Anda di halaman 1dari 13

5 Juli 2018

Belajar hukum rasanya ga pernah pinter ya sayah....apa mending banting stir jadi pemain surfing ya, biar tambah
item....

Jelaskan apa yang dimaksud dengan Asas Kekuatan Mengikat dan Asas Kepribadian (personality) dalam suatu
perjanjian serta pengecualiannya !

Mengingat dan mengulas perdebatan antara saya ketika memberikan keterangan ahli di sebuah PN dengan hakim
terkait “pernyataan saya, bahwa ada asas kekuatan mengikat dan asas kepribadian dalam hukum perjanjian yang
ada pengecualiannya sebagaimana disebutkan dalam pasal 1317 KUHPerdata”. Hakim yang "pinter" itu
mengatakan “baru kali ini saya tahu bahwa suatu perjanjian dapat diadakan dan mengikat pihak ketiga”, nah lho,
kalo dia dikelas gue pasti ditindes ciga kutu………jangan-jangan dia ga ngerti ada yang disebut dengan
derdenbeding ya….

Bahwa asas yang tercantum dalam Pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata harus difahami sebagai
sesuatu yang sangat penting dalam hukum perjanjian, karena dalam kebebasan berkontrak mengandung
pengakuan atas hak setiap orang untuk membuat hukum bagi dirinya sendiri. Dengan jalan membuat perjanjian,
para pihak secara sah dapat melahirkan hak dan kewajiban bagi dirinya sendiri.
Adapun kewenangan untuk membebani pihak ketiga dengan kewajiban atau memberi hak kepadanya pada
dasarnya hanya dimiliki oleh pembuat UU. Dan asas inilah yang terkandung dalam Pasal 1315 KUHPerdata dan
Pasal 1340 KUHPerdata, yaitu bahwa perjanjian obligatoir hanya melahirkan perikatan diantara para pihak yang
membuat perjanjian. Dan atas asas tersebut kemudian ada pengecualiannya.

Bahwa kemudian kita mengenal asas kekuatan mengikat, yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat
bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian dan sifatnya hanya mengikat ke dalam Pasal 1340
KUHPerdata : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Hal tersebut mengandung maksud
bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya, namun terdapat
pengecualian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1317 KUHPerdata : “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang
lain, mengandung suatu syarat semacam itu”.

Dengan ketentuan tersebut memberikan konstruksi hukum kepada seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk
kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan. Sementara Pasal 1318 KUHPerdata tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli waris dan untuk orang-orang yang
memperoleh hak daripadanya. Perbedaan Pasal 1317 KUHPerdata dan Pasal 1318 KUHPerdata adalah bahwa
Pasal 1317 KUHPerdata mengatur perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan Pasal 1318 KIUHPerdata untuk
kepentingan diri sendiri, ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan
demikian Pasal 1317 KUHPerdata mengatur pengecualian, sementara itu Pasal 1318 KUHPerdata memiliki
ruang lingkup yang luas.

Kita juga harus mengenal Asas Kepribadian (personality), yaitu asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan/atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 1315
KUHPerdata : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya
sendiri”. Intinya bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian orang harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

Dalam praktek kita mengenal Janji untuk kepentingan Pihak Ketiga, yang biasa disebut dengan derden beding.
Terdapat kebutuhan dan manfaat dalam kaitannya dengan derdenbeding yaitu:

-seseorang ingin memberi keuntungan kepada pihak ketiga.


-seseorang ingin memenuhi kewajiban alamiah terhadap pihak ketiga. (contoh perjanjian asuransi, manfaatnya
untuk pihak ketiga).

-seseorang ingin memenuhi perikatan perdata terhadap pihak ketiga.

Apa syarat derdenbeding itu sendiri :

-perjanjian antara pihak pertama dengan pihak kedua harus melahirkan suatu hak tersendiri bagi pihak ketiga;
-hak pihak ketiga tersebut harus berkaitan dengan hak yang disepakati pihak pertama bagi dirinya sendiri atau
dengan suatu hibah oleh pihak pertama kepada pihak kedua.

Sementara saat lahirnya derdenbeding adalah sebagaimana disebutkan Pasal 1317 KUHPerdata. Sehingga
apabila terjadi pencabutan derdenbeding oleh pihak pertama tidak mungkin dilakukan apabila pihak ketiga sudah
menyatakan menerima derdenbeding. Sebaliknya selama pihak ketiga belum menyatakan menerima
derdenbeding, pihak pertama boleh saja menolaknya.

