Anda di halaman 1dari 7

Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Agraria

1. Prinsip Nasionalitas; mengandung makna bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah


karunia Tuhan YME, kesatuan tanah air dari bangsa Indonesia, kemerdekaannya
diperjuangkan oleh bangsa Indonesia, sehingga menjadi hak dari bangsa Indonesia. Hak
yang dimaksud sifatnya abadi, yang artinya selama bangsa Indonesia masih ada tidak
ada hal apapun yang bisa memutuskan hubungan bangsa Indonesia dengan tanah
airnya. Sehingga dengan prinsip ini ditentukan bahwa hanya warga negara Indonesia
saja yang dapat mempunyai hak atas tanah atas dasar hak milik[i] tanpa membedakan
jenis kelamin laki-laki maupun perempuan[ii], sementara bagi warga negara asing
dilarang[iii]. Untuk menyeimbangkan prinsip ini juga diuraikan mekanisme
perlindungan terhadap warganegaranya, misalnya dengan melakukan pengawasan pada
setiap peralihan hak milik (khususnya untuk warga negara yang lemah
ekonominya)[iv], serta untuk menjaga asas keadilan sosial pemerintah diwajibkan
untuk mencegah adanya organisasi atau usaha-usaha perseorangan dalam lapangan
agraria yang bersifat monopoli swasta warga negara[v]
2. Prinsip Hak Menguasai Negara (HMN); bermakna bahwa asas domein[vi] yang
menjadi dasar undang-undang kolonial dihapuskan, sehingga praktek-praktek negara
yang memiliki tanah pada wilayahnya tidak diakui lagi. HMN menempatkan negara
tidak menjadi pemilik tanah melainkan sebagai organisasi tertinggi dari bangsa
Indonesia yang diberi kekuasaan untuk (1) mengatur dan menyelenggarakan
peruntukkan,penggunaan dan pemeliharaannya; (2) menentukan dan mengatur hak-hak
yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa; (3) mengatur dan
menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pelaksanaan HMN ini berada pada
wewenang Presiden sebagai mandataris yang dibantu oleh Menteri Agraria dengan
jajaran aparatusnya. Di daerah, penyelenggaraan HMN dapat didelegasikan kepada
daerah-daerah swatantra (propinsi, kabupaten/kotamadya, kecamatan dan desa) dan
bahkan pada suatu komunitas adat yang masih kuat keyakinan norma-norma
adatnya[vii]. Batasan HMN adalah bahwa HMN tidak boleh mengesampingkan hak-
hak atas tanah yang telah dipunyai oleh warga negara Indonesia ataupun badan hukum-
badan hukum. Sementara untuk yang tidak dipunyai hak, maka berdasarkan HMN,
negara mempunyai kekuasaan penuh dan luas untuk dapat memberikannya dengan
suatu hak kepada warga negara ataupun badan hukum menurut keperluan maupun
peruntukkannya.
3. Prinsip Tanah Mengandung Fungsi Sosial; Prinsip ini berarti bahwa setiap hak atas
tanah yang ada pada seseorang tidak dibenarkan untuk dipergunakan (atau tidak
dipergunakan) semata-mata demi kepentingan pribadi, apalagi sampai merugikan
masyarakat.
4. Prinsip Land Reform; prinsip ini adalah gambaran dari tujuan menciptakan suatu
struktur pemilikan tanah yang baru. Land reform bertujuan, seperti yang diuraikan
Menteri Agraria, Mr Sadjarwo dalam pidatonya tanggal 12 September 1960 didepan
DPR-GR, yaitu (1) untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan
rakyat petani yang berupa tanah, dengan cara merombak struktur pertanahan secara
revolusioner, guna merealisir keadilan sosial; (2) untuk melaksanakan prinsip tanah
untuk petani[viii], agar tidak terjadi lagi objek spekulasi dan pemerasan; (3) untuk
memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia
yang berfungsi sosial; (4) untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan
penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas[ix]; dan (5) untuk
mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang
intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong
lainnya.
5. Prinsip Perencanaan Agraria; prinsip ini berhubungan dengan prinsip HMN, dimana
dalam rangka menciptakan sosialisme Indonesia. Negara diharuskan membuat tata
guna agraria dengan menyusun suatu perencanaan umum secara nasional khususnya
mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan tanah dan kekayaan alam.

