Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Sdr A DENGAN CEDERA KEPALA RINGAN (CKR)


DI RUANG IGD RSUD Dr R SOEDARSONO PASURUAN

OLEH:
FIRDA AYU MAGHFIRO
1601470006

KEMENTRIAN KESHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG
JANUARI 2019
LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA RINGAN (CKR)

1. PENGERTIAN
Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology
ataumenurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya
(Smeltzer,2002). Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS:15
(sadar penuh) tidakada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri
kepala, hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer,2000). Cedera kepala ringan
adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran
sementara (Corwin,2000)
Jadi cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau kejatuhan
benda tumpul yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurology sementara
atau menurunya kesadaran sementara, mengeluh pusing nyeri kepala tanpa
adanya kerusakan lainnya.
Secara umum cedera kepala dapat diklasifikasikan menurut nilai skala glasgow,
sebagai berikut :
1. Ringan (GCS 13-15)
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur serebral, hematoma
2. Sedang (GCS 9 – 12)
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat (GCS 3 – 8)
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial

2. ETIOLOGI
Penyebab cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh,
dan cedera olah raga, cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh pisau atau
peluru. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab terbesar kematian dan
kecacatan utama pada usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan dilokasi kejadian dan
transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal diruang gawat
darurat sangat menentukan pelaksanaan dan prognosis selanjutnya (Corwin,
2000).

3. PATOFISIOLOGI
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema
dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler, patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua
proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala
primer merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat
kepala terbentur dan dapat memberi dampat kerusakan jaringan otat. Pada
cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya
akibat dari hipoksemia,iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral
menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma, berkumpulnya
antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma akibat
berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan
intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan
cerebral.
Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena
gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi
jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007).
Infeksi, fraktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran
meningen sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiiki potensi menyebar ke sistem saraf yang
lain (Gustiawan 2010). PC yang tinggi dan P yang rendah akan memberikan
prognosis yang kurang baik, oleh karenanya perlu dikontrol P tetap > 90
mmHg, Sa > 95% dan PC 30 – 50 mmHg.atau mengetahui adanya masalah
ventilasi perfusi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
Berdasarkan kerusakan jaringan otak : komusio serebri (gegar otak)
merupakan gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur
otak, terjadi hingga kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa amnesia, mual
muntah dan nyeri kepala, kontusio serebri (memar) : gangguan kerusakan
neurologik disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas jaringan otak
masih utuh, hingga kesadaran lebih dari 10, kenfusio serebri : gangguan fungsi
neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak, massa
otak terkelupas keluar dari rongga intrakranial.
Tipe trauma kepala terbagi menjadi 2 macam, yaitu :
1. trauma terbuka, menyebabkan fraktur terbuka pada tengkorak, laterasi
durameter, dan kerusakan otak jika tulang tengkorak menusuk otak.
2. trauma tertutup : kontusio serebri gegar otak adalah merupakan bentuk
trauma kapitis ringan, kontusio serebri atau memar merupakan perdarahan
kecil pada otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler, hal ini bersama
sama denga rusaknya jaringa saraf atau otak yang menimbulkan edema
jaringan otak di daerah sekitarnya, bila daerah yang mengalami cidera cukup
luas maka akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial
(Wahjoepramono,2005).
4. MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda dari terjadinya cedera kepala ringan adalah :
Pingsan tidak lebih dari 10 menit, tanda-tanda vital dalam batas normal atau
menurun, setelah sadar timbul nyeri, pusing, muntah, GCS 13-15, tidak
terdapat kelainan neurologis.
Gejala lain cedera kepala ringan adalah :
Pada pernafasan secara progresif menjadi abnormal, respon pupil mungkin
lenyap atau progresif memburuk, nyeri kepala dapat timbul segera atau
bertahap seiring dengan tekanan intrakranial, dapat timbul muntah-muntah
akibat tekanan intrakranial, perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik
pada berbicara serta gerakan motorik dapat timbul segera atau secara
lambat (Corwin, 2000).

