Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan masalah kesehatan utama di negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. KVA terutama sekali mempengaruhi anak kecil, diantara
mereka yang mengalami defisiensi dapat mengalami xerophthalmia dan dapat berakhir menjadi
kebutaan, pertumbuhan yang terbatas, pertahanan tubuh yang lemah, eksaserbasi infeksi serta
meningkatkan resiko kematian. Hal ini menjadi nyata bahwa KVA dapat terus berlangsung mulai
usia sekolah dan remaja hingga masuk ke usia dewasa (Keith dan West, 2008).
Meskipun konsekuensi kesehatan dari KVA tidak digambarkan dengan baik di atas anak
usia dini, namun data terakhir menunjukkan bahwa KVA pada wanita usia reproduksi dapat
meningkatkan resiko kesakitan dan kematian selama kehamilan dan periode awal postpartum.
KVA yang berat pada maternal juga memberikan kerugian bagi anak baru lahir karena dapat
akibatkan peningkatan kematian dibulan pertama kehidupan. Sebagai konsekuensi dari
meningkatnya pemahaman tentang KVA maka sangat penting bahwa beban kesehatan yang
dihasilkan dikuantifikasi setepat mungkin, sebagai dasar tindakan dan pemantauan serta evaluasi
program pencegahan selanjutnya. Kemajuan telah dilakukan selama 4 dekade terakhir dalam
memperkirakan beban KVA, terutama dengan menggabungkan dan mengekstrapolasikan data
prevalensi dari negara dimana telah dikumpulkan dalam populasi dengan profil demografis yang
sama dan risiko yang telah diantisipasi. Dalam beberapa tahun terakhir, KVA telah diperkirakan
mempengaruhi antara 75 dan 254 juta anak prasekolah setiap tahun, jauh dari jarak yang akurat.
Tidak ada perkiraan permasalahan kesehatan global KVA ibu atau adanya insidensi tahunan
kebutaan malam ibu (XN) ( Arlappa, 2012; Keith dan West, 2008).
KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi Protein (KEP)
atau Gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi sangat kurang, termasuk zat gizi mikro dalam hal
ini vitamin A. Anak yang menderita KVA mudah sekali terserang infeksi seperti infeksi saluran
pernafasan akut, campak, cacar air, diare dan infeksi lain karena daya tahan anak tersebut
menurun. Namun masalah KVA dapat juga terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal
ini terjadi karena kurangnya pengetahuan orang tua / ibu tentang gizi yang baik. Gangguan
penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal ini sangat jarang terjadi.
Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang berkepanjangan akan menyebabkan anak
menderita KVA, yang umumnya terjadi karena kemiskinan, dimana keluarga tidak mampu
memberikan makan yang cukup. Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih
membutuhkan perhatian yang serius. Oleh karena itu dirasakan perlunya Program
penanggulangan masalah KVA bertujuan untuk menurunkan prevalensi KVA terutama ditujukan
kepada kelompok sasaran rentan yaitu balita dan wanita yang berada pada usia reproduksi
( Heijthuijsen, et al ,2013).

Penanggulangan masalah Kurang Vitamin A (KVA) pada anak Balita sudah dilaksanakan
secara intensif sejak tahun 1970-an, melalui distribusi kapsul vitamin A setiap 6 bulan, dan
peningkatan promosi konsumsi makanan sumber vitamin A. Dua survei terakhir tahun 2007 dan
2011 menunjukkan, secara nasional proporsi anak dengan serum retinol kurang dari 20 ug sudah
di bawah batas masalah kesehatan masyarakat, artinya masalah kurang vitamin A secara nasional
tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2012).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Xeroftalmia
2. Apa penyebab Xeroftalmia?
3. Apa saja gejala Xeroptalmia?
4. Bagaimana pengobatan Xeroftalmia?
5. Bagaimana pencegahan Xeroftalmia?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Xeroftalmia
2. Mengetahui penyebab Xeroftalmia
3. Mengetahui gejala Xeroftalmia
4. Mengetahui bagaimana pengobatan Xeroftalmia
5. Mengetahui bagaimana pencegahan Xeroftalmia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Xeroftalmia

Xeroftalmia atau Xerosis adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan


vitamin A pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi
sel retina yang berakibat kebutaan. Kata Xeroftalmia (bahasa latin) berarti “mata kering”,
karena terjadi kekeringan pada selaput selaput lendir (konjungtiva) dan selaput bening
(kornea) mata. Penyakit ini sering disebut dengan rabun senja karena penderita tidak dapat
melihat benda dengan jelas apabila dalam keadaan malam hari. Mata kering ini terjadi
akibat kurangnya zat pelindung yang disebut retinol atau vitamin A.

