Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN BIOTEKNOLOGI

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH (AUKSI DAN SITOKININ)


TERHADAP PERTUMBUHAN KALUS ANTHER BUNGA KANA
(Canna sp.)

Oleh:

M. Ongky Muji Handoyo 17030204024

Pendidikan Biologi 2017 A

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kultur jaringan tanaman merupakan teknik perbanyakan
tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata
tunas, serta menumbuhkannya secara aseptik dalam media buatan yang
kaya nutrisi dan ZPT dalam wadah tertutup dan tembus cahaya
sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan beregenerasi
menjadi tanaman lengkap hal ini memungkinkan karena tanaman
memiliki sifat totipotensi atau kemampuan untuk tumbuh dan
berkembang sesuai dengan jaringannya..
Kultur anther merupakan salah satu dari teknik-teknik kultur
jaringan yang merupakan teknik yang sangat menjanjikan untuk
pemuliaan tanaman dan telah diaplikasikan secara meluas pada tanaman
serealia dan beberapa tanaman lain. Keberhasilan kultur sangat
bergantung pada media kultur yang digunakan. Media kultur
merupakan tempat penyedia nutrisi dan zat-zat yang mendukung
pertumbuhan tanaman. Penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT)
tertentu berpengaruh terhadap pertumbuhan dominan salah satu bagian
tanaman. Dalam kultur jaringan zat pengatur tumbuh yang biasa
digunakan yaitu auksin (IAA, IBA, NAA, dan 2,4 D) dan sitokinin
(kinetin, zeatin, ribosil, benzilaminopurin (BAP) dan 6-Benzyl Adenin
(BA)).
Tanaman kana (Canna sp.) merupakan contoh jenis tumbuhan
herba yang berasal dari Amerika Selatan dan selanjutnya menyebar ke
berbagai penjuru dunia terutama di kawasan tropis seperti Indonesia.
Tumbuhan dari kelompok genus Canna ini memiliki warna bunga yang
menarik dan beragam mulai dari merah tua, merah muda, kuning,
jingga, hingga kombinasi dari beberapa warna tersebut. Karena
keindahannya itu, kebanyakan masyarakat hanya mengenalnya sebagai
tanaman hias belaka (Santoso, 2008). Praktikum Kultur Anther kali ini
menggunakan Anther pada bunga Canna sp. untuk dilihat pertumbuhan
kalusnya menggunakan media Murashige & Skoog dengan penambahan
beberapa Zat Pengatur Tumbuh.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dari penelitian ini
antara lain :
1. Bagaimana cara pembuatan media Murashige and Skoog (MS)?
2. Bagaimana teknik isolasi dan inokulasi anther bunga kana (Canna
sp.) pada media MS?
3. Bagaimana pengaruh media MS dengan komposisi ZPT yang
berbeda pada pertumbuhan kalus bunga kana (Canna sp.)?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapat diketahui tujuan dari
penelitian ini antara lain :
1. Untuk mengetahui cara pembuatan media Murashige and Skoog
(MS
2. Untuk mengetahui teknik isolasi dan inokkulasi anther bunga kana
(Canna sp.) pada media MS
3. Untuk mengetahui pengaruh media MS dengan komposisi ZPT
yang berbeda pada pertumbuhan kalus bunga kana (Canna sp.)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kultur Jaringan


