Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN REFERAT

Januari 2020

TRAUMA MEKANIS & TERMAL MATA

OLEH :
Wita Zahara, S.Ked

G1A219027

PEMBIMBING:
dr. Vonna Riasari, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA RSUD H ABDUL MANAP
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Referat

Trauma Mekanis dan Trauma Termal Mata

OLEH :
Wita Zahara

G1A219027

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada, Februari 2020

Pembimbing

dr. Vonna Riasari, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Referat yang berjudul “Trauma Mekanik dan Trauma Termal Mata” untuk
memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata, Fakultas Kedokteran Universitas
Jambi di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi.

Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada dr.


Vonna Riasari, Sp.M selaku konsulen ilmu mata yang telah membimbing dalam
mengerjakan Referat ini sehingga dapat diselesaikan tepat waktu.
Dengan laporan refrat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
penulis dan orang banyak yang membacanya. Saya menyadari bahwa Referat ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya harapkan saran dan kritik yang
membangun untuk perbaikan yang akan datang.

Jambi, Februari 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................i


LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iv
BAB I Pendahuluan ..........................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................2
BAB III Kesimpulan .........................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................33

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penglihatan adalah salah satu fungsi tubuh yang sangat penting dalam
menjalani kehidupan. Penglihatan dengan kedua bola mata yang lengkap dan utuh
sangat penting dalam pengembangan diri, rasa kemandirian, kualitas hidup serta
keamanan dan kenyamanan seorang individu.
Salah satu kelainan pada mata diakibatkan oleh trauma. Trauma dapat
menyebabkan lesi yang luas pada jaringan bola mata, saraf optik, dan adneksa,
mulai dari yang relatif dangkal hingga mengancam penglihatan.
Trauma mata adalah perlukaan/cedera mata yang dapat terjadi dalam
bentuk trauma tumpul, trauma tajam, trauma kimia, trauma termis dan trauma
radiasi. Trauma mengakibatkan kerusakan pada jaringan mata anterior sampai
posterior. Trauma mata merupakan kasus kegawatdaruratan, jika tidak segera
ditatalaksana dapat menyebabkan penurunan visus (low vision) hingga kebutaan.
Trauma mata merupakan penyebab kebutaan tersering di dunia setelah
katarak, glaukoma, degenerasi makula, retinopati diabetik dan trakoma. Di
Indonesia, trauma mata merupakan penyebab kebutaan tersering setelah katarak,
glaukoma, kelainan refraksi, gangguan retina dan kelainan kornea
Berdasarkan jenis kelamin, trauma mata lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan, berdasarkan usia, trauma mata paling sering terjadi pada
usia dewasa muda. Berdasarkan lateralisasi trauma, trauma mata unilateral lebih
sering terjadi dibandingkan trauma mata bilateral.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma
Walaupun mata mempunyai sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga
orbita, kelopak dan jaringan lemak retrobulbar selain terdapat refleks memejam
atau mengedip, mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar. Trauma dapat
menyebabkan lesi yang luas pada jaringan bola mata, saraf optik, dan adneksa,
mulai dari yang relatif dangkal hingga mengancam penglihatan. Sistem klasifikasi
dan penilaian terminologi standar digunakan oleh dokter spesialis mata dan
nonoftalmologi ketika menjelaskan dan mengkomunikasikan temuan klinis. Sistem
klasifikasi yang seragam memungkinkan transmisi data klinis yang akurat,
memfasilitasi pemberian perawatan pasien yang optimal serta analisis lebih lanjut
mengenai intervensi medis dan bedah. 1,2
Terminologi dan definisi BETT:1
Tabel 2.1 Terminologi dan definisi BETT. 1
Terminologi Definisi
Dinding mata Sklera dan kornea
Trauma bola mata tertutup Luka tidak mengenai seluruh lapisan dinding mata
Trauma bola mata terbuka Luka mengenai seluruh lapisan dinding mata
Kontusio Luka tidak mengenai seluruh lapisan dinding mata.
Cidera langsung yang diterima oleh objek (mis.,
Kerusakan koroid) atau perubahan bentuk bola mata
(mis., Resesi sudut).
Laserasi lamela Kerusakan parsial pada dinding mata
Ruptur Luka menyeluruh pada dinding mata, disebabkan
oleh benda tumpul
Karena mata diisi dengan cairan yang tidak dapat
diekskresi, dampaknya menghasilkan peningkatan
TIO sesaat.
Laserasi Luka tebal pada dinding mata, disebabkan oleh
benda tajam

2
3

Penetrasi Luka masuk


Jika ada lebih dari satu luka, masing-masing pasti
disebabkan oleh agen yang berbeda
Benda asing yang disimpan
Secara teknis cedera penetrasi, tetapi dikelompokkan
secara terpisah karena implikasi klinis yang berbeda
Perforasi Luka masuk dan keluar
Kedua luka disebabkan oleh agen yang sama

Bagan 2.1. Terminologi BETT1

Epidemiologi dari trauma okular adalah sebagai berikut: 1


1. Persentase kejadian trauma okular adalah 80% pada pria
2. Rata-rata usia yang terkena trauma kimia adalah 30 tahun.
3. Penggunaan alkohol dan obat-obatan meningkatkan risiko terjadinya
trauma okular.
4. Tempat kerja adalah tempat terbanyak terjadinya trauma okular.
4

2.2 Trauma Mekanis


2.2.1 Definisi
Traumama mekanik dapat dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma
tajam. Trauma tumpul merupakan trauma pada mata yang diakibatkan benda
yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut
dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan
pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya. Trauma tajam adalah tindakan
sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata, dimana mata
ditembus oleh benda tajam atau benda berukuran kecil dengan kecepatan tinggi
yang menembus kornea atau sklera, trauma tajam mata dapat diklasifikasikan
atas luka tajam tanpa preforasi dan luka tajam dengan perforasi yang meliputi
perforasi tanpa benda asing intra okuler dan perforasi benda asing intra okuler.3

2.3 Trauma Tumpul


2.3.1 Definisi

Trauma tumpul okuli adalah trauma pada mata yang diakibatkan benda
yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda
tersebut dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi
kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya. Trauma tumpul
biasanya terjadi karena aktivitas sehari-hari ataupun karena olahraga.
Biasanya benda-benda yang sering menyebabkan trauma tumpul berupa bola
tenis, bola sepak, bola tenis meja, dan lain sebagianya. Trauma tumpul dapat
bersifat counter coupe, yaitu terjadinya tekanan akibat trauma diteruskan
pada arah horisontal di sisi yang bersebrangan sehingga jika tekanan benda
mengenai bola mata akan diteruskan sampai dengan makula.3

2.3.2 Etiologi
Adapun penyebab trauma tumpul : 4

1. Benda tumpul

2. Benturan atau ledakan di mana terjadi pemadatan udara


5

2.3.3 Klasifikasi :

Trauma tumpul dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:


1. Kontusio, yaitu kerusakan disebabkan oleh kontak langsung dengan benda dari
luar terhadap bola mata, tanpa menyebabkab robekan pada dinding bola mata
2. Konkusio, yaitu bila kerusakan terjadi secara tidak langsung. Trauma terjadi
pada jaringan di sekitar mata, kemudian getarannya sampai ke bola mata.
Baik kontusio maupun konkusio dapat menimbulkan kerusakan jaringan
berupa kerusakan molekular, reaksi vaskular, dan robekan jaringan.4

2.3.4 Patofisiologi
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada
pembuluh darah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan
dalam bilik mata depan. Iris bagian perifer merupakan bagian paling lemah. Suatu
trauma yang mengenai mata akan menimbulkan kekuatan hidralis yang dapat
menyebabkan hifema dan iridodialisis, serta merobek lapisan otot spingter sehingga
pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul dari suatu trauma
diperkirakan akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior posterior
sehingga menyebabkan kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral
sesuai dengan garis ekuator. Hifema yang terjad dalam beberapa hari akan berhenti,
oleh karena adanya proses homeostatis. Darah dalam bilik mata depan akan diserap
sehingga akan menjadi jernih kembali. 5,6

2.3.5 Kerusakan jaringan akibat trauma tumpul

1. Palpebra

 Hematome Palpebra

Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang sehingga kemungkinan


merusak struktur pada permukaan (kelopak mata, konjungtiva, sklera, kornea dan lensa) dan
struktur mata bagian belakang (retina dan persarafan). Karena palpebra merupakan
pelindung bola mata maka saat terjadi trauma akan melakukan refleks menutup. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya hematoma palpebra. Hematoma ini terjadi karena keluarnya darah
dari pembuluh darah yang rusak pada trauma tersebut. Hematoma palpebra merupakan
kelainan yang sering terlihat pada trauna tumpul kelopak. Bila perdarahan terletak lebih
dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk seperti kacamata hitam yang sedang
6

dipakai, maka keadaan ini disebut hematoma kacamata.Henatoma kacamata terjadi


akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada
pecahnya arteri oftalmika maka darah masuk kedalam kedua rongga orbita melalui
fisura. Hematoma palpebra, pengobatan dilakukan dengan pemberian kompres dingin
untuk menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk
memudahkan absorbsi darah dapat dilakukan kompres hangat kelopak mata. 6,7,8

Gambar 1. Hematome Palpebra

2. Konjungtiva

 Edem Konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik
pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak
terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa mengedip,
maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva. Kemotik
konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga
bertambah rangsangan terhadap konjungtiva. Terapi pada edema konjungtiva dapat
diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan didalam selaput lendir
konjungtiva. Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga cairan
konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut. 6,7,8

Gambar 2. Edema Konjungtiva


7

 Hematoma Subkonjungtiva
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau dibawah
konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Bila perdarahan ini terjadi
akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan bahwa tidak terdapat robekan dibawah
jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang hematoma subkonjungtiva menutupi
keadaan mata yang lebih buruk seperti perforasi bola mata. Pemeriksaan funduskopi
adalah perlu pada setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma. Bila
tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan
hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari
kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli. Pengobatan pada hematoma subkonjungtiva
ialah dengan kompres hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi
dalam 1-2 minggu tanpa diobati.7,8

Gambar 3. Hematome Subkonjungtiva

3. Kornea

 Edema Kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat mengakibatkan edema
kornea malahan ruptur membran descement. Edema kornea akan memberikan
keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber
cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh dengan uji placido yang positif.
Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan sel radang
8

dan neovaskularisasi kedalam jaringan stroma kornea.


Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan
garam hipertonik 2-8%, glukose 40% dan larutan albumin. Bila terdapat peninggian
tekanan bola mata maka diberikan azetolamida. Pengobatan untuk menghilangkan
rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa kontak.
Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan membran
descement yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan
keluhan rasa sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat astimagtisme ireguler. 6,7,9

Gambar 4. Edema Kornea


 Erosi Kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada
membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat
dan menutupi defek epitel tersebut.
Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea yang
mempunnyai serat sensibel yang banyak, mata berair, denagan kornea yang keruh.
Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi perwanaan
fluorescein akan berwarna hijau.
Erosi kornea, pengobatan dilakukan dengan pemberian anestesi topikal dapat
9

diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan rasa sakit. Untuk
mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika spektrum luas seperti neosporin,
kloramfenikol, dan sulfasetamide tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan
spasme siliar maka diberikan siklopegik aksi pendek seperti tropikamida. Pasien akan
merasa lebih tertutup bila dibebat tekan selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya tertutup
kembali setelah 48 jam. 8

Gambar 5. Erosi Kornea Gambar 6. Erosi Kornea dengan fluoresensi

4. Uvea

 Hifema (Perdarahan dalam bilik mata depan yang berasal dari iris dan
corpus siliare)
Respon vaskuler yang terkena adalah Arteri Ciliaris Anterior, perdarahan vena
di Schlemm kanal dan adanya hipotoni, seperti pada siklodialisis. Pada umumnya 70 %
kasus penyerapan terjadi dalam waktu 5-6 hari.
Bila perdarahan luas koagulasi dibilik mata depan akan luas dimana terjadi
gumpalan fibrin dan darah merah. Hal ini akan memperlambat penyerapan ditambah lagi
hambatan mekanis terhadap ” outflow ” humor aquos disudut iridocorneal.
Pada beberapa produk darah menempel pada bagian anterior pigmen membran
dari iris didaerah pupil dan sudut iridocorneal. Walaupun sepintas bilik mata depan jernih,
tetapi iritis cukup kuat untuk membentuk sinekia anterior dan posterior. Penglihatan pasien
akan sangat menurun. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis. Pasien
akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme.

Berdasarkan waktu terjadinya hifema tediri dua yaitu :


1. Hifema primer : timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.
2. Hifema sekunder : timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.
10

Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Sheppard) :


1. Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA
2. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA
3. Grade III : darah mengisi hampir total COA
4. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA

Gambar 7. Grade Hifema

Pada hifema ringan dapat terjadi glaukoma sekunder dengan meningkatnya


tekanan intraokuler. Hal ini dari adanya edema di trabekuler meshwork, sehingga terjadi
gangguan outflow humor aquos. Tekanan intraokuli kadang baru terjadi beberapa hari
setelah trauma, ini adalah akibat adanya perdarahan sekunder. Frekuensi perdarahan
sekunder tanpa kenaikan tekanan intraokuler 30%. Frekuensi perdarahan sekunder dengan
kenaikan tekanan intraokuler 50%. 6,10

Penatalaksanaan :
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak
berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan penderita
hifema traumatik ini masih banyak diperdebatkan, namun pada dasarnya adalah :
11

1) Menghentikan perdarahan.
2) Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
3) Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat
absorbsi.
4) Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain.
5) Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan
traumatik hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan
dengan cara konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan tindakan
operasi.
Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi
1. Tirah baring (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat
(diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45o (posisi semi fowler). Hal ini akan
mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita
mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak pendapat dari banyak ahli mengenai
tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama yang haru dikerjakan bila menemui
kasus traumatik hifema. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan tirah
baring kesempurnaan absorbsi dari hifema dipercepat dan sangat mengurangi
timbulnya komplikasi perdarahan sekunder. Istirahat total ini harus dipertahankan
minimal 5 hari mengingat kemungkinan perdarahan sekunder. Hal ini sering sukar
dilakukan, terlebih-lebih pada anak-anak, sehingga kalau perlu harus diikat tangan dan
kakinya ke tempat tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar.
2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat
di antara para ahli. Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena trauma yaitu
untuk mengurangi pergerakan bola mata yang sakit.
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema tidaklah
mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya
dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan
seperti :

