Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

ABSES LEHER DALAM

Pembimbing :
dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL
dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

Disusun oleh :
Jessica Tobing
030.15.093

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PERIODE 28 OKTOBER 2019 – 2 DESEMBER 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah referat yang berjudul:


ABSES LEHER DALAM

Yang disusun oleh:


JESSICA TOBING
030.15.093

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL
dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik ilmu THT
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
Periode 28 Oktober 2019 – 2 Desember 2019

Karawang, 21 November 2019

Pembimbing I Pembimbing II

dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-K

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas Kehadirat Tuhan YME atas rahmat dan karunia-NYA sehingga
penulis mampu menyelesaikan referat ini yang berjudul “Abses Leher Dalam”.
Penulisan referat ini merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Studi Pendidikan
Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.

Penulis menyadari dalam penulisan referat ini tidak luput dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis memberikan rasa
hormat dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan referat ini terutama kepada:

1. dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dan dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL
selaku pembimbing yang telah memberi masukkan dan saran dalam
penyusunan referat.
2. Teman-teman yang turut membantu menyelesaikan referat ini.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu
penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyempurnaan referat ini banyak sekali yang
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat dibutuhkan untuk perbaikan di waktu yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Karawang, 21 November 2019

Penulis

iii
iv
DAFTAR ISI

HALAMAN
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………......... ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI……………………………………………............................... iv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………….................. vi
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….. 2
2.1 Anatomi leher…………………………………………………….. 2
2.2 Abses perintosilar………………………………………………… 6
2.3 Abses submandibula..…………………………………………….. 14
2.4 Abses Angina Ludovici…………………………………………… 19
2.5. Abses Retrofaring………………………………………………… 22
2.6 Abses Parafaring………………………….……………………….. 24
BAB III KESIMPULAN……………………………………………………. 30
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 31

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring……. 2

Gambar 2. Pembagian nasofaring .................................................................... 3


Gambar 3. Abses peritonsil dengan deviasi uvula ……………………………… 9
Gambar 4. Aspirasi jarum pada abses peritonsil .............................................. 11
Gambar 5. Insisi dan drainase pada abses peritonsil ........................................ 13
Gambar 6. .(A)Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.
(B) Insisi pada abses peritonsil …………………………………… 18
Gambar 7. Insisi Mosher ……… ..................................................................... 21
Gambar 8. Insisi pada angina Ludovici ……………………………………… 28

vi
BAB I
IPENDAHULUAN

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan


membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher
dalam. Abses leher dalam didefinisikan sebagai kumpulan nanah setempat yang
terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran
infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga
tengah dan leher. Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala
infeksi pada umumnya yaitu demam, nyeri, pembengkakan di ruang leher dalam yang
terlibat. 1
Secara umum kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Kuman
penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob
maupun fakultatif anaerob. Menurut Asmar yang dikutip Murray dkk, mendapatkan
kultur dari abses retrofaring 90 % mengandung kuman aerob, dan 50% pasien
ditemukan kuman anaerob. 3
Etiologi paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi (43%) dan
penyalahgunaan narkoba (12%). Abses leher dalam dapat berupa: abses peritonsil,
abses retrofiring, abses parafaring, abses submandibular, angina Ludovici (Ludwig’s
Angina) 1,2
Salah satu keadaan darurat otolaringologis ialah abses leher dalam, maka dari
itu, diperlukan diagnosis dan perawatan yang cepat dan tepat untuk mencegah
komplikasi yang berakibat fatal seperti obstruksi jalan nafas, mediastinitis, kompresi
hingga ruptur arteri karotis interna, sepsis dan bahkan kematian.4
Penelitian Huang et al. (2008), menemukan kasus infeksi leher dalam
sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke
dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis
(7%) dan retrofaring (5,9%).5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Faring

Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring.

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,


yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan
dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.