Tubuh memerlukan asupan vitamin yang cukup sebagai zat pengatur dan
memperlancar proses metabolisme dalam tubuh. Sebagai vitamin yang larut dalam lemak,
vitamin A membangun sel-sel kulit dan memperbaiki sel-sel tubuh, menjaga dan melindungi
mata, menjaga tubuh dari infeksi, serta menjaga pertumbuhan tulang dan gigi. Karena fungsi
tersebut, vitamin A sangat bagus dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
Vitamin A juga berperan dalam epitil, misalnya pada epitil saluran pencernaan dan
pernapasan serta kulit. Vitamin A berkaitan erat dengan kesehatan mata. Vitamin A
membantu dalam hal integritas atau ketahanan retina serta menyehatkan bola mata. Vitamin
A fungsinya tak secara langsung mengobati penderita minus, tapi bisa menghambat minus.
Kekurangan vitamin A menyebabkan mata tak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan
cahaya yang masuk dalam retina. Sebagai konsekuensi awal terjadilah rabun senja, yaitu
mata sulit melihat kala senja atau dapat juga terjadi saat memasuki ruangan gelap. Bila
kekurangan vitamin A berkelanjutan maka anak akan mengalami xerophtalmia yang
mengakibatkan kebutaan.

B. Penyebab Xeroftalmia

Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A. Perlu diketahui, tubuh tidak
dapat memproduksi vitamin A sendiri. Dalam kondisi normal, vitamin A bisa didapat dari
makanan, baik dari makanan hewani maupun nabati. Xerophthalmia lebih rentan dialami
oleh anak-anak dan wanita hamil karena keduanya membutuhkan lebih banyak vitamin A.
Selain itu, orang yang mengalami gangguan penyerapan vitamin A juga berisiko terkena
xerophthalmia.
a. Bila ditinjau dari konsumsi makanan sehari-hari kekurangan vitamin A
disebabkan oleh:
1. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup vitamin A atau pro-
vitamin A untuk jangka waktu yang lama.
2. Bayi tidak diberikan ASI Eksklusif
3. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, seng/Zn atau zat
gizi lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan vitamin A dan penggunaan
vitamin A dalam tubuh
4. Adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti pada
penyakit-penyakit antara lain penyakit pancreas, diare kronik, KEP dan lain-
lain sehingga kebutuhan vitamin A meningkat.
5. Adanya kerusakan hati, seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronik,
menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein) dan
pre-albumin yang penting untuk penyerapan vitamin A.

b. Faktor Risiko Kekurangan Vitamin A


Sebagai permasalahan kesehatan masyarakat, defisiensi vitamin A terjadi didalam
lingkungan sosial, ekonomi, dan ekologi yang miskin dan penduduknya tinggal di negara
yang ekonomiya sedang berkembang serta mengalami transisi. Pengaruh relatif faktor
kasusal pada tingkat makro maupun mikro dapat sangat bervariasi antar negara bahkan
antar wilayah dalam negara yang sama. Oleh karena itu, kita harus memahami kondisi
setempat ketika membuat rancangan program intervensi yang tepat dan efektif secepatnya
untuk memperbaiki situasi tersebut. Walaupun begitu, ada beberapa faktor resiko
dibaliknya yang cenderung menandai sebagian besar situasi ketika defisiensi vitamin A
lazim ditemukan.
1) Usia
Berbagai tingkat defisiensi vitamin A mulai dari bentuk subklinis hingga bentuk
malnutrisi dengan kebutaan yang berat (keratomalasia), dapat terjadi pada setiap usia jika
keadaannya cukup ekstrim. Namun demikian, sebagai persoalan kesehatan masyarakat,
defisiensi vitamin A, khususnya defisiensi yang berat, akan menyerang anak-anak dalam
usia prasekolah. Keadaan ini terjadi karena kebutuhan vitamin A bagi pertumbuhan pada
anak-anak ini cukup tinggi. Sementara asupan vitamin dari makanan seringkali rendah
dengan tambahan beban pajanan infeksi yang lebih besar. Insidens xeroftalmia kornea
paling prevalen pada anak-anak yang berusia 2-4 tahun. Pada anak-anak dibawah usia 12
bulan, penyakit kornea merupakan kejadian yang relatif jarang dijumpai (terutama karena
efek protektif pemberian ASI), tetapi keratomalasia lebih sering terjadi diantara bayi-bayi
yang hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang rendah. Prevalensi xeroftalmia ringan,
terutama buta senja (SN) dan bercak bitot (XB) meningkat seiring usia hingga usia
prasekolah dan keterkaitan ini ternyata berbeda-beda diantara berbagai budaya terlepas
dari angka xeroftalmia yang spesifik menurut usia. Defisiensi vitamin A subklinis juga
sering ditemukan diantara anak-anak usia sekolah, remaja, dan dewasa muda pada
komunitas yang sama dan prevalensinya pada anak-anak kecil cukup tinggi.
2) Gender
Pada orang dewasa yang sehat, kadar retinol plasma maupun RBP (retinol-
binding protein) ternyata berada pada level 20% lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
pada wanita, kendati signifikan fisiologi perbedaan ini masih belum jelas. Walaupun
begitu, laki-laki umumnya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami buta senja
dan bercak Bitot dibandingkan perempuan selama usia prasekolah dan awal usia sekolah.
Perbedaan gender ini tidak begitu jelas dalam hal xeroftalmia yang berat. Perbedaan pada
budaya pemberian makan dan perawatan antara anak laki-laki dan perempuan dalam
sebagian populasi dapat menkelaskan variasi menurut gender ketika hal ini diamati.
3) Status Fisiologi
Dengan meningkatnya kebutuhan vitamin A selama periode pertumbuhan yang
cepat, anak-anak kecil merupakan kelompok yang paling rentan. Kebutuhan akan vitamin
A juga meningkat selama masa kehamilan dan menyusui; dengan demikian, ibu hamil
dan menyusui dalam populasi yang kehilangan haknya tidak mampu memenuhi
kebutuhan yang meningkat selama periode tertentu. Buta senja selama kehamilan dan
laktasi terutama sering ditemukan di Asia Selatan dengna kejadian buta senja sebesar
15%-20% dari semua kehamilan dan kemudian berulang kembali pada kehamilan
berikutnya; keadaan ini pada beberapa budaya dianggap sebagai bagian dari kehamilan.
Sejumlah penelitian juga memperlihatkan bahwa ASI dari ibu dnegan status vitamin A
yang buruk sering kali turut menyebabkan peningkatan kerentanan pada bayi.
4) Diet
Penyebab dasar yang melandasi defisiensi vitamin A sebagai permasalahan
kesehatan masyarakat adlaha diet atau pola makan yang kurang mengandung vitamin,
baik senyawa karotenoid performed aatau provitamin A untuk memenuhi kebutuhan.
Pada umumnya, ditempat yang kondisi hidupnya buruk, diet seseorang akan bergantung
pada makanan nabati yang lebih murah tetapi secara hayati kurang mengandung vitamin
A (sebagai karotenoid). Populasi yang mengonsumsi beras sebagai makanan pokok dan
serat pangan dalam kehidupan sehari-hari ternyata sangat berisiko untuk mengalami
defisiensi vitamin A. Dengan demikian, xeroftalmia lebih sering ditemukan di Asia
Selatan dan Asia Timur. Defisiensi vitamin A subklinis umumnya terjadi ditempat yang
kualitas makanannya relatif rendah akibat kendala pada kemampuan mengakses makanan
dan ketersediaan makanan, khususnya makanan hewani.
Pemberian ASI, kualitas makanan tambahan, dan kualitas diet anak semuanya merupakan
faktor penting untuk mempertahankan status vitamin A. Ada bukti jelas yang
menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan ASI menghadapi kemungkinan yang
lebih kecil untuk mengalami defisiensi vitamin A jika dibandingkan dengan anak-anak
