Anda di halaman 1dari 55

Kanker Gaster

Pendahuluan
Secara global, kanker gaster menempati urutan keempat diantara kanker
yang paling sering terjadi,1 dan menempati urutan kedua sebagai penyebab
kematian karena kanker.2 Kanker lambung menempati peringkat kedua setelah
kanker paru-paru dengan estimasi 755,500 kasus baru yang terdiagnosa. Insiden
dari penyakit ini telah menurun secara bertahap, dikarenakan perubahan dalam
diet, dan faktor lingkungan. Penurunan insiden dari kanker lambung terdapat pada
Amerika Serikat, dimana penyakit ini menempati urutan 14 dalam tingkat
kematian karena kanker, dengan estimasi 21,900 kasus baru dan 13,500 kematian
pertahunnya. Dengan perkecualian pada beberapa negara didunia, dimana
prognosis penyakit ini masih tetap buruk. Keseluruhan 5-year survival rate di
Amerika Serikat dan kebanyakan negara barat bervariasi dari 5% sampai 15%.
Hal ini bisa terjadi disebabkan multifaktorial. Tidak jelasnya faktor resiko yang
ada dan gejala penyakit yang tidak spesifik, dan insiden yang relatif rendah telah
mengakibatkan penyakit ini sering terdiagnosa pada stadium lanjut pada negara-
negara Barat. Di Jepang, dimana penyakit ini merupakan endemik, pasien
didiagnosa pada stadium dini yang dapat terlihat pada 5-year survival rate sebesar
50%.3
Meskipun insiden dari kanker lambung telah menurun secara dramatis
pada beberapa dekade terakhir, penurunan insiden hanya terlihat pada tumor yang
berada dibawah gastric cardia. Jumlah pasien baru yang terdiagnosa dengan
adenokarsinoma pada bagian proksimal lambung dan gastroesophageal junction
telah meningkat sejak pertengahan 1980. Fakta yang mengganggu adalah bahwa
tumor ini lebih agresif dibandingkan dengan tumor yang berada pada bagian distal
dan penanganannya lebih kompleks. Satu-satunya penanganan kuratif yang telah
terbukti adalah pembedahan, namun meskipun setelah penanganan kuratif
gastrectomy, penyakit ini dapat muncul kembali secara regional dan distant pada
setidaknya 80% pasien. Usaha yang dilakukan untuk memperbaiki hal ini adalah
dengan terapi adjuvant sistemik dan regional saat pre- dan post-operatif. Telah
diterima secara luas bahwa tumor yang chemoresponsive lebih memiliki
keuntungan dalam hal survival. Sebagai konsekuensinya lebih ditekankan dalam
memprediksikan chemoresponsiveness pada kanker gaster.3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi
Kanker gaster merupakan kanker keempat yang paling sering terjadi di
dunia. Sekitar 600,000 kasus baru terdiagnosa setiap tahunnya, dan hampir dua
pertiga dari pasien meninggal dikarenakan kanker gaster. Kebanyakan kasus (65%
sampai 75%) kanker gaster muncul pada Negara berkembang.4 Insiden dari
adenokarsinoma gaster telah menurun pada Negara-negara barat pada empat
dekade terakhir.5 Data dari Surveillance Epidemiology and End Results (SEER)
terlihat adanya penurunan insiden dari 11.7 per 100,000 penduduk pada tahun
1975 menjadi 8.8 per 100,000 penduduk pada tahun 2002 di Amerika Serikat.4
Bagaimanapun juga kanker gaster masih tetap banyak pada Negara lainnya di
dunia, dan tingkat mortalitasnya masih tetap tinggi. Age-standardized insiden dari
adenokarsinoma gaster bervariasi dari 10 per 100,000 populasi sampai melebihi
80 per 100,000 populasi (Gambar 1). Tingkat mortalitas juga bervariasi dari 5 per
100,000 populasi di Amerika Serikat sampai 35 per 100,000 populasi di Rusia
(Gambar 2).5 Di Amerika Serikat kanker gaster mempunyai insiden tertinggi pada
pria dibandingkan wanita (rasio sekitar 2:1). Insiden mulai meningkat sejak
dekade keempat dan mencapai puncaknya pada dekade ketujuh.3
Tabel 1. Insiden kanker gaster per 100.000 populasi.

Resiko seumur hidup penduduk Amerika Serikat untuk menderita kanker


gaster berkisar 1% dan meninggal dikarenakan kanker gaster berkisar 0.6%. rata-
rata usia saat terdiagnosis adalah 72 tahun. Sekitar 24% dari kanker gaster yang
terdiagnosa di Amerika Serikat hanya secara lokal, 32% mempunyai penyebaran
ke kelenjar limfe atau ke sekitar tempat primer, dan 32% mempunyai metastase. 4
Tabel 2. Tingkat mortalitas kanker gaster per 100.000 populasi, 1994-
1997.

Pada tahun 1965, Laurén mendeskripsikan dua bentuk tipe histologi dari kanker
gaster, yaitu intestinal dan diffuse. Tipe intestinal muncul dari lesi prekanker
seperti atropi gaster atau intestinal metaplasia pada gaster; lebih sering muncul
pada pria, pada populasi usia lanjut dan memperlihatkan tipe histologis yang
dominan dimana kanker gaster merupakan epidemic, yang menyarankan adanya
faktor lingkungan yang berperan dalam hal etiologi. Tipe diffuse tidak muncul
dari lesi prekanker yang telah ada sebelumnya, yang memperlihatkan tipe
histologi utama pada area endemic, muncul lebih sering pada wanita dan berusia
muda, dan mempunyai hubungan yang tinggi dengan kondisi familial (golongan
darah tipe A), yang menyarankan adanya faktor genetik yang berperan dalam hal
etiologi. Perubahan insiden dari kanker lambung diantara populasi seiring waktu
atau antara populasi secara geografis merefleksikan adanya perbedaan atau
perubahan dalam hal insidensi kanker gaster tipe intestinal. 3
Gambar 1. Insiden kanker gaster di Amerika Serikat.

Insiden tertinggi dari kanker gaster ditemukan di jepang, amerika selatan,


eropa barat dan timur tengah. Pada kebanyakan Negara tingkat mortalitas hampir
setara dengan tingkat insiden, di Chile dan Costa Rica, tingkat mortalitas melebihi
40 per 100,000 populasi. Berkebalikan dengan daerah insiden yang rendah, seperti
New Zealand dan Australia, mempunyai tingkat mortalitas kurang dari 10 per
100,000 populasi. Di Jepang, meskipun epidemic dari kanker gaster, telah terlihat
penurunan mortalitas sejak 1970 sebagai hasil dari dilakukannya screening
berskala besar.3
Tabel 3. Distribusi usia kanker gaster pada Memorial Sloan Cancer Center
1985-2004.

Penelitian pada populasi imigran yang berpindah dari daerah resiko tinggi ke
daerah resiko rendah telah menghasilkan kesimpulan bahwa lingkungan berperan
dalam pembentukan dari kanker gaster, dan paparan lingkungan pada awal
kehidupan merupakan hal yang esensial dalam pembentukan kanker gaster.
Karena meskipun telah berpindah dari daerah resiko tinggi ke daerah resiko
rendah, resiko menderita kanker gaster tetap persisten meskipun telah terjadi
perubahan pola diet.3
Meskipun insiden dari kanker gaster distal telah menurun, tetapi insiden dari
kanker gaster kardia dan proksimal terutama pada gastroesophageal (GE)
junction dan distal esophagus tetap meningkat.3,4,5 Pada penelitian The Rochester
Epidemiology Project menunjukkan penurunan pada kanker gaster, tetapi hanya
pada kanker gaster distal dan tipe intestinal, insiden dari kanker gaster proksimal
dan kanker gaster tipe diffuse tetap stabil. Peningkatan lesi gaster proksimal
sekitar 4.3% pada pria kulit putih, 4.1% pada wanita kulit putih, 3.6% pada pria
kulit hitam dan 5.6% pada wanita kulit hitam. Perubahan trend ini
mengkhawatirkan karena kanker gaster proksimal mempunyai prognosis yang
lebih buruk bila dibandingkan dengan kanker gaster distal.3 Pergeseran kanker
gaster dari distal ke proksimal telah ditunjukkan pada berbagai penelitian dan
memperlihatkan adanya faktor lingkungan yang beperan dalam patogenesis dari
kanker gaster.4 Prevalensi obesitas yang meningkat di Amerika Serikat mungkin
merupakan salah satu faktor, karena BMI dan asupan kalori telah dihubungkan
dengan adenokarsinoma pada esophagus distal dan gastric cardia.3
2.2 Faktor Resiko
Dua bentuk dari kanker gaster dapat dibedakan dari faktor resiko dan
histologinya. Kanker gaster tipe difuse dihubungkan dengan faktor herediter dan
lokasi kanker proksimal dan tidak muncul dari lesi prekanker (intestinal
metaplasia atau dysplasia). Kanker gaster tipe intestinal berlokasi lebih ke distal,
muncul pada usia muda, lebih sering bersifat endemik, berhubungan dengan
perubahan inflamasi dan infeksi Helicobacter pylori.6
1. Diet. Kanker gaster telah dihubungkan dengan daging merah, cabai, merica,
ikan, makanan yang diasamkan, diasinkan, diasapkan, diet tinggi karbohidrat,
rendahnya konsumsi lemak, protein dan vitamin A, C, dan E. Makanan yang
diasamkan, diasinkan, diasapkan merupakan faktor resiko “probable” kanker
gaster menurut panel ahli WHO/FAO,3,4,6,7 efek karsinogenik dari makanan yang
diasamkan, diasinkan, diasapkan dikarenakan tingginya kandungan garam dan
nitrat. Pada penelitian dengan menggunakan hewan, terlihat adanya efek
karsinogenik dari N-nitroso compounds (N=-nitro-N-nitrosoguanidine), Nitrat
dirubah mejadi carcinogenic nitrite compounds pada gaster.4 Sedangkan diet
selenium, zinc, cooper, besi, dan mangan dihubungkan dengan rendahnya resiko
kanker gaster.3,6,7 Gastric bacteria (lebih sering terdapat pada gaster yang
achlorhydric pada pasien dengan atrophic gastritis) merubah nitrate menjadi
nitrite, yaitu sebuah karsinogen.3,7 Menurunnya konsumsi dari makanan tinggi
nitrat terlihat sebagai penyebab menurunnya kanker gaster pada utara US dan
Eropa barat.4,7
2. Infeksi. pada tahun 1982, Marshall dan Warren mengisolasi H.pylori untuk
pertama kali dari biopsi epitel gaster. Peranan H.pylori dalam menginisiasi cedera
mukosa dan terjadinya gastritis atropik kronis telah diketahui dengan baik. Pada
pasien yang menjalani reseksi karena kanker gaster tipe intestinal, teridentifikasi
H.pylori pada jaringan nonkanker pada hampir 90% pasien, bila dibandingkan
dengan 32% kanker gaster tipe difuse.3,6 Beberapa penelitian juga melaporkan
hubungan yang signifikan antara infeksi H.pylori dan kanker gaster, terutama
kanker gaster distal. Pembentukan kanker gaster berhubungan dengan
meningkatnya level antibody immunoglobulin G dan paling tinggi ketika interval
antara infeksi H.pylori dan diagnosis kanker gaster lebih dari 10 tahun. Peneliti
lainnya juga menemukan tingginya infeksi H.pylori pada pasien dengan kanker
gaster tipe intestinal namun tidak pada kanker gaster tipe difuse. Meskipun
H.pylori di perhitungkan oleh World Health Organization (WHO) sebagai
carcinogen kelas 1,3,5
Gambar 2. Infeksi H.pylori biasanya didapat saat usia muda. Infeksi akut akan menye
hipochlorhydria sementara dan jarang terdiagnosa. Gastritis kronik akan terbentuk pada seseorang
koloni persisten, tetapi 80-90% asimptomatik. Perjalanan klinis lebih jauh bergantung pada faktor h
bakteri. Pasien dengan output asam lambung yang tinggi akan mempunyai gastritis predominan antr
merupakan predisposisi ulkus duodenum. Pasien dengan output asam lambung yang rendah akan m
gastritis dari body gaster, yang merupakan predisposisi dari ulkus gaster dan memulai inisiasi kanke
Infeksi H.Pylori juga menyebabkan pembentukan mucosa associated lymphoid tissue (MALT) pada
gaster. Lymphoma malignant yang muncul dari jaringan MALT merupakan komplikasi lainn
H.pylori yang jarang terjadi.

Pada penelitian insiden dari infeksi H.pylori berkisar 61% dan 76%,
mengindikasikan bahwa kebanyakan infeksi tidak membentuk kanker gaster dan
faktor lainnya penting sebagai pathogenesis.3 Resiko pasien dengan infeksi kronik
H.pylori meningkat sebesar tiga kali,7 tetapi sejak H. pylori terdapat pada 80%
pasien di Negara berkembang, adanya bakteri ini mempunyai nilai yang kurang
bermakna ketika terdeteksi dan mayoritas pasien yang memiliki infeksi H. pylori
5
memiliki gastritis kronik. Seperti yang telah diketahui bahwa H.pylori
merupakan mikroorganisme penting dalam pembentukan ulkus peptikum. Yang
menarik adalah pada pasien dengan riwayat ulkus peptikum lebih sering terjadi
kanker gaster bila dibandingkan pada pasien tanpa infeksi H.pylori, dan pasien
dengan riwayat ulkus duodenum mempunyai resiko yang rendah untuk terjadinya
kanker gaster. Hal ini mungkin dikarenakan pada beberapa pasien membentuk
antral-predominant disease (predisposisi untuk ulkus duodenum dan bersifat
proteksi terhadap kanker gaster), sementara pada pasien yang dengan gastritis
corpus-predominant, mengakibatkan hypochlorhydria dan merupakan
predisposisi dari ulkus peptikum dan kanker gaster. Yang menarik juga bahwa
pasien dengan infeksi H.pylori mempunyai resiko yang rendah untuk
terbentuknya adenocarcinoma dari esophagus distal dan regio cardia. Mungkin
karena corporeal gastritis menurunkan sekresi asam lambung, sehingga
mengurangi sekresi asam lambung, dan mengurangi kemungkinan reflux dan
resiko Barrett’s esophagus, yang merupakan lesi precursor dari kanker gaster.
Meskipunn infeksi H.pylori telah secara jelas merupakan faktor resiko untuk
terjadinya kanker gaster, namun harus diketahui bahwa pembentukan kanker
gaster merupakan multifaktor. Tidak semua pasien dengan kanker gaster
mempunyai infeksi H. pylori, dan pada beberapa daerah terdapat prevalensi tinggi
dengan infeksi kronik H. pylori dan rendahnya prevalensi dari kanker gaster (the
"African enigma").7 Virus Epstein-Barr telah diidentifikasi pada kanker gaster
dengan fitur lymphoepithelioid, dan berhubungan dengan kanker pada usia muda
dan berlokasi pada kardia.3,6
Gambar 3. Photomicrograph dari Epatein-Barr Virus (EBV) pada kanker gaster. Epstein-Barr Virus
encoded RNA I (EBER I) pada in situ hybridization memperlihatkan transcripts EBER I (berwarna
pada nukleus sel tumor.
3. Herediter dan Ras. African, Asian, dan Hispanic Americans mempunyai resiko
yang tinggi untuk menderita kanker gaster bila dibandingkan dengan orang kulit
putih. Pola histologi difuse terlihat predominan pada keluarga dengan beberapa
anggota keluarga yang terkena kanker.6 munculnya kanker gaster yang tersebar
pada kerabat terdekat memperlihatkan bahwa terdapat kemungkinan genetik untuk
terjadinya kanker gaster, dengan insiden berkisar 1%-15% dari semua kanker
gaster. Contohnya adalah pada keluarga Bonaparte, napoleon, ayahnya dan
kakeknya meninggal dikarenakan kanker gaster. Kanker gaster juga muncul pada
anggota keluarga yang terdiagnosa dengan hereditary nonpolyposis colorectal
cancer (HNPCC) dan Li-Fraumeni syndrome.3 Berbagai varian dari abnormalitas
genetik telah dideskripsikan, dimana kebanyakan kanker gaster bersifat aneuploid.
Abnormalitas genetik yang paling sering terlibat pada kanker gaster adalah pada
gen p53 dan COX-2. Lebih dari dua pertiga kanker gaster mempunyai deletion
atau suppression dari tumor supresor gen p53. Dan dengan proporsi yang sama
pada overexpression gen COX-2. Pada kolon, tumor dengan upregulation gen
COX-2 mempunyai apoptosis yang tersupresi, lebih angiogenesis dan potensial
metastase yang tinggi. Kanker gaster yang overexpress terhadap gen COX-2
terlihat lebih agresif.7 Familial gastric cancer telah diidentifikasikan dan
berhubungan dengan mutasi gen E-cadherin, seperti yang terlihat pada keluarga
Bonapartes. Adanya mutasi gen e-cadherin menyebabkan resiko untuk menderita
kanker gaster sebesar 60–90%.5
Tabel 4. Kelainan Genetik pada kanker gaster
4. Anemia pernisiosa. Anemia pernisiosa membawa resiko relatif yang meningkat
sebesar 3 sampai 18 kali untuk menderita kanker gaster pada populasi secara
umum pada penelitian retrospektif. Meskipun terdapat beberapa kontroversi pada
penemuan ini, namun follow-up dengan menggunakan endoscopy telah secara
umum disarankan pada pasien yang memiliki penyakit anemia pernisiosa.3,6
5. Reseksi gaster sebelumnya. Gastric stump adenocarcinomas, yang muncul
dengan periode latensi 15-20 tahun, seringkali muncul pada pasien setelah
pembedahan untuk penyakit ulkus peptikum, terutama mereka yang memiliki
hypochlorhydria dan reflux dari alkaline bile. Kanker ini berhubungan dengan
dysplasia mukosa gaster, meningkatnya level gastrin, dan memiliki prognosis
yang buruk.6 pada tahun 1922 Balfour mengamati hubungan antara pembentukan
kanker gaster pada benign disease yang sebelumnya dilakukan gastrectomy
partial. Kanker gaster stump muncul pada kurang dari 5 tahun setelah gastrectomy
partial untuk membedakan kanker gaster stump de novo dari tumor yang rekuren
secara lokal yang tak diketahui pada saat pembedahan pertama kali. Dua
metaanalisis juga membenarkan adanya peningkatan resiko kanker gaster stump
pada pasien yang telah menjalani partial gastrectomy. Peningkatan resiko ini
terlihat hanya setelah setidaknya periode latensi 15 tahun, dan sedikit lebih tinggi
insidennya pada wanita. Tipe dari rekonstruksi pembedahan tidak terlihat sebagai
resiko relatif untuk pembentukan kanker gaster stump. Baas et al membandingkan
26 kanker stump dengan 24 kanker konvensional dimana virus Epstein-Barr
positif pada 9 kanker stump dan positif pada 2 kanker yang belum pernah
menjalani pembedahan sebelumnya, hal ini memperlihatkan perbedaan etiologi
pada kanker stump dan gaster yang intak sebelumnya.3
6. Dysplasia mukosa gaster grade I sampai III, dimana grade III menunjukkan
diferensiasi sel yang luas dan meningkatnya mitosis. Penemuan dari dysplasia
high-grade oleh patologis yang berpengalaman pada dua biopsy yang berbeda
telah dipertimbangkan sebagai marker untuk terjadinya kanker gaster. Intestinal
metaplasia, yaitu penggantian epitel glandular gaster dengan mukosa intestinal
telah dihubungkan dengan kanker gaster tipe intestinal. Resiko munculnya kanker
terlihat sebanding dengan luasnya metaplasia mukosa.3,6 kanker gaster seringkali
muncul pada area intestinal metaplasia. Lebih jauh lagi, resiko kanker gaster
sebanding dengan luasnya intestinal metaplasia dari mukosa gaster.7
Gambar 4. Complete intestinal metaplasia of stomach. Noted the intestinal-type crypts lined with
cells and intestinal absorptive cells

7. Polip gaster. Setidaknya setengah dari polip adenomatous menunjukkan


perubahan carcinomatous pada beberapa penelitian. Pasien dengan familial
adenomatous polyposis (FAP) memiliki insiden yang tinggi dari kanker gaster
sekitar 50%, dan sepuluh kali lebih sering untuk membenttuk adenocarcinoma.7
Pasien dengan polip adenomatous atau FAP hasrus menjalani endoscopi
surveillance.6 Terdapat lima tipe dari polip epithelial gaster: inflammatory,
hamartomatous, heterotopic, hyperplastic, dan adenoma. Tiga jenis pertama
mempunyai kemungkinan kecil untuk terjadinya malignansi. Adenomas dapat
membentuk karsinoma, dan harus diangkat ketika terdiagnosa. Secara kebetulan,
hyperplastic polyps (> 75% dari semua polip gaster) tidak terlihat potensial
malignansi,6 namun dapat manjadi karsinoma dengan insiden <2%.7
8. Gastritis kronik. Chronic atrophic gastritis merupakan precursor paling sering
untuk kanker gaster, terutama pada tipe intestinal. Pada penelitian di Jepang, 95%
pasien dengan kanker gaster dini mempunyai atrophic gastritis, dan pada
penelitian lainnya resiko untuk membentuk kanker gaster sebesar 20% ketika
gastritis berat melibatkan antrum, dan 5% ketika gastritis melibatkan body gaster.
Prevalensi atrophic gastritis tinggi pada usia lanjut, tetapi pada daerah dengan
insiden yang tinggi dari kanker gaster, kondisi ini juga ditemui pada usia muda.
Correa mendeskripsikan tiga pola chronic atrophic gastritis, yaitu autoimmune
(melibatkan gaster bagian proksimal), hypersecretory (melibatkan distal gaster),
dan environmental (melibatkan area multiple pada junction dari oxyntic dan antral
mukosa).6,7 Pada Ménétrier’s disease (hipertropik gastritis) juga telah diobservasi
adanya peningkatan insiden dari kanker gaster.6
Gambar 5. Chronic atrophic gastritis

9. Faktor resiko lainnya. Kanker gaster juga sering terjadi orang dengan golongan
darah A, dan juga dengan sosioekonomi rendah.6 Pemakaian tembakau terlihat
meningkatkan resiko kanker gaster,7 Pada tahun 1997, Tredaniel et al menelaah
berbagai penelitian cohort dan case-control, dan menemukan adanya hubungan
antara kanker gaster dengan merokok, 11% dari semua kanker gaster berhubungan
dengan merokok. Gammon et al juga memperlihatkan adanya resiko
adenokarsinoma gaster pada perokok.4 dan penggunaan alkohol tidak mempunyai
efek resiko terhadap kanker gaster,7 pada penelitian case-control oleh Gammon et
al tidak menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi alkohol dengan kanker
gaster.4
2.3 Manifestasi Klinik
2.3.1 Histopatologi
Sekitar 95% dari semua neoplasma malignant gaster merupakan adenocarcinoma,
dan secara umum, terminologi kanker gaster ditujukan untuk adenocarcinoma dari
gaster. Tumor malignant lainnya sangat jarang terjadi, termasuk squamous cell
carcinoma, adenoacanthoma, carcinoid tumors, dan leiomyosarcoma. Meskipun
tidak terdapat jaringan lymphoid pada mukosa gaster, namun gaster merupakan
lokasi tersering lymphoma dari traktus gastrointestinal. Peningkatan kewaspadaan
hubungan antara mucosa-associated lymphoid tissue lymphomas dan H.pylori
dapat dijelaskan, terlebih lagi adanya peningkatan dari insiden. Diferensiasi dari
adenocarcinoma dan lymphoma seringkali sulit dilakukan, namun hal ini penting
dikarenakan stadium, penanganan dan prognosisnya sangat berbeda.4
Gambar 6. Model karsinogenesis kanker
gaster.

Terdapat empat bentuk makroskopik dari kanker gaster, yaitu polypoid, fungating,
ulcerative, dan scirrhous. Pada dua bentuk pertama, massa berada pada
intraluminal. Polypoid tidak berulserasi; tumor fungating berelevasi intraluminal
tetapi juga berulserasi. Pada dua tipe terakhir, massa tumor berada pada dinding
gaster. scirrhous tumor menginfiltrasi seluruh ketebalan dinding gaster dan
menutupi area yang luas. Tumor scirrhous (linitis plastica) mempunyai prognosis
yang buruk, dan biasanya melibatkan seluruh gaster. Meskipun dapat di reseksi
dengan total gastrectomy, seringkali pada batas esophageal dan duodenal
menunjukkan adanya infiltrasi tumor pada pemeriksaan mikroskopik. Kematian
biasanya dikarenakan rekurensi pada saat enam bulan.7
Beberapa sistem staging telah diajukan berdasarkan karakteristik dari tumor
gaster. Pada tahun 1926, Borrmann memisahkan kanker gaster menjadi 5 tipe
berdasarkan gambaran makroskopiknya. Tipe I memperlihatkan kanker polypoid
atau fungating, tipe II memperlihatkan lesi ulserasi yang dikelilingi oleh batas
yang meninggi, tipe III memperlihatkan lesi ulserasi yang menginfiltrasi dinding
gaster, tipe IV merupakan tumor yang menginfiltrasi secara difuse, dan tipe V
merupakan kanker yang tidak dapat diklasifikasikan.3,4 Gambaran makroskopik
dan diferensiasi histologi bukan merupakan variabel independen faktor
prognostik. Ming telah mengajukan sistem staging histomorphologic yang
membedakan kanker gaster menjadi tipe ekspansif dengan prognosis baik dan tipe
infiltratif dengan prognosis yang buruk.3,4 Berdasarkan analisis dari 171 kanker
gaster, tumor tipe ekspansif mempunyai gambaran makroskopik polypoid atau
superficial, dimana tumor infiltratif selalu berpenampakan difuse. Klasifikasi
kanker gaster oleh Broder’s mengklasifikasikan tumor secara histologi dari 1 (well
differentiated) sampai 4 (anaplastic). Bearzi dan Ranaldi telah mengkorelasikan
derajat diferensiasi histologi dengan gambaran makroskopik pada 41 kanker
gaster primer yang terlihat pada endoscopy. Sembilan puluh persen kanker yang
protruding atau superficial mempunyai gambaran mikroskopik well differentiated
(Broder’s grade 1), dimana sekitar setengah dari lesi yang berulserasi mempunyai
gambaran poorly differentiated atau diffusely infiltrating (Broder’s grades 3 dan
4).3 WHO membagi klasifikasi histology kanker gaster menjadi 9 tipe: papillary
adenocarcinoma, tubular adenocarcinoma, mucinous adenocarcinoma, signet-
ring cell carcinoma, squamous cell carcinoma, adenocanthoma, undifferentiated
carcinoma, unclassified carcionoma, dan carcinoid tumor.4
Tabel 5. Klasifikasi histologi kanker gaster menurut WHO
Pada tahun 1965 Laurén mengajukan system klasifikasi yang sederhana dan dapat
diterima secara luas, yang mengklasifikasikan kanker gaster menjadi bentuk
intestinal (53%), diffuse (33%), dan unclassified (14%).3,4,7 Pada penelitian
terbaru di Negara Barat, sekitar 70% pasien memiliki tumor diffuse; dan 30%
memiliki tumor tipe intestinal.4 Klasifikasi ini berdasarkan histologi tumor secara
efektif mengkarakteristikan dua variasi dari adenocarcinoma gaster yang
bermanifestasi secara berbeda pada patologi, epidemiologi, dan etiologi.3
Perbedaan diantara kanker gaster tipe diffuse (glandular) dan tipe intestinal-type
mengasumsikan kepentingan dalam hal perubahan epidemiologi dan perdebatan
mengenai pathogenesis dari kanker gaster. 4
Gambar 7. Karsinogenesis kanker gaster tipe
intestinal.
Tahara menggambarkan alur berbeda pada karsinogenetik kedua tipe kanker
gaster tersebut. Kanker gaster tipe intestinal memperlihatkan progresi klasik
karsinogenesis yang mirip dengan kanker kolon. Paparan dari lingkungan
(contohnya diet tinggi garam, diet rendah vitamin C/E, infeksi H. Pylori)
mengakibatkan terjadinya gastritis superfisial kronik, yang kemudian akan
berprogresi dari atrophic gastritis ke intestinal metaplasia, dysplasia, dan
akhirnya kanker. Tumor tipe intestinal lebih sering terjadi pada usia lanjut dan
pada jenis kelamin laki-laki, alterasi genetik termasuk mutasi gen berikut:
microsatellite instability, DCC (deleted in colorectal cancer), dan APC
(adenomatous polyposis coli). Lesi prekanker, seperti atrophic gastritis dan
intestinal metaplasia, merupakan target utama dalam mencegah kanker gaster tipe
intestinal.4
Gambar 8. Karsinogenesis kanker gaster tipe diffuse.