Kultur jaringan adalah salah satu kegiatan yang dilakukan dalam
perbanyakan tanaman secara klonal untuk perbanyakan masal. Adapun
keuntungan yang didapatkan dari pengadaan bibit melalui kultur
jaringan yaitu dapat diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam
jumlah yang banyak dan seragam selain itu dapat diperoleh biakan steril
(mother stock), sehingga dapat digunakan sebagai bahan selanjutnya
(Lestari, 2008). Kegiatan kultur jaringan biasanya digunakan sebagai
solusi dalam perbanyakan tanaman, melalui kultur jaringan dapat
memperoleh nilai niagawi yang tinggi. Melalui kultur jaringan
jugawaktu yang dibutukan lebih singkat serta tidak tergantung musim
dan juga bebas dari hama dan penyakit.
Bagian tanaman yang akan dikulturkan disebut eksplan. Eksplan
bisa berupa mata tunas, anthera, batang, daun dan akar yang masih udah
dan terdiri dari sel-sel meristematis, yang mana sel-selnya masih aktif
membela-bela dan apabila dikulturkan pada media yang sesuai secara In
Vitro, sehingga eksplan tersebut akan tumbuh dan berkembang biak
menjadi banyak (Nugroho dan Sugito, 2004)
2.2 Kultur Anther
Kultur anther merupakan salah satu tehnik dasar penerapan
bioteknologi untuk pemuliaan tanaman. Dari kultur anther akan
didapatkan tanaman haploid melalui pembentukan kalus atau
androgenesis. Bennet dan O’neil (1989) menyatakan bahwa kegunaan
kultur anther antara lain mampu menghasilkan tanaman monohaploid
yang dapat digunakan untuk pemuliaan tanaman selanjutnya dan dapat
menghilangkan sifat resesif, sertadapat dihasilkan derivate yang
(diploid) dengan cara merangkapkan kromosom dengan perlakuan
kolkisin dan mengadakan silangan tanaman monohaploid dan untuk
membuat tanaman homozigot.
Kultur anther merupakan salah satu cara mendapatkan tanaman
haploid melalui proses androgenesis. Tanaman haploid adalah tanaman
yang mempunyai jumlah kromosom sama dengan gamet pada sel-sel
sporofitnya. Androgenesis adalah perkembangan sel polen menjadi
tanaman tanpa melalui proses fertilisasi (Nitsch, 1981). Pada dasarnya
mekanisme androgenesis adalah mencegah pembentukan sel generatif
atau menghentikan perkembangan generatif yang normal dan
mempertinggi pembelahan sel-sel vegetatif (Nitsch, 1981). Tanaman
haploid melalui kultur anther dapat diperoleh dengan 2 cara, yaitu:
melalui proses androgenesis langsung atau embriogenesis melalui
pembentukan kalus (Gunawan, 1987; Sink dan Padmanabban, 1977).
2.3 Tahapan Kultur
Pada saat melakukan kultur jaringan pada tanaman, terdapat
beberapa tahapan yang dilakukan. Menurut Nursyamsi (2010) tahap-
tahap melakukan kultur jaringan antara lain:
1. Tahap Inisiasi
Tahap inisiasi adalah tahap awal kultur yang bertujuan untuk
mendapatkan eksplan yang bebas mikroorganisme serta inisiasi
pertumbuhan baru. Hasil pengamatan pada tahap inisiasi tunas bitti,
menunjukkan eksplan yang menghasilkan tunas adalah yang berasal
dari pucuk dan kotiledon. Eksplan pucuk lebih banyak
menghasilkan tunas dibandingkan kotiledon. Rata-rata jumlah tunas
yang dihasilkan pada tahap ini adalah empat tunas. Hal ini
disebabkan pucuk merupakan kuncup terminal yang mempunyai
kemampuan membelah diri untuk membentuk tunas baru dan
semakin tinggi tunas maka tunas yang terbentuk juga semakin
banyak. Tunas yang baru pada umumnya berasal dari tunas aksilar.
2. Tahap Multiplikasi
Pada tahap multiplikasi atau tahap perbanyakan, hasil induksi
berupa tunas diperbanyak dengan cara memotong setiap ruas dan
menanamnya pada media perbanyakan. Pada tahap ini keberadaan
zat pengatur tumbuh sitokinin sangat berperan penting.
3. Tahap Perakaran
Pada tahap ini bertujuan membentuk akar dan planlet yang
mandiri serta pucuk tanaman yang kuat sehingga dapat bertahan
hidup saat dipindahkan ke lingkungan alaminya. Tunas-tunas hasil
dari tahap multiplikasi yang belum mempunyai akar dipindahkan ke
media yang mengandung lebih banyak auksin.
4. Tahap Aklimatisasi
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari kultur jaringan
tanaman. Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian organisme
dalam beradapatasi dengan lingkungan yang baru. Proses ini sangat
penting, sebab proses inilah yang menentukan mampu tidaknya
tanaman yang berasal dari in vitro tumbuh baik pada kondisi in
vivo. Pada saat memindahkan planlet dilakukan secara hati-hati dan
bertahap. Pemberian sungkup pada saat awal aklimatisasi membantu
planlet terhindar dari serangan hama penyakit dan udara luar. Saat
planlet mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan barunya,
sungkup perlahan dilepas dan bibit dilakukan dengan cara yang
sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam kultur
in vitro antara lain :
1. Eksplan
Eksplan adalah bagian tanaman yang digunakan sebagai
bahan untuk inisiasi suatu kultur. Pada kultur jaringan, semua
bagian tanaman yang bebas kontaminan dapat dijadikan eksplan,
namun tidak semua jaringan tanaman mudah ditumbuhkan (Wareing
dan phillips, 1976). Menurut Hartmann dkk (1990) dalam memilih
eksplan yang akan digunakan perlu diperhatikan ukuran eksplan,
umur fisiologis dan organ yang akan digunakan. Menurut Stone dkk
(2002) pada kultur jaringan, sumber dan umur eksplan merupakan
faktor yang sangat penting dalam menentukan kemampuan kalus
menghasilkan embrio somatik.
Ukuran eksplan yang digunakan mempengaruhi keberhasilan
pertumbuhan planlet. Tunas dengan ukuran yang besar lebih tahan
pada saat dipindahkan ke dalam kondisi in vitro. Selain itu,
pertumbuhan lebih cepat dan menghasilkan lebih banyak mata tunas
aksilar. Namun, ukuran tunas yang besar memiliki kelemahan yaitu
sulit didapatkan kultur aseptik dan bahan sterilan yang digunakan
lebih banyak. Bagian tanaman yang baik digunakan sebagai eksplan
yaitu bagian tanaman yang masih muda (juvenil), sebab daya
regenarasinya lebih tinggi (kecambah) daripada tanaman dewasa
(Gunawan, 1995). Selain itu kemampuan morfogenetik jaringan
yang masih muda lebih baik daripada jaringan dewasa (Nursyamsi,
2010).
Eksplan yang telah dipilih, selanjutnya di sterilisasi
permukaan dengan berbagai bahan sterilan. Bahan sterilan yang
digunakan untuk sterilisasi permukaan misalnya sodium hipoklorit,
hidrogen peroksida, bromine water dan silver nitrat. Menurut
Biondi dan Thorpe (1981) penggunaan alkohol 70% dan
penambahan deterjen atau tween 80 dapat lebih mengefektifkan
sterilisasi.
Setelah melalui proses sterilisasi, eksplan diinokulasikan
pada media lalu diinkubasi dan diamati. Pada proses inkubasi,
seringkali eksplan tidak tumbuh dan menjadi browning. Pencoklatan
sangat umum terjadi pada eksplan yang berasal dari tanaman