 Koagulansia
12

Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteral,
berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona AC,
Coagulen, Transamin, vit K dan vit C. Pada hifema yang baru dan terisi darah segar
diberi obat anti fibrinolitik (di pasaran obat ini dikenal sebagai transamine/ transamic
acid) sehingga bekuan darah tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi
kesempatan untuk memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian
diharapkan terjadinya perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali
250 mg dan hanya kira-kira 5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat
timbulkan gangguan transportasi cairan COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio
kornea. Selama pemberiannya jangan lupa pengukuran tekanan intra okular.
Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika
atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-
sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongesti dan
midriatika akan mengistirahatkan perdarahan. Pemberian midriatika dianjurkan bila
didapatkan komplikasi iridiocyclitis. Akhirnya beberapa penelitian membuktikan
bahwa pemberian midriatika dan miotika bersama-sama dengan interval 30 menit
sebanyak dua kali sehari akan mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian
salah satu obat saja.
 Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara oral
sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler. Bahkan
Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian intravena urea, manitol dan
gliserin untuk menurunkan tekanan intraokuler, walaupun ditegaskan bahwa cara ini
tidak rutin. Pada hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan intra okular, berilah
diamox, glyserin, nilai selama 24 jam. Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun,
tetapi tetap diatas normal, lakukan parasentesa yaitu pengeluaran drah melalui sayatan
di kornea. Bila tekanan intra okular turun sampai normal, diamox terus diberikan dan
dievaluasi setiap hari. Bila tetap normal tekanan intra okularnya dan darahnya masih
ada sampai hari ke 5-9 lakukan juga parasentesa.

Kortikosteroid dan Antibiotika


Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi
iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika.
13

Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma sekunder,
tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada pengurangan dari
tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 – 5 hari. Untuk mencegah
atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata maksimal > 50
mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari.
Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-
rata > 25 mmHg selama 6 hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.
Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia anterior perifer bila
hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9 hari. Intervensi
bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari keseluruhan indikasinya
adalah sebagai berikut :
1. Empat hari setelah onset hifema total
2. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
3. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4
hari (untuk mencegah atrofi optic)
4. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari
dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
5. Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk
mencegah peripheral anterior synechiae)
6. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya
dengan tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika
Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari, pembedahan
tidak boleh ditunda. Suatu studi mencatat atrofi optic pada 50 persen pasien dengan
total hifema ketika pembedahan terlambat. Corneal bloodstaining terjadi pada 43%
pasien. Pasien dengan sickle cell hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan
intra ocular tidak terkontrol dalam 24 jam.
Tindakan operasi yang dikerjakan adalah :
1. Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan cairan/darah dari
bilik depan bola mata dengan teknik sebagai berikut : dibuat insisi kornea 2 mm dari
limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan
penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan akan keluar. Bila
14

darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologis.
Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahut. Parasentese dilakukan
bila TIO tidak turun dengan diamox atau jika darah masih tetap terdapat dalam COA
pada hari 5-9.
2. Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik.
3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka
8,9,10
korneoscleranya sebesar 1200.

 Iridodialisis

Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga bentuk
pupil menjadi berubah. Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya. Pada iridosialisis
akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama dengan
terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan
pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas. 10,11

Gambar 8. Iridodialisis

 Iridoplegia
Trauma tumpul pada uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sifingter
pupil sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan menjadi sukar untuk
melihat jarak dekat karena gangguan akomodasi, dan merasakan silau akibat gangguan
pengaturan masuknya cahaya pada pupil. Pupil akan terlihat anisokor dan bentuk pupil
menjadi ireguler. Pupil biasanya tidak bereaksi terhadap sinar. Iridoplegia akibat
trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. penanganan pasien
iridoplegia post trauma sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah kelelahan sifingter.6

5. Lensa

 Diskolokasi Lensa
15

Terjadi pada putusnya zonula zinn yang akan mengakibatkan kedudukan lensa
terganggu. 6

 Subluksasi Lensa

Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa berpindah tempat.
Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula
zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan
berkurang. Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis.
Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastic akan menjadi
cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi sangat cembung
mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata
menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaucoma sekunder. Subluksasi dapat
mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi penutupan sudut bilik mata oleh lensa
yang mencembung. Penanganan pada subluksasi lensa dengan pembedahan, bila tidak
terjadi penyulit subluksasi lensa seperti glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan
pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi yang sesuai. 6

 Luksasi

Bila seluruh zunula zinn ruptur, lensa akan terdorong ke arah bilik mata depan.
akibat lensa terletak didalam bilik mata depan ini, maka akan terjadi gangguan
pengeluaran cairan akuos dan akan menimbulkan glaukoma sekunder. 6
a. Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat
trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak
dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan
bilik mata sehingga akan timbul glaucoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya.
Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang
sanngat, muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar berat, edema
kornea, lensa didalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil
yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi. Penatalaksanaan pada luksasi lensa
anterior sebaiknya pasien segera dilakukan pembedahan untuk mengambil lensa.
Pemberian Asetazolamida dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan bola mata.
3 Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi
luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa
sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus
posterior fundus okuli. Gambaran klinis pasien akan mengeluh adanya skotoma
16

pada lapang pandangannya akibat lensa mengganggu kampus. Mata ini akan
menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal
dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans.
Lensa yang terlalu lama berada dalam polus posterior dapat menimbulkan
penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaucoma fakolitik ataupun uveitis
fakotoksik. Penanganan yaitu dengan melakukan ekstraksi lensa. Bila terjadi penyulit
maka diatasi penyulitnya.
.