Macam-Macam Hak Atas SDA

Dalam pengelolaan sumber daya alam mineral dan batubara tentu akan bersentuhan dengan
penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya seperti dalam hal penggunaan tanah
diatasnya,sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi benturan kepentingan dan kewenangan
antar instansi atau departemen,misalnya terkait dengan izin pertambangan diberikan oleh
pemerintah dalam hal ini adalah dibawah kementerian ESDM, sedangkan terkait dengan hak
atas tanah diatur di Badan Petanahan Nasional, bahkan bisa terjadi benturan dengan hak-hak
rakyat serta masyarakat hukum adat. Jika benturan ini terus terjadi maka peguasaan Negara
terhadap Sumber Daya Alam kurang memberi kontribusi terhadap sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dalam pengelolaan sumber daya alam
mineral dan batubara, tidak terlepas dari penggunaan tanah diatasnya sedangkan Sumber Daya
Alam mineral dan batubara tersebut berada dibawah tanah, jadi perlu diketahui hukum yang
mengatur tentang hak atas tanah dan hukum yang mengatur izin pertambangan diatasnya ketika
ingin mengelola sumber daya alam mineral dan batubara yang ada dibawah tanah tersebut agar
tidak terjadi tumpang tindih terhadap hak atas tanah dan izin pertambangan yang diberikan oleh
pemerintah. Sistem adalah sesuatu yang terdiri atas sejumlah unsur atau komponen yang selalu
saling mmpengaruhi dan saling terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas, St.Munadjat
Danusaputro menyatakan bahwa sistem merupakan satu kesatuan yang tersusun secara terpadu
antar bagian-bagian kelengkapannya, dengan memiliki tujuan secara pasti.
1 Sementara itu, hukum adalah suatu gejala yang dari dirinya sendiri menghendaki
sistematisasi. Dengan demikian sistem hukum merupakan satu kesatuan sistem besar yang
tersusun atas subsubsistm yang lebih kecil, yang pada hakikatnya merupakan suatu sistem yang
tersendiri pula. Demikian juga halnya dengan kedudukan hukum agrarian dalam arti sempit
(hukum tanah) dalam system hukum nasional. System hukum agararia (hukum tanah)
merupakan satu ksatuan dengan sub-sub system hukum lainnya, sperti hukum pertambangan,
hukum lingkungan dan sebagainya, bekerja secara sistematis dalam satu tatanan system hukum
nasional.
2 Sebagian pakar menempatkan hukum tanah sebagai bagian dari hukum administrasi Negara
dalam sistem hukum nasional. Boedi Harsono menyatakan bahwa di lingkungan administrasi
pmerintahan di Indonesia, istilah agararia dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian
maupun nonpertanian. Semnetara itu, istilah hukum agrarian dilingkungan administrasi
pemrintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundnag-undangan yang member landasan
hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka, menurut
Boedi Harsono, hukum agraria merupakan bagian dari hukum administrasi Negara.
3 Sejalan dengan pendapat Boedi Harsono di atas,E.Utrecht berpendapat bahwa ada dua bagian
penting dari hukum administrasi Negara, yaitu bagian administrasi Negara di lapangan
keuangan Negara (administrasi kuangan Negara) dan bagian Selain karena Indonsia merupakan
Negara agraris, hal itu juga disebabkan karena hukum agrarian merupakan hukum yang
mengatur hubungan hukum yang istimewa, yaitu tugas dari para pejabat administrasi Negara
untuk mengatur kepentingan umum yang berkaitan dengan tugas-tugas keagrariaan. Sebagai
bagian dari hukum administrasi Negara, hukum agrarian berkaitan erat dengan kebijakan-
kebijakan pemerintah di bidang pertanahan dan keagrariaan.
4 Atas dasar pendapat-pendapat pakar di atas, meskipun tanah merupakan bagian dari hukum
benda, yaitu benda tidak bergerak, kedudukan hukum tanah dalam sistem hukum nasional
berada pada ruang lingkup hukum administrasi Negara. Hal ini trjadi karena dalam hukum
tanah didominasi oleh kebijakan-kebijakan pemerintahan di bidang pertanahan.
5 Konsepsi hukum pertanahan di Indonesia pada prinsipnya bersumber pada naskah proklamasi
dan UUD 1945. Dari naskah proklamasi dan pembukaan UUD 1945 itu jugalah dapat diambil
intisari dan pokok-pokok pikiran sebagi berikut:
1. Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah
Indonesia.
2. Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
3. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
4. Kemerdekaan bangsa Indonesia harus disusun dalam suatu Undang-undang dasar.
5. Negara republik Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat yang didasarkan pada
kelima sila dari pancasila.
Perwujudan pokok-pokok pikiran bahwa kemerdekan bangsa Indonesia harus disusun dalam
suatu Undang-undang dasar sudah terealisasi dengan lahirnya UUD 1945 sebagai hukum dasar
tertulis yang memuat rechtsidee atau cita-cita hukum sebagaimana dimuat dalam bab umum
UUD 1945 yang terbentuk dari pokok-pokok pikiran dalam pembukaan beserta pasal-pasalnya.
Konsepsi hukum pertanahan nasional adalah konsepsi hukum adat, yaitu konsepsi yang
komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan
hakhak atas tanah yang bersifat pribadi, namun di dalamnya juga terkandung unsur
kebersamaan. Sifat komunalistik religious konsepsi hukum pertanahan nasional ini diatur oleh
pasal 1 Ayat(2) UUPA yang menyebutkan :“ seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
nkekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah republic Indonesia, sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional”. Hukum Adat adalah sumber Hukum Agraria, yang menurut
Ali Achmad Chomsah termasuk dalam sumber hukum tidak tertulis,
6 yang keberadaannya diakui dan dilindungi olehh konstitusi RI. Pengakuan dan perlindungan
terhadap eksistensi Hukum Adat telah dilakukan aturan aturan tentang pembaharuan agrarian
dan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan Pasal 18B ayat (2)UUD 1945 Pasal 5
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 beserta peraturan pelaksananya.
Hak ulayat
Definisi Hak Ulayat dan Tanah Ulayat
Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Tanah Ulayat, tanah ulayat diartikan
sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan
atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat.