Kanker gaster tipe diffuse merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia muda
dan seringkali pada jenis kelamin wanita. Bentuk familial telah dikenali, begitu
pula hubungannya dengan golongan darah tipe A. tumor tipe diffuse merupakan
poorly differentiated dengan signet-ring cells. Penyebaran seringkali melalui
transmural dan lymphatic.4 Metastase seringkali muncul lebih dini dikarenakan
daya kohesinya kecil dan prognosisnya lebih buruk.3,4 Overexpression dari c-met,
sebuah protooncogene, sangat besar pada tumor tipe diffuse, terutama pada tumor
stadium lanjut. Penurunan fungsi dan ekspresi dari E-cadherin (CDH1), sebuah
transmembran protein yang terlibat adhesi sel, sangat unik pada kanker gaster tipe
diffuse. Berkebalikan dengan tipe intestinal, gastritis sangat jarang terjadi pada
kanker gaster tipe diffuse.4
2.3.2 Lokasi kanker
Lokasi dari tumor primer penting untuk perencanaan operasi. Beberapa dekade
yang lalu, mayoritas kanker gaster berada pada distal gaster, tetapi akhir-akhir ini
terdapat migrasi pada tumor kearah proksimal, dan diperkirakan distribusi kanker
gaster 40% distal, 30% tengah, and 30% proximal.7 Pada penelitian Ying liu dari
data the Gastric Cancer Registry of Japan yang meneliti hubungan kanker gaster
dan lokasi kanker di Jepang yang melibatkan 171721 kasus kanker gaster dari
tahun 1975-1989 didapatkan bahwa insiden tumor pada sepertiga atas gaster pada
usia muda meningkat dengan perlahan, dan terdapat peningkatan insiden yang
signifikan pada pria usia ≥ 50 tahun dan wanita ≥ 70 tahun. Insiden dari tumor
sepertiga distal menurun secara signifikan pada pria dan wanita tetapi tumor yang
berada pada sepertiga tengah hanya menunjukkan perubahan yang kecil. Jenis
kelamin pria juga menunjukkan fluktuasi insiden dibandingkan wanita. 8

Gambar 9. Insiden kanker gaster berdasarkan lokasi di jepang pada tahun


1975-1989.
Hal serupa juga diungkapkan oleh penelitian Afshin Abdi-Rad yang menelaah
data dari Tehran Cancer Institute mengenai kanker gaster dari tahun 1969-2004
yang mendapatkan peningkatan insiden dari kanker gaster sepertiga atas,
menurunnnya insiden kanker gaster sepertiga distal dikarenakan eradikasi dari H.
pylori yang mengakibatkan peningkatan kanker gaster sepertiga proksimal.9
Gambar 10. Insiden kanker gaster berdasarkan lokasi di Iran pada tahun 1969-
2003.

Gambar 11. Lokasi tersering kanker gaster.

2.3.3 Gejala
Kanker gaster biasanya tidak menjadi simptomatik sampai penyakitnya menyebar
dengan luas dikarenakan gejalanya tidak spesifik sehingga kebanyakan pasien
dengan kanker gaster terdiagnosa pada stadium lanjut.3,4 Pasien dapat mempunyai
kombinasi gejala dan tanda seperti penurunan berat badan, anorexia, fatigue, atau
nyeri epigastrium namun karena tidak terlalu berat seringkali diacuhkan.
Penemuan penurunan berat badan secara klinis tidak dapat diremehkan. Dewys et
al menunjukkan bahwa pada 179 pasien kanker gaster stadium lanjut, lebih dari
80% pasien memiliki penurunan berat badan lebih dari 10%. Pasien yang
memiliki gejala penurunan berat badan memiliki tingkat survival yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki penurunan berat
badan.3 Gejala lainnya yaitu mual, muntah, Perdarahan gastrointestinal jarang
terjadi (5%), namun kehilangan darah kronik (chronic occult blood loss) sering
terjadi dan bermanifestasi sebagai anemia defisiensi besi. Paraneoplastic
syndromes seperti Trousseau’s syndrome (thrombophlebitis), acanthosis nigricans
(hiperpigmentasi dari axilla dan groin), atau peripheral neuropathy jarang terjadi.
7

Gambar 12. Ulcerated Gastric Cancer.

Gambar 13. A, adenocarcinoma protrusi le kumen gaster dan menginvasi dinding gaster
adenocarcinoma tipe intestinal; B, adenocarcinoma tipe diffuse dengan poorly differentiated areas
mengandung sel berisikan mucin dan sitoplasma yang jernih.

Lokasi atau tipe tumor dapat mempengaruhi gejala yang ada. Dysphagia
berhubungan dengan massa tumor yang berada pada kardia gaster dengan
penyebaran pada gastroesophageal junction, sedangkan tumor di daerah distal
bermanifestasi sebagai obstruksi gaster. Pasien dengan lesi scirrhous-type (linitis
plastica) akan mengeluh cepat kenyang dikarenakan hilangnya distensibilitas
gaster. Gejala yang biasanya ada pada pasien dengan tumor linitus plastica
termasuk nausea dan vomiting (61%), weight loss (58%), dysphagia (46%), dan
abdominal pain (38%).3,4 Vomiting yang terjadi terus menerus konsisten dengan
karsinoma antral yang mengobstruksi pylorus. Perdarahan gastrointestinal yang
signifikan jarang terjadi pada kanker gaster, tetapi bagaimanapun juga
hematemesis dapat muncul pada sekitar 10%-15% pasien.3 Pada penelitian di
Inggris, hanya 27 dari 1105 pasien dengan acute upper gastrointestinal bleeding
memiliki kanker gaster. Lebih dari 70% pasien ini memiliki kanke gaster stadium
IV dengan rata-rata survival 9 bulan. Pada penelitian ini tidak ada pasien yang
membutuhkan reseksi darurat untuk mengontrol perdarahan, dan pada 8 pasien
yang ditangani secara konservatif tidak mengalami perdarahan akut setelahnya.4
Perforasi gaster merupakan hal yang jarang terjadi, hanya muncul sekitar 1%
sampai 4% kasus. Meskipun seringkali terjadi pada pasien kanker gaster stadium
T3 dan T4, perforasi dapat muncul pada kanker gaster dini, hal ini menekankan
pentingnya analisa biopsy dan frozen section selama pembedahan darurat untuk
perforasi ulkus gaster. Reseksi gsater paliatif harus dipertimbangkan pada saat
dilakukannya laparotomi explorasi darurat.4
Sindrom paraneoplastik sangat jarang berhubungan dengan kanker gaster.
Manifestasi sistemik kutaneus termasuk diffuse seborrheic keratoses (sign of
Leser-Trelat) dan acanthosis nigricans (velvety, dark pigmented lesions) yang
melibatkan lipatan kulit dan axilla. Kelainan hematologi termasuk Trouseau’s
syndrome dan anemis hemolitik mikroangiopatik.4
Pemeriksaan fisik biasanya normal sampai terjadinya kanker gaster stadium
lanjut. penemuan klasik yang menunjukkan adanya lesi metastase pada pasien
stadium IV, diantaranya Virchow’s supraclavicular node, Sister Mary Joseph’s
periumbilical node, Pemeriksaan rectal dapat menunjukkan nodul yang keras pada
extraluminal dan anterior, yang menandakan adanya "drop metastases", atau
rectal shelf of Blumer pada cavum douglas, dan Krukenberg’s tumor yang
merupakan metastase limfatik dan/atau peritoneal yang incurable. Dapat pula
terjadi, atau aspiration pneumonitis pada pasien dengan gejala muntah dan atau
obstruksi. Jika teraba massa abdomen, menandakan tumor primer yang sangat
besar (biasanya T4). Tanda fisik stadium lanjut termasuk metastatic pleural
effusion, hepatosplenomegaly, jaundice, ascites, hematemesis, melena, dan
cachexia. Komplikasi lanjut termasuk perforasi, perdarahan, gastrocolic fistulae,
dan obstruksi.3,4,7
2.3.4 Metastase
Kanker gaster dapat menyebar secara lokal dan metastase pada jaringan limfe,
metastase peritoneal dan distant metastases. Penyebaran ini dapat secara local,
lymphatic atau hematogenous. Tumor berkembang dengan penetrasi ke dinding
gaster, ekstensi ke dinding gaster, dan menyebar ke seluruh gaster. Dua bentuk
ekstensi lokal yang memiliki dampak terapi adalah penetrasi tumor ke serosa
gaster, dimana resiko invasi tumor meningkat pada struktur sekitarnya atau
penyebaran ke peritoneal, dan keterlibatan dari kelenjar limfatik. Zinninger telah
mengevaluasi penyebaran kanker pada dinding gaster dan menemukan variasi
yang luas pada pola penyebarannya. Tumor seringkali menyebar melalui kelenjar
limfatik atau pada lapisan subserosa. Ekstensi lokal dapat juga muncul pada
esophagus atau duodenum. Penyebaran pada duodenum terjadi melalui infiltrasi
langsung melalui lapusan muskular dan melalui kelenjar limfe serosal, tetapi
secara umum tidak tersebar secara luas. Ekstensi pada esophagus muncul secara
primer melalui kelenjar limfatik submukosal. 3
Gambar 14. Pasien dengan advanced gastric adenocarcinoma. Pada CT-scan potongan transversal,
adanya ascites dan metastase hepar.