 Katarak Trauma
Katarak akibat cidera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun tumpul
terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak
subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti
bintang , dan dapat pula dalam bentuk katarak tercetak yang disebut cincin vossius.
Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak
sebaiknya di pertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah
ampliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer atau sekunder. Pada
katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata
menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya
maka segera dilakukan ekstraksi lensa. 6
17

1. Trauma Fundus Okuli

Trauma tumpul yang mengenai mata dapat mengakibatkan kelainan pada retina,
koroid, dan saraf optik. Perubahan yang terjadi dapat berupa edema retina, perdarahan
retina, ablasi retina, maupun atrofi saraf optik. 6

 Edema Retina dan Koroid

Edema retina adalah terjadinya sembab pada daerah retina yang bisa diakibatkan oleh
trauma tumpul. Gambaran klinisnya berupa penglihatan akan sangat menurun. Edema retina
akan memberikan warna retina yang lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan
koroid melalui retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi arteri retina sentral dimana
terdapat edema retina kecuali macula, sehingga pada keadaan ini akan terlihat cherry red
spot yang berwarna merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan
edema makula sehingga tidak terdapat cherry red spot. 6
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema macula atau
edema berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga seluruh polus
posterior fundus okuli berwarna abu-abu. 6
Penanganan yaitu dengan menyuruh pasien istirahat. Umumnya penglihatan akan
normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang
akibat tertimbunnya daerah macula oleh sel pigmen epitel. 6

 Ablasio Retina

Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid pada
penderita ablasio retina. Biasanya pasien telah mempunnyai bakat untuk terjadinya ablasio
retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopia, dan proses degenerasi lainnya.

Gambaran klinis pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang
seperti tabir menganggu lapangan pandangannya. Bila terkena atau tertutup daerah makula
maka tajam penglihatannya akan menurun.

Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu dengan
pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok- kelok. Kadang-kadang terlihat
pembuluh darah seperti yang terputus- putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka
secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter mata. 6

 Ruptur Koroid
18

Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan akibat
ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar
konsentris di sekitar papil saraf optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam
penglihatan akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina
agak sukar dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat
bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid.6

 Avulsi Papil Saraf Optik

Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya didalam
bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini akan mengakibatkan
turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan. Penderita ini
perlu dirujuk untuk dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya. 6
 Optik Neuropati Traumatik

Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian


pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah
cidera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina.
Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapangan
pandang. Papil saraf optik dapat normal dalam beberapa minggu sebelum menjadi pucat.
Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah trauma retina,
perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan pada khiasma optik.
Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut dengan memberi steroid. Bila
penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan.
6,10

3.3 Trauma Tajam


3.3.1 Definisi
Trauma tajam adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan
mata, dimana mata ditembus oleh benda tajam atau benda berukuran kecil dengan
kecepatan tinggi yang menembus kornea atau sklera. 10,11

3.3.2 Etiologi

Trauma tajam disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola
mata. 10,11

3.3.3 Tanda dan Gejala


19

1. Tajam penglihatan yang menurun


2. Tekanan bola mata rendah
3. Bilikmata dangkal
4. Bentuk dan letak pupil berubah
5. Terlihat adanya ruptur pada cornea atau sclera
6. Terdapat jaringan yang prolaps seperti caiaran mata iris,lensa,badan kaca atau
retina
7. Konjungtiva Kemotis 10,11

3.3.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiology pada trauma mata sangat membantu dalam menegakkan
diagnosa, terutama bila ada benda asing .Pemeriksaan ultra sonographi untuk menentukan
letaknya, dengan pemeriksaan ini dapat diketahui benda tersebut pada bilik mata depan,
lensa, retina. 10,11
b. Pemeriksaan “Computed Tomography” (CT)
Suatu tomogram dengan menggunakan komputer dan dapat dibuat
“scanning” dari organ tersebut. 10,11

3.3.5 Penatalaksaan

Bila terlihat salah satu tanda diatas atau dicurigai adanya perforasi bola mata,
maka secepatnya dilakukan pemberian antibiotik topical, mata ditutup, dan segera dikirim
kepada dokter mata untuk dilakukan pembedahan. Sebaiknya dipastikan apakah ada
benda asing yang masuk ke dalam mata dengan membuat foto. Pada pasien dengan
luka tembus bola mata selamanya diberikan antibiotik sistemik atau intravena dan
pasien dikuasakan untuk kegiatan pembedahan. Pasien juga diberi antitetanus provilaksis,
dan kalau perlu penenang. Trauma tembus dapat terjadi akibat masuknya benda asing ke
dalam bola mata. Benda asing didalam bola mata pada dasarnya perlu dikeluarkan dan
segera dikirim ke dokter mata. Benda asing yang bersifat magnetic dapat dikeluarkan
dengan mengunakan magnet raksasa. Benda yang tidak magnetic dikeluarkan dengan
vitrektomi. Penyulit yang dapat timbul karena terdapatnya benda asing intraokular adalah
endoftalmitis, panoftalmitis, ablasi retina, perdarahan intraokular dan ptisis bulbi. 10,11

3.3.6 Kerusakan jaringan akibat trauma tajam


20

 Palpebra (Luka terbuka palpebra)