Contoh derdenbeding : Tuan R menjual rumahnya di Jogja kepada Tuan H, karena Tuan R akan pindah ke
Bandung. Dalam perjanjian jual beli, guna kepentingan G (anak Tuan R) selama G masih mengikuti Kuliah di
UGM, G boleh menempati satu kamar rumah tersebut.

(Dr. Udin Narsudin, SH., M.Hum., SpN).

6 Juli 2018

Tanggal 15 Juli 2017 saya menulis seperti ini:

Sudah sangat mendesak PPAT perlu Majelis Pengawas PPAT.

Semakin banyaknya rekan PPAT yang terjerat masalah hukum, semakin mendesak dan perlunya Majelis
Pengawas PPAT, yang bisa mengukur dan memberi pertimbangan tentang layak atau tidak nya seorang PPAT
di minta keterangannya oleh aparat yang berwenang.

Bahwa dalam melaksanakan jabatannya PPAT seringkali diminta pertanggung jawaban terkait dengan produk
akta yang dibuatnya, baik karena unsur kesengajaan atau kelalaian, padahal yang saya tahu dalam ilmu hukum
disebutkan bahwa agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai kelalaian, haruslah memenuhi unsur pokok
sebagai berikut:

1.Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan;

2.Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care);

3.Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut;

4.Adanya kerugian bagi orang lain;


5.Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul.
Dalam beberapa kasus yang dialami PPAT ternyata unsur kesengajaan dan kelalaian tidak terpenuhi, yang ada
adalah karena “unsur kerugian bagi orang lain” yang bukan karena kesalahan PPAT atau kelalaian PPAT. Lalu
apakah PPAT layak untuk dimintakan Pertanggungjawaban ?

Sudah saatnya PPAT mempunyai Majelis Pengawas PPAT yang harus diatur dalam UU, yang diantaranya dapat
menilai apakah PPAT layak untuk dimintakan pertanggungjawaban karena akta yang dibuatnya atau memang
tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban karena bukan merupakan kesalahan atau kelalaian PPAT.

Akhirnya hal yang disebutkan dalam tulisan saya diatas sudah terjawab dengan diundangkannya PERMEN
ATR/BPN Nomor 2 Tahun 2018.

PEMBENTUKAN MAJELIS PEMBINA DAN PENGAWAS


PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 15
(1) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri dapat
membentuk Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.
(2) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT bertugas untuk
membantu Menteri dalam melaksanakan pembinaan dan
pengawasan PPAT.
(3) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), terdiri atas:
a. MPPP;
b. MPPW; dan
c. MPPD.

Pasal 16
(1) Keanggotaan Majelis Pembina dan Pengawas PPAT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 terdiri atas
unsur:
a. Kementerian; dan
b. IPPAT.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Majelis Pembina dan
Pengawas PPAT dibantu oleh sekretaris.
(3) Sekretaris bukan merupakan anggota majelis dan
bertugas menangani bidang administrasi.
(4) Sekretaris dapat dibantu paling sedikit 2 (dua) orang
yang berbentuk Sekretariat.
Bagian Kedua
Susunan Keanggotaan
Paragraf 1
Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah Pusat

Pasal 17
(1) MPPP dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri dan
berkedudukan di Kementerian.
(2) Susunan keanggotaan MPPP, terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua, dari unsur Kementerian yang
dijabat oleh Direktur Jenderal atau pejabat yang
ditunjuk;
b. 1 (satu) orang wakil ketua, yang dijabat oleh unsur
IPPAT; dan
c. 9 (sembilan) orang anggota, dengan komposisi 5
(lima) orang dari unsur Kementerian dan 4 (empat)
orang dari unsur IPPAT.
Paragraf 2
Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah Wilayah

Pasal 18
(1) MPPW dibentuk dan ditetapkan oleh Direktur Jenderal
atas nama Menteri dan berkedudukan di Kantor Wilayah
BPN.
(2) Susunan keanggotaan MPPW, terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua, dari unsur Kementerian yang
dijabat oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau pejabat
yang ditunjuk;
b. 1 (satu) orang wakil ketua, yang dijabat oleh unsur
IPPAT; dan
c. 7 (tujuh) orang anggota, dengan komposisi 4 (empat)
orang dari unsur Kementerian dan 3 (tiga) orang dari
unsur IPPAT.
Paragraf 3
Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah Daerah

