Positivisme Hukum PDF
Positivisme Hukum PDF
Oleh
M Nurul Fajri
A. Pendahuluan
Positivisme hukum adalah suatu gagasan besar tentang berhukum. Saat ini
positivisme hukum jauh mendominasi atas seluruh aspek berhukum dalam jagad raya
jika dibandingkan dengan aliran-aliran filsafat hukum lainnya. Apa lagi jika kita
Bicara tentang positivisme hukum tidak akan menarik jika langsung masuk
H.L.A Hart atau Hans Kelsen hingga tokoh positivisme hukum di Indonesia seperti
Peter Mahmud Marzuki. Sebab berbicara tentang filsafat khususnya filsafat hukum
tanpa mengetahui awal mula, atau sebab lahirnya sebuah pemikiran sama saja
membahas pemikiran filsafat dari masa silam, tidak cukup kita membatasi diri pada
penguraian pikiran-pikiran beberapa filsuf satu demi satu, tetapi kita haru
memnadang juga hubungan meraka satu sama lain dan hubungan mereka dengan
Begitu juga dengan filsafat hukum. Dalam hal ini positivisme hukum tentu tidak serta-
merta jatuh dari langit hingga menjadi mahzab yang saat ini mendominasi. Penting
1
untuk dipahami bahwa sesungguhnya filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat,
bukanlah cabang dari ilmu hukum. Filsafat hukum berbicara tentang aspek-aspek
mendasar dan umum (esensi hukum). Sementara ilmu hukum lebih bersifat
dogmatik, rasional dan empirik. Namun keduanya memiliki keterkaitan kuat. Jika
diibaratkan hukum adalah penyelsai masalah maka ilmu hukum yang bersifat
dogmatik, rasional dan empirik tersebut adalah alat atau instrumennya. Sementara
apa bila alat atau instrumen tersebut menemui masalah dalam penggunaannya, maka
Positivisme hukum adalah dua suku kata hasil modifikasi atas sebuah karya
dikemukakan pertama kali oleh Saint Simon (1760-1825) dari Perancis sebagai
Namun pemikiran tentang positivisme lebih dikenal sebagai buah pemikiran dari
Aguste Comte sebagai peletak dasar pemikiran positivisme. Dalam karya yang
melegenda itu, Comte bergiat dengan ruas pemisah dari “tiga tahapan besar” yang
2 Andre Uta Ujan, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 64.
3 Herman Bakir, Filsafat Hukum-Desain dan Arsitektur Kesejarahan, (Bandung: Refika
Aditama, 2007), hlm. 263.
2
supranatural” (rangkaian fenomena gaib) serta intervensi bercorak
Ketuhanan.
3. Periode Positif
dimana jiwa manusia telah sampai pada pengetahuan yang tidak lagi
bahwa filsafat pun harus memiliki metode yang sama seperti yang digunakan dalam
ilmu alam, matematika atau eksakta. Namun positivisme juga berpengaruh terhadap
ilmu sosial dan masyarakat, khususnya adalah ilmu hukum. Legal Positisvism
3
didirikan sebagai jawaban akan tuntutan ilmu pengetahuan modern dalam semangat
yang objektif.5
sebagai bentuk “perlawanan” terhadap mahzab hukum kodrat yang dipadang sebagai
hukum. Moral sebagai standar dalam pemikiran hukum kodrat tidak dapat
terhadap hal-hal yang berbau Ketuhanan dipandang sebagai suatu hal yang tidak
valid menetapkan standar nilai yang sama dalam kacamata positivisme hukum. Tesis-
tesis kesamaan dalam pendekatan hukum untuk mencapai tujuannya menjadi dasar
para filsuf positivisme hukum melahirkan mahzab positivisme hukum. Tiga pemikir
besar dalam mendudukan paham positivisme yang terus dipakai dalam pemikiran
hukum kontemporer. Mereka adalah John Austin, H.L.A. Hart dan Hans Kelsen.