5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan klien cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya
cedera dan dilakukan menurut prioritas, yang ideal penatalaksanaan tersebut
dilakukan oleh tim yang terdiri dari perawat yang terlatih dan dokter spesialis
saraf dan bedah saraf, radiologi, anastesi, dan rehabilitasi medik. Klien dengan
cedera kepala harus dipantau terus dari tempat kecelakaan, selama transportasi
: di ruang gawat darurat, unit radiology, ruang perawatan dan unit ICU sebab
sewaktu-waktu dapat berubah akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.
1. Air dan Breathing
a. Perhatian adanya apnoe
b. Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita
mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan
dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
c. Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis
dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang
telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
2. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan
darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi
maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah.
Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang
sementara penyebab hipotensi dicari.
3. disability (pemeriksaan neurologis)
a. Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya
kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan
respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali
segera tekanan darahnya normal
b. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya
pupil
Menurut prioritas tindakan pada cedera kepala ditentukan berdasarkan beratnya
cedera yang didasarkan atas kesadaran pada saat diperiksa.
1. Klien dalam keadaan sadar ( GCS : 15 ) :
a. Cedera kepala simleks ( simple head injury )
Klien mengalami cedera kepala tanpa diikuti dengan gangguan
kesadaran, amnesia maupun gangguan kesadaran lainya. Pada klien
demikian dilakukan perawatan luka, periksa radiologi hanya atas
indikasi, kepada kelurga diminta untuk mengobservasi kesadaran.
b. Kesadaran terganggu sesaat
Klien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan
saat diperiksa sudah sadar kembali, maka dilakukan pemeriksaan foto
kepala dan penatalaksanaan selanjutnya seperti cedera kepala simpleks.
2. Klien dengan kesadaran menurun
Cedera kepala ringan atau minor head injury ( GCS : 13-15) :
Kesadaran disorientasi atau not abay comand tanpa disertai defisit fokal
serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatan luka, dilakukan
foto kepala, CT Scan Kepala dilakukan jika dicurigai adanya hematoma
intrakranial, misalnya ada interval lusid, pada follow up kesadaran semakin
menurun atau timbul lateralisasi, observasi kesadaran, pupil, gejala fokal
serebral disamping tanda-tanda vital. Klien cedera kepala biasanya disertai
dengan cedera multipel fraktur, oleh karena itu selain disamping kelainan
serebral juga bisa disertai dengan kelainan sistemik ( Corwin, 2000).

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT-Scan : untuk mengidentifikasi adanya SOL hemografi, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan.
2. Angiografiserebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti
kelainan pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan trauma.
3. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya petologis.
4. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur)
5. BAER ( Brain Auditori Evoker Respon ) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak.
6. PET ( Position Emission Yomography ) menunjukan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak.
7. Fungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perubahan sub araknoid.
8. Kimia atau elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan status mental.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Fokus pengkajian pada cedera kepala ringan meliputi:
1. Riwayat kesehatan meliputi: keluhan utama, kapan cidera terjadi,
penyebab cidera, riwayat tak sadar, amnesia, riwayat kesehatan yang
lalu, dan riwayat kesehatan keluarga.
2. Pemeriksaan fisik head to toe
3. Keadaan umum (tingkat kesadaran dan kondisi umum klien).
4. Pemeriksaan persistem dan pemeriksaan fungsional.

Sedangkan menurut dongoes tahun 2000 :