UUPA sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat. Dalam Pasal 3
UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam
Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut
"beschikkingsrecht". Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-
hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang
dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.

Pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (“Permen Agraria dan Tata Ruang
10/2016”) hak ulayat atas tanah dikenal dengan istilah hak komunal atas tanah yaitu hak milik
bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat, atau hak milik bersama atas tanah yang
diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.[1]

Kawasan tertentu adalah kawasan hutan atau perkebunan. Sedangkan yang dimaksud dengan
masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan.[2]

Sementara itu, Putu Oka Ngakan, et al. dalam buku Dinamika Proses Desentralisasi Sektor
Kehutanan di Sulawesi Selatan (hal. 13) mendefinisikan tanah ulayat (hak
kolektif/beschikkingsrecht) sebagai “tanah yang dikuasai secara bersama oleh warga
masyarakat hukum adat, di mana pengaturan pengelolaannya dilakukan oleh pemimpin adat
(kepala adat) dan pemanfaatannya diperuntukan baik bagi warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan maupun orang luar.”

Jadi, hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat. Sedangkan
hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat,
yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.

Apakah Lereng Gunung yang Dikelola oleh Warga Masyarakat Secara Turun-Temurun Dapat
Dikatakan Sebagai Tanah Ulayat?
Menjawab pertanyaan Anda, untuk menentukan apakah lereng gunung yang dikelola oleh
warga masyarakat secara turun-temurun dapat dikatakan sebagai tanah ulayat atau tidak, kita
harus memastikan apakah syarat-syarat hak ulayat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUPA
terpenuhi.

Menurut Kurnia Warman dalam buku Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk (hal. 40)
persyaratan yang harus dipenuhi oleh hak ulayat menurut Pasal 3 UUPA adalah:

Sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat itu masih ada;


Mengenai hal ini, sesuai dengan Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”), suatu masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
ada wilayah hukum adat yang jelas;
ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.