Austin terhadap dalam pemikiran legal positivism. John Austin, ahli filsafat hukum
Inggris, secara umum diakui sebagai ahli hukum pertama yang memperkenalkan
5Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Kencana,2013) hlm. 42.
6Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008), hlm. 114.
4
positivisme hukum sebagai sistem. Pemikiran pokoknya tentang hukum dituangkan
Austin pada mulanya membagi hukum kepada dua jenis sebagaimana dalam
Taking it with the largest of its meanings which are not marely metaphorical, the term
laws embraces the following objects: Laws set by God to his human creatures and laws set by
men to men.
The whole or a portion of the laws set by God to men, is frequently styled the law of
nature, or naatural law: being, in truth , the only natural law, of which it is possible to speak
without a metaphor, or out a blending of objects which ought to be distinguished broadly. But,
rejecting the ambiguous expression natural law, I name those laws or rules, as considered
The laws or rules set by men to men, are of two leading or pricipal classes: classes which
are often blended, although they differ extremely; and which, for that reason, should be severed
Of laws or rules set by men to men, some are established by political superiors, sovereign
hukum yang dibuat oleh Tuhan untuk orang-orang yang patuh dan hukum yang
dibuat oleh manusia untuk manusia. Meskipun masih membuka dengan menjabarkan
apa itu hukum Tuhan dan hukum manusia, namun Austin telah menunjukan
5
“gugatannya”9 terhadap hukum Tuhan yang penuh pengibaratan yang tidak valid
hukum tersebut dikeluarkan oleh sebuah otoritas yang berdaulat. Yang memiliki
kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya: (1)
individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang
dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok individu
yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga diatasnya.10
Lalu dimana Austin menempatkan moral sebagai aspek yang sangat essensial
penyerapan hukum alam oleh hukum perdata dipungkiri dan di ungguli (demikian
pula pandangan Hume dan Bentham terhadap pemikiran ini).11 Austin bukanlah
seorang yang anti-moral. Namun beranjak dari pandangan monolak secara validitas
moral yang bersifat transenden, Austin memberikan ruang yang terpisah dari hukum
dalam kaca mata psitivisme hukumnya yang membuat identitas atas pemikirannya
For such of the human laws belonging to this second class as are properly called laws, current or
established languange has no collective name. But the aggregate of the human laws, which are
9 John Austin adalah juga seorang pengacara di Inggris. Karirnya sebagai pengacara
mempengaruhi pandangan hukumnya tentang bagaimana proses pembuktian atau validitas. Selain
itu tulisan Austin yang menggunakan kata “Jurisprudance” menunjukan bagaimana hukum adalah
sesuatu yang ada di pengadilan atau apa yang dilahirkan oleh hakim.
10 Andre Uta Ujan, Op.cit., hlm. 71.
11 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, (Bandung: Nusa Media, 2010)
6
improperly styled laws, is not un frequently donated by one of following expressions: “moral
rules,” “the moral law,” “the law set or prescribed by general or public opinion.” Certain parcels
of aggregate donated by those expressions, are usually styleed “the law or rules of honour,” and
“the law set by fashion.” As opposed to the laws which are set by God to men, and to the laws
which are established by political superiors, are aggregate of human laws, which are improperly
styled laws, my be named commadiously positive morality. The name morality severs them from
positive law: Whilest the epithet positive disjoins them from the law of God. And to the end of
obviating confussion, it is necessary or expedient tha they should be disjoined from the latter by
distinguishing epithet. For the name morality (or moral), when standing unqualified or alone,
denotes indifferently either of following objects: namely positive morality as it is, or without
regard to its merits ; and positive morality as it would be, if it conformed to the law of God, and
Austin membedakan sendiri dalam tulisannya bahwa ada hukum positif dan
moral positif. Kedua-duanya merupakan hasil ciptaan manusia yang bersifat valid dan
Tentang hukum buatan manusia, Austin menggolongkan lagi dalam dua kategori, yaitu: (1)
Hukum Positif, yaitu hukum yang dibuat oleh pembuat hukum (penguasa yang berdaulat). (2)
Moralitas Positif, yakni hukum yang dibuat oleh kelompok atau organisasi non negara yang
kesukuan, keagamaan, olahraga dan lain-lain. Adapun laws improperly so called, oleh Austin
dibagi dua juga, yakni hukum hasil analogi dan hasil metafora. Hukum hasi analogi diciptakan
dari kehendak atau pendapat umum atau laws set or imposed by general opinion, seperti cara
berperlaku, etiket cara bergaul, cara berpakaian yang pantas dan lain sebagainya. Pada
gilirannya, semua hukum hasil analogi akan menciptakan moralitas positif (positive morality).
Jadi morlitas postif (positive morality) selain dibentuk dari perbuatan manusia juga dapat
dibentuk dari hukum hasil analogi. Sedangkan hukum yang tidak sebenarnya yang berupa
metafora (laws by methapor), menunjukan pada hukum alamiah (laws of nature), yakni
7
mekanisme-mekanisme alam sebagaimana adanya, seperti misalnya setiap orang pasti mati, air
dipanaskan mendidih, sayur membusuk. Hukum seperti ini menurut Austin tidak terkait dengan
moralitas positif. Metode Austin memisah-misahkan hukum positif dari moral transenden dan
moral positif itulah yang menyebabkan dia disebut sebagai tokoh analytical jurisprudance.13
Dengan demikian Austin mengemukakan bahwa hukum memilik empat unsur, yaitu:
(1) perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty), dan (4)
kedaulatan (sovereignty).
mendapatkan tempat tersendiri. Berangkat dari dasar pemikiran John Austin yang
menyatakat bahwa hukum merupakan komando dari penguasa yang berdaulat, H.L.A.
Hart menangkap adanya kelemahan dari pemikiran John Austin tersebut. Hart
hukum untuk tidak taat atau tunduk kepada hukum yang dibuatnya. Hart
menyatakan bahwa hukum harus dilihat sebagai sebuah sistem peraturan yang
mengatur.
1. Peraturan Primer
sosial juga ditentukan oleh kebiasaan yang biasa berlaku dalam masing-
8
masing komunitas. Struktur sosial yang mengatur perilaku masyarakat
prahukum inilah yang oleh Hart sebut sebagai “peraturan primer” atau
2. Peraturan Sekunder
secara pasti.
Tentang konsep Hart mengenai aturan primer dan aturan sekunder, diuraikan
secara lebih sederhana oleh Friedman sehingga lebih mudah kita mengerti. Menurut
Friedman:
Pertama-tama ada aturan mengenai aturan. Ada aturan mengenai prosedur, dan ada aturan
yang memerintahkan kita bagaimana membedakan aturan dari yang bukan aturan. Lebih
kongkretnya aturan ini mengenai yurisdiksi, pledoi, hakim, pengadilan, pemungutan suara di
badan legislatif, dan lain-lain. Aturan yang berbunyi bahwa rancangan undang-undang tidak
boleh menjadi undang-undang di New Mexico jika dewan perwakilan rakyat tidak
mengesahkannya dan gubernur tidak menanda tanganinya, adalah aturan mengenani aturan.
Aturan ini menjelaskan bagaimana membuat aturan hukum di New Mexico. Dalam bukunya
yang terkenal, H.L.A. Hart menamai aturan mengenai aturan ini sebagai “aturan sekunder”
(secondary rules); Hart menamai aturan mengenai perilaku nyata sebagai aturan primer
(primary rules). Aturan yang melarang masuk dengan paksa (burglary) ke toko grosir atau
melarang berkendaraan dengan kecepatan 90 mil per jam menuju ke toko grosir adalah contoh
aturan primer. Menurut Hart, hukum adalah kesatuan dari aturan primer dan sekunder.15
15 Lihat Achmad Ali, Menguat Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
9
Hart sepakat dengan pandangan Austin yang memisahkan hukum dan moral.