Pasal 19
(1) MPPD dibentuk dan ditetapkan oleh Kepala Kantor
Wilayah BPN atas nama Menteri dan berkedudukan di
Kantor Pertanahan.
(2) Susunan keanggotaan MPPD, terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua, dari unsur Kementerian yang
dijabat oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat
yang ditunjuk;
b. 1 (satu) orang wakil ketua, yang dijabat oleh unsur
IPPAT; dan
c. 5 (lima) orang anggota, dengan komposisi 3 (tiga)
orang dari unsur Kementerian dan 2 (dua) orang dari
unsur IPPAT.
(3) MPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dibentuk di daerah yang jumlah PPATnya paling sedikit
10 (sepuluh) orang PPAT.
(4) Dalam hal di Kantor Pertanahan tidak dibentuk MPPD
karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), untuk melaksanakan tugas
pembinaan dan pengawasan:
a. dibantu oleh MPPW; atau
b. dibentuk tim gabungan MPPD dari daerah lain.
(5) Dalam hal di daerah kabupaten/kota terdapat jumlah
PPAT lebih dari 100 (seratus) orang PPAT, Kepala Kantor
Wilayah BPN dapat menambah jumlah anggota MPPD
sesuai dengan kebutuhan.
(6) Penambahan jumlah anggota MPPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan ketentuan:
a. setiap kelipatan 100 (seratus) PPAT dalam daerah
kabupaten/kota ditambahkan 2 (dua) anggota
MPPD; dan
b. penambahan jumlah anggota MPPD tidak boleh
melebihi jumlah anggota MPPP.
(7) Penambahan jumlah anggota MPPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dengan perhitungan komposisi
paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari Kementerian
dan 40% (empat puluh persen) dari IPPAT.
Paragraf 4
Sekretariat Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah

Pasal 20
(1) Dalam membantu pelaksanaan jabatan Majelis Pembina
dan Pengawas PPAT, dibentuk sekretariat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan ayat (4).
(2) Sekretaris dan anggotanya ditetapkan oleh:
a. Direktur Jenderal, untuk MPPP;
b. Kepala Kantor Wilayah BPN, untuk MPPW; dan
c. Kepala Kantor Pertanahan, untuk MPPD.
(3) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberikan dukungan administrasi, teknis pemeriksaan,
penyusunan program kerja, sumber daya manusia,
anggaran, sarana, prasarana, dan laporan kepada Majelis
Pembina dan Pengawas PPAT.
(4) Kedudukan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mempunyai kantor sekretariat sesuai dengan
kedudukan Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.
(5) Jumlah Anggota sekretariat ditetapkan oleh :
a. Direktur Jenderal, untuk MPPP;
b. Kepala Kantor Wilayah BPN, untuk MPPW; dan
c. Kepala Kantor Pertanahan untuk MPPD.
(6) Sekretaris dan anggota sekretariat berasal dari unsur
Kementerian.

Bagian Ketiga
Pengangkatan Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Paragraf 1
Persyaratan

Pasal 21
(1) Persyaratan pengangkatan sebagai Majelis Pembina dan
Pengawas PPAT, yaitu:
a. berkewarganegaraan Indonesia;
b. berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau
pejabat di Kementerian yang mempunyai
pengalaman di bidang hak tanah dan pendaftaran
tanah;
c. tidak sedang ditetapkan sebagai tersangka dengan
ancaman hukuman pidana paling sedikit 5 (lima)
tahun; dan
d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat dipenuhi, Menteri, Kepala Kantor Wilayah
BPN atau Kepala Kantor Pertanahan dapat langsung
menunjuk pegawai Kementerian sebagai Majelis Pembina
dan Pengawas PPAT.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan melampirkan dokumen:
a. fotokopi kartu tanda penduduk atau tanda bukti diri
lain yang sah;
b. tanda bukti kepegawaian untuk pegawai/pejabat di
Kementerian;
c. kartu tanda anggota IPPAT, bagi unsur IPPAT;
d. fotokopi ijazah sarjana yang bersangkutan atau
Surat Keputusan Pengangkatan sebagai pejabat di
Kementerian;
e. surat pernyataan tidak pernah dihukum.

Paragraf 2
Pengusulan

Pasal 22
(1) Pengusulan anggota MPPP diajukan kepada Menteri
melalui Direktur Jenderal, dengan ketentuan:
a. anggota dari unsur Kementerian, diajukan oleh
Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk; dan
b. jabatan wakil ketua dan anggota dari unsur IPPAT,
diajukan oleh pengurus pusat IPPAT.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disertai dengan pertimbangan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
(3) Jabatan wakil ketua dan anggota ditetapkan oleh Menteri
berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Dalam hal Menteri tidak menyetujui usulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menunjuk jabatan
wakil ketua atau anggota MPPP.