Sesuai dengan kepentingan nasional dan negara; dan


Dari segi politik, menurut Kurnia Warman, pernyataan “sesuai dengan kepentingan nasional
dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa” merupakan suatu a priori yang
mengandung kecurigaan dari pemerintah terhadap masyarakat hukum adat. Pernyataan ini
menunjukan seolah-olah masyarakat hukum adat itu bukan merupakan bagian kenasionalan,
kenegaraan dan kebangsaan.
Maka karena pernyataan “sesuai dengan kepentingan negara” ini dapat menimbulkan multi
tafsir dan sarat kepentingan politik, akan sulit bagi kita untuk dapat menentukan apakah
keberadaan suatu masyarakat hukum adat tertentu memenuhi persyaratan ini atau tidak, tanpa
mengetahui masyarakat hukum adat yang mana yang dimaksud tersebut.

Tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi.


Persyaratan yang terakhir ini, menurut Kurnia Warman, tidak terlampau menjadi ganjalan yang
merisaukan bagi keberadaan hak ulayat karena UUD 1945 telah tegas mengakui keberadaan
hak-hak tradisional komunitas di Indonesia. Pasal 18B ayat (1) UUD menyatakan bahwa
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat besarta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, jika ada UU yang tidak mengakui
keberadaan hak-hak tradisional komunitas maka UU tersebut jelas-jelas bertentangan dengan
UUD 1945.
Selain itu , Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur cara penetapan hak komunal
atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.
Pasal 5 ayat (1) Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur bahwa masyarakat hukum
adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu mengajukan permohonan penetapan
hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat kepada Bupati/Walikota atau
Gubernur.
Permohonan tersebut diajukan oleh kepala adat atau perwakilan masyarakat yang berada dalam
kawasan tertentu, dengan dilengkapi syarat antara lain:[3]
riwayat masyarakat hukum adat dan riwayat tanahnya, apabila pemohon masyarakat hukum
adat;
riwayat penguasaan tanah paling kurang 10 (sepuluh) tahun atau lebih secara berturut-turut,
apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu;
fotokopi kartu identitas atau akta pendirian koperasi, unit bagian dari desa, atau kelompok
masyarakat lainnya;
surat keterangan dari kepala desa atau nama lain yang serupa dengan itu.
Setelah menerima permohonan tersebut, Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk Tim
Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (“Tim IP4T”­)
untuk menentukan keberadaan masyarakat hukum adat atau masyarakat yang berada dalam
kawasan tertentu serta tanahnya.[4]

Dalam hal tanah yang dimohon berada di dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota
membentuk Tim IP4T yang terdiri dari:[5]
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai ketua merangkap anggota;
Camat setempat atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;
Lurah/Kepala Desa setempat atau sebutan lain yang disamakan dengan itu sebagai anggota;
Unsur pakar hukum adat, apabila pemohon Masyarakat Hukum Adat;
Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai
Pemantapan Kawasan Hutan dan Unsur Dinas/Badan Kabupaten/Kota yang menangani urusan
di bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam
Kawasan Hutan;
Perwakilan Masyarakat Hukum Adat setempat atau perwakilan masyarakat yang berada dalam
Kawasan Tertentu;
Lembaga Swadaya Masyarakat; dan
Instansi yang mengelola sumber daya alam.
Dalam hal tanah yang dimohon terletak di lintas Kabupaten/Kota, Gubernur membentuk Tim
IP4T yang terdiri dari unsur yang sama seperti di atas, kecuali huruf e diganti dengan Unsur
Dinas Provinsi yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai Pemantapan
Kawasan Hutan, dan Unsur Dinas/Badan Provinsi yang menangani urusan di bidang tata ruang
sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan hutan, serta
ditambahkan unsur Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai Ketua
merangkap anggota.[6]
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kami tidak dapat menentukan apakah lereng gunung
yang dikelola oleh warga masyarakat secara turun temurun tersebut dapat dikatakan sebagai
tanah ulayat atau tidak. Perlu dilakukan pembahasan dan penelitian yang saksama yang
melibatkan Pemda, DPRD, dan kantor BPN setempat, pakar hukum adat, serta pihak-pihak
terkait lainnya untuk menentukan apakah daerah tertentu merupakan tanah ulayat. Tetapi perlu
diingat bahwa masyarakat hukum adat di daerah lereng gunung tersebut harus mengajukan
permohonan penetepan tanah tersebut sebagai hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat
di kawasan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai