Perkembangan Teori Hukum Dari Masa Ke Ma
Perkembangan Teori Hukum Dari Masa Ke Ma
Oleh
11010114410059
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana
kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih
baik. Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan
masalah yang dibicarakan. Terdapat keragu-raguan dari para akademisi tentang tempat dari
disiplin teori hukum dengan filsafat hukum, ilmu hukum, hukum normatif dan hukum positif.
Ada yang menyamakan antara filsafat hukum dengan teori hukum. Menurut Imre Lakatos,
teori adalah hasil pemikiran yang tidak akan musnah dan hilang begitu saja ketika teori
lainnya pada dasarnya merupakan keanekaragaman dalam sebuah penelitian.
Menurut B.Arief Sidharta : “Teori Ilmu Hukum (rechtstheorie) secara umum dapat
diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan
eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun
dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya mau pun dalam pengejawantahan
praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan
penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam
kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif
yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideologikal terhadap
hokum.1
JJH Bruggink :” Teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan
berkenan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan
sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan2
Teori hukum yang muncul dari abad keabad dan dari generasi ke genari, tidak hanya
memperlihatkan warna kosmologi dan semangat zamannya, tetapi juga memunculkan
pergeseran cara pandang sesuai dengan peralihan zaman. maka di samping kita bertemu
dengan para pemikir zaman klasik, pemikir abad pertengahan, pemikir zaman modern, dan
pemikir kontemporer, tapi serentak itu pula kita berjumpa dengan generasi hukum alam,
generasi rasionalisme, generasi historisme, generasi positivisme, generasi sosio-antropologi,
generasi realisme, dan generasi-generasi lain sesudahnya.
1
1. TEORI HUKUM ZAMAN KLASIK
Teori hukum sejak filsuf Ionia hingga Epicurus diwarnai cakrawala religiusitas, baik
yang bersumber pada mistis (pra abad ke-6 Seb. M) maupun yang bersumber pada religi
Olympus (abad ke-5 sampai abad ke-1 Seb. M). dalam kosmologi era sebelum abad ke-6
Seb. M, ‘yang ilahi’ itu ada dalam alam. Alam sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan mistis.
karenanya alam dipahami sebagai kekuatan yang mengancam, serba gelap, dan berjalan
alamiah. hidup manusia, dengan demikian sepenuhnya tergantung pada nasib. manusia harus
tunduk dan rela menerima nasib sesuai aturan alam, yakni lewat seleksi alam.3
Masuk abad ke-6 yang berlanjut hingga abad ke-1 Seb. M, kosmologi serba mistis
berganti kosmologi religi Olympus. Dalam kosmologi ini, ‘yang ilahi’ itu (telah) ada dalam
diri manusia, lewat logos (akal). Logos merupakan akal dewa dewi yang mencerahkan dan
menuntun manusia pada pengenalan akan yang ’benar’, ‘baik’, dan ‘patut’. Berkat logos yang
mencerahkan itu, dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomos). Nomos inilah yang
menjadi petunjuk hidup di duian riil. Nomos dapat mengambil bentuk dalam wujud kebiasaan
maupun wujud aturan yang menuntun kehidupan umat manusia yang bermartabat.4
Teori ini adalah bagian dari para filsuf pertama Yunani sebelum abad ke-6 masehi.
Generasi ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti Anaximander, Thales, Heraklitus, dan
Empedocles. Sebagai generasi filsuf awal, mereka sangat lekat dengan kosmologi alam(-iah)
dan mistis yang melahirkan pandangan bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam.
Hukum sebagai tatanan kekuatan, merupakan teori dari barisan para filsuf pertama
yunani sebelum abad ke-6 SM. Generasi filsuf ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti
Anaximander, Thales, Heraklitos dan Empedocles. Sebagai generasi filsuf awal, mereka
sangat lekat dengan kosmologi alam (-iah) dan mitis. Kosmologi alamiah melahirkan
pandangan bahwa kekutan merupakan inti dari tatanan alam. Manusia sebagai bagian dari
3 Dalam konsep yunani, keadaan terwsebut menunjuk pada konsep psysis, yakni semua orang tidak sederajak
dan olehkarena itu, terdapat orang orang tertentu berada dalam posisi lebih tinggi karena kekuatan /
kekuasaannya. Didalam Surya Prakash Sinha, Jurisprudence Legal Philosophy in Nutshell, Minessota : West
Publishing Co , 1993.
4 Sebagai kebalikan dari psysis, nomos menekankan pada kesederajatan setiap orang depan hukum, yang berarti
memunculkan keharusan setiap orang tunduk pada nomos.
2
alam, tidak lebas dari kodrat yang tersebut. Bahkan manusia mewarisi kualitas “ Dionysian “
bawaan yang cenderung liar, menerima kekejaman dan siap menghadapi nasib yang
ditimpakan oleh hidup sebagaimana apa adanya. Sedangkan mitis melahirkan konseposi
tentang kesatuan alam dan manusia. Karena itu, apapun yang dibuat manusia termasuk
hukum, harus mencerminkan dan searah dengan tatanan alam.
Teori para filsuf ionia tentang hukum mencerminkan kosmologi diatas. Pertama , hukum
merupakan tatanan yang dikuasai logika kekuatan karena memang berasal dan diperuntukan
bagi manusia-manusia yang siap bersaing dalam kancah kekejaman dan nasib. Kedua, tidak
ada perbedaan antara aturan alam dan aturan buatan manusia. Baik aturan alam maupun
aturan manusia dianggap sebagai bagian dari logika alam, yakni logika kekuatan (Heroic
Minded)
Aturan Alam menjiwai aturan hukum, Hukum kodrat yang paling operasional dalam alam
adalah hukum “survival.5” . Artinya hukum tidak lebih dan tidak kurang adalah persoalan
mengenai bagaimana manusia bisa ada dan tetap ada (survive). Hukum adalah “ rumus-rumus
untuk tetap survive “ ( Siapa yang kuat dialah yang menang ! ). Persoalan paling pokok
dalam hidup manusia sebenarnya amat sederhana yaitu “ Ada “ atau “ Lenyap “, dan ini
berlaku untuk semua makhluk hidup.
Dengan latar belakang konsepsi religi Olympus tentang manusia (manusia memiliki
jiwa dan raga), filsuf Sofis tidak lagi memandang kekuatan setelanjang barisan filsuf pertama.
Dunia materi bukan segala-galanya. Ada unsur lain yang lebih utama: Logos yang dimiliki
manusia. Dunia berpusat pada manusia yang punya logos itu, sehingga pun hukum pun juga
berpusat pada manusia yang memiliki logos itu.
Kaum Sofis memulai kegiatannya pada abad V SM, mereka adalah orang terpelajar
yang berkeliling di Polis-polis negeri Yunani untuk megajar pemuda-pemuda yang ingin
5 Dalam catatan Karl Popper, ide ini sesungguhnya diadopsi dari kosmologi timur kuno yang menganggap
dunia sekedar dari unit materi bukan unit moral, lihat : Karl R. Popper, Masyarakat terbuka dan musuh-
musuhnya, terjemahan (Uzair Faisal), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
6 Sofis (Sophistes) berarti seorang bijaksana atau orang yang memiliki keahlian pada bidang tertentu, meski
pada masa pasca Socrates diartikan menjadi Sophistery yaitu orang-orang yang menipu orang lain dengan
menggunakan keahlian retorikanya)
3
memainkan perannya dalam Politik Kenegaraan. Pada abad V, kebanyakan Polis Yunani
sudah demokratis, artinya sejak abad itu polis bukan lagi kepentingan para sesepuh (res
patricia), melainkan telah menjadi kepentingan umum (res publica), orang-orang yang
mewakili rakyat memperhatikan kepentingan umum.