2
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpamnjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari
dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fasia
bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring
(hipofaring).6

Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens
dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring yang
ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari
n.glososfaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik.
Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring
kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).
Pembagian faring

Gambar 2. Pembagian nasofaring

Berdasarkan letaknya faring dibagi atas: 6,7

3
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah verrtebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan
beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral
faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius,
koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus, dan
n.asesorius spinal saraf kranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus
os.temporalis dan foramen laserum, dan muara tuba Eustachius.
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior,
uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum.
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior adalah
vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada
pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan
laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah
adalah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral
pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill’s pocket), sebab pada
beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.

4
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-
kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya
sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke
sinus piriformis dan ke esofagus.

Fisiologi Faring 7

Fungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, fungsi untuk menelan, resonansi
suara, dan untuk artikulasi.

Fungsi menelan

Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase
esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini
disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transpor bolus makanan melalui
faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya
tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di
esofagus menuju lambung.

Fungsi faring dalam proses bicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
m.salfingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersama-sama
m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli
palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior
faring.

5
2.2 Abses Peritonsilar
2.2.1 Definisi 1,2,8
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan peritonsil
yang terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain adalah abses peritonsil
merupakan abses yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di fosa supratonsil, yang
disebut sebagai kelenjar Weber. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil
palatina dan muskulus konstiktor faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius
(superior), dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas ruang peritonsil potensial.
Karena terbentuk dari jaringan ikat longgar, infeksi parah area ini bisa secara cepat
membentuk material purulen. Inflamasi dan supurasi progresif bisa menyebar langsung
melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang dasar dari lidah.
2.1.2. Epidemiologi
Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat adalah sekitar 30 kasus per
100.000 orang per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus per tahun. Tidak ada data
akurat secara internasional.8
Meskipun tonsilitis penyakit anak, hanya sepertiga kasus abses peritonsil
ditemukan di kelompok umur ini. Umur pasien dengan abses peritonsil bervariasi,
dengan jarak 1-76 tahun, dengan insidensi tertinggi pada pasien dengan usia 15-35
tahun.3
Tidak ada predileksi jenis kelamin ataupun ras.8
2.1.3. Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama
dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1
Biasanya, organisme Gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi melalui
kultur. Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang paling sering.
Selanjutnya, yang paling sering adalah Staphlococcus, Pneumococcus, dan
Haemophilus. Terakhir, organisme lain yang bisa dikultur adalah Lactobacillus,
bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces sp., Micrococcus, Neisseria sp.,

6
diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak bersporulasi. Beberapa bukti
menunjukkan bakteri anaerob sering menyebabkan infeksi ini. 9
2.1.4. Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menampati
daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Proses inflamasi dan supurasi
dapat melebar melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang,
dasar lidah. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian
inferior.1
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis, bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah
tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke
arah kontralateral.
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat
pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.
Fosa tonsiler kaya akan pembuluh limfa menuju ke ruang parafaring dan
kelenjar limfa servikal superior, yang menjelaskan pola limfadenopati secara klinis.
Limfadenopati servikal superior ipsilateral adalah hasil penyebaran infeksi ke kelenjar
limfa regional. Kadang-kadang, keparahan proses supuratif dapat menuju abses
servikal, khususnya pada kasus yang sangat fulminan atau progresif cepat.
2.1.5. Gejala dan tanda1,2,8
1. Anamnesis
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan)
yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin
terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah
(hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka
mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
Pasien biasanya memiliki riwayat faringitis akut ditemani dengan tonsilitis dan rasa