berkayu (Hutami, 2008). Menurut Lerch (1981), pencoklatan
jaringan terjadi karena aktivtas enzim oksidase yang mengandung
tembaga seperti polifenol oksidase dan tirosinase yang dilepaskan
atau disintesis pada kondisi okdsidatif ketika jaringan dilukai.
Fungsi alami fenol yaitu mengatur oksidasi IAA, namun jika
konsentrasinya meningkat akan menjadi racun (Hutami, 2008).
2. Media Kultur
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan
sangat bergantung pada media yang digunakan (Gunawan, 1987).
Media kultur jaringan tumbuhan berisi garam-garam mineral,
hormon, vitamin, sumber karbon dan asam amino. Komponen
penyusun media kultur kalus yang berperan pada penginduksian
kalus dari eksplan yang digunakan adalah penambahan zat pengatur
tumbuh ke dalam media (Shofiyani dan Agus, 2017). Smith (1992)
menyatakan pemilihan media kultur jaringan merupakan kunci
sukses dalam kultur jaringan.
Media tanam kultur jaringan terdiri dari dua jenis yaitu,
media cair dan media padat. Media cair digunakan untuk
menumbuhkan eksplan sampai terbentuk PLB (protocorm like
body) yaitu eksplan yang akan tumbuh jaringan seperti kalus
berwarna putih. Media padat digunakan untuk menumbuhkan PLB
sampai terbentuk planlet (Rahardja dan Wahyu, 2003).
Beberapa media dasar yang banyak digunakan dalam kultur
jaringan antara lain media dasar Murashige dan Skoog (1962) yang
dapat digunakan untuk hampir semua jenis kultur, media dasar B5
untuk kultur sel kedelai dan legume lainnya, media dasar White
(1934) sangat cocok untuk kultur akar tanaman tomat, media dasar
Vacin dan Went (1949) digunakan untuk kultur jaringan anggrek,
media dasar Nitsch dan Nitsch (1969) digunakan dalam kultur
tepung sari (pollen) dan kultur sel, media dasar Schenk dan
Hildebrandt (1972) untuk kultur jaringan tanaman monokotil, media
dasar WPM (Woody Plant Medium, 1981) khusus untuk tanaman
berkayu. Dari sekian banyak media dasar di atas, yang paling
banyak digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS).
Menurut George dan Sherrington (1984), medium dasar Murashige
dan Skoog (MS) dapat digunakan pada semua macam tanaman
termasuk herbaceous, serta pada media ini konsentrasi garam-garam
mineralnya tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO 3- dan NH4+.
Sama halnya dengan Wetter dan Constabel (1991), medium MS
memiliki keistimewaan yaitu kandungan nitrat, kalium dan
ammoniumnya yang tinggi, dan jumlah hara anorganiknya yang
layak untuk memenuhi kebutuhan banyak sel tanaman dalam kultur.
3. Zat Pengatur Tumbuh
Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan untuk
mendapatkan hasil yang optimum, maka penggunaan media dasar
dan zat pengatur tumbuh yang tepat merupakan faktor yang penting
(Lestari, 2011). Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting
dalam mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman (Gaba,
2005). Perannya antara lain mengatur kecepatan pertumbuhan dari
masing-masing jaringan dan mengintegrasikan bagian-bagian
tersebut guna menghasilkan bentuk yang kita kenal sebagai
tanaman. Dalam proses pembentukan organ seperti tunas atau akar
ada interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen yang ditambahkan
ke dalam media dengan zat pengatur tumbuh endogen yang
diproduksi oleh jaringan tanaman (Winata, 1987).
Beberapa peranan ZPT dalam kultur in vitro menurut
Widyastuti dan Donowati (2001) sebagai berikut :
a. Senyawa sintetik yang disintesa diluar jaringan tanaman dan
mempunyai sifat fisiologis dan biokimia yang serupa dengan
hormon tanaman adalah ZPT. Hormon tanaman dan ZPT pada
umumnya mendorong terjadi sesuatu pertumbuhan dan
perkembangan.
b. Peranan auksin dalam kultur in vitro terutama untuk
pertumbuhan kalus, suspensi sel, dan pertumbuhan akar.
Bersama-sama sitokinin dapat mengatur tipe morfogenesis yang
dikehendaki.
c. Pengaruh sitokinin di dalam kultur in vitro antara lain
berhubungan dengan proses pembelahan sel, proliferasi tunas
ketiak, penghambatan pertumbuhan akar tanaman dan induksi
umbi mikro kentang.
Zat pengatur tumbuh terdiri dari golongan sitokinin dan
auksin. Sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang ditemukan oleh
Haberlandt tahun 1913. Sitokinin mempunyai peranan dalam proses
pembelahan sel. Bentuk dasar dari sitokinin adalah adanya gugus
adenin (6-amino purine) yang menentukan kerja sitokinin yakni
meningkatkan aktivitas dalam proses fisiologis tanaman. Dalam
penelitian kultur jaringan, apabila konsentrasi sitokinin lebih besar
dari auksin, maka akan terjadi stimulasi pertumbuhan tunas dan
daun, sebaliknya bila sitokinin lebih rendah daripada auksin, maka
terjadi stimulasi pertumbuhan akar. Sebaliknya, bila perbandingan
sitokinin dan auksin berimbang, maka pertumbuhan tunas, akar dan
daun akan berimbang pula (Abidin, 1994).
Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam media kultur
dapat meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di
dalam sel, sehingga menjadi “faktor pemicu” dalam proses tumbuh
dan perkembangan jaringan. Untuk memacu pembentukan tunas
dapat dilakukan dengan memanipulasi dosis auksin dan sitokinin
eksogen (Poonsapaya dkk., 1989). Penggunaan sitokinin dan auksin
dalam satu media dapat memacu proliferasi tunas karena adanya
pengaruh sinergisme antara zat pengatur tumbuh tersebut (Thorpe,
1987).
Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan
bahwa auksin dapat meningkatkan sintesa protein. Dengan adanya
kenaikan sintesa protein, maka dapat digunakan sebagai sumber
tenaga dalam pertumbuhan.
Salah satu jenis ZPT dari golongan sitokinin yang sering
dipakai dalam kultur jaringan yaitu BAP (6-benzylaminopurine).
Menurut George & Sherrington (1984) 6-Benzilaminopurine (BAP)
merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya
merangsangnya lebih lama karena tidak mudah dirombak oleh
enzim dalam tanaman. Sedangkan menurut Noggle dan Fritz (1983)
BAP memiliki struktur yang mirip dengan kinetin dan juga aktif
dalam pertumbuhan dan proliferasi kalus. sehingga BAP merupakan
sitokinin yang paling aktif. Zat pengatur tumbuh golongan auksin
yang sering digunakan dalam kultur yaitu NAA (Naftaleine Asetat
Acid) dan 2,4 D. Kedua zat pengatur tumbuh ini mempu memicu
proses dediferensiasi induksi kalus dan pembentukan primordial
akar. Namun, penggunaan dalam konsentrasi tinggi akan
menghambat proses pemanjangan akar. Menurut Salisbury dan Ross
(1995) IBA lebih lazim digunakan untuk memacu perakaran
dibandingkan NAA ataupun auksin lainnya. IBA bersifat lebih aktif,
sekalipun cepat dimetabolismekan menjadi IBA aspartat dan
sekurangnya menjadi satu konjugat dengan peptide lain.