Dapat dikatakan bahwa polis telah mempunyai aturan yang terang. Keharusan alamiah
yang tadinya gelap dan bersifat membalas dendam secara rahasia, sudah berubah artinya
menjadi hukum ynag terang melalui undang-undnag polis dan praktek hukum yang sesuai.7
Bagi kaum Sofis, hukum bukan lagi melulu sebagai gejala alam yang telanjang per se.
Mereka mengaitkan hukum dengan ‘moral alam’, yakni logos –semacam roh ilahi yang
memandu manusia pada hidup yang patut. wujudnya adalah nomos –yang dalam tradisi
Yunani menunjuk pada kebiasaan sacral dan penentu segala sesuatu yang baik. Nomos hanya
bisa eksis di dalam polis (negara kota di Yunani). Di luar polis hanya ada kekacauan.
Teori Socrates
Socrates sama sekali tidak menyetujui pandangan Ionia dan kaum sofis. Terhadap
Filsuf ionia Socrates menampilkan tokoh anti tesis Apollonian yang berwatak rasional, tertib,
ramah, dan bermoral. Sedangkan terhadap kaum sofis, ia memancangkan mascot “pribadi
berintegritas” yaitu manusia yang menjunjung tinggi satunya kata dan tindakan. Manusia
bukanlah “Binatang Urakan” model Dionysian dan bukalah makhluk opurtunis ala
Protagoras tetapi manusia, hakikat asasinya adalah wujud logos, dank arena itu kehdiupannya
termasuk bidang hukum menerminkan keluhuran logos itu.
4
Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan
kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum.8 Hukum
bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia),
bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum Sofis). Hukum
sejatinya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.
Pemikiran Socrates itu harus dipahami dalam konteks pemikiran etisnya eudaimonia.
Tujuan kehidupan manusia menurut Socrates adalah eudaimonia (kebahagiaan). Tentu
menurut Socrates adalah kebahagiaan seperti dipahami orang Yunani, yakni suatu keadaan
obyektif yang tidak tergantung pada perasaab subyektif. Bagi bangsa Yunani, eudaimonia
berarti kesempurnaan jiwa yang oleh Plato dan Aristoteles diakui sebagai tujuan tertinggi
dalam hidup manusia.
Teori Plato
8 Cara pandang Socrates itu mencerminkan ciripemikir Yunani masa itu yang selalu mengaitkan masala Negara
dan hukum dengan aspek moral, yakni keadilan (lih. Dennis Lloyd, The Idea of Law..)
5
Sedangkan bagi Plato, keempurnaan individu hanya mungkin tercipta dalam konteks Negara
dibawah kendali para guru moral, para pemimpin yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum
aristocrat.
Menurut Plato kebaikan hanya dapat diterima oleh kaum aristocrat kaena mereka
dalah orang-orang bijaksana maka dibawah pemerintahan mereka dimungkinkana
danyapartisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Kondisi ini memungkinkan keadilan
tercapai secara sempurna. Apabila ini terjadi maka hukum tidak diperlukan. Keadilan dapat
tercipta tanpa ada hukum karena yang menjadi penguasa adalah kaum cerdik pandai dan
bijaksana yang pasti mewujudkan Theoria (pengetahuan dan pengertian terbaiknya) ini
diungkapkan Plato dalam bukunya The Republic. Dengan kata lain aristokrasi sebagai
Negara ideal Plato adalah bentuk Negara yang pemerintahannya dipegang oleh kaum
bijaksana yaitu para filsuf. Pemerintahan dijalankan dengan berpedoma pada keadilan sesuai
dengan ide keadilan orang arif tersebut. Kaum bijak bertindak sebagai guru sekaligus pelayan
kepentingan umum berbasis keadilan.
1. Hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh
situasi ketidakadilan,
2. Aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul
kekacauan hukum,
3. Setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan UU tersebut.
Manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati
hukum,
4. Tugas hukum adalah membimbing para warga (lewat UU) pada suatu hidup yang
saleh dan sempurna,
5. Orang yang melanggar UU harus dihukum. Tapi itu bukan balas dendam. Karena
pelanggaran adalah suatu penyakit intelektual manusia karena kebodohan. Cara
mendidik itu adalah lewat hukuman yang bertujuan memerbaiki sikap moral para
penjahat. Jika penyakit itu tidak dapat disembuhkan, maka orang itu harus dibunuh.
6
Hukum Itu Rasa Sosial-Etis
Teori Aristoteles
Oleh sebab itu, hukum seperti halnya polis, merupakan wacana yang diperlukan untuk
mengarahkan manusia ada nilai-nilai moral yang rasional. Inti manusia moral yang rasional
menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan
hidup (summum bonum). Dalam rangka ini, manusia dipandu dua pemandu, yakni akal dan
moral. Akal (rasio, nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara
nalar murni, serta serentak memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi
hidupnya. Jadi akal memiliki dua fungsi, yaitu teoritis dan praksis. Untuk yang pertama,
Aristoteles menggunakan kata Sophia yang menunjuk pada kearifan. Untuk yang kedua
digunakan akta phronesis yang dalam terminologi Skolatik abad pertengahan disebut
prudentia (prudence). Moral sendiri menurut Aristoteles, memandu manusia untuk memilih
jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan, termasuk dalam menentukan keadilan.
Moral memandu pada sikap moderat, sikap yang dalam bahasa sansekerta disebut dengan
purata kencana.
Dalam konstruksi filosofis mahluk moral yang rasional inilah, Aristoteles menyusun
teorinya tentang hukum. Karena hukum menjadi pengarah manusia pada nilai-nilai moral
yang rasional, maka ia harus adil. Keadilan hukum identik dengan keadilan umum, yang
ditandai dengan hubungan yang baik antara satu sama lain, tidak mengutamakan kepentingan
pribadi tapi juga tidak mengutamakan kepentingan pihak lain, serta ada kesamaan. Di sini
tampak kembali apa yang menjadi dasar teori Aristoteles, yakni perasaan ‘sosial-etis’. Tidak
mengherankan jika formulasinya tentang keadilan bertumpu pada tiga sari hukum alam yang
dianggapnya sebagai prinsip keadilan utama, yaitu: Honeste vivere, alterum non laedere,
suum quique tribuere (hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain, dan memberi
kepada tiap orang bagiannya).
7
Hukum dan Kepentingan Individu
Teori Epicurus
Dari Epicurianisme inilah, hukum (sebagai aturan public), mesti dipandang sebagai
tatanan untuk melindungi kepentingan-kepentingan perorangan. Undang-undang diperlukan
demi mencegah terjadinya kekerasan dan menghindari ketidakadilan akibat konflik
kepentingan individual yang senantiasa muncul. Dengan kata lain, hukum diperlukan untuk
mengatur kepentingan-kepentingan individu secara damai demi terjaganya keamanan raga
dan kedamaian jiwa. Oleh karena itu, tugas hukum adalah sebagai instrument ketertiban dan
keamanan bagi individu-individu yang sama-sama merindukan hidup tenang dan tentram.
8
2. TEORI HUKUM ABAD PERTENGAHAN
Abad pertengahan merupakan suatu era di mana pemikiran serba Ilahiah (utamanya
teologi Kristen) begitu dominan. Manusia dan alam dianggap berada di bawah kendali
Alhalik. Sama seperti logos di era sebelumnya. Tokoh-tokoh dalam teoeri hukum ini adalah
Agustinus (penghujung terakhir zaman klasik/tahun 400 M) dan Thomas Aquinas (paruh
kedua abad pertengahan/Tahun1200 M) tertib manusia, termasuk teori tentang hukum
diletakan dalam tatanan ‘cinta kasih dan hidup damai’ yang merupakan jawaban atas campur
tangan Ilahi dalam hidup manusia.
Serupa dengan nuansa hukum alam zaman Yunani dan Romawi Kuno, St. Agustinus
membangun teorinya mengenai hukum di bawah tema keadilan juga. Akan tetapi karena
pengalaman pahit pergolakan menjelang keruntuhan kekaisaran Romawi, menyebabkan ia
memberi poin tambahan pada unsur hukum alam sebelumnya, yaitu mengenal Tuhan dan
hidup saleh, yang merupakan salah satu unsur penting dari keadilan selalin hiudp yang baik,
tidak menyakiti siapa pun dan memberi kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya.
Agustinus mengadopsi zwei zwaarden theorie (teori dua pedang) dari Paus Gelasius
yakni pedang kerohanian dan pedang keduniawian. Pemilahan tersebut berdampak bagi
pembentukan hukum sebagai berikut: (i) Hukum yang mengatur soal keduniawian
(kenegaraan), (ii) Hukum yang mengatur soal keagamaan (kerohanian). Selain itu terdapat
juga dua macam kodifikasi hukum: (i) kodifikasi yang diselenggarakan oleh Raja Theodosius
dan Raja Justianus, yang merupakan kodifikasi oleh Negara dan dinamakan Corpus Iuris, dan
(ii) kodifikasi yang diselenggarakan oleh Paus Innocentius, yang diadakan oleh gereja dan
dinamakan Corpus Iuris Canonici.
Corpus Iuris terdiri atas empat bagian: Instuten, ajaran yang mengikat seperti undang-
undang, maksudnya bila ada hal-hal yang kurang jelas pengaturannya dapat dicari dalam
Instuten. Pandecten: penafsiran suatu peraturan oleh para sarjana. Codex: Peraturan atau
undang-undang yang ditetapkan oleh raja. Novellen: Tambahan dari suatu peraturan atas
undang-undang.
9
Sebagai tokoh agama, Agustinus menempatkan hukum Ilahi (lex aeterna) sebagai cita
dan hukum positif yang tidak boleh dilampaui. Jika hukum positif (lex tempralis) melanggar
aturan Ilahi itu, maka ia telah kehilangan kualitas hukumnya.
Tidak berbeda jauh dengan Agustinus, Aquinas pun mendasarkan teorinya tentang
hukum dalam konteks moral agama Kristen. Hukum diperlukan untuk menegakan moral di
dunia. Karena zaman ini merupakan era dominasi agama (yang diawali oleh agama Kristen),
maka kehidupan moral dimaksud menunjuk pada ukuran agama tersebut.
Imperatif-impertif moral tersebut berpengaruh pula terhadap hukum. Tata hukum harus
dibangun dalam struktur yang berpuncak pada kehendak Tuhan. Karena itu, sebagaimana
tercerminkan dalam doktrin Thomas Aquinas, konfigurasi tata hukum dimulai dari (i) Lez
Aeterna: Hukum dan kehendak Tuhan, (ii) Lex Naturalis: Prinsip umum (hukum alam), (iii)
Lex Devina: Hukum Tuhan yang dalam Kitab Suci (iv) Lex Humane: hukum buatan manusia
yang sesuai dengan hukum alam.
Hukum pada dasarnya merupakan cerminan tatatan Ilahi. Legislasi hanya memiliki
fungsi untuk mengklarisfikasi dan menjelaskan tatanan Ilahi itu. Tugas hakim adalah untuk
menegakkan keadilan melalui fungsinya menerapkan hukum dalam kaitan dengan
pemberlakuan undang-undang. Pemikiran Aquinas ini hanya bisa dipahami dalam konteks
kosmologi dan ontology Skolatik. Kosmologi dimaksud adalah mengijinkan penalaran
rasional selama batas-batas yang diterapkan oleh wahyu Ilahi tidak dilanggar. Penerapan
hukum positif pada kasus riil, harus dibaca sebagai implementasi hukum Ilahi.
Dalam konteks itulah Aquinas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu,
dengan hukum yang dijangkau oleh akal manusia. Hukum yang berasal dari wahyu disebut
ius divinum positivum (hukum Ilahi positif). Sedangkan hukum yang ditemui lewat kegiatan
akal, terdiri dari beberapa jenis, yakni (i) Ius naturale (hukum alam), (ii) Ius gentium (hukum
bangsa-bangsa), dan (iii) Ius positivum humanum (hukum positif buatan manusia).
Dalam system Aquinas, akal berada di atas kehendak. Bagi Aquinas, akal berada di atas
kehendak. Akal itu mencerahkan, sedangkan kehendak cenderung naluriah. Itulah sebabnya,
10
hukum yang berintikan iustum (keadilan), mutlak merupakan produk akal. Tentang keadilan
Aquinas membedakan dalam tiga kategori: (i) Iustitia distributiva (keadilan distributif), yang
menunjuk pada prinsip kepada yang sama diberikan sama, kepada yang tidak sama diberikan
yang tidak sama pula. Ini disebut kesaderajatan geometris. (ii) Iustitia commutative (keadilan
komutatif atau tukar menukar), menunjuk pada keadilan berdasarkan prinsip aritmetis, yaitu
penyesuaian yang harus dilakukan apabila terjadi perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum.
(iii) Iustitia legalis (keadilan hukum), yang menunjuk pada ketaatan terhadap hukum. Bagi
Aquinas, menaati hukum bermakna sama dengan bersikap baik dalam segala hal (dan
diasumsikan hukum itu berisi kepentingan umum), maka keadilan hukum disebut juga
sebagai keadilan umum (iustitia generalis).
Sebagai filsuf, para pemikir zaman modern, terutama era Renaissance, masih juga
dipengaruhi kosmologi metafisika. Mereka tetap mengakui adanya hukum alam tapi tidak
menjadikanya sebagai perhatian utama. Bagi filsuf-filsuf seperti Jean Bodin (1530-1596),
Hugo Grotius (1583-1645), dan Thomas Hobbes (1588-1679) hukum positiflah (buatan
manusia) yang menjadi fokus perhatian.
Bagi Bodin, kekuasaan raja adalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat. Raja
sendiri tidak terikat oleh hukum (summa in cires ac subditos legibusque solute potestas).