Ekstensi lokal tidak hanya muncul dengan cara radial intramural tetapi juga invasi
melalui dinding gaster untuk melibatkan struktur di sekitarnya. Ekstensi dapat
muncul melalui serosa gaster dan melibatkan omentum, spleen, adrenal gland,
diafragma, liver, pancreas, atau kolon. Data dari beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa 60-90% pasien mempunyai tumor primer yang penetrasi
ke serosa atau menginvasi struktur disekitarnya dan setidaknya 50% memiliki
metasase limfatik. Insiden tertinggi dari metastase pada kelenjar limfatik pada
tumor yang secara diffuse melibatkan seluruh gaster. 3
Kanker gaster dapat muncul kembali pada tempat yang multipel, secara regional
dan sistemik. Dua penelitian pada autopsi memperlihatkan bahwa tingkat
kegagalan lokal setelah pembedahan kuratif berkisar 40% sampai 80%.3
Gunderson dan sosin menganalisa penelitian pada operasi yang dilakukan oleh
Wangensteen pada University of Minnesota, dimana pasien menjalani laparotomy
untuk yang kedua kalinya setelah reseksi dari tumor primer. Analisis semacam ini
berguna karena dapat memperlihatkan bagaimana modes of failure dibandingkan
dengan melihat secara sederhana metastase difuse penyakit saat autopsi. Enam
puluh sembilan persen mempunyai bukti adanya rekurensi secara lokal dan 42%
pasien mempunyai penyebaran pada peritoneal seeding. Kebanyakan dari
kegagalan lokal berada pada gastric bed (81%), meskipun rekurensi juga muncul
pada anastomosis atau stump (39%) atau pada kelenjar limfe regional (63%).
Penelitian oleh the British Stomach Cancer Group menemukan bahwa insiden
dari kegagalan lokal pada pasien yang hanya ditangani dengan pembedahan
sebesar 54%. Pada penelitian yang mengevaluasi pola kegagalan lokal oleh
Landry et al menunjukkan bahwa tingkat kegagalan lokal sebesar 38%, dengan
kebanyakan rekurensi lokal berada pada gastric bed, dan anastomosis atau gastric
stump. Insiden dari kegagalan lokal meningkat ketika tumor telah menyebar
melalui dinding gaster atau ketika terlihat adanya keterlibatan kelenjar limfe pada
saat pembedahan. Metastase pada hepar juga dapat muncul pada 30% pasien dan
penyebaran pada peritoneal sebesar 23%. Rekurensi extraabdominal relatif jarang
dan hanya muncul pada 13% pasien.3 Beberapa penelitian terbaru memperlihatkan
insiden yang tinggi dari penyebaran pada peritoneal sebagai modes of failure.
Pada sebuah penelitian cohort, penyebaran pada peritoneal terjadi sebesar 47%.3
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Tumor marker
Level serum Carcinoembryonic antigen (CEA) dan CA 19-9 seringkali meningkat
pada pasien dengan kanker gaster stadium lanjut. Tetapi hanya sekitar sepertiga
dari pasien yang memiliki nilai abnormal dari CEA dan/atau CA19-9.4
Manggabungkan CEA dengan marker lainnya, seperti sialylated Lewis antigens
CA19-9 atau CA50, dapat meningkatkan sensitifitas CEA. 3 Sensitifitas dari CEA
rendah dan ketika nilainya meningkat, levelnya tidak berhubungan dengan
stadium yang ada, dikarenakan rendahnya sensitifitas dan spesifitas, marker ini
tidak mempunyai peranan sebagai screening test pada pasien resiko tinggi.3,4
Tumor-associated glycoprotein antigen, TAG-72 (CA 72-4 assay), dapat berguna
sebagai tumor marker post reseksi, pada sebuah penelitian CA 72-4
memperlihatkan spesifitas 40% – 50% dan sensitifitas 100%. Gen E-cadherin,
yang didapatkan pada bentuk familial dari kanker gaster, mungkin sangat berguna
sebagai marker genetik pada penyakit yang rekuren, dengan sensitifitas 59% dan
spesifitas 75%. Vascular endothelial growth factor (VEGF) juga telah diajukan
sebagai marker post operatif. Nilai serum VEGF yang lebih besar dari 533 pg/mL
ditemukan sebagai faktor independen untuk cancer-specific survival. Tidak
terdapat tes laboratorium tunggal yang dapat mendeteksi adanya kanker gaster
rekuren. Tehnik terbaru sedang diteliti untuk mendeteksi individu dengan resiko
tinggi kanker gaster berdasarkan komposisi genetik. Tehnologi ini termasuk
cDNA microarray, serial analysis of gene expression (SAGE), differential
display, dan subtractive hydridization.4
2.4.2 Upper Gastrointestinal Barium Examination (UGI)
The upper gastrointestinal barium examination (UGI) merupakan modalitas
primer untuk mendeteksi kanker gaster. Meskipun endoscopy memiliki kelebihan
dibandingkan UGI, namun UGI tetap menjadi pemeriksaan diagnostik yang sering
digunakan karena kurang invasif, tidak membutuhkan sedasi, dan biaya yang
rendah. Sebagai tambahan neoplasma gaster kadangkala merupakan temuan yang
tak disengaja ketika dilakukan pemeriksaan UGI untuk gejala yang tidak spesifik
atau untuk evaluasi dari esophagus atau usus halus. 4
Gambar 16. Gambaran patologis kanker gaster dini.
Gambar 15. UGI double-contrast menunjukkan adenocarcinoma berbentuk polypoid pada cardia
fundus.
Tabel 6. Deskripsi tipe patologis kanker gaster dini.
Pemeriksaan double-contrast merupakan tehnik radiologis tunggal yang paling
baik untuk mendiagnosa kanker gaster dini (gambar 15). Pada penelitian 80 pasien
dengan kanker gaster, pemeriksaan double-contrast dapat mendeteksi 99% pasien
dengan kanker gaster. Pemeriksaan tunggal single-contrast hanya mempunyai
nilai sensitifitas sebesar 75% dalam mendiagnosa kanker gaster. Tipe morfologi
yang dideskripsikan oleh the Japan Research Society of Gastric Cancer, kanker
gaster dini dapat terdeteksi pada UGI sebagai polip kecil (type I), lesi superficial
dengan elevasi minimal (type IIa), atau flat (type IIb), depresi ringan (type IIc),
atau shallow ulcers (type III) (gambar 16).

Kanker gaster tingkat lanjut dapat berbentuk massa polypoid, ulserasi, atau proses
infiltratif (linitis plastica pattern) (gambar 17). Ulserasi merupakan penemuan
yang sering terdapat pada pemeriksaan UGI. Bagaimanapun juga hanya 3%
sampai 5% dari kanker gaster yang berupa kondisi malignant. Terdapat beberapa
keterbatasan dari UGI, yaitu interpretasi dari UGI bergantung pada kemampuan
operator, keakuratan diagnostik untuk deteksi dini dari kanker lebih besar pada
Negara yang mempunyai program screening berskala besar seperti Jepang, bila
dibandingkan dengan Amerika Serikat. Sensitifitas juga tampaknya menurun jika
digunakan pada pasien postgastrectomy dikarenakan gangguan anatomis akibat
rekonstruksi pembedahan. 4
Gambar 17. UGI-double contrast menunjukkan hilangnya distensibilitas dan kontour yang abnorm
gaster dikarenakan adenocarcinoma infiltratif (linitis plastica).

2.4.3 Computed Tomography


Computed tomography scanning (CT-scan) menyediakan informasi yang penting
dalam rencana pelaksanaan pasien dengan kanker gaster. CT-scan dapat
memberikan informasi mengenai tumor primer, mendeteksi lymphadenopathy,
dan memprediksi invasi dari organ di sekitarnya, dengan beberapa keterbatasan.
CT-scan merupakan pemeriksaan tunggal non invasif yang dapat mendeteksi
adanya metastase. Evaluasi keterlibatan tumor intramural dan ekstensi pada
dinding gaster sangat penting untuk perencanaan terapi. Tehnik CT standar sangat
lemah dalam mengevaluasi gaster. Ketebalan dinding gaster sulit untuk dinilai
tanpa adanya distensi dari gaster dan bagian dari dinding gaster yang coplanar
dengan sudut axial scan (terutama regio cardiac gaster) dapat terlihat menipis.
Penampakan pseudomass dari gastroesophageal (GE) junction pada CT-scan
standar berkisar 23% dari 100 pasien dengan GE junctions yang normal. Pada
penelitian yang membandingkan antara EUS dan CT-scan didapatkan keakuratan
penetrasi tumor berkisar 92% untuk EUS bila dibandingkan 42% untuk CT-scan.
Berbagai tehnik telah berkembang dalam 15 tahun terakhir dan perbedaan tersebut
menjadi menipis. Pada penelitian yang terbaru, keakuratan CT-scan sebesar 76%
bila dibandingkan dengan EUS sebesar 86%. Distensi gaster dapat dicapai dengan
memasukkan air (300 sampai 800 mL) sangat penting untuk penilaian yang akurat
dari ketebalan dinding gaster.4
Gambar 18. A, CT dilakukan dengan distensi gaster oleh air yang memperlihatkan gaster regio car
terlihat kanker gaster T4 dari body proksimal dengan ekstensi ke kelenjar perigastric dan keterlibata
splenic.

CT scan dari thorax, abdomen, dan pelvis berguna untuk menentukan penyebaran
lateral dari tumor dan adanya metastase secara sistemik. Bagaimanapun juga,
lebih dari 50% pasien menunjukkan penyebaran tumor yang lebih luas dari yang
diperlihatkan oleh CT pada saat laparotomy. Dengan menggunakan metode
terbaru triphasic spiral CT scanning, dapat memprediksi lebih tepat tumor dengan
ukuran yang kecil dan memprediksikan stadium T. Takao et al melaporkan
keakuratan dari spiral CT sebesar 82% untuk menentukan stadium T pada kanker
gaster tingkat lanjut dan 15% pada kanker gaster dini. Beberapa pusat kesehatan
di eropa telah menggunakan metode ini, dan tanpa metode ini, keakuratan dari
stadium T secara umum sangat rendah.3
Keakuratan CT-scan untuk menilai keterlibatan kanker gaster mempunyai nilai
yang terbatas. Keterbatasan ini dikarenakan ukuran kelenjar limfe tetap menjadi
kriteria diagnostik primer untuk menentukan keterlibatan tumor. Nilai batas
normal kelenjar limfe adalah 8 sampai 10 mm, tetapi meastase dapat ditemukan
pada kelenjar limfe yang berukuran lebih kecil dari 8 mm. pada penelitian pada 58
pasien kanker gaster dan 1082 sampel kelenjar limfe, kanker ditemukan pada
82.6% kelenjar limfe yang berukuran lebih dari 14 mm, 23.0% berukuran 10
sampai 14 mm, 21.7% berukuran 5 sampai 9 mm, dan 5.1% berukuran kurang
dari 5 mm. Pada penelitian oleh Dux et al juga didapatkan bahwa mayoritas
kelenjar limfe metastase berukuran antara 2 dan 10 mm. Halvorsen et al
melaporkan sensitivitas sebesar 67% dan spesifitas sebesar 61% pada penelitian
kelenjar limfe metastase pada 75 pasien dengan kanker gaster. Metastase secara
hematogenous paling sering terjadi pada hepar, paru-paru, dan kelenjar adrenal,
dapat juga pada tulang, ginjal dan otak. CT-scan tetap menjadi modalitas untuk
mendeteksi penyakit metastase. 4

Gambar 19. A, CT memperlihatkan metastase liver dari kanker gaster; B, terlihat adanya massa
yang besar, yaitu drop metastse pada ovarium bilateral (krukenberg’s tumor)
2.4.4 Positron Emission Tomography
Penggunaan Positron Emission Tomography (PET) pada pasien kanker gaster
adalah dalam menentukan stadium, mendetteksi rekurensi, menentukan prognosis,
dan menentukan respon terapi. Kelebihan PET dibandingkan CT adalah mengenai
resolusi kontras yang lebih besar. Contohnya PET dapat mendeteksi metastase
kelenjar limfe sebelum adanya pembesaran kelenjar limfe pada CT-scan.
Keterbatasan dari PET adalah rendahnya sensitivitas untuk lesi yang berukuran
kecil dan hasil false-positive dari proses infeksi dan inflamasi. Sebagai tambahan,
PET relatif lebih mahal bila dibandingkan pemeriksaan lainnya. PET telah
dilaporkan memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi tumor signet-ring
cell dan mucinous. Meskipun PET tidak mempunyai peranan dalam mendeteksi
kanker gaster primer. Mayoritas (60% sampai 96%) neoplasma gaster primer.
PET mempunyai nilai potensial dalam menentukan stadium dari kanker gaster.
Yoshioka et al melaporkan sensitivitas sebesar 71% dan spesifitas sebesar 74%
pada 42 pasien dengan kanker gaster stadium lanjut, dan sensitivitas untuk
mendeteksi metastase kelenjar limfe bervariasi dari 23 sampai 73%. Nilai utama
PET dalam mendeteksi metastase kelenjar limfe terutama karena spesifitasnya
yang tinggi, sebesar 78% sampai 96%. 4
Gambar 20. Axonal positron emission tomography (PET) dari kanker gaster. Panah p
memperlihatkan lesi gaster, panah panjang memperlihatkan metastase kelenjar limfe.