2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Dan Perkembangan


Eksplan
Pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sangat dipengaruhi
oleh faktor dalam dan faktor luar tumbuhan. Faktor dalam adalah semua
faktor yang terdapat dalam tubuh tumbuhan antara lain faktor genetik
yang terdapat di dalam gen dan hormon. Gen berfungsi mengatur
sintesis enzim untuk mengendalikan proses kimia dalam sel. Hal ini
yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan. Sedangkan,
hormon merupakan senyawa organik tumbuhan yang mampu
menimbulkan respon fisiologi pada tumbuhan. Hormon tumbuhan
adalah suatu senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian
tumbuhan dan dipindahkan ke bagian yang lain, pada konsentrasi yang
sangat rendah mampu menimbulkan respon fisiologis. Hormon
mempengaruhi respon pada bagian tumbuhan, seperti pertumbuhan
akar, batang, pucuk, dan pembungaan. Respon tersebut tergantung pada
spesies, bagian tumbuhan, fase perkembangan, konsentrasi hormon,
interaksi antar hormon, dan berbagai faktor lingkungan.
Faktor luar tumbuhan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan tumbuhan, yaitu faktor-faktor lingkungan yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan,
antara lain: cahaya, air, mineral, kelembapan, suhu, dan gaya gravitasi.
a. Nutrisi dan Air
Pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan membutuhkan
nutrisi. Nutrisi ini harus tersedia dalam jumlah cukup dan seimbang,
antara satu dengan yang lain. Nutrisi diambil tumbuhan dari dalam
tanah dan udara. Unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan
dikelompokkan menjadi dua, yaitu zat-zat organik (C, H, O, dan N)
dan garam anorganik (Fe2+. Ca2+, dan lain-lain). Pemenuhan
kebutuhan unsur tumbuhan diperoleh melalui penyerapan oleh akar
dari tanah bersamaan dengan penyerapan air. Air dibutuhkan
tanaman untuk fotosintesis, tekanan turgor sel, mempertahankan
suhu tubuh tumbuhan, transportasi, dan medium reaksi enzimatis.
Penemuan zat-zat yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk
pertumbuhan dan perkembangan menyebabkan manusia
mengembangkan suatu cara penanaman tumbuhan dengan
memberikan nutrisi yang tepat bagi tumbuhan. Contoh aplikasinya
adalah kultur jaringan dan hidroponik. Kultur jaringan
membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil
yang mempunyai sifat seperti induknya. Media tanam kultur jaringan
berupa larutan atau padatan yang kaya nutrisi untuk tumbuh
tanaman. Kultur jaringan ini dapat menghasilkan tanaman baru
dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat. Sedangkan,
hidroponik adalah metode penanaman dengan menggunakan air kaya
nutrisi sebagai media tanam.
b. Cahaya
Kualitas, intensitas, dan lamanya radiasi yang mengenai
tumbuhan mempunyai pengaruh yang besar terhadap berbagai proses
fisiologi tumbuhan. Cahaya mempengaruhi pembentukan klorofil,
fotosintesis, fototropisme, dan fotoperiodisme. Efek cahaya
meningkatkan kerja enzim untuk memproduksi zat metabolik untuk
pembentukan klorofil. Sedangkan, pada proses fotosintesis,
intensitas cahaya mempengaruhi laju fotosintesis saat berlangsung
reaksi terang. Jadi cahaya secara tidak langsung mengendalikan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena hasil fotosintesis
berupa karbohidrat digunakan untuk pembentukan organ-organ
tumbuhan. Perkembangan struktur tumbuhan juga dipengaruhi oleh
cahaya (fotomorfogenesis). Efek fotomorfogenesis ini dapat dengan
mudah diketahui dengan cara membandingkan kecambah yang
tumbuh di tempat terang dengan kecambah dari tempat gelap.
Kecambah yang tumbuh di tempat gelap akan mengalami etiolasi
atau kecambah tampak pucat dan lemah karena produksi klorofil
terhambat oleh kurangnya cahaya. Sedangkan, pada kecambah yang
tumbuh di tempat terang, daun lebih berwarna hijau, tetapi batang
menjadi lebih pendek karena aktifitas hormon pertumbuhan auksin
terhambat oleh adanya cahaya.
c. Oksigen
Oksigen mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan. Dalam
respirasi pada tumbuhan, terjadi penggunaan oksigen untuk
menghasilkan energi. Energi ini digunakan, antara lain untuk
pemecahan kulit biji dalam perkecambahan, dan aktivitas tumbuhan.

d. Suhu udara
Pertumbuhan dipengaruhi oleh kerja enzim dalam tumbuhan.
Sedangkan, kerja enzim dipengaruhi oleh suhu. Dengan demikian,
pertumbuhan tumbuhan sangat dipengaruhi oleh suhu. Setiap spesies
atau varietas mempunyai suhu minimum, rentang suhu optimum,
dan suhu maksimum. Di bawah suhu minimum ini tumbuhan tidak
dapat tumbuh, pada rentang suhu optimum, laju tumbuhnya paling
tinggi, dan di atas suhu maksimum, tumbuhan tidak tumbuh atau
bahkan mati.
e. Kelembapan
Laju transpirasi dipengaruhi oleh kelembapan udara. Jika
kelembapan udara rendah, transpirasi akan meningkat. Hal ini
memacu akar untuk menyerap lebih banyak air dan mineral dari
dalam tanah. Meningkatnya penyerapan nutrien oleh akar akan
meningkatkan pertumbuhan tanaman.
2.6 Browning (Pencoklatan)
Pencoklatan adalah suatu keadaan munculnya warna coklat atau
hitam yang menyebabkan tidak terjadi pertumbuhan dan perkembangan
atau bahkan menyebabkan kematian pada eksplan. Pencoklatan
umumnya merupakan tanda adanya kemunduran fisiologis eksplan
biasanya eksplan akan mati.
Browning terjadi akibat pengaruh akumulasi senyawa fenolik
yang teroksidasi akibat stress mekanik atau pelukaan pada eksplan.
Senyawa fenol tersebut adalah enzim polifenol eksidase dan tirosinase.
Dalam kondisi oksidatif akibat pelukaan, enzim tersebut akan secara
alami disintesis oleh tanaman sebagai bentuk pertahanan diri. Menurut
Laukkanen et al. (1999) dalam Hutami (2008), ketika sel rusak, isi dari
sitoplasma dan vakuola menjadi tercampur, kemudian senyawa fenol
teroksidasi menghambat aktivitas enzim. Senyawa fenol yang
berlebihan akan bersifat racun yang merusak jaringan eksplan dan
akhirnya menyebabkan kematian eksplan. Penyebab lain dari browning
yakni penggunaan bahan sterilan.
2.7 Tanaman Kana (Canna sp.)

Merujuk pada Simpson (2006), maka klasifikasi dari tanaman kana


dapat dituliskan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Liliopsida
Order : Zingiberales
Family : Cannaceae
Genus : Canna
Species : Canna sp.
Tanaman yang tergolong sebagai anggota famili Cannaceae memiliki
karakter morfologi, yaitu merupakan tanaman herba tegak menahun
(perennial). Batang simpodial dan tidak berambut. Memiliki rimpang
(rhizoma) yang cukup tebal dan tumbuh mendatar di bawah permukaan
tanah, namun hanya pada spesies tertentu yang dibudidayakan sebagai
tanaman pangan saja sementara beberapa spesies lain, terutama spesies kana
yang hidup di daerah kaya air hanya memiliki rimpang yang kurus atau
tidak terlalu tebal. Daun tanaman kana berukuran cukup lebar dan terlihat
menyerupai daun pisang (banana-like), terdiri atas pelepah (upih daun),
tangkai daun, dan pada helaian daun terdapat venasi (pertulangan daun)
menyirip-sejajar (Simpson, 2006).
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen karena
menggunakan beberapa variabel yaitu variable kontrol, manipulasi
dan respon.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Praktikum kultur anther bunga kana (Canna sp.)
dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Novmber 2019 di
Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung C9 FMIPA Universitas Negeri
Surabaya.
3.3. Metode Penelitian
3.3.1. Pembuatan Media Murrashige and Skoog (MS)
- Alat
a. Kompor gas
b. Panci stainless dan pengaduk
c. pH meter
d. Beaker glass 1000 mL 1 buah
e. Gelas ukur 1000 mL dan 10 mL
f. Timbangan digital
g. Botol media/kultur (ex selai) 130 buah
h. Pipet tetes
i. Botol untuk larutan stok MS
j. Autoklaf
k. Lemari es