Sebab jika raja berada di bawah hukum, maka itu akan menghancurkan makna dasar
kedaulatan (yang satu, bulat, dan superior).
Karena teorinya tentang kedaulatan yang menjurus pada negara, maka Bodin dikenal
sebagai penganut doktrin kedaulatan negara. Bagi Bodin, hukum adalah penjelmaan dari
kehendak Negara. Negaralah yang menciptakan hukum, dan Negara adalah satu-satunya
sumber hukum yang memiliki kedaulatan. Di luar Negara, tidak ada yang berwenang
menetapkan hukum.
11
Apakah dengan demikian Bodin menjadi penganjur kekuasaan otoritarian? Dalam
teorinya tentang hukum, Bodin terkesan tidak sepenuhnya memihak kekuasaan mutlak. Ia
masih berpegang pada cita hukum alam. Hukum (jus) adalah baik dan tanpa perintah.
Sedangkan perundang-undangan (leges) dihasilkan dari penerapan kedaulatan orang yang
memerintah. Implisit ia membedakan hukum sebagai perundang-undangan, dengan hukum
yang bersumber dari moral dan keadilan.
Thomas Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Di
tengah orang-orang liar yang suka saling memangsa, hukum merupakan alat yang penting
bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Tidak ada pengertian adil atau tidak adil.
Yang ada, hanya nafsu-nafsu manusia. Dalam keadaan seperti itu, terjadilah bellum omnium
contra omnes di mana setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh-
sungguh egoistis. Watak manusia ala Dionisyan ala filsun Ionia dan individu egoistis
Epicurus, seolah hidup kembali dalam teori Hobbes.
Jika tidak ada hukum, maka demi mengejar kepentingan diri, mereka akan terlibat
dalam war all against all (perang semua melawan semua). Tanpa hukum yang ditegakkan
oleh penguasa yang kuat, maka individu-individu akan saling membinasakan (homo homini
lupus). Hukum adalah pilihan sadar manusia untuk mengamankan hidup masing-masing
terhadap serangan orang lain. Agar efektif, hukum butuh penegak yang kuat, yaitu penguasa
yang punya kekuasaan yang besar.
Thomas Hobbes juga melihat hukum alam (yang intinya keadilan, kesetaraan,
kerendahatian, kemurahatian, dan semua yang sebaiknya dilakukan) sebagai tatanan perilaku
yang terdiri dari aturan-aturan bijak. Keluhuran hukum alam menjadi panduan bagi raja
dalam ‘mengeluarkan perintah’.
12
Grotius merupakan penganut humanisme awal zaman modern. Ia memandang manusia
sebagai oknum pribadi yang bebas serta memiliki hak-hak tertentu. Hal ini berlaku bagi
setiap manusia.
Hukum sangat dibutuhkan agar tiap orang kembali pada kodratnya sebagai ‘manusia’
sosial yang berbudi. Hukum yang demikian, merupakan ‘pengawal’ dalam sosiabilitas
manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip ‘individu sosial’ yang berbudi itu tetap tegak.
Prinsip-prinsip yang dimaksud: (1) milik orang lain harus dihormati; (2) kesetiaan pada janji.
Kontrak yang harus dihormati (pacta sunt servanda); (3) harus ada ganti rugi untuk tiap
kerugian yang diderita; (4) harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran.
Empat prinsip di atas, merupakan inti hukum alam versi Grotius. Menurutnya hukum
ama adalah segala ketentuan yang benar dan baik menurut rasio, tidak mungkin salah,
lagipula adil. Bahkan tidak dapat diganggu gugat. Tuhan sendiri tidak dapat mengubaj
kebenaran hukum itu. Seandainya Tuhan tidak ada pun, atau tidak memperdulikan manusia,
maka hukum alam sebagai hasil akal manusia, dapat memimpin manusia itu sendiri. Tesis ini
sekaligus membantah Aquinas dan Althusius yang mengatakan hukum alam itu berasal dari
Tuhan. Bagi Grotius, hukum alam berasal dari rasio, bukan dari Tuhan.
Kosmologi era Aufklarung diwarnai “kekuasaan” akal atau rasio manusia. Manusia era
ini adalah individu yang rasional, bebas dan otonom. Disini muncul teori tentang hukum
sebagai tatanan perlindungan hak-hak dasar manusia.
Sebagai penganut hukum alam abad ke-18, locke berpegang pada prinsip hukum alam
zaman itu yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio. Ia juga mengajarkan kontrak sosial,
serupa dengan Hobbes, perbedaannya dengan Hobbes, Locke menyatakan bahwa yang
melakukan kontrak sosial bukanlah orang yang takut dan pasrah melainkan adalah orang-
orang yang tertib, elan, dan menghargai kebebasan, hak hidup, dan kepemilikan harta sebagai
hak bawaan setiap manusia.
13
Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak
sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial
dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Rakyat sendirilah yang harus menjadi
pembuat hukum. Locke menempatkan kekuasaan legislasi sebagai inti bagi kehidupan politik,
sehingga hukum yang dibuat negara pun bertugas untuk melindungi hak-hak dasar tersebut.
Immanuel Kant
Kant dikenal dengan Imperatif kategorisnya di mana ada dua norma yang mendasari
prinsip ini:
Karena hukum harus berpedoman pada dua prinsip kategoris dimaksud, maka Kant
memasukkan hukum dalam bidang “akal praktis”. Hukum merupakan bidang sollen, bukan
bidang sein. Akal murni merupakan media untuk melihat “yang ada” (sein) yakni alam, fakta
dan semua yang dapat direkam oleh indera. Sedangkan akal praktis merupakan media untuk
menangkap bidang “harus” (sollen), yakni norma-norma. Aturan hukum sebagai norma
hukum positif, bukanlah bidang keharusan yang otonom. Ia merupakan lembaga keharusan
yang heteronom.
14
Hukum Itu Keharusan
Teori dari Cristian Wolff ini berangkat dari pengandaian bahwa hukum alam, seperti
juga hukum lainnya, berbasis kewajiban. Tiada hukum tanpa kewajiban yang mendahului
keberadaannya.
Wolff mengajukan tiga eselon norma yang menjadi pedoman norma hukum. Pertama
norma “tingkat rendah” (mengatur hubungan manusia dengan benda). Prinsip dasar dalam
norma ini adalah : Jangan merugikan orang lain (neminem laedere). Kedua, norma “tingkat
menengah” (mengatur hubungan antar-orang). Prinsip utama disini ialah Berikan setiap orang
menurut haknya (unicuique suum tribuere). Ketiga, norma “tingkat tinggi” (mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan). Disini berlaku hak dan kewajiban orang untuk berbakti
kepada Tuhan (ius pictatis atau ius internum). Prinsip dasar dalam bidang ini ialah bertingkah
laku secara luhur dan terhormat (honeste vivere).
Teori Mostesquieu
15
Perwujudan dari konsep Trias Politica Mostesquieu, adalah adanya pembagian
kekuasaan negara kedalam tiga fungsi, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Mostesquieu
berpendapat, kekuasaan negara dipisahkan secara tegas menjadi tiga, kekuasaan perundang-
undangan (legislatif), kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif), kekuasaan
kehakiman (yudikatif) yang masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan
yang berdiri sendiri, maka hal ini akan menghilangkan kemungkinan tindakan yang
sewenang-wenang dari seorang penguasa. Menurut Mostesquieu dengan adanya lembaga
legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik.
Teori Rousseau
Rousseau melihat keberadaan sejati manusia sebagai oknum yang memiliki otonomi
etis. Menurut Rousseau suatu norma hukum memiliki nilai kewajiban dan absah mengikat,
bukan melulu karena diciptakan dengan partisipasi bebas dari manusia yang tunduk padanya.
Lebih dari itu ia harus benar-benar mencerminkan kemauan bersama dari orang-orang bebas
tersebut. Rakyatlah yang berdaulat, bukan badan legislasi itu sendiri. Jelaslah bahwa hukum
merupakan “pribadi moral” dan “pribadi publik” yang berasal dari kontrak sosial dan
melindungi kekuasaan bersama disampin kekuasaan dan milik pribadi.
Menurut Hume, tidaklah manusia ditentukan oleh hasrat, bukan oleh rasio. Menurut
Hume, segala sesuatu yang memberi kebahagiaan bagi masyarakat, akan dengan sendirinya
disambut dengan aprobasi (penerimaan baik). Jadi dapat disimpulkan, hukum bagi Hume
merupakan alat pencapaian cita-cita sosial. Cara yang dimaksud Hume adalah melalui
prinsip-prinsip hukum alam, yakni keterjaminan kepemilikan, tidak menguasai barang secara
berlebihan, perolehannya harus dilakukan secara halal, pemindahannya harus berdasarkan
kesepakatan dan berusaha setia pada janji.
16
Teori dari Jeremy Bentham ini adalah individualisme utilitarian. Katanya, alam telah
menempatkan umat manusia dibawah pemerintahan dua penguasa, yakni suka dan duka.
Doktrin Bentham tentang manusia sebenarnya sudah kita temukan pada pemikiran Hume
sebelumnya bahwa tindakan manusia terkait dengan hasrat.
Oleh karena itu, hukum sebagai salah satu unsur susunan dasar masyarakat, harus
berdasarkan sedemikian rupa berdasarkan dua prinsip. Pertama, menetapkan kebebasan yang
sama bagi setiap orang untuk mendapat akses pada kekayaan, pendapatan, makanan dan
kebebasan. Kedua, prinsip perbedaan dan prinsip persamaan atau kesempatan. Menurut
Rawls, prinsip yang pertama harus berlaku terlebih dahulu sebelum prinsip yang kedua.
Situasi zaman abad ke-19 ditandai oleh beberapa kecenderungan utama. Pertama,
terjadinya revolusi sosial ekonomi, terutama akibat revolui industri. Kedua, munculnya
penolakan terhadap rasionalisme universal abad sebelumnya yang dianggap cenderung
mengabaikan ciri khas suatu masyarakat atau bangsa. Ketiga, hampir bersamaan dengan
historisme, muncul pada pemikiran evolusionisme yang berusaha melacak perkembangan
kebudayaan manusia dari tradisional ke modern. Pemikir utama arus ini adalah Sir Henry
Maine dan durkheim.
Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Faktanya
hukum melayani kepentingan “orang berpunya”. Karl Marx berupaya menganalisis proses-
17
proses ekonomi dalam intern kapitalis sebagai kompleks krisis yang akan menghancurkan
sistem kapitalis itu sendiri yang kemudian akan melahirkan masyarakat sosialis.
Dilingkungan Frankfurter Schule, kritik dipakai sebagai nama teori mazhab ini “teori
kritis”, membidik masalah positivisme ilmu-ilmu sosial sebagai sasaran kritik. Yaitu,
anggapan bahwa bahwa ilmu-ilmu sosial bebas nilai terlepas dari praktek sosial dan
moralitas, dapat dipakai untuk prediksi, bersifat objektif dan sebagainya.
Kritik bertolak dari sebuah kebutuhan untuk perubahan menuju yang lebih baik. Ada
situasi negatif, ada kepentingan untuk seluruh mengatasi situasi itu. Menurut Marx, sejarah
manusia merupakan sejarah dari pertentangan kelas. Dizaman feodal, terjadi pertentangan
antara kelas bangsawan dengan kelas petani. Dizaman perbudakan, muncul pertentangan
antara pemilik budak dengan budaknya. Sedangkan dizaman kapitalisme, kelas pemilik
modal melawan buruhnya.
Pertentangan kelas itu baru berhenti pada saat terciptanya masyarakat komunis, dimana
kelas buruh berkuasa. Semua orang adalah buruh sekaligus majikan. Hasilnya, tidak ada
pertentangan kelas di masyarakat.
Teori Savigny
Menurut Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter
suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu “hukum adat” yang
tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan
yang sejati.
Memang dalam tesis Savigny, hukum itu sejak awal sejarah melekat ciri nasional.
Seperti halnya bahasa, adat istiadat dan konstitusi, ia khas bagi rakyat. Fenomena hukum
18
tidak berdiri sendiri ia disatukan dalam watak rakyat berkat adanya kesatuan pendirian dari
rakyat itu sendiri. Roh dari hukum itu adalah Volkgeist.
Diletakkan dalam konteks zamannya, teori Savigny ini dapat dilihat sebagai serangan
terhadap dua kekuatan yang berkuasa pada zaman itu, yakni : (i). Rasionalisme dari abad ke-
18 dengan kepercayaannya pada kekuasaan dan akal dan prinsip-prinsip absolut yang
universal yang membuahkan teori-teori hukum nasionalistik tanpa memandang fakta historis
lokal, ciri khas nasional, serta kondisi-kondisi sosial setempat, (ii). Kepercayaan dan
semangat revolusi prancis yang cenderung anti tradisi, serta telampau mengandalkan
kekuatan akal dan kehendak manusia dalam mengkonstruksi gejala-gejala hidup di bawah
pesan-pesan kosmopolitannya.
Maine dikenal dengan teorinya Movement from status in contract. Teori evolusi ini
dihasilkan dari studi perbandingan yang dilakukannya pada masyarakat Asia. Dari sana, ia
temukan dua tipe masyarakat, yakni : (i). Statie Sosietis (Cina dan India), (ii). Progressive
Societis (Eropa). Dalam masyarakat yang statis, hukum bertugas meneguhkan hubungan antar
status. Sebaliknya, pada mayarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak
antar prestasi.
Teori Maine tidak terlepas dari telaah studi perbandingan mengenai perkembangan
sistem hukum yang bervariasi di berbagai belahan dunia.
Teori Durkheim ini, menempatkan hukum sebagai moral sosial. Durkheim sendiri
bukanlah tergolong jajaran filsuf klasik yang melulu berurusan dengan persoalan moral.
Menurut Durkheim, sistem pembagian kerja menentukan solidaritas sosial. Solidaritas sosial
itu sendiri merupakan jenis yang abstrak. Ia merupakan “roh” yang mengikat orang-orang
pada “kerangka keyakinan” bersama dalam membangun hidup yang terintegrasi.
19
Dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakekatnya adalah ekspresi
solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan
solidaritas. Tampaknya, haluan aliran Marx dan Maine yang bernuansa evolusionisme dan
ekonomi itu, tertular pula pada Durkheim yang lahir hampir empat dasa wasa kemudian. Ia
membangun teorinya tentang hukum di karya utamanya “pembagian kerja”.
Baik “hukum yang menindak” maupun “hukum yang memulihkan”, keduanya memiliki
tujuan yang sama yakni integrasi sosial. beda jalan, tapi satu tujuan. “Hukum yang
menindak” merupakan “jalan” (cara dan strategi) yang ditempuh masyarakat tradisional.
Sedangkan masyarakat modern mengambil haluan yang berbeda, yakni lebih memanfaatkan
“hukum yang memulihkan”. Keduanya berbeda karena basis ideologinya berbeda.
Teori Austin
Bagi Austin, tata hukum itu nyata dan berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam
kehidupan sosial, bukan pula karena cermin keadilan dan logos, tetapi karena hukum itu
mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang. John Austin sebagai analytical
legal positivism-nya, menjadi penganut utama aturan positivisme yuridis. Austin bertolak
pada kenyataan bahwa terdapat suatu kekuaaan yang memberikan perintah-perintah, dan ada
orang yang pada umumnya menaati perintah-perintah tersebut.
Untuk dapat disebut hukum, kata Austin harus memiliki unsur-unsur: (1). Adanya
seorang penguasa (souvereighnity), (2). Suatu perintah (Command), (3). Kewajiban untuk
menaati (duty), (4). Sanksi bagi mereka yang tidak taat (Sanction). Austin menggantikan
ideal keadilan yang secara tradisional dipandang sebagai pokok utama segala hukum dengan
perintah seorang yang berkuasa. Aturan yang tidak mengandung keutamaan, tidak layak
disebut hukum. Ia lebih tepat dipaksa disebut paksa yang dilegalkan.
20
Hukum Itu Ide Umum Aturan Positif
Hukum itu, ide umum tata hukum positif itulah inti dari teori dari ajaran hukum. Ajaran
hukum umum mencari ide-ide hukum yang berlaku dimana-mana karenanya dianggap
universal dan tetap. Tapi ide-ide itu bukan diambil dari isi atau materi hukum positif, tetapi
dari aspek formal yuridisnya. Alasannya sederhana. Materi hukum selain cenderung tidak
tetap dan berubah-ubah juga karena ia berasal dari sumber-sumber non yuridis.
Humanisasi hidup dan berkeadilan sosial tampil sebagai “kekuasaan” baru yang
dihadapi manusia di abad ke-20. Persoalan sekitar dua hal itu, sangat beragam. Pertama,
tragedi sosial dan kemanusiaan akibat perang dunia I dan II. penindasan kejam dari rezim
politik yang totaliter di era Hitler dan Stalin disamping tragedi-tragedi lain tentang
kemanusiaan. Kedua, kian meluasnya struktur-struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi
yang meminggirkan dan menindas kelompok-kelompok periferi.
Ketiga, bersamaan dengan kian kuatnya peran negara dan hukum dalam segala aspek
kehidupan sosial juga memunculkan beragam sikap.
A. Teori Neo-Kantian
21
Hukum Itu Normatif, Karena Kehendak Yuridis
Kata Stammler, apa yang dikehendaki manusia dalam kehidupan sosial adalah
hidup bersama yang teratur. Untuk menjamin hidup (bersama) yang teratur itu,
dibutuhkan “perbuatan”, yakni peraturan segala yang terdapat dalam kehidupan
bersama tersebut.
Dalam teori Stammler, jelas kiranya bahwa hidup bersama yang teratur,
menghendaki adanya hukum sebagai penjamin keteraturan. Kehendak akan hukum
itulah yang oleh Stammler disebut “kehendak yuridis”.
Kelsen bertolak dari dualisme Kant antara “bentuk” dan “materi”. Kelsen
mengamini perbedaan antara bidang “ada” (sein) dan bidang “harus” (sollen) sebagai
suatu unsur dari pengetahuan manusia. Bidang sein berhubungan dengan alam dan
fakta, sedangkan bidang sollen justru berkaitan dengan kehidupan manusia.
22
Menurut Hart, secara umum pengertian Austin memang tepat, sebab benarlah
bahwa pemerintah yang disebut hukum, dikeluarkan oleh seorang yang berkuasa dan
bahwa perintah-perintah itu biasanya ditaati.
Bila tujuan hukum adalah kemajuan negara, maka tujuan itu menghasilkan tujuan
hukum kolektif. Wolfgang Friedmann menyebut semboyan-semboyan yang dilekatkan
dalam tiga subjek itu adalah kemerdekaan, bangsa, dan peradaban. Radbruch mengakui
selalu terjadi pertentangan antara tiga aspek tersebut. Dalam negara sistem hukum
kolektif maka kemungkinan timbul pertentangan antara finalitas dan keadilan. Menurut
keadilan, orang itu harus dihukum, tetapi finalitas tidak menginginkannya.
Radbruch mengakui adanya hukum alam yang mengatasi hukum positif, yaitu:
(i). Setiap individu harus diperlakukan menurut keadilan didepan pengadilan, (ii).
Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang tidak boleh
dilanggar, dan (iii). Harus ada keseimbangan antara pelanggaran dan hukuman.
23
B. Teori Dari Kubu Neo-Positivisme
Weber juga menggunakan tipe otorites (model kekuasaan), sebagai basis teorinya
mengenai hukum. Tipe pertama adalah tipe kharismatik. Tipe kedua, tipe tradisional
yang bertumpu pada kepercayaan menurut tradisi terhadap orang yang dianggap layak
memimpin masyarakat. Sedangkan tipe ketiga adalah otoritas yang rasional. Masing-
masing tipe otoritas itu, menentukan model penyelenggaraan hukum ( baik law-making,
law-finding maupun law-enforcement).
24
Menurut Weber, hukum barat yang berkembang sejauh ini adalah hukum yang
paling rasional ditangani oleh ahli-ahlinya yang profesional dibidang kehakiman dan
kepengacaraan.
Pemerintah tidak boleh menyisipkan agenda sendiri dalam hukum yang dibuatnya
sekalipun dengan selubung hukum publik. Itulah sebabnya, Duguit menolak secara
radikal penggolongan hukum ke dalam hukum publik dan hukum privat. Baik negara
maupun masyarakat menurut Duguit harus tunduk pada satu hukum, yakni “hukum
karya sosial”.
25
Hukum Itu Aturan Yang Hidup
Geiger membedakan dua macam norma. Yang satu “norma yang sebenarnya”.
Dan yang lain adalah norma “yang tidak sebenarnya”. Menurut Geiger, realitas suatu
norma (“norma yang sebenarnya”) terletak dalam kenyataan bahwa norma itu terjelma
dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat, dan (pasti) tiap orang akan bersaksi
bila norma itu dilanggar. Hukum harus dipandang sebagai kenyataan-kenyataan sosial
yang dinamis juga.
Teori Hauriou berporos pada peran institusi untuk meneguhkan niat orang
menaati hukum. Hauriou memulai uraiannya dari gambaran tentang manusia. Mula-
mula ia menyesuaikan diri begitu saja dengan perkembangan itu, tetapi sudah menjadi
sadar akan diri sendiri, ia ikut dalam perkembangan realitas itu secara sadar dan bebas.
26
digunakannya untuk menciptakan damai dan untuk memelihara kepentingan-
kepentingan bersama. Dalam tahap yang kedua, orang-orang sampai pada keyakinan
bahwa hidup bersama bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai lintas individual.
Ide sentral dalam teori Gurvitch ialah kenyataan normatif. Menurut Gurvitch
sejumlah orang baru mencapai kelompok yang riil bila mereka mengalami
kelompoknya sebagai suatu “kita”. “Aku” dan “engkau” menjadi bersatu sebagai
“kita”. Kenyataan normatif yaitu perwujudan keadilan dalam realitas empiris,
merupakan dasar material hubungan-hubungan sosial antara manusia. Hubungan antara
“hukum sosial asli” dan masyarakat merupakan hubungan saling membangun. Dapat
disimpulkan bahwa hidup bersama dan “hukum sosial asli” saling melahirkan dan
saling memenuhi.
Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem, dalam sistem sosial
yang lebih besar. Disamping hukum, terdapat sistem lain yang memiliki logika dan
fungsi yang berbeda-beda. Sub sistem yang dimaksud adalah budaya, politik dan
ekonomi. Politik bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Ekonomi
27
menunjuk pada sumber daya materil yang dibutuhkan untuk menopang hidup sistem.
Empat sistem tersebut selain sebagai realitas yang melekat pada masyarakat juga
serentak merupakan tantangan yang harus dihadapi tiap unit kehidupan sosial.
Kepentingan yang terdiri dari kepentingan umum terbagi atas dua, yaitu :
28
5) Menyangkut kepentingan keamanan lembaga-lembaga politik, maka perlu ada
keseimbangan antara jaminan kebebasan berbicara dan
kepentingan keselamatan negara.
Fokus utama pound dengan konsep sosial engineering adalah interest, balancing
dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan
mengarahkan masyarakat kearah yang lebih maju. Bagi pound, antara hukum dan
masyarakat terdapat hubungan dan fungsional. Hukum sebagai sarana social
engineering, bermakna penggunaan hukumsecara sadar untuk mencapai tertib ataua
keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan yang
diinginkan.
(i) Mempelajari efek sosial yang nayta dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran
hukum
(ii) Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan perundang-undangan
untuk mempelajari pelaksanaannya dalam masyarakat serta efek yang
ditimbulkan, untuk kemudian dijalankan
(iii) Melakukan studi tentang bagaimana peraturan hukum menjadi efektif
(iv) Memperhatikan sejarah hukum
(v) Pentingnya melakuakn penyelesaian individual berdasarkan nalar, bukan
berdasarkan peraturan hukum semata
(vi) Mengusahakan secara lebih efektif agar tujuan-tujuan hukum tercapai.
29
C. Teori Dari Kubu Realisme Hukum
Realisme hukum sendiri bercabang dua, yakni realisme hukum Amerika dan
realisme hukum Skandinavia. Realisme hukum Amerika menempatkan empiris dalam
sentuhan pragmatis. Realisme hukum Skandinavia menempatkan empirisme dalam
sentuhan psikologi.
Oliver Holmes dan Jerome Frank hukum yang termuat dalam aturan-aturan hanya
suatu generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes seorang pelaksana
hukum sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Aturan-aturan
hukum dimata Holmes, hanya menjadi salah satu factor yang patut dipertimbangkan
dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal kemanfaatan dan keutamaan
kepentingan social, misalnya menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil
keputusan “yang berisi”.
Solusi yang bebobot tidak bias diharapkan dari legalisme yang mematrikan aturan
sebagai tempat satu-satunya bagi hakim untuk mengadili. Dalam legalisme, hakim
hanya menjadi corong wet. Hakim hanya bias menerapkan UU secara mekanis.
Egalisme, menyebabkan aturan jadi “berhala” kehidupan jadi kaku, kenyataan yang
kaya nuansa dilihat pakai “kacamata kuda”, kebenaran dan keadilan hanya menjadi
persoalan legal-tidak legal. Kearifan dan akal sehat terdorong kebelakang. Itulah
legalisme.
30
Tahap pertama adalah adanya paksaan aktual
(i) Tahap kedua dimulai, bila orang-orang mulai takut akan paksaan
(ii) Tahap yang ketiga adalah situasi dimana orang-orang sudah mulai menjadi biasa
dengan cara hidup yang sedemikian, dan alam kelamaan mulai memandang cara
hidup itu sebagai sesuatu yang seharusnya
(iii) Tahap yang terakhir adalah situasi hidup bersama dimana norma-norma kelakuan
ditentukan oleh instansi-instansi yang berwibawa.
Jadi, keharusan yuridis memang unsure realitas dalam mana kita hidup.
Terdapat tiga unsur utama yang menentukan strata social dalam suatu
masyarakat, yakni dimensi, prestise, privilese dan dimensi kekuasaan. Tekanan yang
diberikan oleh fungsional dan konflik mengenai stratifikasi social memperlihatkan
perbedaan yang cukup mencolok. Pokok pikiran teori fungsional mengenai struktur
social :
(1) Stratifikasi adalah struktur social yang memiliki nilai-nilai dan tradisi bersama
yang digunakan sebagai dasar untuk integrasi dan stabilitas nasional
(2) Penyebaran kekuasaan, privile dan prestise dalam masyarakat pada dasarnya
bersifat adil merupakan keharusan dan berguna bagi kesejahteraan individu di
satu pihak dan bagi masyarakat di lain pihak
31
(3) Penggunaan kekuasaan untuk mempertahankan sistem privilese yang ada dalam
masyarakat minimal
Bagi teori ini, hukum merupakan tatanannya kaum adam yang meminggirkan
kaum hawa. Sifat hukum yang bias itu, berdimensi structural. Menurut Plato, jika laki-
laki hidup dengan baik, maka setelah meninggal ia akan berdiam bidang tempatnya
berasal-sebuah tempat yang melimpah berkat dan kesukaan. Sebaliknya, jika hidupnya
jahat maka ia akan berubah menjadi perempuan. Perempuan. Perempuan merupakan
laki-laki jahat yang telah meninggal.
32
E. Teori dari Kubu Eksistensialis
Teori Maihofer tentang hukum bertitik tolak dari kegandaan ontologi manusia
yakni sebagai individu eksistensial dan sebagai pribadi warga social. Keberadaan
manusia akan hidup masyarakat menghasilkan hukum alam institusional yang meliputi
semua peraturan tentang fungsi orang dalam masyarakat. Maihofer mengaku sebagai
seorang penganut eksistensialisme Heidegger. Bagi Heidegger manusia merupakan
Dasein.
Menurut Maihofer, ia dapat menyetujui jalan pikiran ini seandainya tidak terdapat
faktor lain dalam kehidupan manusia daripada keterbatasan individualnya. Pada
dasarnya, demikian Maihofer, tiap orang selalu insyaf bahwa orang lain berada sebagai
pribadi, sebagai orang-orang yang memiliki pusat hidup sendiri. Sebagai eksistensi
yang hidup bersama, manusia memerlukan Negara dan hukum.