7
faring tidak nyaman unilateral dan makin memburuk. Pasien mungkin mengalami
malaise, kelelahan, dan sakit kepala. Pasien sering mengalami demam dan rasa
tenggorokan penuh yang tidak simetris. Karena limfadenopati dan inflamasi otot
servikal, pasien sering mengalami nyeri leher dan bahkan keterbatasan gerak leher.
Dokter harus memikirkan diagnosis abses peritonsil pada pasien dengan gejala faring
persisten meskipun sudah diberikan rejimen antibiotik yang adekuat.
Seiring derajat inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke dasar mulut,
ruang parafaring, dan ruang prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut mengkhawatirkan
karena obstruksi jalan napas; dokter harus sadar dengan gawat darurat yang mungkin
terjadi.
2. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut dengan
faring asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis, Kebanyakan pasien memiliki
nyeri berat. Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole
asimetris, eksudasi tonsil, dan uvula disposisi kontralateral.
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole
tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak
dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak
detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.
Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil yang
terkena, pada fosa supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa dapat tampak
pucat dan mungkin menunjukkan bintil-bintil kecil. Palpasi pada palatum mole sering
menunjukkan fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel dianjurkan untuk
pasien dengan airway distress. Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan
epiglotitis dan supraglotitis, juga kelainan pita suara.
Derajat trismus tergantung dari inflamasi ruang faring lateral. Penemuan
limfadenopati servikal ipsilateral melibatkan satu atau lebih kelenjar tidak tak biasa.
Kelenjar limfa yang terkena mungkin agak padat. Pada pasien dengan inflamasi
kelenjar limfa yang signifikan, tortikolis dan keterbatasan mobilitas mungkin dialami.

8
Gambar 3. Abses peritonsil dengan deviasi uvula.10
2.1.6. Pemeriksaan Penunjang2,8
1. Pemeriksaan laboratorium
 Darah perifer lengkap, elektrolit, kultur darah: pasien dengan abses peritonsil
sering tampak septik dan dapat menunjukkan derajat bervariasi dehidrasi karena
intake oral yang kurang. Untuk mengetahui dua peristiwa ini perlu pemeriksaan
darah perifer lengkap, elektrolit, dan kultur darah.
 Tes Monospot
o Pada pasien yang menunjukkan tonsilitis dan limfadenopati servikal bilateral,
tes Monospot (antibodi heterofil) harus dipertimbangkan
o Jika hasil tes positif, pasien membutuhkan evaluasi hepatosplenomegali. Tes
fungsi hati harus dipertimbangkan pada pasien dengan hepatomegali.
 Kultur swab tenggorok: untuk membantu identifikasi organisme infeksius, swab
tenggorok dan kultur harus dipertimbangkan. Hasil dapat membantu seleksi
antibiotik yang paling tepat saat organisme teridentifikasi, mebatasi resiko
resitensi antibiotik.
2. Pemeriksaan radiologi
 Foto x-ray jaringan lunak polos
o Foto jaringan lunak leher lateral menampakkan nasofaring dan orofaring dapat
membantu dokter untuk menyingkirkan abses retrofaring.

9
o Pada foto anteroposterior, foto menunjukkan distorsi jaringan lunak tetapi
tidak berguna untuk menentukan lokasi abses.
 CT scan
o Pada kasus tertentu dan pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi dapat
dilakukan dengan CT scan rongga mulut dan leher menggunakan kontras
intravena.
o Temuan yang biasa adalah adanya kumpulan cairan hipodens pada apex
tomnsil yang terkena, dengan penebalan pinggiran.
o Temuan lain dapat termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fosa di
sekitarnya.
o Penggambaran lebih jauh limfadenopati servikal dibutuhkan, karena
identifikasi kumpulan cairan intranodal mungkin, yang mengindikasikan
abses servikal dan membantu perencanaan penanganan bedah.
 Ultrasonografi11
o Ultrasonografi intraoral sederhana, dapat ditolerir, non invasif yang dapat
membantu membedakan selulitis dan abses.
o USG juga dapat membantu pilihan aspirasi lebih langsung pada fosa tonsil
sebelum penanganan bedah definitif.
3. Aspirasi jarum
 Aspirasi jarum dapat dilakukan sebelum drainase. Ini membantu identifikasi lokasi
abses di ruang peritonsil.
 Lokasi aspirasi dianestesi dengan lidocaine dengan epinefrin, dan jarum ukuran
16-18 G dipasang di spuit 10cc. Infiltrasi adalah metode pilihan untuk anestesi
lokal untuk aspirasi dan insisi abses peritonsil.
 Jarum ditusukkan di mukosa yang telah teranestesi dimana aspirasi akan
dilakukan.
 Aspirasi material purulen merupakan diagnostik, dan dapat dikirim untuk kultur.

10
Gambar 4. Aspirasi jarum pada abses peritonsil.10
2.1.7. Diagnosis
Indikasi untuk mempertimbangkan kemungkinan abses peritonsil meliputi
sebagai berikut: 8
- Pembengkakan unilateral area peritonsil.
- Pembengkakan unilateral palatum mole, dengan disposisi anterior tonsil
ipsilateral.
- Tonsilitis yang non resolusi, dengan pembesaran tonsil unilateral persisten.
Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik, karena dapat
menentukan lokasi akurat ruang abses. Cairan aspirasi dapat dikultur, dan pada
beberapa kasus, insisi dan drainase mungkin tidak perlu. Jika pasien terus menerus
melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronik setelah insisi dan drainase, ini
dapat menjadi indikasi tonsilektomi.
2.1.8. Terapi 1,8
1. Medikamentosa
 Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena sampai inflamasi hilang
dan pasien bisa melanjutkan intake cairan oral adekuat.

11
 Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa tidak
nyaman.
 Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh dari abses.
Penggunaan penisilin intravena dosis tinggi tetap sebagai pilihan baik untuk terapi
empiris untuk abses peritonsil.
 Sebagai pilihan alternatif, karena biasanya pus mikrobial, obat yang mengobati
kopatogen dan tahan terhadapp beta laktamase juga dianjurkan sebagai pilihan
pertama.
 Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.
2. Bedah
a. Aspirasi jarum
 Aspirasi jarum dapat dilakukan pada anak berumur 7 tahun, khususnya jika sedasi
sadar dilakukan.
 Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik karena bisa
menentukan lokasi rongga abses secara akurat.
 Cairan aspirasi dapat dikirim untuk kultur dan pada beberapa kasus, dpat tidak
dilanjutkan dengan insisi dan drainase.
b. Insisi dan drainase
 Insisi dan drainase intraoral dilakukan dengan menginsisi mukosa di atas abses,
biasanya terletak di lipatan supratonsil.
 Setelah abses terlihat lokasinya, diseksi tumpul dilakukan untuk memecahkan
lokulisasi.
 Pembukaan dibiarkan terbuka untuk drainase, dan pasien diminta untuk berkumur
dengan larutan NaCl, supaya material yang terakumulasi keluar dari rongga abses.
 Aspirasi atau drainase yang berhasil menuju ke perbaikan segera gejala-gejala
pasien.
Pada pasien sangat muda atau inkooperatif atau saat abses terletak di tempat
tidak biasa, sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

12
Gambar 5. Insisi dan drainase pada abses peritonsil.10
c. Tonsilektomi
 Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-
sama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’chaud”. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’tiede”, dan bila
tonsilektomi 4-6 minggu setelah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’froid”.
 Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu
setelah drainase abses.
2.1.9. Komplikasi.1,8
1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
4. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang submandibular dan sublingual di dasar mulut
(Angina Ludovici).

13
5. Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau
cabangnya terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal
pascaoperasi.
2.1.10. Prognosis
Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat
sembuh dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami abses kembali,
membutuhkan tonsilektomi.Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok berulang
dan/atau kronis setelah insisi dan drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan.8

2.3. ABSES RETROFARING


2.3.1. Definisi1,2,12
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal
dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar
ke kelenjar limfe retrofaring.
Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal
ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa,
masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa
dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah.
Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi.
Abses retrofaringeal menghasilkan gejala nyeri tenggorok, demam, kaku leher,
dan stridor. Abses retrofaringeal terjadi lebih sedikit daripada jaman dahulu karena
penggunaan antibiotik meluas pada infeksi saluran napas atas supuratif. Abses
retrofaringeal, dulu secara eksklusif merupakan penyakit anak, sekarang meningkat
frekuensinya pada orang dewasa. Abses retrofaringeal menunjukan tantangan
diagnostik pada dokter gawat darurat karena kejadiannya yang tidak frekuen dan
presentasi yang bervariasi.

14
Pengenalan segera dan penanganan agresif terhadap abses retrofaringeal
penting karena penyakit ini masih memiliki mortalitas dan morbiditas yang signifikan.
2.3.2. Epidemiologi
Frekuensi
Abses retrofaringeal relatif berkurang frekuensinya dibanding dulu karena
penggunaan antibiotik. Namun pada beberapa studi di Amerika Serikat yang
merupakan negara maju juga didapatkan peningkatan frekuensi dalam 12 tahun
sebanyak 4,5 kali.13
Jenis Kelamin
Abses retrofaringeal lebih biasa terjadi pada laki-laki daripada perempuan,
dengan frekuensi 50-67% pada laki-laki dan 33-50% pada perempuan, dari hasil
beberapa studi.14
Umur
Abses retrofaringeal dulu merupakan penyakit yang biasa terjadi pada anak,
namun sekarang frekuensi pada dewasa meningkat.12
2.2.3. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1)
infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma
dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis,
seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra
servikalis bagian atas (abses dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised
atau penyakit kronis seperti diabetes, kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko
yang meningkat terhadap abses retrofaringeal.1,2,12
2.2.4. Gejala dan tanda 1,2,12
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak
kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau
minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena
sumbatan, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai
laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi

15
suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau
pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan gizi yang kurang disertai letargi.
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa
terlihat bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat membengkak.
Pada anak dapat ditemukan gejala dan tanda tonsilitis, faringitis, dan juga otitis media.
2.2.5. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium 12
 Darah perifer lengkap
 Kultur darah diindikasikan sebelum pemberian antibiotik, tapi hasil kultur
mungkin negatif pada sekitar 82% kasus abses retrofaringeal.
 Kultur pus, yang diaspirasi pada saat drainase abses retrofaringeal, dapat
menumbuhkan satu atau lebih organisme 91% dari setiap pemeriksaan.
 Protein C-reaktif (CRP)
2. Pemeriksaan radiologi 12
 Foto x-ray jaringan lunak leher lateral
o Pelebaran jaringan lunak retrofaringeal diamati pada 88% pasien dengan abses
retrofaringeal menunjukan pembengkakan jaringan lunak lebih dari 7 mm
pada C2 dan lebih dari 14 mm pada C6. Studi lain menemukan pembengkakan
jaringan lunak lebih dari 7 mm pad C2 dan lebih dari 22 mm pada C6; jadi,
radiografi leher lateral bisa kurang sensitif untuk mendeteksi abses
retrofaringeal daripada studi ini.
o Selain pembengkakan jaringan lunak, radiografi leher lateral kadang-kadang
tetapi jarang dapat menunjukan air fluid level, gas di jaringan, atau benda
asing.
 CT scan leher
o CT scan leher dengan kontras intravena sangat bergun untuk diagnosis dan
manajemen abses retrofaringeal. Abses retrofaringeal tampak sebagai lesi
hipodens pada ruang retrofaringeal dengan penebalan cincin perifer. Temuan

16
lain pada CT scan meliputi pembengkakan jaringan lunak, lapisan lemak yang
terobliterasi, dan efek masa.
o Lakukan CT scan leher dengan kontras intravena saat temuan x-ray leher
lateral kurang jelas atau gejala klinis abses retrofaringeal memenuhi tetapi x-
ray leher lateral memberi hasil negatif. X-ray leher lateral dapat menyesatkan,
terutama pada anak-anak.
o CT scan leher dengan kontras intravena juga dapat berguna jika x-ray positif
karena CT scan dapat membedakan antara abses retrofaringeal dan selulitis.
CT scan leher juga dapat membandingkan abses retrofaringeal dan
limfadenopati pada anak, yang dapat membantu dokter bedah THT untuk
menentukan pengobatan dengan antibiotik intravena saja atau dengan drainase
abses.
 Foto x-ray dada diindikasikan untuk melihat pneumonia spirasi dan mediastinitis.
 MRI dengan gadolinium dapat melihat abses retrofaring, tetapi modalitas ini
belum digunakan secara luas.
 Ultrasonografi dapat menunjukkan abses retrofaringeal, tetapi penggunaannya
belum diklarifikasi.
2.2.6. Diagnosis 1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian
atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen
jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang
retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih
dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat
terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.
2.2.7. Diagnosis banding 1,12
1. Adenoiditis
2. Tumor
3. Aneurisma aorta
4. Epiglotitis

17
5. Abses peritonsil
2.2.8. Terapi 1
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah.
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob
dan anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses
melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang
keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam
analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda
infeksi reda.

Gambar 6.(A)Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.(B)


Insisi pada abses peritonsil.15
2.2.9. Komplikasi 1
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah sebagai berikut:
1. penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera
2. mediastinitis
3. obstruksi jalan napas sampai asfiksia

18
4. bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru
2.2.10. Prognosis
Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera,
ditangani secara agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa setinggi
40-50% jika pasien mengalami komplikasi serius.

2.3. ABSES PARAFARING


2.3.1. Definisi 1,2,16
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan
saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen.
2.3.2. Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:1
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah
terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dan fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,
sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi
untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.
2.3.3. Patofisiologi 16
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan
membentuk abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring.
Dari gigi anterior sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang
sublingual dan submental. Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu
adalah submandibula. Hal ini disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di bawah
garis perlekatan m. milohiod pada mandibula sedang gigi anterior dan M1 berada diatas
garis perlekatan tersebut.

19
2.3.4. Gejala dan tanda 1
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan diniding lateral
faring, sehingga menonjol ke arah medial.

2.3.5. Pemeriksaan Penunjang 16


1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman
dan pemberian antibiotika yang sesuai.
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur
diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi
tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di
dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.
Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan
antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk
mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau
pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu
menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas
rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak
disekitar abses.
2.3.6. Diagnosis 1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik.
Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan
lunak AP atau CT scan.
2.3.7. Terapi 1
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap
kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada

20
perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis.
Caranya melalui insisi dari luar dan inttra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung
karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).

Gambar 7. Insisi Mosher.


Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem
arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam
ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi
tambahan terhadap insisi eksternal.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
2.3.8. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung
(per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan
peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum.

21
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan
hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis atau
septikemia.

2.4. ABSES SUBMANDIBULA


2.4.1. Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah submandibula.1,2,17 Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher
bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang
submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.1,2
2.4.2. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau
kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher
dalam lain.1 Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai
kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang
sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza,
Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman
anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram
negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium.18
2.4.3. Patofisiologi
Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur didekatnya
(gambar di bawah) oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke struktur
didekatnya. 19
2.4.5. Gejala dan tanda 1,2
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula
dan atau di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur yang banyak,
trismus akibat keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat

22
sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan di daerah submandibula,
fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang bernanah atau purulent
(merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan
terdorong ke belakang.
2.4.6. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik.
2. Radiologis
a. Foto x-ray jaringan lunak kepala AP
b. Foto x-ray panoramik: dilakukan apabila penyebab abses submandibuka
berasal dari gigi.
c. Foto x-ray thoraks: perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema
subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.
d. CT-scan: CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standard
pada abses leher dalam. Berdasarkan suatu penelitianbahwa hanya dengan
pemeriksaan klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap
luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien. Gambaran abses yang
tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih
jelas, dan kadang ada air fluid level.18
2.4.7. Diagnosis 1,2
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
2.4.8. Terapi1
1. Antibiotik (parenteral)
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi
abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.