- Bahan
a) Aluminium foil
b) Kertas label
c) Aquades
d) HCl 1 M
e) KOH 1 M
f) Stok hara medium MS (untuk 1 kelas dan sudah teracik
ke dalam 7 stok)
1. Stok A (NH3NO3 82,5 g/l)
2. Stok B (KNO3 95,0 g/l)
3. Stok C (CaCl2, 2H2O 88,0 g/l)
4. Stok D (KH2PO4 34,0 g/l)
5. Stok E (H3BO3 1,24 g/l)
NaMoO4, 2H2O 0,05 g/l)
CoCl26H2O 0,005 g/l)
KI 0,166 g/l)
6. Stok F (MnSO4 2H2O 0,05 g/l)
MgSO4 7H2O 74,0 g/l)
CuSO4 5H2O 0,005 g/l)
ZnSO4 7H2O 1,725 g/l)
7. Stok G (Na2EDTA 2H2O 1,865 g/l)
FeSO4 7H2O 1,390 g/l)
g) Zat organik (untuk 1 kelas)
1. Myo-inositol 100 mg/l
2. Thiamin HCl 0,1 mg/l
3. Asam nikotinat 0,5 mg/l
4. Piridoxin HCl 0,5 mg/l
5. Glisin 2,0 mg/l
6. Sukrosa g0 g/l
h) Agar bubuk 18 gram
i) Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Auksin, Sitokinin, Giberelin
(untuk 1 kelas)

3.3.2. Inokulasi Anther Bunga Kana (Canna sp.)


Alat :
a) Laminar Air Flow (LAF), entkas
b) Lampu spiritus
c) Cawan Petri 2 buah
d) Gunting
e) Pinset
f) Gagang scalpel
g) Mata pisau scalpel steril no 11 dan 13
h) Korek api
i) Botol saos
j) Botol selai untuk sterilisasi 8 buah
k) Sprayer
Bahan :
a) Spiritus
b) Alkohol 90 dan 70%
c) Dettol atau sabun cair
d) Formalin tablet
e) Kertas tissue
f) Kertas saring
g) Kertas label
h) Benang kasur
i) Aluminium foil
j) Kapas
k) Aquadest
l) Kertas bekas
m) Anther bunga Kana (Canna sp.)

3.4. Cara Kerja


Adapun prosedur kerja dalam praktikum ini adalah sebagai
berikut:
3.4.1.Pembuatan Stok Hara Medium MS
a) Pembuatan Stok Larutan Hara Makro (Stok A,B,C,D)
i. Stok A dan B dibuat dalam 200 mL, dengan cara
menimbang dan melarutkan hara makro dalam 100 mL
akuades, kemudian ditambahkan akuades hingga
volumenya 200 mL, dituang ke dalam botol plastik dan
disimpan dalam lemari es.
ii. Stok C dan D dibuat dalam 100 mL dengan cara
menimbang dan melarutkan hara makro dalam 50 mL
akuades, kemudian ditambahkan hingga volumenya 100 mL
lalu dituang ke dalam botol plastik dan disimpan dalam
lemari es.
b) Pembuatan Larutan Stok Hara Mikro (Stok E dan F)
i. Stok E dan F dibuat dalam 100 mL. Untuk membuat stok E
dan F, menimbang dan melarutkan hara mikro dalam 50 mL
akuades, kemudian ditambahkan akuades hingga volume
100 mL. Lalu dituang ke dalam botol plastik 330 mL dan
disimpan dalam lemari es.
c). Pembuatan Stok Zat besi (Stok G)
i. Stok G dibuat dalam 200 mL. Untuk stok G, menimbang
dan melarutkan ion besi ke dalam 100 mL akuades.
Kemudian ditambah dengan akuades hingga volume
mencapai 200 mL. Lalu dituang ke dalam botol plastik 330
mL dan disimpan dalam lemari es.

3.5. Pembuatan Stok Hormon


a) Untuk mendapatkan konsentrasi NAA 10-2 M dilakukan
dengan menimbang NAA sebesar 0,19 g dan dimasukkan
dalam gelas piala (beaker glass) yang diberi akuades.
Selanjutnya meneteskan sedikit demi sedikit NaOH 1 M
sambil dikocok hingga NAA larut. Kemudian ditambah
dengan akuades hingga volumenya mencapai 100 mL. Lalu
dituang ke dalam botol kaca 150 mL dan disimpan dalam
lemari es.
b) Untuk mendapatkan konsentrasi BAP 10-2 M dilakukan
dengan menimbang BAP sebesar 0,22 g dan dimasukkan
dalam gelas piala (beaker glass) yang diberi akuades 50 mL.
Selanjutnya meneteskan sedikit demi sedikit HCl 1 M
sambil dipanaskan dan dikocok hingga BAP larut.
Kemudian ditambah dengan akuades hingga volumenya
mencapai 100 mL. Lalu dituang ke dalam botol kaca 150
mL dan disimpan dalam lemari es.
c) Untuk mendapatkan konsentrasi ZPT yang sesuai perlakuan
stok ZPT diencerkan sesuai rumus:
V1.M1 = V2.M2
Dengan: V1 = volume larutan ZPT yang ada
M1 = konsentrasi ZPT yang tersedia
V2 = volume larutan ZPT yang ditambahkan
M2 = konsentrasi ZPT dalam larutan
3.4.2. Pembuatan Media Murrashige and Skoog (MS)
a) Memasukkan aquades ke dalam beaker glass 1000 mL sebanyak
500 mL kemudian menambahkan gula sukrosa 20 gram sambil
diaduk sampai semua larut.
b) Menambahkan Mio-inositol 100 mg, thiamin-HCl 0,1 mg, asam
nikotinat 0,5 mg, piridoksin-HCl 0,5 mg dan glisin 2 mg.
c) Memasukkan stok A, B dan G masing-masing sebanyak 20 mL.
Kemudian stok C, D, E dan F masing-masing sebanyak 5 mL.
d) Menambahkan akuades hingga volumenya mencapai 900 mL.
e) Mengukur pH berkisar 65,8 dengan pH meter. Jika terlalu basa,
ditambahkan HCl 1 M. Jika terlalu asam, ditambahkan KOH 1
M.
f) Menambahkan akuades hingga volumenya mencapai 1000 mL
g) Menuangkan larutan ke dalam panci. Kemudian menambahkan
agar batangan (8 g/l).
h) Media kemudian dipanaskan dengan kompor gas sambil diaduk
hingga agar-agar larut dan homogen.
i) Setelah agar-agar larut, media dituang kembali ke dalam gelas
piala (beaker glass) 1000 mL. Lalu ditambahkan NAA dan BAP
serta 2,4D ke dalam media sesuai konsentrasi.
j) Memasukkan media ke dalam botol kultur yang telah
disterilisasi, dengan volume tiap botol 15 mL dan diberi label
nama.
k) Botol yang telah berisi media ditutup dengan aluminium foil lalu
disterilisasi dalam autoklaf pada tekanan 1,5 kg/cm2 dan
temperatur 121oC selama ±15 menit.
l) Botol dikeluarkan dari autoklaf dan diinkubasi selama tiga hari.
Jika tidak terjadi kontaminasi, media siap digunakan.
3.4.3. Inokulasi Anther Bunga Kana (Canna sp.)
a) Menyiapkan alat (pinset, mata pisau scalpel, gagang pisau
scalpel, cawan petri yang berisi kertas saring), bahan (alkohol
90% dan 70%, tween, akuades) dan botol kultur yang telah
berisi media sederhana yang semuanya telah disterilkan.
Sterilisasi dan inokulasi eksplan dilakukan di Laminar Air
FlowCabinet.
b) Mencuci tangan menggunakan sabun cair kemudian dikeringkan
dengan lap bersih.
c) Mencuci eksplan dengan sabun cair dan disikat secara perlahan
dan hati-hati agar tidak merusak eksplan kemudian dibilas
dengan air mengalir hingga sabun hilang.
d) Eksplan tersebut selanjutnya direndam ke dalam fungisida
selama 30 menit kemudian dicuci dengan menggunakan air
mengalir.
e) Eksplan dibawa ke dalam Laminar Air FlowCabinet.
f) Eksplan direndam dengan akuades steril selama 2-3 menit
sambil digoyang-goyangkan.
g) Merendam eksplan dengan alkohol 70% untuk mensterilkan
eksplan selama 5 detik, sambil digoyang-goyang.
h) Eksplan dicuci dengan akuades steril selama 2-3 menit.
i) Eksplan direndam dengan Chlorox 10% dan 5% selama 2-3
menit.
j) Membilas eksplan dengan akuades steril selama 2-3 menit.
Langkah ini diulang sebanyak tiga kali.
k) Menempatkan eksplan pada cawan petri yang sudah diberi alas
kertas saring steril.
l) Memotong eksplan (minimal sebanyak 6 potong), bagian
eksplan yang dipotong adalah bagian tepi yaitu bagian yang
rusak atau kontak dengan bahan kimia. Eksplan dipotong
dengan ukuran ±0,5 cm menggunakan pinset dan pisau scalpel.
m) Mengambil potongan eksplan dengan pinset dan
memasukkannya ke dalam botol kultur yang telah berisi media.
n) Botol yang telah ditanami diletakkan dalam ruang inokubasi dan
dilakukan pengamatan.