Akan tetapi Hart memiliki sejumlah catatan perbaikan. Menurut Hart, moral menjadi
syarat minimum dalam hukum. Hart sepertinya menyadari bahwa positivisme hukum
keterbatasan natural itu. Selain itu hukum juga memiliki kewajiban moral untuk
Hart secara langsung menentang pendapat Austin tentang hukum yang sangat
kedap moral. Pemikiran positivisme hukum Hart terkenal melalui dua karyanya The
Concept of Law dan Positivism and the Separation of Law and Morals. Keberlanjutan
positivisme hukum dalam pemikiran Hart tidak terlepas dari kritik. Hart yang
memandang hukum sebagai sistem aturan (hukum primer dan hukum sekunder)
ternyata lebih menekankan terhadap aspek formalistik hukum itu sendiri. Berangkat
dari kenyetaan tersebut, Hans Kelsen muncul melahirkan “cerita” baru tentang
positivisme hukum.
Kelsen muncul dengan dua maha karya The General Theory Law and State dan
The Pure Theory of Law. Kelsen menentang pandangan Hart dan Austin yang menitik
beratkan hukum kepada aspek sanksi. Awal mulanya Kelsen melihat hukum sebagai
sebuah tatanan yang merupakan obyek dari pengetahuan ini merupakan tatanan
10
Yang kami maksud dengan “norma” adalah sesuatu yang seharusnya ada atau
tertentu.17
Sebagai seorang yang identik dengan pemikiran Hukum Tata Negara dan
yahudi (mulai dari pemilu Austria hingga anti-Yahudi Hitler) serta perang dunia
kedua menjadi peletak dasar pemikiran hukum murni Hans Kelsen. Ini adalah
benturan pertama Kelsen terhadap pemikiran Austin sebagai komando milik otoritas
berdaulat/berkuasa.
hukum yang dilahirkan oleh penguasa serta isu yang anti-yahudi. Hukum murni yang
dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari
pelepasan hukum dari hal-hal penafsiran atau anasir-anasir yang bersifat non-hukum.
Pemurnian hukum ini juga menyepakati apa yang menjadi pemikiran Austin
dan Hart (positivisme hukum) tentang menentang sifat tradisional hukum alam.
Doktrin hukum alam jatuh bangun dengan asumsi bahwa nilai itu imanen dalam
realitas. Apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa sebuah analisis obyektif dari
realitas, yakni, sebuah analisis yang tidak mempresumsikan secara pasti nilai atau
17 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung: Nusa Media, 2011), (Terjemahan), hlm. 5.
18 Ibid., hlm. 1
11
norma, yang semestinya mengarah pada penegasan terhadap nilai atau norma ini,
maka doktrin hukum alam tidak mempunyai pondasi.19 Jika aliran hukum kodrat
memiliki argumen pada wacana validasi (legitimasi) hukum buatan manusia, maka
kekuatan argumen Positivisme Hukum terletak pada aplikasi struktur norma positif
Hart (hukum sebagai sebuah sistem aturan) dalam merumuskan hukum positif
sebagai sebuah struktur norma. Sehingga Kelsen melahirkan teori yang melihat
hukum sebagai sebuah sistem hierarkis. Kelsen menamai puncak tertinggi dari
tertinggi merupakan acuan dari segala sumber hukum dibawahnya baik yang akan
dibentuk atau yang sedang berjalan. Tatanan hukum bukanlah sebuah sistem norma
yang terkordinir yang berkedudukan sama, melainkan sebuah hierarki norma hukum
hierarkis ini kemudian diambil alih oleh Hans Nawiasky dengan modifikasi. Akan
tetapi diskursi tentang norma hukum dasar dan norma fundamental negara ini telah
menjebak Kelsen dan Nawiasky pada perangkap aliran hukum kodrat, sama halnya
12
dengan von Savigny tatkala mengemukakan volksgeist sebagai jiwa bangsa yang
bersama rakyat agar mencapai tujuan hukum itu sendiri. Dalam pandangan Kelsen
Salah seorang wakil terpenting dari aliran ini, yakni F.C. von Savigny, mengemukakan
pandangan bahwa hukum tidak dapat “dibuat” melainkan ada di dalam dan dilahirkan bersama
rakyat karena diperanakan menurut cara yang misterius oleh hati nurani rakyat (volksgeist).