Pasal 23
(1) Pengusulan anggota MPPW diajukan kepada Direktur
Jenderal melalui Kepala Kantor Wilayah BPN, dengan
ketentuan:
a. anggota dari unsur Kementerian, diajukan oleh
Kepala Kantor Wilayah BPN atau pejabat yang
ditunjuk; dan
b. jabatan wakil ketua dan anggota dari unsur IPPAT,
diajukan oleh pengurus wilayah IPPAT.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disertai dengan pertimbangan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
(3) Jabatan wakil ketua dan anggota ditetapkan oleh
Direktur Jenderal berdasarkan usulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Direktur Jenderal tidak menyetujui usulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal
dapat menunjuk jabatan wakil ketua atau anggota
MPPW.

Pasal 24
(1) Pengusulan anggota MPPD diajukan kepada Kepala
Kantor Wilayah BPN melalui Kepala Kantor Pertanahan,
dengan ketentuan:
a. anggota dari unsur Kementerian, diajukan oleh
Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang
ditunjuk; dan
b. jabatan wakil ketua dan anggota dari unsur IPPAT,
diajukan oleh pengurus daerah IPPAT.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disertai dengan pertimbangan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
(3) Jabatan wakil ketua dan anggota ditetapkan oleh Kepala
Kantor Wilayah BPN berdasarkan usulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Kepala Kantor Wilayah BPN tidak menyetujui
usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Kantor Wilayah BPN dapat menunjuk jabatan wakil ketua
atau anggota MPPD.

Paragraf 3
Masa Jabatan

Pasal 25
(1) Jabatan Ketua Majelis Pembina dan Pengawas PPAT
melekat pada jabatan di Kementerian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 18 ayat
(2) huruf a dan Pasal 19 ayat (2) huruf a.
(2) Masa jabatan wakil ketua dan anggota Majelis Pembina
dan Pengawas PPAT selama 3 (tiga) tahun dan dapat
diangkat kembali dan paling banyak selama 2 (dua)
periode.

Paragraf 4
Sumpah Jabatan

Pasal 26
(1) Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pembina dan
Pengawas PPAT sebelum melaksanakan tugasnya harus
mengangkat sumpah di hadapan pejabat yang
mengangkatnya atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pengucapan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai
ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pembina dan
Pengawas PPAT.
(3) Berita Acara Pengangkatan Sumpah tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Keempat
Pemberhentian Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pasal 27
(1) Pemberhentian Majelis Pembina dan Pengawas PPAT,
meliputi:
a. pemberhentian dengan hormat;
b. pemberhentian dengan tidak hormat; dan
c. pemberhentian sementara.
(2) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, karena:
a. meninggal dunia;
b. telah berakhir masa jabatannya;
c. permintaan sendiri;
d. pindah wilayah kerja;
e. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; dan/atau
f. tidak sehat jasmani dan/atau rohani.
(3) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT diberhentikan
dengan tidak hormat dari jabatannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, karena:
a. dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan
ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. melakukan perbuatan yang merendahkan
kehormatan dan martabat jabatan;
c. telah melanggar sumpah jabatan; dan/atau
d. tidak menghadiri rapat dan/atau sidang Majelis
Pembina dan Pengawas PPAT sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut atau 6 (enam) kali tidak berturut-
turut dalam masa 1 (satu) tahun jabatan tanpa
alasan yang sah.
(4) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT diberhentikan
sementara dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, karena diduga melakukan tindak pidana
dan ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa.
(5) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sampai adanya putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 28
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), jabatan wakil ketua atau
anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berasal
dari unsur IPPAT dapat diberhentikan dari Majelis Pembina
dan Pengawas PPAT karena diberhentikan dari jabatannya
selaku PPAT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 29
(1) Dalam hal terjadi kekosongan anggota Majelis Pembina
dan Pengawas PPAT karena pemberhentian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28, Menteri,
Direktur Jenderal atau Kepala Kantor Wilayah BPN
sesuai kewenangannya, dapat meminta kepada pejabat
yang berwenang mengusulkan atau pengurus IPPAT,
untuk mengajukan calon pengganti.
(2) Ketentuan penunjukan calon pengganti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(3) Masa jabatan calon pengganti sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan sisa masa jabatan yang
digantikan.

alhamdulilah.....semoga pelaksanaan jabatan PPAT lebih baik lagi....

(UN).