33
Hukum itu Keinsyafan Keadilan
Menurut Luypen, apa yang disebut tatahukum belum tentu dapat disebut hukum.
Sebab bias terjadi, terdapat tatahukum yang tidak mewajibkan, yakni kalau tatahukum
itu tidak menurut norma-norma keadilan. Bagi Luypen yang menganut fenomenologi
eksistensial, kedua pandanaan ektrim itu ditolak. Dari perspektif fenomenologi
eksistensial seperti dianut Luypen manusia dipandang sebagai subyek yang memiliki
solidaritas dan sejarah.
Menurut Luypen, isi norma-norma itu sendiri bersifat kontekstual menurut ruang
dan waktu, wujudnya adalah rasa keadilan, ya rasa perikemanusiaan. Relativitas isi
hukum dengan apa yang ia sebut “lima sumber sejarah”, yakni : (i). Kenyataan bahwa
realitas sosial bermacam-macam dan berubah-ubah, (ii). Adanya aneka ragam rintangan
yang dalam tiap situasi harus diatasi untuk memenuhi syarat-syarat nilai dalam situasi
demikian, (iii). Pelajaran yang diperolehdari pengalaman praktis mengenai pemenuhan
sarana untuk mewujudkan suatu nilai dalam suatu situasi konkrit, (iv). Adanya
penentukan prioritas terkait dengan tingkatan urgensi dari kebutuhan sosial yang
ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa histories kontemporer, dan (v). keanekaragaman
nilai yang beberapa diantaranya berhubungan dengan kebutuhan manusia universal,
sedangkan bagian yang lain melekat pada kondisi-kondisi sejarah yang khas yang
menimbulkan norma-norma khusus bagi tiap masyarakat dan tiap situasi.
Lebih lanjut menurut Reainach, meski bidang hukum begitu dekat dengan bidang
etis, namun keduanya tetap berbeda dalam beberapa aspek : (i). Norma-norma hukum
berasal dari suatu perjanjian, sedangkan norma-norma etis melekat pada manusia
sebagai pribadi, (ii). Hak-hak yuridis dapat diserahkan kepada orang lain, sedangkan
hak-hak etis tidak berpindah, (iii). Hak-hak yuridis dapat hilang kalau tidak digunakan,
sedangkan hak-hak etis tidak dapat dihilangkan karena melekatmpada pribadi manusia,
(iv). Bidang hukum hanya meliputi bidang kehidupan ekstern, sedangakan bidang etis
meliputi juga batin manusia.
34
Hukum itu Perlu Tafsiran Kontekstual
Teori yang serah dengan teori penafsiran Geny ini dating dari Carlos Cossio.
Menurut Cassio pada dasarnya keputusan pengadilan terdiri dari tiga unsure utama,
yakni : (i). struktur logis yang diturunkan dari suatu kerangka aturan, (ii). Kesatuan isi
dari suatu situasi yang disebabkan oleh suatu keadaan khusus, (iii). Penilaian yuridis
yang diberikan oleh hakim pada dua unsure ini dalam suatu situasi tertentu. Geny
menempatkan penafsiran hukum dalam kerangka pandangan yang menyeluruh tentang
hukum. Prinsip-prinsip hukum alam (yang sebagian telah terserap dalam sens commun)
itu, menurut Geny harus menjadi dasar hukum positif. Prinsip-prinsip hukum alam
menjadi garapan ilmuwan hukum itu, memang hanya berfungsi sebagai pedoman bagi
(materi/isi) undang-undang.
Teori Nonet-Selznick
35
sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada
tujuan, (v). Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan, (vi). Moralitas
kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum, (vii). Kekuasaan didayagunakan
untuk mendukung vitalitas dalam melayani masyarakat, (viii). Penolakan terhadap hukum
harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum, (ix). Akses partisipasi publik dibuka
lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial.
Hukum represif lebih mengarah pada pelayanan kekuasaan dan menafikan aspirasi
publik. Ini jelas terlihat dalam cirri utamanya : (i). kekuasaan politik mengatasi institusi
hukum sehingga kekuasaan Negara menjadi dasar legitimasi hukum, (ii). Penyelenggaraan
hukum dijalankan menurut perspektif penguasa dan pejabat, (iii). Peraturan-peraturan yang
diskriminatif, (iv). Alas an pembuatannya bersifat ad-hoc sesuai keinginan arbiter penguasa,
(v). kesempatan bertindak bersifat serba meresap sesuai kesempatan, (vi). Pemaksaan serba
mencukupi tanpa batas yang jelas, (vii). Moralitas yang dituntut dari masyarakat adalah
pengendalian diri, (viii). Kepatuhan masyarakat harus tanpa syarat dan ketidakpatuhan
dihukum sebagai kejahatan, (ix). Partisipasi masyarakat diizinkan lewat penundukan diri
sedangkan kritik dipahami sebagai pembangkangan.
Tipe tatanan hukum otonom memperlihatkan ciri : (i). Hukum terpisah dan kekuasaan
yang mengimplikasikan penolakan terhadap kekuasaan, (ii). Tata hukum mengacu pada
“model aturan”, (iii). Prosedur dipandang sebagai inti hukum, (iv). Loyalitas pada hukum
bermakna sama dengan kepatuhan pada hukum positif, (v). diskresi sangat dibatasi karena
dapat merongrong integritas proses hukum, (vi). Formalisme dan legalisme menjadi landasan
pertimbangan utama, (vii). Kritik terhadap aturan hukum positif harus dilaksanakan melalui
proses legislasi.
Hukum responsif merupakan sebuah tatanan atau sistem yang inklusif, dalam arti
mengaitkan diri dengan sub-sistem sosial non-hukum, tak terkecuali dengan kekuasaan.
Hukum responsif menurut Nonet-Selznick merupakan suatu upaya dalam menjawab
tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial.
36
Hukum Progresif
Teori hukum progresif, tidak terlepas dari gagasan prof Satjipto Raharjo. Menurutnya,
pemikiran hukum kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan
filosofi tersebut maka manusia menjadi penentu dari titik orientasi hukum. Hukum bertugas
melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukanlah merupakan
isntitusi yang lepas dari kepentingan manusia.
Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum
progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka
dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Seperti
diketahui Rahardjo, bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya
sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada diluar dirinya.
Menurut Rahardjo, antara hukum progresif dengan legal realizm juga memiliki
kemiripan logika, yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari kacamata logika internal hukum
itu sendiri.Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia atau
rakyat sebagai titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan
yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia.
Pada dasarnya, diskresi ditempuh karena dirasakan sarana hukum kurang efektif dan
terbatas sifatnya dalam mencapai tujuan hukum dan sosial. Menghadapi kondisi transisional
dimana persoalan saling berhimpitan, serba darurat, dan penuh komplikasi, maka aparat
penegak hukum dituntut melakukan langkah-langkah terobosan dalam melakukan penegakan,
tidak sekedar menerapkan peraturan yang hitam putih.
37
Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis
formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal
“dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan
yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi
bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya.
Dalam masalah penegakan hukum, terdapat 2 (dua) macam tipe penegakan hukum progresif :
1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya,
mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat
yang mendasari penegakan hukum progresif.
2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan
serta teoritisi hukum Indonesia.
38