Keakuratan dari PET dan CT untuk mendeteksi kelenjar limfe lokal dan distant
tidak berbeda jauh. Meskipun CT lebih sensitif daripada PET untuk mendeteksi
metastase kelenjar limfe pada N1 dan N2, PET lebih bersifat spesifik. PET lebih
sensitif dalam mendeteksi metastase pada organ seperti hepar dan paru-paru,
tetapi tidak untuk metastase tulang, peritoneal dan pleural. De Potter et al
mengevaluasi 33 pasien untuk rekurensi setelah terapi pembedahan kuratif, PET
mempunyai sensitivitas sebesar 70% dan spesifitas sebesar 69%. PET scan yang
bernilai negatif berhubungan dengan survival yang lebih panjang secara signifikan
bila dibandingkan dengan PET scan positif. PET juga memiliki nilai dalam
memprediksi respon dari kemoterapi preoperatif pada kanker gaster. Ott et al
melakukan penelitian prospektif pada 44 pasien dengan kanker gaster stadium
lanjut, didapatkan respon dari PET setelah 14 hari terapi memprediksikan respon
histopatologi 3 bulan setelah terapi dan berhubungan dengan tingkat survival. 4
Fluorodeoxyglucose (FDG) positron emission tomography (PET) seluruh tubuh,
penggunaannya telah meningkat dalam evaluasi gastrointestinal malignancies.
The positron-emitting 18F-labeled analogue dari 2-deoxyglucose, 2-[18F]-fluoro-
2-deoxyglucose dimasukkan kedalam sel dengan menggunakan perantara hexose
tipe I atau II. Ketika didalam sel, analog tersebut di fosforilasi menjadi FDG-6-
3
phosphate, dimana kebanyakan jaringan tumor tidak memetabolisasi lebih jauh.
Uptake yang besar dari FDG berhubungan dengan dalamnya invasi, ukuran tumor,
dan metastase kelenjar limfe. Tingkat survival pasien dengan uptake FDG yang
tinggi secara signifikan lebih rendah dari pasien dengan uptake FDG yang rendah.
Bagaimanapun juga derajat uptake tumor primer berhubungan dengan histologi
tumor dan tumor dengan prognosis yang buruk dapat mempunyai uptake FDG
yang rendah. Secara umum, signet-ring cell dan mucinous carcinomas
4
mempunyai uptake FDG yang rendah. Beberapa penelitian telah
mendokumentasikan lokasi tumor kolorektal dan hepatic yang rekuren, dengan
sensitivitas bervariasi dari 92-100% dan akurasi sebesar 90-96%. Penelitian pada
kanker esophageal memperlihatkan bahwa PET dapat mendeteksi 20% dari
metastase yang tidak dapat terlihat oleh CT. Penelitian pada kanker gaster dengan
menggunakan FDG-PET, terlihat memiliki sensitifitas 60%, spesifitas 100%, dan
keakuratan sebesar 94% dalam mengidentifikasi kanker gaster. 3
2.4.5 Laparoscopy
Pengenalan dari fiberoptic, video-assisted laparoscopy pada awal 1980
memberikan makna untuk penilaian secara langsung dari abdominal cavity tanpa
morbiditas dari laparotomy. Studi komparatif yang membandingkan CT dan
laparoscopy telah secara konsisten menunjukkan bahwa laparoscopy memberikan
informasi tambahan yang tidak dapat terlihat pada pemeriksaan CT-scan. Pada
sebuah penelitian mengenai kanker gaster, laparoscopy memiliki keakuratan
sebesar 94% ketika dibandingkan terhadap penemuan pada saat laparotomy.
Kebanyakan yang tidak terdeteksi dengan menggunakan CT-scan adalah
metastase pada peritoneal. Tingkat keakuratan metode ini untuk mendiagnosa
stadium M1 berkisar 13% sampai 37%.3 Laparoscopy memegang peranan penting
sebagai panduan terapi pasien yang tepat untuk dapat dilakukan reseksi. pada
tahun 1995 Shandall dan Johnson melaporkan bahwa penggunaan rutin
laparoskopi menghasilkan deteksi dari metastase pada hepar atau peritoneum dan
menghindari dilakukannya laparotomi pada 29% pasien. Penelitian lainnya juga
mengkonfirmasi hal ini, dimana 12% sampai 52% pasien dirasakan tepat untuk
dilakukan reseksi gaster terhindar dari laparotomi dikarenakan ditemukannya
metastase pada saat laparoskopi. Burke et al menyebutkan bahwa laparoskopi
memiliki sensitivitas sebesar 100% sensitivity dan 84% spesifitas. Dengan adanya
tehnik terbaru laparoscopic ultrasound, stadium N dapat ditentukan dengan
laparoskopi, namun sayangnya dibutuhkan operator yang ahli. Finch et al
mengindikasikan laparoscopic ultrasound mempunyai keakuratan sebesar
84%dalam menentukan stadum kanker esophageal. Dikarenakan pentingnya dari
laparoskopi dalam menentukan stadium, the National Comprehensive Cancer
Network (NCCN) merekomendasikan pasien dengan kanker gaster dengan
locoregional disease (M0) menjalani laparoskopi untuk manajemen lebih jauh.
Laparoskopi tidak hanya terbatas pada pasien yang resectable. Penentuan stadium
yang akurat pada pasien yang unresectable dapat membantu menentukan
keuntungan dari terapi chemoradiation, dikarenakan radiasi mungkin tidak tepat
pada pasien yang memiliki metastase. Laparoskopi tidak diperlukan pada lesi T1
atau T2 dimana insiden metastsenya rendah. Lebih jauh lagi, laparoskopi tidak
diindikasikan sebagai evaluasi preoperatif pada pasien dengan gastric remnant
cancers, dikarenakan cenderung tidak terjadi metastase peritoneal.4
2.4.6 Endoscopy
Endoscopy saluran cerna bagian atas telah digunakan secara rutin untuk
mendiagnosa dan menentukan stadium dari kanker gaster. Beberapa laporan telah
menunjukkan keakuratan diagnostik lebih dari 95%. Evaluasi termasuk ukuran,
lokasi, dan morfologi dari tumor, termasuk penyebaran proksimal dan distal,
sebagaimana juga abnormalitas mukosa. Penurunan distensibilitas dari gaster,
aktifitas peristaltik yang abnormal, dan fungsi pylorus yang abnormal dapat
mengindikasikan adanya infiltrasi submukosal yang luas atau penyebaran
extramural dari tumor. Kemungkinan mendapatkan hasil yang positif pada biopsi
lebih besar dari 95% ketika sampel jaringan diambil sebanyak enam sampai
sepuluh buah. Mengidentifikasi iregularitas dari mukosa biasanya berhubungan
dengan gastritis-like carcinomas dini yang bisa diperjelas dengan menggunakan
cairan vital dyes, seperti 0.1% indigocalmin. Tehnik ini telah digunakan secara
luas di jepang dengan tingkat keberhasilan yang baik. 3
Gambar 21. Kanker gaster tipe Iic yang terbatas pada mukosa. A, gambaran saat endoscopy. B, d
pengecatan indigo carmine dye.

EUS telah digunakan secara ekstensif untuk menentukan stadium dari dalamnya
invasi dan penyebaran pada kelenjar limfe regional untuk kanker gaster yang
potensial operable. EUS menggunakan frekuensi tinggi (7.5 atau 12 MHz)
transducer pada ujung endoskopi dan dapat dengan akurat menentukan sejauh
mana invasi tumor primer (T stage) dan lebih akurat dibandingkan computed
tomographic (CT) scan untuk menentukan stadium T dan N. meskipun terlihat
lebih berguna dibandingkan CT scan untuk mendeteksi metastase kelenjar limfe
perigastric, secara keseluruhan akurasi dari EUS untuk menilai keseluruhan
kelenjar limfe regional kurang memuaskan. Karena CT scan dapat
mengidentifikasi metastase distant pada kelenjar limfe dan organ seperti liver,
ovaries, dan peritoneum; CT dan EUS berguna untuk digunakan sebagai tes
komplementer. EUS telah menjadi alat yang sangat berguna untuk menilai kanker
gaster dini yang merupakan kandidat untuk reseksi endomucosal. 3
Gambar 22. Kasus kanker gaster dini tipe IIa+IIc yang terbatas pada mukosa. A, gambaran end
memperlihatkan adanya massa kemerahan pada greater curvature. B, gambaran yang diperbe
pengecatan dengan Dye memperlihatkan gambaran lesi yang lebih jelas. D, gambaran
memperlihatkan lesi protruded.
Era dari EUS, atau endosonography, dimulai pada awal tahun 1980 ketika the
Mayo Clinic menambahkan ultrasound transducer pada ujung dari endoskopi.
Transabdominal ultrasound mengeluarkan sinyal berfrekuensi rendah, yang dapat
mencapat jarak yang jauh namun mempunyai resolusi yang rendah. Dikarenakan
target organ pada EUS seringkali dekat dengan transducer, sinyal dengan
frekuensi tinggi dapat digunaka untuk menghasilkan resolusi yang tinggi. Tumor
cenderung lebih dense dibandingkan jaringan lainnya dan dapat terdeteksi sebagai
struktur gelap yang mengganggu hubungan jaringan antar lapisan. Stadium T EUS
berdasarkan atas jumlah lapisan dinding visceral yang terdisrupsi. Stadium N
berdasarkan adanya kelenjar limfe perivisceral yang memenuhi beberapa kriteria
yaitu diameter >10 mm, berbentuk bulat, struktur uniform hipoekoik, dan berbatas
tegas. Dikarenakan terbatasnya kedalaman penetrasi, EUS kurang berguna untuk
menentukan stadium M. Akurasi EUS dalam menentukan stadium T pada kanker
gaster berkisar 82%, dengan sensitivitas 70-100% dan spesifitas 87-100%.
Sayangnya, meskipun pada seseorang yang berpengalaman, membedakan kanker
gaster T2 dan T3 bisa sangat sulit. Desmoplastic reaction yang berhubungan
dengan tumor yang tidak mencapai lapisan serosa dapat menyerupai invasi T3
pada EUS dikarenakan edema yang ada mendistorsi hubungan antara gaster dan
jaringan disekitarnya. Akurasi stadium N sekitar 70%, dengan sensitivitas 69.9%
sampai 100% dan spesifitas 87.5% sampai 100%. Penambahan FNA pada
jaringan kelenjar limfe yang mencurigakan menambahkan spesifitas mencapai
100%. EUS-guided FNA (Tru-Cut®) biopsi dari submukosa dapat memungkinkan
diagnosa jaringan ketika terdapat linitis plastica, dimana tumor menyebar
sepanjang lapisan submukosa sementara lapisan mukosa tetap intak.
Gambar 23. A, Gambaran endocopy dari linitis plastica dari regio body gaster, meskipun terlihat pen
dari gastric folds, mukosa tetap normal. B, Gambaran EUS dari linitis plastica. Thin single headed
memperlihatkan muskularis propia hipertropik dengan infiltrasi tumor melebihi dinding gaster me
perigastric fat.

EUS juga dapat menunjukkan adanya metastae hepar dan ascitas dini yang
berhubungan dengan kanker gaster stadium 4, sampel dapat diambil dengan aman
melalui dinding gaster atau dinding duodenum. EUS juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kanker gaster dini yang terbatas pada mukosa (intramucosal
carcinoma) dan juga dilakukannya endoscopic resection daripada gastrectomy.
Meskipun jarang digunakan di luar Jepang, endoscopic resection telah menjadi
standar terapi pada pusat-pusat kesehatan di Jepang. Kemampuan EUS untuk
memperlihatkan gambaran jaringan dengan cara yang kurang invasif akan
menjadikan EUS sebagai alat utama pada pendiagnosaan kanker gaster. 4
Gambar 24. A, kanker gaster dini pada incicura; B, EUS dari kanker gaster T1, panah hitam
memperlihatkan tumor yang menginvasi lapisan putih (hipoekoik) dari submukosa hiperekoik
putih) tetapi tidak mengganggu lapisan hitam (hipoekoik) dari muskularis propia (panah hitam tipis)
2.5 Stadium
Seperti neoplasma lainnya, keakuratan dan keseragaman stadium dari kanker
gaster merupakan hal yang penting dalam memprediksikan prognosis dan menilai
respon dari terapi. Klasifikasi R digunakan untuk menilai residual disease setelah
reseksi tumor; R1 menandakan adanya residual disease secara mikroskopik, dan
R2 menandakan adanya gross residual disease. 3
The International Union Against Cancer (UICC) dan American Joint Committee
on Cancer (AJCC) TNM classification untuk kanker gaster terlihat pada gambar
diatas. Dalamnya invasi tumor menentukan stadium T. terdapat hubungan antara
stadium T dan tingkat survival. Peraturan utama untuk Gastric Cancer Study in
Surgery and Pathology telah dipublikaskan di Inggris pada tahun 1995 oleh the
Japanese Research Society for Gastric Cancer. Definisi dari stadium tumor
primer berdasarkan dalamnya invasi dan sejauh mana invasi serosa. Stadium T
dibedakan menjadi mucosa (m), submucosa (sm), dan muscularis propria (pm).
Subserosa (ss) dan S1 tumor telah diklasifikasikan lebih jauh berdasarkan derajat
dan tipr dari invasi serosal. INFa adalah tumor subserosal dengan pertumbuhan
yang ekspansif, INFb adalah tumor subserosal dengan pertumbuhan tipe
intermediate, dan INFg adalah tumor subserosal dengan pertumbuhan infiltrasi.
S2 dan S3 sekarang didefinisikan sebagai se (sel kanker terdapat pada kavum
peritoneal), si (sel kanker infiltrasi pada jaringan di sekitarnya), atau sei (adanya
se dengan si). 3
The AJCC/UICC stadium N telah dirubah pada tahun 1997 untuk merefleksikan
jumlah dari kelenjar limfe yang terlibat. Tumor dengan satu sampai enam kelenjar
limfe yang terlibat diklasifikasikan sebagai pN1; 7 sampai 15 kelenjar limfe yang
terlibat diklasifikasikan pN2, dan lebih dari 15 kelenjar limfe yng terlibat
diklasifikasikan sebagai N3. Tingkat survival menurun secara dramatis ketika
semakin banyaknya terdapat metastase kelenjar limfe. 3
Dengan sistem stadium yang baru, adanya metastase kelenjar limfe perigastric
3
lebih dari 15 diklasifikasikan sebagai N3, dimana stadium M1. Pada penelitian
cohort sejak tahun 1982 sampai 1987 dari of 18365 pasien di US, didapatkan 18%
pasien dengan stadium I, 16% stadium II, 36% stadium III, dan 30% stadium IV. 3
Meskipun bukan komponen dari stadium, tipe dan grading histopatologis, dan
status sitologi peritoneal lavage harus dicatat ketika memungkinkan. Adanya sel
kanker pada cairan peritoneal dipertimbangkan oleh beberapa peneliti setara
dengan stadium M1. Burke et al menemukan bahwa pada pasien kanker gaster
stadium III, dengan positif peritoneal lavage setelah 18 bulan tidak ada yang
selamat. 3
Gambar 25. INF-α, INF-β, dan INF-γ.