- direndam alkohol 70% 5 detik sambil digoyang-goyang.


- dicuci dengan akuades steril selama 2-3 menit.
- direndam dengan Chlorox 10% dan 5% selama 2-3 menit.
- akuades steril selama 2-3 menit. Langkah ini diulang

3.6. Langkah Kerja sebanyak tiga kali.


- eksplan diletakkan
Berdasarkan prosedur kerja diatas dapat dibuatpada cawan petri yang sudah diberi alas
alur sebagai
berikut: kertas saring steril.
- eksplan dipotong (minimal sebanyak 6 potong) dengan
Anther Bunga Kana
- direndam
ukuran (Canna
larutan
±0,5 sp.) 70% selama
alkohol
cm menggunakan 2 menit
pinset dan pisau scalpel.
- dimasukkan ke dalam botol kultur yang telah berisi media.
- direndam bayclin 20% selama 20 menit

- dicuci aquades 3-5 kali

Diamati
Anthersetiap
Bunga hari
Kana (Canna
- dipindahkan dalam sp.)
cawan petri
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Hasil inokulasi Anther bunga Kana (Canna sp.) pada media
MS disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Isolasi dan Inokulasi Anther bunga terompet ungu (Ruellia


tuberosa) pada media MS

Jenis Tanggal Tanggal pengamatan


No ZPT
eksplan inokulasi 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 1
NAA 0,5
1 - - - - - - - - - - -
mg/L
Anther
BAP 0,1 21 Okteber
2 Bunga - - - - - - - - - - -
mg/L 2019
Canna
2,4 D 1
3 - - - - - - - - - - -
mg/L
Keterangan : (-) : Belum tumbuh
(K) : Tumbuh Kalus
(A) : Tumbuh Akar
(T) : Tumbuh Tunas
(X) : Kontaminasi’

4.1 Analisis Data


Dari tabel diatas, diperoleh bahwa jenis eksplan yang digunakan adalah
Anther Bunga Canna dengan media ZPT NAA, BAP, 2,4D. Setiap media
ditanami 3 eksplan Anther bunga Canna. Setelah dilakukan pengamatan
selama 11 hari, hari pertama hingga ke tujuh belum mengalami
pertumbuhan. Pada media dengan ZPT BAP, media NAA dan 2,4 D belum
mengalami pertumbuhn hingga hari ke-11 karena mengalami browning

4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil dan analisis data di atas diketahui bahwa
metode yang digunakan pada praktikum ini adalah dengan metode
kultur jaringan secara in vitro. Pengambilan bunga kanna yang
masih kuncup sebagai eksplan dikarenakan dari umur fisiologi
bunga yang masih muda lebih baik dibanding jaringan tanaman yang
tua karena bagian-bagian tanaman yang masih muda (juvenil)
memiliki daya regenerasi yang lebih tinggi daripada tanaman
dewasa. Jaringan muda mempunyai kemampuan morfogenetik yang
lebih besar daripada jaringan yang tua. (Gunawan, 1995).
Pada praktikum ini, 3 botol belum terjadi pertumbuhan baik
tunas, kalus, maupun akar. Serta dari ke 3 botol yang ada semua
eksplan mengalami browning yang menandakan kemunduran
fisiologi eksplan sehingga eksplan mati dan tidak dapat tumbuh. Hal
ini diduga dapat disebabkan karena banyak faktor, seperti belum
optimalnya media kultur yang digunakan, umur fisiologi eksplan,
lingkungan kultur, maupun konsentrasi zat pengatur tumbuh yang
digunakan.
Praktikum kali ini eksplan mengalami browning setelah
beberapa hari inokulasi, hal ini menyebabkan pertumbuhan eksplan
terhambat dan jaringan pada eksplan tersebut mati. Penghambatan
pertumbuhan biasanya sangat kuat pada beberapa spesies yang
umumnya mengandung senyawa atau hidroksifenol dengan
konsentrasi tinggi (George, 1984). Perbedaan pemberian konsentrasi
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) yang berbeda dapat memberikan respon
yang berbeda terhadap induksi kalus. Ketidakberhasilan
menumbuhkan kalus ini dapat disebabkan karena rendahnya kadar
auksin dan sitokinin pada eksplan, sehingga kadar hormone endogen
dan eksogen yang terdapat pada eksplan tidak dapat merangsang
pertumbuhan kalus. Menurut Mustakim, et.al., (2015), pembentukan
kalus dapat dipacu oleh keberadaan auksin yaitu NAA dan 2,4 D
serta sitokinin yaitu BAP pada jaringan tanaman. Penambahan
auksin atau sitokinin ke dalam media kultur dapat meningkatkan
konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di dalam sel, sehingga
menjadi “faktor pemicu” dalam proses tumbuh dan perkembangan
jaringan. Sitokinin merupakan hormon yang berperan untuk
pembelahan sel, dominasi apikal dan diferensiasi tunas.
Perkembangan tunas dapat mengubah kadar hormon endogen dalam
tanaman pada organ yang dilukai biasanya akan terbentuk kalus
sebagai respon pertama untuk menutupi luka.