Anamnesa :
- keluhan rasa nyeri,
- bengkak dan berdarah.
Pemeriksaan :
- tampak adanya luka terbuka dan perdarahan
Pengobatan :
- pembersihan luka, kemudian dijahit.
Teknik penjahitan dilakukan sama dengan luka pada kulit tubuh yang lain
sesuai dengan arah dari M. Orbicularis.
Perhatian : Luka yang persis pada palpebra harus khusus diperhatikan
karena apabila penjahitan tidak tepat pada kedua tepi luka akan memberi
hasil kosmetik dan fungsional yang jelek.
Bila perlu dapat ditambah dengan antibiotika, analgetik dan
antiinflamasi. 10,11

 Konjungtiva

1. Perdarahan
Penatalaksanaan sama dengan rudapaksa mata mekanis tumpul.
2. Robekan 1 cm
Tidak dijahit, diberikan antibiotika lokal.
3. Robekan lebih dari 1 cm,
Dijahit dengan benang cat gut atau sutera berjarak 0,5 cm antara tiap-
tiap jahitan.
Beri antibiotika lokal selama 5 hari dan bebat mata untuk 1-2
hari. . 6,10,11

 Kornea

1. Erosi kornea
Penatalaksanaan seperti rudapaksa mata tumpul
21

2. Luka tembus kornea


Anamnesa :
 teraba nyeri,
 epifora,
 fotofobia,
 blefarospasme
Pemeriksaan :

 bagian yang mengalami kerusakan epitel menunjukkan flurocein


(+)
Pengobatan :
Tanpa mengingat jarak waktu antara kecelakaan dan
pemeriksaan, tiap luka terbuka kornea yang masih menunjukkan tanda-
tanda adanya kebocoran harus diusahakan untuk dijahit.

Jaringan intraokular yang keluar dari luka, misal : badan


kaca, prolap iris sebaiknya dipotong sebelum luka dijahit. Janganlah
sekali-kali dimasukkan kembali dalam bola mata. Jahitan kornea
dilakukan secara lamellar untuk menghindari terjadinya fistel melalui
bekas jahitan.

Luka sesudah dijahit dapat ditutup lembaran konjungtiva yang


terdekat. Tindakan ini dapat dianggap mempercepat epitelialisasi.

Antibiotika lokal dalam bentuk salep, tetes atau subkonjungtiva


0,3-0,5 U. Garamycin tiap 2 hari sekali.

Atopin tetes 0,5%-1% tiap hari. Dosis dikurangi bila pupil sudah
cukup lebar. Bila ada tanda-tanda glaukoma sekunder dapat diberikan
tablet Analgetik, antiinflamasi, koagulasi dapat diberikan bila perlu.6,10,11

3. Ulkus Kornea
Sebagian besar disebabkan oleh trauma yang mengalami infeksi
sekunder.
Anamnesa :
22

 teraba nyeri,
 epifora,
 fotofobia,
 blefarospasme.
Pemeriksaan :
 nampak kornea yang edema dan keruh.
 bagian yang mengalami kerusakan epitel menunjukkan
pengecatan ( + ).
Terapi :
 antibiotika lokal tetes, salep atau injeksi subkonjungtiva
 scraping atau pembersihan jaringan nekrotik secara hati-hati
bagian dari ulkus yang nampak kotor.
 Aplikasi panas. Kauter dilakukan dengan cara memanaskan
pasak.
 Cryo terapi 6,10,11

 Scelera

Luka terbuka atau tembus


Luka ini lekas tertutup oleh konjungtiva sehingga kadang sukar
diketahui. Luka tembus sclera harus dipertimbangkan apabila dibawah konjungtiva
nampak jaringan hitam (koroid).
Pengobatan : sama dengan luka tembus pada kornea. 6,10,11

 Oftalmia Simpatetik

Suatu uveitis yang diderita oleh mata kontralateral apabila mata lainnya
mengalami trauma atau trauma tembus yang mengenai jaringan uvea. Frekuensi
tertinggi terjadi 2-4 minggu sesudah trauma. Proses berlangsung :
1. Tahap iritasi ( Sympatetic Iritation )
2. Tahap radang ( Sympatetic Inflamation )
Tahap Iritasi
Anamnesa :

 keluhan nyeri,

 tanda-tanda radang ringan,


23

 epifora,

 fotofobia.
Pemeriksaan :
 tanda-tanda iritis ringan.
 biasanya bersifat reversibel atau langsung tahap radang.

Tahap Radang
Dapat berlangsung akut/menahun.
Stadium ini bersifat irreversibel dan kemungkinan besar akan
memburuk bila pengobatan kurang sempurna.
Terapi :

 Mata traumatik : enukleasi bulbi dipertimbangkan bila visus 0


atau lebih jelek daripada mata simpatetik.
 Mata yang masih mempunyai visus walaupun terbatas selalu
menjadi pertimbangan yang sangat sulit apakah akan dilakukan
enukleasi atau dipertahankan. 6,10,11

 Uvea

Iritis sering sebagai akibat dari trauma.