23
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,
tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan
tanda infeksi reda.
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan
trakeostomi perlu dipertimbangkan.
2.4.9. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering
meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. Perluasan
ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus
medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial
lainnya.18
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses
juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.
2.4.10. Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis
secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi.Apabila telah
terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40-50% walaupun dengan pemberian
antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka mortalitas 20-40% sedangkan
trombosis vena jugularis mempunyai angka mortalitas 60%.

2.5. ANGINA LUDOVICI (LUDWIG’S ANGINA)


2.5.1. Definisi 1,2,20
Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis (peradangan
jaringan ikat) dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula,
tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. Penyakit ini
termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari
rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang

24
membedakan angina Ludovici dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus
melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan
submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).
2.5.2. Etiologi 1,2,21
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob
dan anaerob. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga
rahang bawah atau dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi
molar ketiga yang erupsi sebagian. Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah
juga menjadi penyebab odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar
yang terletak pada tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan
menyebar ke ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat
menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa
ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus
yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh
manipulasi instrumen saat perawatan gigi.
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar
submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut,
abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena
melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka
tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig
melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri
anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan
peptococci.
Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum,
Aerobacter aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies
Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria,
Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella.
2.5.3. Gejala dan tanda 1,2

25
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa
tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami
kesulitan membuka mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air
liur terus-menerus serta kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami
kesulitan makan dan minum. Gejala klinis umum angina Ludovici meliputi malaise,
lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau
kesulitan bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan
yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan
ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot potato voice) akibat
edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan, nyeri dan
peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam
artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular
yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan
menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien
tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan
sianosis menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat
penanganan segera. Pada pasien juga mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi
karena kurangnya asupan makanan dan minuman.
2.5.4. Pemeriksaan Penunjang22
1. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah: tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi
akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan tindakan insisi
drainase.

26
 Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang
menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan antibiotik
dalam terapi.
2. Pemeriksaang radiologi
 Foto x-ray: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam
mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat
menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada dapat
menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru. Foto
panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses,
serta struktur tulang rahang yang terinfeksi.
 USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari
abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-invasif
dan non-radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum untuk
menentukan letak abses.
 CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat
memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan dapat
mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan
napas sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan
dibutuhkannya pernapasan buatan.
 MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak dibandingkan
dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam lebih panjangnya
waktu yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat berbahaya bagi pasien
yang mengalami kesulitan bernapas.
2.5.5. Diagnosis 1,2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang ditambah adanya riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi.
2.5.6. Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:

27
 pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
 kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan
membatasi penyebaran infeksi.
 ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat
pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam
tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis
tengah secara horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi
dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai
kedalaman kelenjar submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid
sampai batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari
penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien
di rawat inap sampai infeksi reda.1,23

Gambar 8. Insisi pada angina Ludovici.15

28
2.5.7. Komplikasi 1,2,20
Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular yang
terdiri dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara klinis,
kedua ruang ini berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan bebas serta
kesamaan dalam tanda dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh
m. styloglossus melalui m. constrictor media dan superior, merupakan penghubung
antara ruang submandibular dengan ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig
dapat menyebar secara langsung melalui celah buccopharingeal ini ke ruang pharingeal
lateral, di mana selulitis akan dengan cepat menjadi berbahaya serta menimbulkan
obstruksi jalan napas yang berat.
2.5.8. Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk
mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang.
Sekitar 45% – 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang terinfeksi,
disertai dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang
lengkap. Selain itu, 35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan
trakeostomi.22