Tabel 7. Klasifikasi dan stadium TNM dari kanker gaster


Note:
1. T2: tumor mungkin penetrasi pada muscularis propria tanpa ekstensi pada
ligamen gastrocolic atau ligamen gastrohepatic, atau pada omentum, tanpa
perforasi pada visceral peritoneum. Pada kasus seperti ini, tumor dilasifikasikan
sebagai T2. Jika ada perforasi dari visceral peritoneum yang menutupi ligamen
gaster atau omentum, tumor diklasifikasikan sebagai T3.
2. T3,T4: struktur disekitar gaster termasuk spleen, transverse colon, liver,
diaphragm, pancreas, abdominal wall, adrenal gland, kidney, small intestine, dan
retroperitoneum.
3. T3,T4: ekstensi intramural pada duodenum atau esophagus diklasifikasikan
dengan dalamnya invasi, termasuk gaster.
4. N0: pN0 harus digunakan ketika semua kelenjar limfe yang diperiksa negatif,
tidak tergantung jumlah kelenjar limfe yang diangkat dan diperiksa.
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Operatif
2.6.1.1 Endoskopik Mucosal Resection
Telah terlihat bahwa kanker gaster dini dapat menjalani reseksi R0 tanpa
lymphadenectomy atau gastrectomy. Jepang telah mempopulerkan endoscopic
3
mucosal resection dari kanker gaster yang memenuhi kriteria spesifik. Idealnya
endoscopic mucosal resection harus dibatasi pada pasien dengan ukuran tumor
kurang dari 2 cm, kelenjar limfe yang negatif, dan hanya terbatas pada mukosa
pada pemeriksaan EUS, dan tidak adanya lesi gaster lainnya.7 Pendekatan ini
dilakukan dengan injeksi cairan pada submukosal untuk elevasi dari lesi sehingga
dapat dilakukan reseksi mukosal. Tehnik ini dapat juga dilakukan untuk lesi yang
potensial metastasisnya rendah. Termasuk well-differentiated, lesi superfisial tipe
IIa atau IIc yang secara umum diameternya kurang dari 3 cm dan berlokasi pada
daerah yang mudah dijangkau.3 Peneliti di Jepang telah memperlihatkan bahwa
kanker gaster dini dapat dengan adekuat ditangani dengan endoscopic mucosal
7
resection. Takekoshi et al melaporkan penelitian mengenai 308 endoscopic
resections untuk kanker gaster dini, Empat puluh empat pasien mengalami
residual atau lesi rekuren setelah endoscopic mucosal resection. Semua rekurensi
direseksi dan tidak ada pasien yang meninggal dikarenakan kanker gaster. Pada
seseorang yang berpengalaman, endoscopic mucosal resection cocok sebagai
alternatif gastrectomy untuk kanker gaster dini.3
Gambar 26. Endoscopic mucosal resection dari kanker gaster tipe IIc pada regio antrum, pemeriksaa
memperlihatkan lesi terbatas pada mukosa. A, gambaran endoscopic. B, dengan pengecatan
carmine. C, reseksi dengan menggunakan. D, Mucosectomy ulcer.
Faktor resiko yang menentukan metastasis kelenjar limfe terutama berdasarkan
sejauh mana invasi tumor primer.5 Jika specimen yang di reseksi tidak
menunjukkan adanya ulserasi, invasi kelenjar limfe dan ukurannya kurang dari 3
cm, maka kemungkinan dari metastase kelenjar limfe hanya berkisar kurang dari
7
1%. Tumor yang menyebar pada submukosa mempunyai resiko tinggi untuk
metastase pada kelenjar limfe, dengan kisaran 3% dan tidak tepat jika dilakukan
Endoscopic Submucosal Resection (ESMR). 3 5Pasien dengan kanker submukosal,
dimana resiko untuk metastase kelenjar limfe dapat mencapai 20%, dapat
dipertimbangkan untuk reseksi laparoskopik yang terbatas atau operasi terbuka
yang terbatas. Metastase kelenjar limfe pada situasi ini berhubungan dengan
ukuran tumor yang besar, tipe histology undifferentiated, dan adanya invasi ke
kelenjar limfe atau pembuluh darah secara histology. Sebagai panduan, metastase
kelenjar limfe sangat jarang terjadi ketika ukuran tumor kurang dari 2 cm dan tipe
histology well differentiated, meskipun terdapat invasi mukosal. Minimally
invasive procedures ini telihat lebih sering digunakan oleh gastroenterologists
dibandingkan ahli bedah. 5
2.6.1.2 Laparoscopic Resection
Laparoscopic resection telah banyak digunakan untuk kanker stadium dini. Hal
ini dilakukan dengan pendekatan extragastric setelah dilakukan penandaan lesi
dengan menggunakan endoskopi untuk meyakinkan kemampuan untuk mengenali
lesi dan untuk reseksi yang adekuat. Prosedur yang lebih sulit seperti distal
gastrectomy juga telah dilakukan dengan menggunakan minilaparotomy.
Keuntungan relatif dari hal ini masih dipertanyakan, dengan sedikit penurunan
dari lamanya rawat inap namun waktu operasinya yang lama. Dikarenakan
tingginya insiden dari kanker gaster stadium dini di jepang dan negara lainnya,
prosedur laparoscopic dan endoscopic procedures dapat dipastikan akan
meningkat. Visualisasi secara akurat dan extended lymph node dissection dapat
dilakukan seperti pada pembedahan terbuka dengan dengan insisi minimal untuk
mengangkat spesimen dan extracorporeal anastomosis. Di Eropa dan Amerika
Utara, pendekatan laparoskopi lebih disukai pada lesi benign seperti benign
leiomyomas atau tumor stromal gastrointestinal stadium dini. 5
2.6.1.3 Pembedahan
Pembedahan merupakan satu-satunya penanganan kuratif untuk kanker gaster.3,7
Pembedahan juga dapat menentukan dengan dengan tepat stadium dari tumor.
Oleh karena itu kebanyakan pasien dengan adenocarcinoma gaster harus
menjalani reseksi gaster. Terkecuali pada pasien yang menolak untuk dilakukan
operasi dan pasien dengan metastase yang luas. Secara umum, paliatif juga sangat
buruk jika tanpa pembedahan.7 Tujuan utama dari pembedahan adalah reseksi dari
semua tumor (reseksi R0). Dengan margin proximal, distal, dan radial bebas dari
tumor dan dilakukan lymphadenectomy yang adekuat. Secara umum, ahli bedah
mengambil batas bebas tumor sebesar 5 cm dikarenakan beberapa kanker gaster
sangat infiltratif dan sel tumor dapat menyebar melebihi massa tumor. Oleh
karena itu frozen section untuk konfirmasi adanya batas bebas tumor sangat
penting dilakukan pada saat operasi untuk tujuan kuratif, namun kurang penting
untuk pembedahan paliatif. Perlu dipahami bahwa kebanyakan pasien dengan
kelenjar limfe yang positif dapat disembuhkan dengan pembedahan yang adekuat.
Dan juga seringkali kelenjar limfe berubah menjadi benign atau menjadi reaktif
pada pemeriksaan patologi, sehingga pada pasien dengan resiko rendah harus
dilakukan tindakan agresif untuk reseksi semua tumor. Tumor primer dapat
direseksi secara en bloc dengan organ lainnya yang terlibat (contohnya distal
pancreas, transverse colon, atau spleen) selama dilakukannya pembedahan
kuratif.7
Gambar 27. Billroth II Gastro-jejunostomy.
Prinsip panduan manajemen operatif adalah berdasarkan Halstedian dimana
diyakini perkembangan kanker gaster berasal dari mukosa ke submukosa dimana
kemudian menginvasi kelenjar limfe. Setelah terjadi ketelibatan kelenjar limfe
maka tumor mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini dikarenakan adanya hubungan
yang kuat antara depth of invasion dan luasnya metastase pada kelenjar limfe.
Secara umum, keberhasilan reseksi R0 bergantung pada stadium yang ditentukan
oleh TNM. Telah diterima secara luas bahwa pembedahan memiliki tingkat
kesembuhan yang tinggi untuk kanker stadium IA dan IB, dan tingkat
kesembuhan yang kurang baik pada stadium IIIA dan IIIB. Terdapat perbedaan
pendapat pada ahli bedah pada sejauh mana luasnya reseksi, dikarenakan outcome
tidak berhubungan dengan pembedahan yang lebih radikal. Area diskusi termasuk
keuntungan dari extended lymphadenectomy, penggunaan rutin total versus
subtotal gastrectomy untuk tumor dari antrum, dan prophylactic splenectomy. 3
Gambar 28. Roux-en-Y Gastrojejunostomy

Standar operasi dari kanker gaster adalah radical subtotal gastrectomy. Dengan
tehnik ini biasanya dilakukan ligasi arteri gaster kanan, kiri dan gastroepiploic,
dan juga dilakukan pengangkatan en bloc 75% distal gaster, termasuk pylorus dan
2 cm duodenum, omentum mayor dan minor, dan semua kelenjar limfe.
Rekonstruksi biasanya dengan Billroth II gastrojejunostomy, tetapi jika tersisa
sedikit bagian gaster (<20%), dipertimbangkan penggunaan rekonstruksi Roux-en-
Y. mortalitas operatif sekitar 5%. Radical subtotal gastrectomy secara umum
dipertimbangkan sebagai tehnik operasi kanker yang adekuat di Negara-negara
barat, yang dapat secara utuh mengangkat seluruh tumor dan dengan batas bebas
tumor yang adekuat. Spleen dan pancreas tidak dilakukan reseksi jika tidak
terdapat keterlibatan tumor. 7
Total gastrectomy tidak dilakukan kecuali diperlukan untuk mencapai batas bebas
tumor yang adekuat. Terdapat banyak penelitian besar yang membandingkan
subtotal gastrectomy dengan total gastrectomy untuk kanker gaster, dan tingkat
survival untuk kedua kelompok tidak berbeda. Bagaimanapun juga, komplikasi
dari total gastrectomy lebih tinggi. Total gastrectomy dengan jejunal pouch/
esophageal anastomosis merupakan operasi terbaik pada pasien dengan
adenocarcinoma gaster proximal, atau sebagai alternatif dilakukan proximal
subtotal gastric resection, yang membutuhkan esophagogastrostomy pada gaster
distal yang telah di lakukan vagotomi. Pyloroplasty pada keadaan ini dapat
mencegah bile esophagitis, dan jika pylorus dibiarkan intact, maka pengosongan
gaster dapat menjadi masalah. Dan harus dipertimbangkan isoperistaltic jejunal
interposition (Henley loop) antara esophagus dan antrum.7
Gambar 29. Oesophagogastrectomy with 1/3 stomach retained.