Oleh sebab itu dia menolak setiap wewenang untuk membuat undang-undang, dan
menyebutnya ketaatan terhadap kebiasaan bukan sebagai hukum melainkan sebagai bukti dari
keberdaannya. Dalam teori hukum Perancis modern, doktrin volksgeist digantikan oleh doktrin
“solidaritas sosial”.23
Kelsen adalah validitas hierarkis yang bersifat formil. Sementara konteks materil
hukum adalah politik hukum yang tergantuk kepada ideologi pembuat hukum atau
semangat yang dibawa dalam apa yang disebut dengan volksgeist tersebut. Meski
menolak disamakan baik dengan aliran hukum alam atau aliran sejarah hukum,
namun pada kenyataan nilai dalam groundnorm yang disebut oleh Kelsen sebagai
sumber tertinggi ternyata memiliki tingkat keabstarkan yang tinggi sama halnya
22 Shidarta, Op.cit.,
23 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa Media, 2011),
(Terjemahan), hlm.183.
13
Akan tetapi norma dasar menurut Kelsen jika dilihat dari proses pembentukan
adalah nilai bersama masyarakat tentang hukum yaitu keadilan. Keadilan dalam kaca
mata Kelsen sebagai tujuan bersama masyarakat sebagai aspek materil dari hukum.
Ternyata pemikiran Austin dan Hart dalam positivisme hukum dengan Kelsen dari
judicial review. Mungkin hal ini sangatlah berhubungan dengan perjalanan Kelsen
C. Penutup
standar nilai yang sama untuk menjawab sebuah persoalan. Hans Kelsen dalam
dalam bentuk, subjek hukum ditambah bentuk kesalahan yang menghasilkan adanya
hukuman. Meskipun, sampai saat ini, ini merupakan sebuah cara yang jelas sangat
berguna yang dapat digunakan oleh para praktisi atau analis hukum untuk
menjauh dari gagasan bahwahukum itu terdiri dari proses-proses yang terkait
dengan manusia.24
menguasai praktek berhukum saat ini, ia tidak lepas dari kritik atas sifatnya yang
formalistik, kaku atau diistilahkan legisme. Namun kenyataannya saat ini, hukum
24 Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum,(Bandung: Nusa Media, 2012) (Terjemahan), hlm. 13.
14
tidak hanya menyangkut tentang manusia, akan tetapi semua hal yang berhubungan
dengan kehidupan di jagad raya. Pemisahan tegas antara hukum dan moral oleh
positivisme hukum secara keseluruhan memiliki sisi positif dan negatif. Hukum
adalah produk rasional dan moral meskipun masuk kedalam hukum haruslah
pembentukan hukum.
sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri.25 Permasalahan implementasi hukum
khususnya oleh aparat penegak hukum adalah sebuah penafsiran atas teks hukum
substantif.26 Selain itu pabrik pencetak aparat penegak hukum dan pembentuk
hukum haruslah memiliki visi hukum yang jelas atas jawaban permasalahan hukum
25 Phillipe Nonet & Phillip Salznick, Hukum Responsif: Pilihan di Masa Transisi, (Jakarta:
15
Daftar Pustaka
Achmad Ali, Menguat Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudance) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudance),
Kencana, Jakarta, 2009.
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Nusa Media, Bandung,
2010, diterjemahkan dari judul aslinya The Phislosophy of Law in Historical
Perspective.
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung, 2011, diterjemahkan dari
judul aslinya The Pure Theory of Law.
---------------, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2011,
diterjemahkan dari judul aslinya The General Theory Law and State.
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined , Ed. John Murray, Albemarle
Street, London 1832.
Phillipe Nonet & Phillip Salznick, Hukum Responsif: Pilihan di Masa Transisi, Huma,
Jakarta, 2003, diterjemahkan dari judul aslinya Law and Society in Transition:
Toward Responsive Law.
Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum Nusa Media, Bandung, 2012, diterjemahkan dari
judul aslinya The Sociology of Law: An Introduction.
16