29
BAB III
KESIMPULAN

Abses terjadi sebagai akumulasi dari pus dalam suatu rongga patalogis
yang dapat terjadi di bagian tubuh manapun sebagai reaksi pertahanan tubuh terhadap
benda asing. Gejala dan tanda klinik berupa nyeri tenggorok dan demam yang disertai
terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan
disebabkan oleh abses leher dalam.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses leher
dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring dan abses
submandibular dan angina Ludovici (Ludwig’s Angina).
Secara umum penatalaksanaan abses leher dalam adalah berupa terapi
medikamentosa dan terapi bedah. Terapi medikamentosa dilakukan dengan pemberian
antibiotika kemudian dilakukan terapi bedah dengan menginsisi abses.
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa jika
disertai dengan komplikasi. Obstruksi jalan nafas dan asfiksia merupakan komplikasi
yang potensial terjadi pada abses leher dalam. Dengan demikian kita harus waspada
terhadap tanda-tanda komplikasi yang muncul, yang mungkin sangat berbahaya.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Hal. 226-30.
2. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies,
Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC. 1997. Hal.333.
3. Murray AD, McClay JF, Booth T. Intravenous antibiotic therapy for deep neck
abscesses defined by computed tomography. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg. 2003; 129:1207-12.
4. Santosa A. Abses Submandibula dengan Komplikasi Mediastinitis. WMJ
(Warmadewa Med Journal). 2018;2(2):77.
5. Huang SH, Yang SW, See LC, Lee MH, Chen TM, Chen TA. Deep neck
abscess: an analysis of microbial etiology and the effectiveness of antibiotics,
infection and drug resistence. USA: Dove press. 2008;1-8.
6. Snell RS. Pharynx. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 795-801.
7. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Hal. 212-6.
8. Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4 Februari
2010. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com/ article/194863-overview#showall.
9. Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y Role of microbiological studies in
management of peritonsillar abscess.J Laryngol Otol. Aug 2009;123(8):877-9.
10. Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-
Hill. Diakses: 13 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.accessemergencymedicine
.com/overflow.aspx?searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&
hasDrugMatch=False&searchSource=Images&ftbool=False.
11. Ramirez-Schrempp D, Dorfman DH, Baker WE, Liteplo AS. Ultrasound soft
tissue applications in the pediatric emergency department: to drain or not to
drain?. Pediatr Emerg Care. Jan 2009;25(1):44-8.
12. Kahn JH, O’Connor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine.
Terakhir diperbaharui: 17 Juni 2010. Diakses: 19 November 2019. Terdapat
pada: http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall.
13. Abdel-Haq NM, Harahsheh A, Asmar BL. Retropharyngeal abscess in children:
the emerging role of group A beta hemolytic streptococcus. South Med J. Sep
2006;99(9):927-31.

31
14. Ridder GJ, Technau-Ihling K, Sander A, Boedeker CC. Spectrum and
management of deep neck space infections: an 8-year experience of 234 cases.
Otolaryngol Head Neck Surg. Nov 2005;133(5):709-14.
15. The Surgery of Sepsis. Terakhir diperbaharui: 20 April 2010. Diakses: 19
November 2019. Terdapat pada:
http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/The_surgery_of_ sepsis.
16. Abses Parafaring. Diakses: 19 November 2019. Terdapat pada:
www.scribd.com/ doc/66624613/abses-parafaring.
17. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal
infection. International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
18. Pulungan MR. Pola Kuman abses leher dalam. Diakses: 19 November 2019
Terdapat pada:http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-
ABSES-LEHERDALA M-Revisi.
19. Tooth Decahy progression. Diakses: 19 November 2019. Terdapat pada:
http://www.moondragon.org/health/graphics/toothdecayprogression.jpg.
20. MD Guidelines. Ludwig’s Angina. Diakses: 19 November 2019. Terdapat
pada: http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
21. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders;
2002.
22. Ludwig’s Angina. Diakses: 19 November 2019. Terdapat pada:
www.scribd.com/doc /62080690/Angina-Ludwig.
23. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-
Maret 2008;Vol.21.

32

Anda mungkin juga menyukai