2.6.1.3.1 Total versus Subtotal Gastrectomy


Idealnya luasnya reseksi gaster harus dapat dilakukan dengan prosedur optimal
yang memiliki tingkat mortalitas yang rendah. Penggunaan rutin total gastrectomy
kemungkinan didasarkan laporan penelitian bahwa mungkin terdapat ekstensi dari
tumor secara intramural dan terdapatnya kanker gaster multipel yang simultan.
Meskipun penelitian data retrospektif tidak menunjukkan adanya perbaikan
survival pada total gastrectomy bila dibandingkan dengan subtotal gastrectomy,
namun data-data yang ada tidak mendukung penemuan ini. Tiga penelitian
prospective randomized trials telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan
mengenai penanganan kanker gaster distal. Secara keseluruhan tingkat komplikasi
dan mortalitas postoperatif sebesar 32% dan 1.3% untuk total gastrectomy dan
34% dan 3.2% untuk subtotal gastrectomy. Tidak ada perbedaan dalam 5-year
survival diantara group. Penelitian lainnya juga mengemukakan tidak adanya
keuntungan survival ketika dilakukan reseksi yang lebih ekstensif. Bozzetti et al
dalam penelitiannya juga menemukan bahwa tingkat 5-year survival sebesar
65.3% setelah subtotal gastrectomy dan 62.4% setelah total gastrectomy untuk
kanker gaster. Data tersebut mendukung penggunaan subtotal gastrectomy untuk
penanganan tumor distal stadium lanjut ketika dapat dicapai negative margin 5
cm. 3
Pada penelitian lainnya melaporkan mortalitas setelah total gastrectomy,
bervariasi dari 4% sampai 18%, dan kebocoran dari anastomosis bertanggung
jawab terhadap lebih dari 50% kematian. Dan yang lainnya juga memperdebatkan
mengenai status fungsional setelah dilakukan total gastrectomy yang mungkin
sedikit lebih buruk bila dibandingkan dengan subtotal gastrectomy. Terlebih lagi,
kemampuan untuk diseksi kelenjar limfe paracardial tidak tergantung dari ekstensi
reseksi gaster. Oleh karena itu, meskipun banyak digunakan sebagai tindakan
rutin, total gastrectomy seharusnya tidak digunakan sebagai pilihan pertama
ketika reseksi subtotal dapat dicapai batas proksimal 5 cm. 3
Karsinoma yang muncul dari sepertiga proksimal gaster mempunyai prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan lesi bagian distal. Total gastrectomy
secara tradisional merupakan prosedur pilihan untuk tumor yang berada pada
proksimal gaster. Penelitian prospektif mengenai kanker gaster proksimal,
didapatkan bahwa lamanya rawat inap pada pasien yang menjalani proximal
gastrectomy (16.5 hari) dan total gastrectomy (18 hari). Mortalitas postoperatif
untuk proximal gastrectomy (6.0%) dan total gastrectomy (3.0%) tidak terlalu
berbeda secara signifikan. tingkat 5-year survival untuk proximal gastrectomy
sebesar 43% dan sebesar 41% untuk total gastrectomy. Total dan proximal
gastrectomy mempunyai waktu dan pola rekurensi yang sama. 3
Gejala sisa fungsional dan mortalitas postoperatif untuk proximal gastric
resection dipertimbangkan lebih buruk dibandingkan dengan total gastrectomy.
Penelitian oleh Buhl et al menemukan bahwa pada pasien yang ditangani dengan
proximal gastric resection mempunyai insiden yang tinggi menderita dumping,
heartburn, dan menurunnya nafsu makan, menurunnya kualitas hidup dan
kemampuan untuk bekerja. Norwegian Stomach Cancer Trial menemukan bahwa
tingkat mortalitas postoperatif sebesar 8.3% dan tertinggi pada pasien yang
menjalani proximal resection (16%) bila dibandingkan dengan total gastrectomy
(8%), subtotal gastrectomy (10%), atau distal resection (7%). Faktor yang secara
signifikan berhubungan dengan komplikasi postoperatif termasuk usia, jenis
kelamin laki-laki, tidak memakai antibiotik profilaksis dan splenectomy. Tingkat
komplikasi tertinggi pada proximal resections (52%), diikuti oleh total
gastrectomy (38%), subtotal resection (28%), dan distal resection (19%). Oleh
karena itu, pada lesi yang berada pada proksimal, terlihat bahwa total gastrectomy
dengan menggunakan berbagai macam variasi pilihan rekonstruksi dapat
mengakibatkan hasil fungsional yang lebih baik, namun observasi ini belum
dilakukan pada penelitian prospective. Terlihat bahwa komplikasi dan tingkat
mortalitas lebih rendah setelah total gastrectomy untuk kanker gaster proksimal. 3
2.6.1.3.2 Extended Lymphadenectomy
The Japanese Research Society untuk kanker gaster mengajukan standarisasi
reseksi D2 untuk pasien yang menjalani gastrectomy kuratif. Kebanyakan
penelitian restropektif dari Jepang, Negara-negara Asia, dan pusat kesehatan di
barat menyarankan D2 lymphadenectomy pad pasien dengan kanker gaster yang
resectable. Bagaimanapun juga reseksi radikal D2 tidak terlihat meningkatkan
survival pada pasien dengan penyakit extranodal, seperti metastase peritoneal,
metastase kelenjar limfe distant (N3–4), atau karsinoma yang menginfiltrasi
secara diffuse (linitis plastica). Takeda et al juga melaporkan 5-year survival telah
meningkat dari 21% menjadi 46% pada 166 pasien yang menjalani total
gastrectomy kuratif pada tumor dengan invasi serosa yang positif ketika dilakukan
D2 lymphadenectomy. Kodama et al membandingkan 254 pasien yang menjalani
reseksi sederhana dengan 454 pasien yang menjalani extensive regional lymph
node dissection (ELD) untuk kanker gaster. Efek terapeutik ELD terlihat baik
pada pasien dengan serosal invasion (T3) atau dengan metastase kelenjar limfe;
sedangkan pasien dengan T1, T2, T4, atau N0 tidak terlihat mendapat keuntungan
dari ELD. Penelitian pada 486 pasien yang menjalani reseksi (D2), Sowa et al
memperlihatkan bahwa ukuran dan dalamnya penetrasi tumor berhubungan
langsung dengan insiden metastase kelenjar getah limfe dan tingkat dari skip
metastases kurang dari 1%. Pada penelitian ini, sebagaimana penelitian lainnya,
lesi T1–2 memiliki metastase terbatas pada kelenjar limfe perigastric pada 15-
40% pasien, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pada kasus kanker yang
belum stadium lanjut, systematic lymphadenectomy mungkin diperlukan untuk
membersihkan semua metastase pada kelenjar limfe. 3 Penelitian yang berasal dari
US dan Europe yang kebanyakan secara retrospektif menyarankan D2
lymphadenectomy untuk kanker gaster. Keller et al melaporkan bahwa the
German Stomach Cancer TNM Study Group, menyarankan dilakukannya
systematic lymphadenectomy untuk resectable kanker gaster karena metastase
kelenjar limfe terjadi 2-3 kali lebih sering pada pasien yang tidak menjalani
systematic lymphadenectomy.3
Dikarenakan sulitnya tehnik dari extended lymphadenectomy, beberapa peneliti
menyarankan menggunakan selective lymph node dissection pada kelenjar limfe
yang secara makroskopik mencurigakan. Pada penelitian lainnya, rata-rata ukuran
kelenjar limfe metastase sebesar 7 mm, sedangkan peneliti lainnya juga
mengemukakan bahwa ahli bedah hanya dapat mendiagnosa adanya metastase
secara makroskopik pada saat operasi pada 20% pasien. Noguchi et al
mengemukakan bahwa meskipun terdapat korelasi antara ukuran kelenjar limfe
dan metastase, namun 30% metastase pada kelenjar limfe hanya mempunyai
ukuran kurang dari 3 mm. oleh karena itu penggunaan selective lymphadenectomy
berdasarkan gambaran makroskopik kelenjar limfe dirasakan kurang tepat.3
Sejauh mana digunakan lymphadenectomy pada pasien dengan kanker gaster dini,
yang didefinisikan kanker gaster yang terbatas hanya pada mukosa dan
submukosa masih kontroversial. Tumor yang berada pada intramukosal
merupakan faktor resiko terjadinya metastase kelenjar limfe pada kanker gaster
dini. Beberapa peneliti menyarankan penggunaan selective lymphadenectomy,
terutama jika ukuran tumor kecil (kurang dari 1.5 cm), tumor tipe protruded
(Borrmann type I), dan tumor yang terbatas pada mukosa. Hochwald et al
menganalisa 165 kanker gaster dini secara klinis dan patologis, dimana terdapat
beberapa faktor yang berhubungan dengan rendahnya metastase kelenjar limfe.
Ukuran tumor, depth of invasion, dan adanya invasi vena merupakan faktor resiko
yang berhubungan secara independen dengan kelenjar limfe metastase.
Bagaimanapun juga 47 tumor yang berukuran kurang dari 4.5 cm dan terbatas
hanya pada mukosa mempunyai metastase kelenjar limfe sebesar 4%. Kurihara et
al menemukan bahwa karsinoma submukosal diklasifikasikan menjadi tiga
kategori berdasarkan dalamnya invasi dengan membagi lapisan submucosal (sm)
menjadi tiga bagian, yaitu sm1, sm2, dan sm3, dan insiden dari metastase kelenjar
limfe meningkat dari 2% ke 12% dan 20%.3
Untuk kanker stadium lanjut perdebatan terus berlanjut pada pertimbangan
menggunakan reseksi en bloc yang luas dari kelenjar limfe second-echelon (D2
resection) yang lebih superior dibandingkan lymphadenectomy dari kelenjar limfe
perigastric (D1 resection). Dent et al meneliti D1 versus D2 gastrectomy, dan
mendapatkan tidak ada perbedaan pada 5-year survival rates. Pasien yang
menjalani D2 resection memiliki waktu operasi yang lebih lama, membutuhkan
transfusi lebih banyak dan waktu rawat inap yang lebih lama. Pada penelitian
lainnya yang membandingkan D1 subtotal gastrectomy dengan D3 total
gastrectomy (omentectomy, splenectomy, distal pancreatectomy,
lymphadenectomy dari celiac axis, dan porta hepatis) pada 55 pasien dengan
kanker gaster pada antral, waktu rawat inap dan morbisitas menjadi lebih panjang
pada pasien yang menjalani D3 total gastrectomy. Di jepang dan pusat kesehatan
di Negara barat, dimana extended D2 resection dilakukan secara rutin, mortalitas
operatif minimal dan tidak terlihat berhubungan dengan luasnya
lymphadenectomy.3
Pada tahun 1989, dua penelitian randomized trials dilakukan untuk memastikan
kontroversi dari D2 resection. Peneliti menimpulkan bahwa D2 lymphadenectomy
tidak memberikan kelebihan dalam tingkat survival bila dibandingkan D1.3
Kesimpulannya, tehnik operasi D2 menggunakan pendekatan pengangkatan
kelenjar limfe perigastric yang beresiko tinggi. Kebanyakan penelitian retrospektif
menyarankan penggunaan rutin extended lymphadenectomy untuk kanker gaster
yang potensial curable. Empat penelitian prospective randomized trials tidak
menunjukkan keuntungan dari segi survival untuk D2 lymph node dissection dan
tidak mendukung penggunaan rutin extended D2 gastrectomy. Operasi D2 yang
telah dimodifikasi tanpa pancreaticosplenectomy akan memberikan informasi
mengenai stadium yang lebih baik. Stadium lanjut dari penyakit pada saat
pembedahan pada kebanyakan pasien tetap merupakan kunci penentu tingkat
survival. Jika terdapat keuntungan tingkat survival dari D2 lymphadenectomy,
hanya terbatas pada beberapa kelenjar limfe metastase.3

Peneliti di Jepang telah mengidentifikasi kelenjar limfe yang potensial mendapat


aliran dari gaster. Secara umum kelenjar limfe ini terbagi menjadi N1 (contoh
stations 3 sampai 6), level N2 (stations 1, 2, 7, 8, dan 11), dan level N3 (contoh
stations 9, 10, dan 12). Station dari kelenjar limfe berdasarkan level N1, N2, dan
N3 tergantung dari lokasi tumor. Secara umum, N1 nodes berada diantara 3 cm
dari tumor, N2 nodes berada sepanjang arteri hepatic dan splenic, dan N3 nodes
berada paling jauh. Operasi radical subtotal gastrectomy, disebut juga D1
resection karena mengangkat tumor serta kelenjar limfe N1 nodes. Standar
operasi untuk kanker gaster di Asia adalah D2 gastrectomy, dimana melibatkan
lymphadenectomy yang lebih extensif (pengangkatan N1 dan N2 nodes). Sebagai
tambahan jaringan yang diangkat pada D1 resection, D2 gastrectomy mengangkat
lapisan peritoneal yang berada diatas pancreas dan anterior mesocolon, kelenjar
limfe sepanjang arteri hepatic dan splenic, dan crural. Splenectomy dan distal
pancreatectomy tidak rutin dilakukan, dikarenakan hal ini telah terlihat
meningkatkan morbiditas operasi. Penelitian yang membandingkan antara operasi
D1 dan D2 didapatkan bahwa pada tehnik D2 didapatkan mortalitas dan
mortalitas yang lebih tinggi, hal ini dikarenakan adanya bagian pembedahan
splenectomy dan distal pancreatectomy pada tehnik D2, dimana sekarang tidak
lagi digunakan rutin sebagai bagian dari tehnik D2. Beberapa peneliti berargumen
bahwa operasi D2 merupakan prosedur yang dapat memperlihatkan tingkat
stadium yang lebih baik. Terdapat pergeseran stadium pada pasien di US yang
ditangani dengan operasi D1 gastrectomy yang mempunyai metastase kelenjar
limfe pada level D2 yang tidak tereseksi dan terdeteksi. Oleh karena itu di US
pasien kanker gaster stadium I, jika menjalani D2 gastrectomy akan
diklasifikasikan menjadi stadium II, dan mereka yang memiliki stadium II, akan
diklasifikasikan menjadi stadium III jika menjalani operasi D2. Survival stadium I
di US secara actual akan lebih mendekati survival stadium II pada pasien di
jepang, dikarenakan pada kelompok ini termasuk pasien stadium II tetapi kelenjar
limfe tidak ditemukan pada D1 resection. Para ahli berpendapat bahwa untuk
menghindari understaging dari kanker gaster, minimal 15 kelenjar limfe harus
direseksi pada saat gastrectomy.7
Tabel 8. Penelitian randomized trial membandingkan D1 dan D2 gastrectomy