- Anamnesa :
 keluhan nyeri,
 epifora,
 fotofobia,
 blefarospasme
- Pemeriksaan :
 pupil miosis,
 reflek pupil menurun,
 sinekia posterior
- Terapi :
 Atropin tetes 0,5% - 1 %.
1-2 x perhari selama sinekia belum lepas.
 Antibiotik lokal.
 Diamox bila ada komplikasi glaukoma. 6,10,11
24

 Lensa
- Katarak trauma
Katarak akibat cidera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun
tumpul terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada trauma
tembus akan menimbulka katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan
menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk
kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan
mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan
terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata depan. Pengobatan katarak
traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak
sebaiknya di pertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia.
Untuk mencegah ampliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular
primer atau sekunder. Pada katarak trauma apabila tidak terdapat
penyulit maka dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi
penyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya maa segera
6,10,11
dilakukan ekstraksi lensa.

 Corpus Alienum (Benda Asing)


- Benda asing Intra Okular

- Anamnesa :
 mengeluh ada benda asing masuk kedalam mata
- Pemeriksaan :
 benda asing tersebut harus dicari secara teliti memakai penerangan
yang cukup mulai dari palpebra, konjungtiva, kornea, bilik mata
depan.
 Bila mungkin benda tersebut berada dalam lensa, badan kaca
dimana perlu pemeriksaan tambahan berupa funduskopi dan foto
rontgen.
Benda asing yang masuk dalam mata dapat dibagi 2 kelompok
yaitu :
a. Benda logam :
misal : emas, perak, platina, besi, tembaga.
Benda logam ini dapat bersifat magnet atau non magnet.
25

b. Benda bukan logam :


batu, kaca, porselin, plastik, bulumata, dll.
Benda yang menimbulkan reaksi jaringan mata berupa
perubahan selular dan membran sehingga mengganggu
fungsi dari mata.

Misal : besi berupa siderosis dan tembaga berupa kalkosis.


Besi biasanya merusak jaringan yang mengandung epitel
sedangkan tembaga merusak bagian membran misal descement
kornea lensa, iris, badan kaca, dll. 6,10,11
Pengobatan :
 Mengeluarkan benda asing
 Bila lokalisasi di palpebra dan konjungtiva, kornea maka dengan
mudah dapat dilepaskan setelah pemberian anestesi lokal.
 Untuk mengeluarkan perlu kapas lidi atau jarum suntik tumpul/
tajam.
 Bila benda bersifat magnetik maka dapat dikeluarkan dengan
magnet portable atau giant magnet.
 Bila benda asing pada segmen posterior mengeluarkannya dilakukan
dengan perencanaan pembedahan agar tidak memberikan kerusakan
yang lebih berat terhadap bola mata. Mengeluarkan benda asing
melalui jalan melewati sklera merupakan cara untuk tidak merusak
jaringan lain.
 Pemberian antibiotika lokal pada benda asing di konjungtiva
dan kornea.
 Pada kornea dapat ditambahkan atropin 0,5 %-1 %, bebat mata
dan diamox bila ada tanda-tanda glaukoma sekunder. 6,10,11
26

3.4 Trauma Termal


Trauma bakar termal dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: flame dan contact
burns. Contact burn terjadi paparan secara langsung misalnya dengan air panas,
atau benda-benda panas. Pada flame terjadi karena uap panas paparan secara
sekunder antara mata dengan api.
Derajat keparahan pada trauma termal ini bergantung pada
1. Temperatur dari objek
2. Luas area yang terkena suhu panas
3. Lamanya durasi kontak

Kebanyakan trauma termal mengenai permukaan superfisial dari epitelium


kornea dan konjungtiva. Luka bakar pada superfisial cenderung menyebabkan
kornea keabuan-abuan dan opasifikasi. Adanya nekrosis jaringan di debridement
dengan perlahan. Pemberian siklopegik dan patching penting. Antibiotik tetes
diberikan jika ada abrasi pada kornea. Umumnya luka bakar superfisial
penyembuhan pada 24-48 jam tanpa sequele. Trauma yang berat dapat
menyebabkan nekrosis kornea dan perforasi. Intervensi keratoplasti dan
transplantasi stem sel limbal dapat dipertimbangkan.
Untuk manajemen mata dan kelopak mata, langkah-langkah berikut harus
diambil:
1. Irigasi dan pemindahan benda asing
Irigasi langsung merupakan hal yang sangat penting setelahnya luka bakar
kimia atau panas. Korban dinonaktifkan oleh blepharospasm refleks yang
parah. Pertolongan pertama awal melibatkan pembukaan kelopak mata pasif
dan irigasi yang efektif pada mata. Semua aspek konjungtiva dan kornea harus
diairi dengan membuat pasien melihat ke semua arah. Ringer laktat adalah
cairan yang paling ideal untuk irigasi karena memiliki osmolaritas yang sama
dengan aqueous humor. Air putih, air garam normal adalah yang pilihan lain
yang memiliki osmolaritas lebih rendah. Karena air mudah tersedia di mana-
mana, paling umum direkomendasikan untuk irigasi. Setidaknya 500-1000 ml
cairan irigasi selama 15 menit harus digunakan (ANSI). Pada luka bakar
termal, ia mendinginkan permukaan mata dan menghilangkan zat peradangan
apa pun dari mata.
27

2. Pelumasan okular untuk profilaksis


Gunakan air mata buatan dengan minimum empat kali Sehari dengan salep di
malam hari harus dimulai dalam waktu 24 jam dari luka baka untuk melawan
efeknya dari lagophthalmos. Setiap luka sampai ke epite membutuhkan
pemberian antibiotik topikal khususnya untuk menutup organisme gram
negatif. Pseudomonas eruginosa adalah organisme yang paling umum
menginfeksi kornea dalam situasi ini. Anestesi topikal diterapkan untuk
mengurangi rasa sakit dan memfasilitasi irigasi di luka bakar kimiawi.
3. Pemasangan bulu mata
Bulu mata hangus dalam luka bakar kelopak mata termal harus dipangkas
dengan gunting halus untuk menghindari kemungkinan arang jatuh ke mata
dan memperpanjang ketidaknyamanan permukaan mata. Pisau gunting harus
ditutup dengan salep mata untuk mencegah bulu mata dipotong dari jatuh ke
dalam kantung konjungtiva.
4. Management luka
Ujung kepala tempat tidur harus ditinggikan. Kelopak mata harus dibersihkan
dari puing-puing sesegera mungkin menggunakan kasa yang direndam garam.
Gunakan Lapisi tulle, silicon jaring nilon tertutup, atau balutan alginate.
Dressing lebih disukai dimana jarang memperberat luka bakar dan untuk luka
bakar lebih dalam. Pada luka bakar yang lebih dalam, allograft dapat
digunakan sebagai pembalut tanpa operasi debridemen untuk memberikan
perlindungan dan membantu penyembuhan.

Luka bakar ringan tingkat pertama ringan tanpa kontraksi kelopak mata
diobati dengan salep antibiotik oftalmik topikal dan air mata buatan. Jika ada
pembengkakan dan kelopak mata yang signifikan, kompres dingin mungkin
diperlukan. Pada luka bakar derajat dua dan tiga dengan retraksi kelopak mata
yang signifikan menyebabkan lagophthalmos, selain pengobatan di atas, ruang
kelembaban atau oklusi selofan ditempatkan di atas mata yang dilumasi yang
mencegah kelembaban menguap dari permukaan mata. 6,10,11,12

BAB III
28

KESIMPULAN

Penglihatan adalah salah satu fungsi tubuh yang sangat penting dalam menjalani
kehidupan. Penglihatan dengan kedua bola mata yang lengkap dan utuh sangat penting
dalam pengembangan diri, rasa kemandirian, kualitas hidup serta keamanan dan
kenyamanan seorang individu. Trauma pada mata sering terjadi dan sebenarnya
merupakan penyebab gangguan penglihatan yang dapat dicegah.
Trauma mekanik terdiri dari trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma tumpul
adalah trauma pada mata akibat benturan mata dengan benda yang relatif besar, tumpul,
keras maupun tidak keras. Trauma tumpul dapat menyebabkan cedera perforasi dan non
perforasi. Trauma tumpul pada mata dapat mengenai organ eksterna atau interna.
Trauma tajam adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan
mata, dimana mata ditembus oleh benda tajam atau benda berukuran kecil dengan
kecepatan tinggi yang menembus kornea atau sklera. Penatalaksanaan trauma mekanik
tergantung sebera besar kerusakan yang diakibatkan pada mata.
Trauma bakar termal dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu contact burn terjadi
paparan secara langsung misalnya dengan air panas, atau benda-benda panas. Dan
flame terjadi karena uap panas paparan secara sekunder antara mata dengan api.
Penatalaksaan trauma bakar termal dengan memberikan antibiotik tetes jika ada
abrasi pada kornea. Umumnya luka bakar superfisial penyembuhan pada 24-48 jam
tanpa sequele. Trauma yang berat dapat menyebabkan nekrosis kornea dan perforasi.
Intervensi keratoplasti dan transplantasi stem sel limbal dapat dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kuhn F, Morris R, dan Witherspoon CD. BETT: the terminology of ocular


trauma. Dalam: Kuhn F dan Pieramici DJ. Ocular trauma. New York: Thieme.
2002. Hal: 1-8
2. Ilyas S. Trauma Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi 5; 2015.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal ; 279
3. Ausburger J, A. T. (2014). Trauma mata dan orbita dalam buku Oftalmologi Umum.
Jakarta: EGC.
4. Bruce, Chris, dan Anthony. 2006. Lecture Notes : Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
5. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
6. Ilyas S. Trauma Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi 5; 2015.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal ; 279
7. Tjokronegoro, Arjatmo. 2003. Ilmu Penyakit Mata,3 rd edisi. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
8. Ilyas S, S. R. (2014). Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
9. Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata: Hifema
pada Rudapaksa Tumpul. Hal 137-139. Penerbit: FK Unair, Surabaya.
10. Yanoff M, Duker JS. 2004. Ophtalmology. 2nd ed, p. 416-419. St Louis, MO: Mosby
11. James, Bruce, et al. 2006 . Lecture Notes Oftalmologi, 9th eds. Surabaya : Airlangga.
12. Mashige K., Chemical and Thermal Ocular burns : a Review of Causes,Clinical Features
and Management Protocol. Review. University of KwanZulu-Natal. South Africa. 2016

Anda mungkin juga menyukai