Jum’at 6 Juli 2018

Kekuatan pembuktian salinan akta yang dikeluarkan oleh Notaris pemegang protokol, atas
notaris yang sudah meninggal dunia gimana ya?

Pasal 54 UUJN : Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta,
Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta,
ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan.

Pasal 65 UUJN : Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara
Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah
diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris.

Pasal 1889 KUHPerdata mengatakan bahwa bila tanda alas hak yang asli yang sudah tidak ada lagi,
maka salinannya memberikan bukti, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. salinan pertama (gross) memberikan bukti yang sama dengan akta asli; demikian pula halnya
salinan yang dibuat atas perintah Hakim di hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini
dipanggil secara sah sebagaimana juga yang salinan dibuat di hadapan kedua belah pihak dengan
persetujuan mereka;

2. salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan pertama tanpa perantaraan Hakim atau tanpa
persetujuan kedua belah pihak entah oleh Notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh
seorang penggantinya ataupun oleh pegawai yang karena jabatannya menyimpan akta asli (minuta)
dan berwenang untuk memberikan salinan-salinan, dapat diterima Hakim sebagai bukti sempurna bila
akta asli telah hilang;
3. bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu tidak dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu
telah dibuat, atau oleh seorang penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya
menyimpan akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai sebagai bukti, melainkan hanya
sebagai bukti permulaan tertulis;

4. salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan, menurut keadaan, dapat
memberikan suatu bukti permulaan tertulis.

Yahya Harahap mengatakan bahwa salinan yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan
mengikat yaitu apabila terpenuhi syarat dan bentuk :

1. Salinan pertama sama dengan aslinya, pengertiannya adalah grosse akta yang dikeluarkan sama
dengan akta aslinya atau minuta aktanya. Dalam praktiknya salinan pertama atau grosse akta adalah
pemberian tertulis dari aslinya, artinya antara grosse atau salinan pertama dengan akta aslinya atau
minutanya sama dan serupa kata demi kata. Kesamaan ini meliputi tanda tangan yang tercantum
dengan aslinya.

Grosse akta biasanya diberikan notaris dari minuta yang disimpannnya untuk kepentingan eksekusi
grosse akta pengakuan utang atau grosse akta hipotik dengan cara mencantumkan titel eksekutorial
pada grosse dimaksud, agar dapat dijalankan eksekusi terhadapnya berdasarkan Pasal 224 HIR atau
Pasal 443 Rv. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada salinan atau grosse akta adalah
sempurna dan mengikat sesuai dengan kekuatan melekat pada minuta akta.

2. Salinan yang dibuat atas perintah hakim, berdasarkan Pasal 1889 KUHPerdata sebagai mana
tersebut diatas agar salinan sah dan memenuhi syarat :

-pembuatan salinan atas perintah atau kuasa hakim;

-salinan dibuat dihadapan para pihak atau dihadapan mereka yang telah dipanggil dengan patut
berdasarkan ketentuan tersebut maka sainan dibuat dihadapan para pihak yang berkepentingan,
namun dapat juga dibuat dihadapan salah satu pihak, apabila pihak lain tidak hadir, padahal sudah
dipanggil untuk hal tersebut dengan patut.

Salinan sebagaimana tersebut walaupun tidak dapat ditunjukkan aslinya, berlaku dan sah sebagai
alat bukti dan kepadanya melekat nilai pembuktian sempurna dan mengikat sehingga pada dirinya
tercapai batas minimal pembuktian.

3. Salinan yang dibuat oleh notaris atau pejabat yang berwenang

Bahwa agar salinan sah sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan
mengikat:
-salinan dibuat oleh notaris atau pejabat yang berwenang untuk itu;

-akta aslinya dibuat dihadapannya, dan aslinya itu disimpan padanya sesuai dengan kewenangan
yang dimiikinya.

Salinan sebagaimana tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, dan
berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa bantuan alat bukti lain.

4. Grosse akta yang dibuat notaris dari grosse akta (salinan pertama).

Apabila dari minuta akta yang dibuat dihadapan notaris dikeluarkan grosse akta (salinan pertama),
kemudian dari grosse akta tersebut dikeluarkan lagi grosse akta tanpa persetujuan para pihak maupun
tanpa campur tangan hakim, grosse akta yang demikian sah sebagai alat bukti, dan nilai
pembuktiannya sempurna dan mengikat apabila aslinya hilang.

(UN).

7 Juli 2018

Bagaimana menilai Pertanggungjawaban Perdata Akibat Perbuatan Melawan Hukum dalam


Menjalankan Jabatan Notaris?