4.2.1 Pembuatan Media Murashige dan Skoog


Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui bahwa
penggunaan media MS cukup penting. Media MS merupakan media
dasar yang digunakan dalam kultur jaringan. Media MS mengandung
unsur hara makro dan mikro seperti myoinositol, niacin, pyridoxin
HCl, thiamin HCl, glycine dan glukosa (Gunawan, 1987).
Penggunaan media MS saat ini banyak dilakukan untuk penelitian
dan mengalami modifikasi. Modifikasi media dilakukan untuk
mengetahui kebutuhan hara yang tepat bagi eksplan untuk tumbuh
dan berkembang pada media kultur dan bebas dari kontaminasi
(Fauzy dkk, 2016). Modifikasi yang dilakukan berupa penambahan
zat pengatur tumbuh. Menurut Umami (2012), ZPT merupakan salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan eksplan. Zat
pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam inisiasi kalus pada
kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin (Fauzy dkk, 2016).
Pada praktikum ini media MS yang digunakan dimodifikasi
dengan penambahan ZPT auksin (NAA dan 2,4D) dan sitokinin
(BAP). Menurut Lestari (2011) penambahan auksin maupun
sitokinin dalam media kultur dapat meningkatkan konsentrasi zat
pengatur tumbuh endogen di dalam sel, sehingga memicu proses
tumbuh dan perkembangan jaringan. Auksin merupakan salah satu
ZPT yang berfungsi untuk menginduksi pembentukan kalus, kultur
supensi dan akar, dengan cara memacu pemanjangan dan
pembelahan sel dalam jaringan kambium (Pierik, 1987). Untuk
memacu pembentukan kalus embriogenik dan struktur embrio
somatik, auksin sering dibutuhkan dalam konsentrasi yang relatif
tinggi (Lestari, 2011). Menurut Lestari (2011) Zat pengatur tumbuh
terdiri dari golongan auksin dan sitokinin. Auksin mempunyai peran
ganda tergantung pada struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan
tanaman yang diberi perlakuan. Peran fisiologis auksin adalah
mendorong pemanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan
xylem dan floem, serta pembentukan akar. Dalam kultur jaringan,
auksin diperlukan untuk pembentukan klorofil, pertumbuhan kalus,
suspensi sel morfogenesis akar dan tunas. Auksin sintetis terdiri atas
indole 3 acetic acid (IAA), indole 3 butyric acid (IBA), 1-
naphthaleneacetic acid (NAA), dan herbisida yang bersifat auksin
(Wattimena, 1992). Sitokinin merupakan senyawa promotor
pertumbuhan perkecambahan biji, morfogenesis, biogenesis
kloroplas dan pemeliharaan mobilisasi asimilat pada tanaman (Upreti
dan Sharma, 2016). Zat pengatur tumbuh sitokinin berguna untuk
memacu multiplikasi tunas pada tanaman (Lestari, 2011). Kombinasi
auksin dengan sitokinin dapat memacu morfogenesis dalam
pembentukan tunas (Flick dkk, 1993).
Pada praktikum ini, digunakan 3 macam perlakuan kombinasi
NAA, BAP dan 2,4 D, yaitu pada perlakuan A (1 NAA : 2 BAP : 3
2,4D), perlakuan B (3 NAA : 2 BAP : 1 2,4D), perlakuan C (3 NAA :
1 BAP : 2 2,4D ). Perlakuan zat pengatur tumbuh yang berbeda pada
media akan mempengaruhi pertumbuhan eksplan. Menurut Ardiana
dan Ida (2010) pembentukan akar dan tunas pada perbanyakan
tanaman dipengaruhi oleh rasio konsentrasi auksin dan sitokinin.
Rasio konsentrasi auksin yang tinggi akan mendorong pertumbuhan
akar, sedangkan rasio konsentrasi sitokinin yang tinggi akan
mendorong pertumbuhan tunas (Drew, 1986).
BAB 5

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum kultur anther bunga Kana (Canna sp.)


yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa,

1. Tidak ada pengaruh penambahan ZPT pada media MS terhadap


pertumbuhan kalus pada kultur anther bunga Kana (Canna sp,)
2. Anther bunga Kana (Canna sp.) tidak dapat tumbuh kemungkinan
disebabkan oleh kandungan fenolik pada anther tinggi. Selain itu, tidak
terjadinya interaksi antara zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen
juga berpengaruh terhadap tidak tumbuhnya eksplan anther. Penggunaan
konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tidak seimbang dapt
memperlambat pertumbuhan eksplan.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiana, Dwi Wahyuni dan Ida Fitrianingsih. 2010. Teknik Kultur Jaringan
Tunas Pepaya dengan Menggunakan Beberapa Konsentrasi IBA.
Buletin Teknik Pertanian Vol 15 (2) : 52-55.

Abidin, Z. 1994. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh.


Bandung : Penerbit Angkasa.
Bennet, O’Neil S. 1989. Horticultural Biotechnology. New york: Willey–
Liss Inc.

Biondi, S. dan T.A. Thorpe. 1981. Requirements for a Tissue Culture


Facility: Methode and Application in Agriculture. Thorpe, T.A.
(ed.). Academic Press. New York-London-Sidney-San Francisco.

Drew, R.A. 1988. Rapid clonal propagation of papaya in vitro from mature
field grown trees. Hort. Sci. 23(3): 609-611.

Fauzy, Erizka. Mansyur, Ali Husni. 2016. Pengaruh Penggunaan Media


Murashige dan Skoog (MS) dan Vitamin Terhadap Tekstur, Warna
dan Berat Kalus Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) CV.
Hawaii Pasca Radiasi Sinar Gamma Pada Dosis LD50 (In vitro).
Jurnal Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran : 1-22.

Flick, C. E., D. A. Evans dan W.R. Sharp. 1993. Organogenesis. In D.A.


Evans, W.R. Sharp, P.V. Amirato dan T. Yamada (Eds) Handbook
of Palnt Cell Culture. Publisher London : Coiller Macmillan. 13-
81.

