptor muskarinik M1 Ach, histaminergik H1 dan
norepinefrin a1 yang memicu timbulnya efek samping berupa penurunan fungsi kognitif
dan sedasi secara bersamaan (Sinuraya, dkk 2018).

- Terapi non-farmakologi
Terapi non farmakologi pada penderita skizofrenia meliputi pendekatan
psikososial dan ECT (Electro Convulsive Therapy). Peningkatan kualitas hidup dan
kesembuhan pasien skizofrenia akan lebih baik jika diberikan juga terapi non
farmakologi disamping terapi obat. Kombinasi kedua terapi ini akan mampu
memberikan manfaat yang banyak bagi pasien. Pendekatan psikososial bertujuan
untuk memberikan dukungan emosional kepada pasien sehingga pasien mampu
meningkatkan fungsi sosial dan pekerjaannya dengan lebih baik. Ada beberapa jenis
pendekatan psikososial yang biasa dilakukan pada pasien skizofrenia, diantaranya
yaitu Program for Assertive Community Treatment (PACT), intervensi keluarga,
terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural therapy), dan pelatihan keterampilan
sosial (Ikawati, 2011).
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang banyak terdapat dalam masyarakat.
Skizofrenia merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh bermacam penyebab yang
ditandai dengan penyimpangan pikiran dan persepsi serta afek yang tidak wajar yang
ditandai dengan gangguan pikiran, bahasa, persepsi, dan sensasi mencakup pengalaman
psikotik berupa gejala positif dan negative.

III.2 Saran

Dalam pembuatan makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, karena waktu
juga sehingga mungkin kurang maksimal dalam pengerjaan. Sebaiknya, mahasiswa dapat
memahami dengan baik materi yang telah di berikan.
DAFTAR PUSTAKA

Ayano G. 2016. Schizophrenia: A concise overview of etiology, epidemiology diagnosis and


management; 3(2); 1-7.

Chisholm-Burns, M. A. et al., 2016. Pharmacotherapy Principles & Practice Fourth Edition.


New York: McGraw-Hill Education.

Hospital Authority (2018) Smart patient. Hongkong

Kemenkes RI. 2012. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI 2012.
Jakarta.

Sinuraya, Rano Kurnia, dkk. 2018. Farmakoterapi Dan Rehabilitasi Psikososial Pada
Skizofrenia. Bandung : Universitas Padjadjaran.

Yudhantara, Surya D. dan Istiqomah Ratri. 2018. Sinopsis Skizofrenia untuk Mahasiswa
Kedokteran. Malang : UB Press.

Yusuf, AH., Fitryasari, R., Nihayati, HE. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta : Salemba Medika

Zahnia, Siti dan Sumekar, Wulan Dyah. 2016. Kajian Epidimiologis Skizofrenia. Lampung :
Universitas Lampung.

Anda mungkin juga menyukai