Akibat kesalahan Notaris dalam membuat akta sehingga menyebabkan pihak lain mengalami kerugian dapat
termasuk perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Adapun syarat perbuatan dikatakan perbuatan melawan
hukumyaitu adanya perbuatan-perbuatan yang mela

wan hukum, harus ada kesalahan, dan harus ada hubungan sebab dan akibat antara perbuatandan kerugian.
Sedangkan unsur dari perbuatan melawan hukum ini meliputi adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya
kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.

Akibat adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris dalam pembuatan akta otentik menimbulkan
adanya pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh seorang Notaris.

Sebagaimana difahami hukum mengakui hak-hak tertentu, baik mengenai hak-hak pribadi maupun mengenai
hak-hak kebendaan dan hukum akan melindungi dengan sanksi tegas baik bagi pihak yang melanggar hak
tersebut, yaitu engan tanggungjawab membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar haknya. Dengan
demikian setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain menimbulkan pertanggungjwaban.

Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan :

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Sedangkan ketentuan pasal 1366 KUHPerdata menyatakan :

“Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga
untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya”.

Ketentuan pasal 1365 KUH Perdata tersebut di atas mengatur pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh
adanya perbuatan melawan hukum baik karena berbuat (positip=culpa in commitendo) atau karena tidak berbuat
(pasif=culpa in ommitendo).

Sedangkan pasal 1366 KUH Perdata lebih mengarah pada tuntutan pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh
kesalahan karena kelalaian (onrechtmatigenalaten).

Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas
perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Sehubungan
dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan :
1. Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika
orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan
kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja.2. Kerugian ditimbulkan oleh
beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-
masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya

Dalam KUHPerdata disebutkan bahwa pertanggungjawaban terhadap perbuatan melawan hukum menjadi 2
golongan, yaitu:

1. Tanggung jawab langsung

Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dengan adanya interprestasi yang luas sejak tahun 1919 (Arest
Lindenbaun vs Cohen) dari Pasal 1365 KUHPerdata ini, maka banyak hal-hal yang dulunya tidak dapat dituntut
atau dikenakan sanksi atau hukuman, kini terhadap pelaku dapat dimintakan pertanggung jawaban untuk
membayar ganti rugi.

2. Tanggung jawab tidak langsung

Menurut Pasal 1367 KUHPerdata, seorang subjek hukum tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukannya saja, tetapi juga untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang
menjadi tanggungan dan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

Tanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata,
pertanggung jawabannya selain terletak pada pelakunya endiri juga dapat dialihkan pada pihak lain atu kepada
negara, tergantung siapa yang melakukannya.

Adanya kemungkinan pengalihan tanggung jawab tersebut disebabkan oleh dua hal :

1. Perihal pengawasan

Adakalanya seorang dalam pergaulan hidup bermasyarakat menurut hukum berada di bawah tanggung jawab
dan pengawasan orang lain. Adapun orang-orang yang bertanggung jawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh
orang lain menurut Pasal 1367 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

-Orang tua atau wali, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa
-Seorang curator, dalam hal curatele, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap curandus
-Guru, bertanggung jawab atas pengawasan murid sekolah yang berada dalam lingkungan pengajarannya.
-Majikan, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap buruhnya

-Penyuruh (lasgever), bertanggung jawab atas pengawasan terhadap pesuruhnya.

Terkait dengan hal ini pengawasan dapat dianggap mempunyai untuk menjaga agar jangan sampai seorang yang
diwasi itu melakukan perbuatan melawan hukum. Pengawas itu harus turut berusaha menghindarkan
kegoncangan dalam msyarakat, yang mungkin akan disebabkan oleh tingkat laku orang yang diawasinya.

2. Pemberian kuasa dengan risiko ekonomi

Sering terjadi suatu pertinbangan tentang dirasakannya adil dan patut untuk mempertanggungjawabkan
seseorang atas perbuatan orang lain, terletak pada soal perekonomian, yaitu jika pada kenyataannya orang yang
melakukan perbuatan melawan hukum itu ekonominya tidak begitu kuat. Hal ini berdasarkan pertimbangan
bahwa percuma saja jika orang tersebut dipertanggungjawabkan, karena kekayaan harta bendanya tidak cukup
untuk menutupi kerugian yang disebabkan olehnya dan yang diderita oleh orang lain. Sehingga dalam hal ini
yang mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah orang lain yang dianggap lebih mampu untuk bertanggung
jawab.
(UN).

Anda mungkin juga menyukai