Gaba, V.P. 2005. Plant Growth Regulator. In R.N. Trigiano and D.J. Gray
(eds.) Plant Tissue Culture and Development. CRC Press.
London. p. 87-100.

George, E. F., dan P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue


Culture. England : Exegetics Limited.
Gunawan, Livy Winata. 1987. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor:
PAU Bioteknologi IPB.

Gunawan. L.W. 1995. Teknik Kultur in vitro dalam Hortikultura. Jakarta :


PT. Penebar Swadaya.

Hartmann, H.T., D.E. Kester, and F.T. Davies. 1990. Plant Propagation and
Principles Practices. New Jersey : Prentice-Hall Inc.

Hayati, Surya Kurnia, Yulita Nurchayati dan Nintya Setiari. 2010. Induksi
Kalus dari Hipokotil Alfalfa (medicago sativa l.) secara in vitro
dengan Penambahan Benzyl Amino Purine (BAP) dan α-
Naphtalene Acetic Acid (NAA). Jurnal BIOMA Vol 12 (1) : 6-12.

Hutami, Sri. 2008. Masalah Pencoklatan pada Kultur Jaringan. Jurnal


Agrobiogen Vol 4 No 2 : 83-88.

Lerch, K. 1981. Tyrosinase kinetics: A semi-quantitative model of the


mechanism of oxidation of monohydric and dihydric phenolic
substrates. In Sigel, H. (Ed.). Metal Ions in Biology System. 13
Marcel Dekker Inc., New York, Basel. p. 143-186.

Lestari, Endang G. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam


Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan.

Mustakim, Baiq Farhatul Wahidah dan Adi Al-Fauzy. 2015. Pengaruh


Penambahan Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan Stek Mikro
Tanaman Krisan (Chrysanthemum indicum) SecaraIn Vitro.
ISBN978-602-72245-0-6 Prosiding Seminar Nasional
Mikrobiologi Kesehatan dan Lingkungan Makassar, 29 Januari
2015.

Nitsch, C. 1981. Production of isogenic lines: Basic technical aspects of


androgenesis, p. 241-252.

Nugroho, A., Sugito, H., 2004, Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur


Jaringan. Depok: Penebar Swadaya.
Noggle, G. R., dan G. J. Fritz. 1983. Introductory Plant Physiology: Second
Edition. New Jersey : Prentince-Hall, Inc.

Pierik, R. L. M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. London : Martinus


Nijhoff Publisher.

Poonsapaya, P.M.W, Nabors, W. Kersi, and M. Vajrabhaya. l989. A


comparison of methods for callus culture and plant regeneration
of RD-25 rice (Oryza sativa L.) in vitro laboratoris. Plant Cell
Tiss. Org. Cult. 16:175-186.

Rahardja, P. C., dan Wahyu, W. 2003. Aneka Cara Memperbanyak


Tanaman. Jakarta : Agromedia Pustaka.

Salguero, J. 2000. Exogenous Effects on Root Growth and Ethylene


Production in Maize Primary Roots.

Santoso, H.B., 2008. Ragam dan Khasiat Tanaman Obat, Agromedia


Pustaka, Jakarta, halaman 39-43

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid III.


Bandung : Penerbit ITB.

Shofiyani, Anis dan Agus Mulyadi Purwanto. 2017. Pertumbuhan Kalus


Kencur (Kaemferia galangan L.) pada Komposisi Media dengan
Perlakuan Sukrosa dan Zat Pengatur Tumbuh (2,4 D dan Benzil
Aminopurin). Agritech Vol 19 No. 1 : 55-64.

Simpson, M.G., 2006, Plant Systematics, Elsevier Academic Press, USA,


halaman 198.

Sink. K. C. and V. Padmanabhan. 1977. Anther and pollen culture to


produce haploids: Progress and application for the plant breeder.
HortSci. 12 ( 2 ) : 143-148.

Smith, R.S. 1992. Plant Tissue Culture Techniques and Experiments. USA :
Academic Press.
Stone, L.J., M.C. Comb dan K. Seaton. 2002. Propagation of blue flowered
conospermum species. Dalam A. Taji dan R. Williams (Eds.). The
Importance of Plant Tissue Culture dan Biotechnology in Plant
Sciences. University of New England Unit, Australia. 351-353.

Thorpe, T.A. 1987. Micropropagation of softwood and hard woods.


Proceeding of the Seminar on Tissue Culture of Forest Species.
Kualalumpur, 15-18 juni.

Trigiano, R. J. dan D.J. Gray. 2004. Plant Development and Biotechnology.


Florida : CRC Press.

Umami, N. 2012. Efficient Nursery Production and Multiple Shoot Clumps


Formation from Shoot Tiller Derived Shoot Apices of Dwarf
Napier Grass (Pennisetum purpureum Schumach). JWARAS 55
(2) : 121-127.

Upreti KK dan M Sharma. 2016. Role of Plant Growth Regulators in


Abiotic Stress Tolerance. Springer India. 19-46.

Wareing, P.F. and I.D.J. Phillips. 1976. The Control of Growth and
Differentiation in Plants. New York-Sidney-Paris-Frankfurt :
Pergamon Press.

Wattimena, G. A., Livy Winata Gunawan, Nurhayati, A. M., Endang S., Ni


Made A. W., dan Andri, E. 1992. Bioteknologi Pangan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, PAU Bioteknologi IPB.

Wetter, L. R., dan F. Constabel. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman.


Bandung : ITB.

Widyastuti, N., dan Donowati T. 2001. Peranan Beberapa Zat Pengatur


Tumbuh (ZPT) Tanaman Pada Kultur In Vitro. Jurnal Sains dan
Teknologi Indonesia. 3 (5) : 55-63.
Wijaya, Nur Rahmawati, Didik Suharto dan Heru Sudrajad.PENGARUH
BAP DAN 2,4 D TERHADAP INISIASI DAN
PERTUMBUHAN KALUS PULESARI (Alyxia reinwardtii
Blume). Jurnal Pertanian Agros Vol 19 (1) : 37-44

Winata, L. l987. Teknik Kultur Jaringan.Bogor : PAU Bogor.

Yuwono, T. 2008. Bioteknologi Pertanian. Yogyakarta : Gajah Mada


University Press.
LAMPIRAN

Perendaman bunga kanna pada alkohol

Pemindahan anther ke media MS

Pengambilan anther yang telah


direndam dan dipotong
Pengambilan anther pada bunga kanna

Pemotongan anther bunga kanna

Perendaman bunga kanna

Anther pada media MS dengan


penambahan NAA
Anther pada media MS dengan
penambahan BAP

Anther pada media MS dengan


penambahan 2,4 D

Anda mungkin juga menyukai