1. Sistem persepsi dan sensori (pemeriksaan panca indera: penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa).
2. Sistem persarafan (tingkat kesadaran/ nilai GCS, reflek bicara, pupil,
orientasi waktu dan tempat).
3. Sistem pernafasan (nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan kepatenan
jalan nafas).
4. Sistem kardiovaskuler (nilai TD, nadi dan irama, kualitas, dan
frekuensi).
5. Sistem gastrointestinal (nilai kemampuan menelan, nafsu makan/
minum, peristaltik, eliminasi)
6. Sistem integumen (nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, luka/ lesi).
7. Sistem reproduksi.
8. Sistem perkemihan (nilai frekuensi BAK, volume BAB)
9. Pola Makan / cairan.
Gejala : mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah kemungkinan muntah proyektil, gangguan menelan
(batuk, air liur keluar,disfagia).
10. Aktifitas / istirahat
Gejala : merasa lemah, letih, kaku, kehilangan keseimbangan.
Tanda : perubahan kesadaran, letargie, hemiparese, kuadreplegia,
ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah keseimbangan, kehilangan
tonus otot dan tonus spatik.
11. Sirkulasi
Gejala : normal atau perubahan tekanan darah.
Tanda : perubahan frekuensi jantung (bradikaria, takikardia yang
diselingi disritmia).
12. Integritas ego
Gejala : perubahan tingkah laku kepribadian (terang atau dramatis)
Tanda : cemas mudah tersinggung, delirium,agitasi, bingung, depresi
dan impulsive.
13. Eliminasi
Gejala : inkontinensia kandung kemih / usus atau megalami gangguan
fungsi,
14. Neurosensori
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, Perubahan dalam
penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, fotopobia.
Tanda : perubahan status mental (oreintasi, kewaspadaan, perhatian
/konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku
dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris),
Ketidakmampuan kehilangan pengideraan seperti pengecapan,
penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetris, gengaman lemah
tidak seimbang, reflek tendon dalam tidak ada atau lemah, apaksia,
hemiparese, postur dekortikasi atau deselebrasi, kejang sangat
sensitivitas terhadap sentuhan dan gerakan.
15. Nyeri dan kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dengan lokasi yang berbeda
bisaanya sama.
Tanda : wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih (Doengoes,2000).
Pengkajian primer
a. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada,
fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas
tambahan seperti ronchi, wheezing.
c. Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi
urin.
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
Pengkajian skunder
a. Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan
membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital
b. Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
c. Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
d. Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung,
pemantauan EKG
e. Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul
abdomen
f. Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan
cedera yang lain
2. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cidera fisik: post traumatik.
2. Ketidakefektian pembersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas.
3. Hambatan mobilitas fisik b.d ketidaknyamanan.
4. Kerusakan integritas kulit : luka lecet dan luka robek b.d faktor mekanik
(J.Wikinson,2007).
3. Intervensi
1. Nyeri akut b.d agen cidera fisik: post traumatik.
Tujuan :
a. Klien mampu melaporkan nyeri kepada penyedia perawatan.
b. Klien akan mampu menunjukan teknik relaksasi individual yang
efektif untuk mencapai kenyamanan.
c. Klien mampu menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan
analgesik dan non analgesik secara tepat.
Intervensi :
a. Minta klien untuk menilai nyeri pada skala 0 sampai 10
Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri yang dialami klien.
b. Lakukan pengakajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, intensitas, keparahan nyeri dan faktor
pencetusnya.
Rasional : untuk mengetahui kondisi nyeri yang dialami klien secara
komprehensif.
c. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi tingkat
nyeri sesuai dengan kenyamanan klien.
Rasional : untuk mengurangi nyeri dengan cara non farmakologi.
d. Dukung adanya penggunaan agen farmakologi untuk pengurangan
nyeri
Rasional : untuk mengurangi nyeri ( J.Wikinson,2007).
2. Ketidakefektian pembersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas.
Tujuan :
a. Klien menunjukan pernafasan yang optimal pada saat terpasang alat
bantu pernafasan.
b. Menunjukan kecepatan dan irama respirasi dalam rentang batas normal
c. Mempunyai jalan nafas yang paten.
Intervensi :
a. Monitor status neurologic
Rasional : untuk mengetahui tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK
b. Pantau status pernafasan pasien ( kedalaman, frekuensi dan kecepatan
nafas )
Rasional : untuk mengetahui perkembangan status pernafasan klien
c. Informasikan kepada klien dan keluarga teknik nafas dalam untuk
meningkatkan pola penafasan
Rasional : untuk meningkatkan pola pernafasan klien.
d. Berikan tambahan sesuai kebutuhan
asional : untuk memenuhi kebutuhan klien
e. Posisikan pasien sesuai tingkat kenyamanan
Rasional : dengan posisi yang nyaman diharapkan status pernafasan
klien dapat meningkat ( J.Wikinson,2007).
3. Hambatan mobilitas fisik b.d ketidaknyamanan
Tujuan :
a. Klien akan akan menunjukan pengguanaan alat bantu secara benar
dengan pegawasan.
b. Klien mampu meminta bantuan untuk aktifitas mobilisasi sesuai
keperluan.
Intervensi :
a. Ajarkan teknik ambulasi dan perpindahan yang aman.
Rasional : dengan teknik perpindahan yang aman diharapkan klien
dapat beraktifitas secara aman.
b. Anjurkan kepada keluarga untuk melakukan pengawasan terhadap
aktifitas klien.
Rasional : untuk menjaga keamanan klien dalam beraktifitas.
c. Kaji kebutuhan klien akan bantuan pelayanan kesehatan
Rasional : untuk mengetahui tingkat kebutuhan klien dalam mobilisasi.
d. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan aktifitas klien .
Rasional : keluarga adalah orang terdekat klien yang harus ikut dalam
proses perawatan klien ( J.Wikinson,2007).
4. Kerusakan integritas kulit : luka lecet dan luka robek b.d faktor mekanik.
Tujuan :
a. Pasien dan keluarga akan menunjukan perawatan kulit yang optimal.
b. Menunjukan penyembuhan luka yang baik ditandai dengan
pembentukan nekrosis dan pengelupasan jaringan nekrotik
Intervensi :
a. Lakukan perawatan luka secara rutin.
Rasional : untuk menjaga kebersihan luka.
b. Inspeksi luka setiap hari.
Rasional : Untuk mengetahui kondisi luka.
c. Kaji dan dokumentasikan tentang karateristik luka, bau luka, ada atau
tidaknya eksudat, ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi luka,dan ada
atau tidaknya jaringan nekrotik.
Rasional : untuk mengetahui tingkat keparahan luka
d. Ajarkan kepada klien dan keluarga tentang cara perawatan luka.
Rasional : agar klien dan kelurga dapat melakukan perawatan luka di
rumah dengan baik (J.Wilkinson,2007).
DAFTAR PUSTAKA

Arief mansjoer. 2000. Kapita Selekta kedokteran. Edisi 3, jakarta FKUI.

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar KeperawatanMedikal bedah. Edisi 8,


Vol. 3, jakarta, EGC.

Doengoes. E. marlynn, dkk. 2000. Rencana Asuhan keperawatan, jakarta, EGC.

Elisabeth j.corwin,2001 buku saku patofisiologi.jakarta EGC

Anda mungkin juga menyukai