2.6.1.3.3 Splenectomy Profilaksis


Beberapa peneliti telah secara kritis mengevaluasi nilai dari splenectomy rutin
selama reseksi gaster untuk tumor yang tidak menginvasi spleen. Pada penelitian
analisis multivariat pada pasien yang menjalani total gastrectomy terlihat bahwa
tidak terlihat hubungan antara splenectomy dan survival. The Norwegian Stomach
Cancer Trial juga telah memperlihatkan tingkat komplikasi yang tinggi pada
pasien yang menjalani splenectomy. Pada penelitian mengenai faktor resiko
potensial pada pasien yang menjalani D1 versus D2 lymphadenectomy, ditemukan
bahwa splenectomy merupakan faktor resiko yang penting untuk terjadinya
komplikasi. Terdapat pula consensus dari literatur yang menyebutkan bahwa
prophylactic splenectomy meningkatkan morbiditas dan mortalitas tanpa terlihat
keuntungan dari segi survival.3
2.6.2 Kemoterapi dan Radiasi
Karena hasil outcome yang tidak begitu baik dari pembedahan kanker gaster,
maka penekanan dilakukan untuk memperbaiki terapi adjuvant, yang ketika
digunakan akan memperbaiki tingkat survival. chemotherapy telah berhasil untuk
menangani kanker gastrointestinal lainnya, namun keuntungan survival dari
penggunaan chemotherapy pada adenocarcinoma gaster tidak terlalu signifikan.
Meskipun demikian terdapat beberapa strategi sehingga chemotherapy dapat
memberikan keuntungan.10
Terapi tunggal memperlihatkan respon yang terbatas, oleh karena itu strategi
untuk meningkatkan respon terapi dan overall survival pada pasien dengan cancer
gaster adalah dengan kombinasi chemotherapy. Kombinasi yang pertama kali
digunakan adalah FAM (5-FU, doxorubicin, and mitomycin-C) pada tahun 1980.
Regimen ini menjadi pilihan utama terapi di Amerika Serikat pada tahun 1980
sampai 1990. Pada yahun 1982, Cocconi et al melaporkan tidak adanya perbedaan
antara 5-FU dan FAM pada tingkat overall survival. Pada tahun 1985, the North
Central Cancer Treatment Group membandingkan 5-FU dengan FAM pada 100
pasien. Meskipun respon terbesar terlihat pada terapi kombinasi (27% vs. 17%),
overall survival tidak berbeda pada kedua kelompok (7 bulan). Adanya dua
penelitian ini menjadikan adanya keraguan pada terapi kombinasi untuk kanker
gaster stadium lanjut.4
Chemotherapy untuk kanker gaster stadium lanjut telah berkembang menjadi dua
arah yang berbeda. Yang pertama adalah untuk mencoba memperbaiki regimen
FAM dengan menambah obat tambahan, yang kedua adalah dengan menggunakan
cisplatin.4
Tabel 9. Agen chemotherapeutic dari kanker gaster
Salah satunya adalah FAMTX, yang mengganti methotrexate dosis tinggi dengan
mitomycin-C. FAMTX dibandingkan dengan FAM oleh the European
Organization for the Research and Treatment of Cancer (EORTC). Tingkat
respon lebih tinggi pada FAMTX versus FAM (41% vs. 9%) dengan median
survival (42 minggu vs. 29 minggu) dan satu sampai dua tahun survival rates
(41% dan 9% vs. 22% dan 0%). FAMTX kemudian menjadi standar terapi untuk
kanker gaster stadium lanjut pada awal 1990.4
Dimulai dengan kombinasi cisplatin/etoposide (EP), kemudian berkembang
menjadi berbagai variasi kombinasi, salah satunya adalah EAP (etoposide,
adriamycin, dan cisplatin). Regimen EAP memiliki respon yangn tinggi, dengan
overall survival 8 sampai 10 bulan. Dikarenakan tingginya toksisitas EAP pada
pasien usia lebih dari 65 tahun, Wilke et al menciptakan regimen ELF (etoposide,
leucovorin dan 5-FU), regimen yang dikhususkan untuk pasien usia lebih dari 65
tahun. Yang memiliki overal survival 9,5 bulan. Karena efek sinergistik dari 5-FU
pada penelitian in vitro, cisplatin juga dikombinasikan dengan 5-FU pada pasien
dengan kanker gaster stadium lanjut. The EORTC membandingkan regimen CF
(cisplatin+5-FU) dengan regimen FAMTX dan ELF, pada penelitian ini yang
melibatkan 274 pasien, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam toksisitas,
tingkat respon maupun median survival. Sehingga regimen terbaik untuk kanker
gaster stadium lanjut tidak dapat dipastikan. Cisplatin juga dicoba untuk
menggantikan mitomycin-C (karena tingginya efek myelosuppression dari
mitomycin-C ) pada regimen FAM yang menghasilkan regimen FAP. Regimen ini
menghasilkan tingkat respon sebesar 34%, dengan respon lengkap sebesar 5%.
Cunningham et al mencoba menggunakan epirubicin, sebuah analog anthracycline
dari doxorubicin yang menghasilkan regimen ECF. Didapatkan tingkat respon
sebesar 37% dan respon lengkap sebesar 17%. Setelah dilakukan randomized
clinical trial untuk memastikan pentingnya regimen ECF, dan terbukti bahwa
ECF superior dibandingkan FAMTX, maka ECF menjadi standar terapi dari
kanker gaster stadium lanjut saat abad ke 20. Sejak tahun 2000, banyak penelitian
yang menekankan penggunaan agen chemotherapeutic terbaru yang telah terbukti
untuk kanker gaster stadium lanjut. Pada saat ini Docetaxel merupakan agen
chemotherapeutic yang paling sering digunakan. Moiseyenko et al melakukan
phase III trial yang membandingkan DCF (docetaxel, cisplatin, dan 5-FU) dengan
CF. DCF menghasilkan respon yang superior pada tingkat respon, time to
progression dan 2-year survival rate. Namun peranan DCF kurang jelas pada
pasien yang berusia lebih dari 65 tahun. Rata-rata toksisitas dari regimen DCF
berkisar 75% dan 80%.4
Saat ini regimen DCF dan ECF memiliki tingkat respon yang tertinggi, tetapi juga
paling toksik. Kesimpulannya belum terdapat terapi tunggal terbaik untuk kanker
gaster stadium lanjut, dan pemilihan terapi bersifat individual. Benchmark
statistics untuk regimen chemotherapy pada kanker gaster stadiumlanjut adalah
tingkat respon sebesar 30%-40%, tingkat respon lengkap sebesar 10%-20%,
waktu untuk progresi tumor 5 sampai 6 bulan, tingkat overall survival time
sebesar 8 – 10 bulan, tingkat 1-year overall survival 40%-50%, dan tingkat 2-year
overall survival berkisar 15%-20%. Toksisitas terapi tetap menjadi pembicaraan
hangat. Penelitian meta-analysis terbaru menyimpulkan bahwa: (1) chemotherapy
secara signifikan meningkatkan tingkat survival, (2) kombinasi chemotherapy
meningkatkan tingkat survival dibandingkan agen tunggal 5-FU, meskipun
efeknya tidak terlalu besar, dan (3) hasil terbaik didapatkan regimen yang
mengandung 5-FU, anthracyclines, dan cisplatin (contohnya ECF).4
Tabel 10. Regimen chemotherapeutic pada kanker gaster

Cunningham et al meneliti mengenai perioperative chemotherapy dengan regimen


ECF (epirubicin, cisplatin, dan fluorouracil) pada kanker gaster yang resectable.
Penelitian ini melibatkan 503 pasien; 250 mendapat perioperative chemotherapy
dan 253 ditangani hanya dengan pembedahan. Tingkat 5-year survival sebesar
36% pada kelompok yang mendapat perioperative-chemotherapy, bila
dibandingkan kelompok yang hanya mendapat terapi pembedahan dengan tingkat
survival sebesar 23%. Sehingga dapat disimpulkan perioperative-chemotherapy
dapat memperbaiki tingkat survival.10
Peneliti di Eropa mengevaluasi peranan preoperative dan postoperative
chemotherapy tanpa radiation therapy. Pada penelitian randomized trial phase III
(MRC-ST02), pasien mendapat tiga siklus ECF (epirubicin, cisplatin, dan
continuous infusion 5-FU) sebelum dan sesudah pembedahan atau hanya
mendapat terapi tunggal pembedahan. Bila dibandingkan dengan pasien yang
hanya mendapat terapi tunggal , pasien yang mendapat perioperative
chemotherapy memiliki 5-year overall survival sebesar 36.3% bila dibandingkan
dengan kelompok dengan terapi tunggal pembedahan sebesar 23%.11
Sebuah penelitian trial berskala besar phase 3 mengenai postoperative therapy
memperlihatkan adanya keuntungan dari chemoradiation therapy setelah
gastrectomy. Penelitian ini, Intergroup Study 0116 (INT 0116), melibatkan lebih
dari 550 pasien yang dimasukkan ke dalam 2 kelompok, kelompok 1 dengan
terapi tunggal pembedahan dan kelompok 2 mendapat pembedahan diikuti dengan
chemoradiation (fluorouracil dan leucovorin plus external-beam radiation). Pasien
secara klinis mempunyai resiko relapse setelah reseksi gaster, 85% memiliki
metastase kelenjar limfe dan 65% memiliki tumor stadium T3atau T4. Median
survival pada kelompok 1 dan 2 adalah 27 dan 36 bulan, dan disease-free survival
19 dan 30 bulan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa postoperative
chemoradiation dapat diterima sebagai standar penanganan pasien dengan
resected gastric adenocarcinoma.10,11
Penelitian dimasa yang akan datang berkembang menjadi beberapa bagian.
Bagian pertama meneliti peranan chemotherapeutics terbaru (terutama oxaliplatin,
irinotecan, dan oral 5-FU “prodrugs” seperti capecitabine dan S-1), yang telah
terbukti untuk keganasan gastrointestinal lainnya. Bagian kedua meneliti peranan
targeted therapies, obat yang didesain untuk menghambat fungsi dari target
molekul yang penting untuk pertumbuhan sel kanker. Contohnya cetuximab,
inhibitor faktor pertumbuhan epidermal, dan bevacizumab, inhibitor faktor
pertumbuhan vaskular epidermal, keduanya diberikan bersama-sama
chemotherapy. 4
2.7 Prognosis
5-year survival untuk adenocarcinoma gaster telah meningkat dari 15 sampai 22%
di Amerika Serikat pada 25 tahun terakhir. Survival bergantung pada stadium
7
pathologis (stadium TNM) dan derajat dari diferensiasi tumor. Indikator
prognostik yang paling penting pada kanker gaster secara histologis, yaitu
keterlibatan kelenjar limfe dan dalamnya invasi tumor. Grading tumor, yaitu well,
moderately, atau poorly differentiated juga merupakan faktor prognostik yang
penting. 7
Tabel 11. 5-year survival dan mortalitas operatif kanker gaster di Amerika Serikat dan Jepang.

Sangat penting untuk menekankan bahwa terdapat hubungan antara kedalaman


invasi tumor (stadium T) dengan keterlibatan kelenjar limfe (stadium N). Stadium
T tingkat lanjut memprediksikan meningkatnya stadium N. pada penelitian di
Jepang menganalisis bahwa hanya 7% dari pasien yang menderita obesitas.
Obesitas terlihat berhubungan dengan tingginya infeksi, meningkatnya kehilangan
darah, dan lamanya rawat inap di rumah sakit, tetapi tidak ada perbedaan dalam
tingkat long-term survival. Faktor lainnya yang berhubungan dengan survival
termasuk usia, dimana pasien yang berusia dibawah 65 tahun memiliki mortalitas
3.5% dan 5-year survival berkisar 62% dan pasien yang berusia lebih dari 80
tahun memiliki mortalitas sebesar 15.2% dan tingkat 5-year survival sebesar 22%.
Data penelitian Zinner MJ5 didapatkan bahwa tingkat mortalitas pasien yang
berusia kurang dari 65 tahun sebesar 5%; usia 65–75 tahun sebesar 2%; dan usia
lebih dari 75 tahun sebesar 8%.5
Tabel 12. 5-years survival rates pada pasien gastrectomy. Jumlah pasien pada masing-masing stad
group: stadium 0 (322), stadium IA (2905), stadium IB (4658), stadium II (6541), stadium IIIA (74
stadium IIIB (2330), stadium IV (8617). Dari Hundahl et al. The National Cancer Data Base repo
Survival of US gastric carcinoma patients treated with gastrectomy. Cancer 88:921-932, 2000.

KESIMPULAN
Kanker gaster menempati urutan keempat diantara kanker yang paling sering
terjadi dan menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian karena kanker.
Insiden tertinggi dari kanker gaster ditemukan di jepang, amerika selatan, eropa
barat dan timur tengah. Meskipun insiden dari kanker gaster distal telah menurun,
tetapi insiden dari kanker gaster kardia dan proksimal terutama pada
gastroesophageal (GE) junction dan distal esophagus tetap meningkat. Faktor
resiko kanker gaster yaitu diet, infeksi, herediter, anemia pernisiosa, reseksi gaster
sebelumnya, displasia mukosa gaster, polip gaster, gastritis kronik.
Kanker gaster biasanya tidak menjadi simptomatik sampai penyakitnya menyebar
dengan luas dikarenakan gejalanya tidak spesifik sehingga kebanyakan pasien
dengan kanker gaster terdiagnosa pada stadium lanjut. Kanker gaster dapat
menyebar secara lokal dan metastase pada jaringan limfe, metastase peritoneal
dan distant metastases. Data dari beberapa penelitian memperlihatkan bahwa 60-
90% pasien mempunyai tumor primer yang penetrasi ke serosa atau menginvasi
struktur disekitarnya dan setidaknya 50% memiliki metasase limfatik.
Pemeriksaan penunjang menggunakan tumor marker, UGI double-contrast, CT-
scan, PET, laparoscopy, endoscopy.
Satu-satunya penanganan kuratif yang telah terbukti adalah pembedahan, pilihan
pembedahan tergantung dari sejauh mana invasi tumor pada dinding gaster dan
penyebaran limfatik. namun meskipun setelah penanganan kuratif gastrectomy,
penyakit ini dapat muncul kembali secara regional dan distant pada setidaknya
80% pasien. Karena hasil outcome yang tidak begitu baik dari pembedahan kanker
gaster, maka penekanan dilakukan untuk memperbaiki terapi adjuvant, yang
ketika digunakan akan memperbaiki tingkat survival. chemotherapy telah berhasil
untuk menangani kanker gastrointestinal lainnya, namun keuntungan survival dari
penggunaan chemotherapy pada adenocarcinoma gaster tidak terlalu signifikan.
Meskipun demikian terdapat beberapa strategi sehingga chemotherapy dapat
memberikan keuntungan. Penelitian dimasa yang akan datang berkembang
menjadi beberapa bagian. Bagian pertama meneliti peranan chemotherapeutics
terbaru (terutama oxaliplatin, irinotecan, dan oral 5-FU “prodrugs” seperti
capecitabine dan S-1), dan yang meneliti peranan targeted therapies (cetuximab
dan bevacizumab). Indikator prognostik yang paling penting pada kanker gaster
secara histologis, yaitu keterlibatan kelenjar limfe dan dalamnya invasi tumor.
Daftar Pustaka
1. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology: Gastric Cancer. Ajani, AJ et
al. s.l. : National Comprehensive Cancer Network, 2009. V.2.
2. Gastric cancer. Lochhead, P and El-Omar, M. s.l. : British Medical Bulletin,
2008, Vols. 85: 87–100 .
3. Devita, VT, Hellman, S, Rosenberg, SA. Cancer: Principles and Practice of
Oncology 6th. 6th edition. s.l. : Lippincott Williams & Wilkins Publishers, 2001.
4. Current Problems in Surgery: Gastric Cancer. Clark, R et al. 8, s.l. : Curr
Probl Surg, 2006, Vol. 43, pp. 566-670.
5. Zinner MJ, Ashley SW. Maingot’s Abdominal Operations. 11th edition. USA
: The McGraw-Hill Companies, 2007.
6. Casciato DA, Lowitz BW. Manual of Clinical Oncology. s.l. : Lippincott
Williams & Wilkins, 2000.
7. Schwartz, SI. 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of
America: The McGraw-Hills Company.
8. Trends in reported incidences of gastric cancer by tumour location, from 1975
to 1989 in Japan. Liu, Y, Kaneko, S and T, Sobue. s.l. : Journal of
Epidemiology, 2004, Vol. 33, pp. 808-815.
9. Trend in incidence of gastric adenocarcinoma by tumour location from 1969-
2004. Abdi-Rad, A, Ghaderi-sohi, R and Nadimi-barfroosh, H. s.l. :
Diagnostic Pathology, 2006, Vol. 1:5.
10. Gastric Cancer: New Therapeutic Options. Macdonald, JS. 2006, NEJM , p.
355;1 .
11. National Cancer Institue. 2008 .Gastric Cancer Treatment.

Anda mungkin juga menyukai