pada usia sama yang tidak memperoleh ASI. Lebih lanjut, peningkatan frekuensi
pemberian ASI juga memberikan efek protektif terhadap xeroftalmia.
Banyak penelitian epidemiologi mendukung pemberian makanan tambahan yang tepat
dan tindakan ini ternyata dapat melindungi anak-anak selama usia prasekolah terhadap
xeroftalmia. Konsumsi buah yang berwarna kuning (mangga dan pepaya) akan
memberikan perlindungan yang kuat pada anak berusia dua dan tiga tahun. Ketika
pengaruh pemberian ASI berkurang, sayuran yang berwarna hijau gelap memainkan
peranan yang lebih penting bagi anak-anak pada usia tiga tahun keatas. Sesudah masa
bayi, konsumsi rutin makanan hewani yang mengandung vitamin A preformed ( telur,
produk susu, ikan dan hati) bersifat sangat protektif terhadap kesehatan anak. Sebaliknya,
dalam usia satu tahun pertama ketika anak disapih, anak-anak yang menderita xeroftalmia
ternyata lebih sedikit mendapat makanan yang kaya akan vitamin A secara teratur
dibandingkan dengan anak anak yang tidak menderita xeroftalmia. Konsumsi sayuran
berwarna hijau gelap ataubuah dan sayuran yang berwarna kuning disertai dengan
penurunan risiko xeroftalmia sebesar 4-6 kali lipat, sementara efek konsumsi telur,
daging, ikan, dan susu yang hanya dilakukan sekali-kali disertai dengan peningkatan
risiko sebesar 2-3 kali lipat . Pola makan pada saudara kandung yang usianya lebih muda
pada dua tahun pertama kehidupannya ternyata serupa dengan pola makan kasus
xeroftalmia dalam keluarga yang sama; Kenyataan ini mencerminkan buruknya diet
secara kronis pada rumah tangga yang berisiko tinggi. Defisiensi vitamin A paling sering
ditemukan pada polpulasi penduduk; yang mengonsumsi sebagian kebutuhan vitamin A
mereka dari sumber karotenoid provitamin dengan sedikit lemak yang terkandung dalam
makanan mereka.
Kebiasaan makan yang spesifik menurut budaya dan sejumlah tabuh atau larangan dalam
pemberian makanan anak, remaja dan ibu hamil serta menyusui sering kali membatasi
konsumsi makanan yang berpotensi sebagai sumber vitamin A yang baik. Namun
demikian, kurangnya komsumsi yang kaya akan vitamin A bukan berarti ketersediaan
makanan tersebut dalam sebuah rumah tangga juga mengalami kekurangan. Bagaimana
anak-anak mengkomsumsi makanan dan dengan siapa anak-anak itu makan, dapat
memperngaruhi resikonya untuk terkena defisiensi vitamin A. Sejumlah penelitian
egnoghrafi secara rinci dilaksanakan oleh kelompok Johns Hopkins University dan
lainnya memperlihatkan bahwa anak-anak desa di Nepal memiliki peluang dua kali lebih
besar untuk mengkomsumsi sayuran, buah, kacang-kacangan, daging atau ikan serta
produk susu ketika mereka makan bersama keluarga dibandingkan ketika mereka makan
sendiri. Ironisnya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola kaum ibu memastikan
kecukupan makanan bagi anak-anak mereka pada sebagian budaya dapat menjadi factor
predisposisi untuk terjadinya difisiensi vitamin A pada ibu sendiri. Sebagai contoh, para
ibu hamil di Nepal yang menderita buta senja ternyata mengalami penurunan peluang
sepenuhnya untuk mengkomsumsi makanan yang kaya akan vitamin A, khususnya
selama musim kemarau yang kering akan langka panga. Di Indonesia, ketika terjadi krisis
ekonomi, para ibu telah mengorbankan asupan telur mereka demi memenuhi kebutuhan
giza anaka-anaknya.
5) Pola Penyakit
Keterkaitan antara penyakit infeksi dan status vitamin A merupakan persoalan
kompleks yang telah ditinjau secara luas. Difisiensi vitamin A akan meningkatkan risiko
morbiditas penyakit infeksi dan sebaliknya, penyakit infeksi merupakan predisposisi
terjadinya difisiensi vitamin A. Beberapa jenis infekssi seperti diare, infeksi pernafasan,
dan campak akan disertai bentuk tertentu difisiensi vitamin A yang dapat berupa
penurunan kadar retinol serum atau peningkatan resiko xeroftalmia. Selanjutnya,
frekuensi, durasi, dan intensitas penyakit infeksi secara langsung atau tidak langsung
turut meningkatkan keretangan terhadap keadaan difisiensi vtamin A.
Keberaradaan KEP akan lebih meningkatkan resiko xeroktalmia yang urutan
intensitasnya hamper sama seperti penyakit diare dan pernafasan. Protein pengikat
retinol (RBP; RETINOL BINDING PROTEIN) dapat menurun ketika KEP sehingga
mengurangi ketersediaan vitamin A dalam darah. Selama episode penyakit infeksi,
penurunan kadar vitamin A dalam serum menggambarkan secara parsial respon yang
tidak spesifik terhadap keadaan demam ketika sintesis RBP yang juga merupakan protein
fase akut yang negative itu berkurang. Kadar retinol dalam serum kembali normal setelah
terjadi kesembuhan.
Cacing usus seperti Giardia serta Ascaris juga dilaporkan sebagai penyebab penurunan
absorpsi vitamin A, dengan demikian dapat turut menimbulkan defisiensi vitamin A.
Salah satu laporan tidak berhasil memperlihatkan kehilangan vitamin A sesudah
pemberian oral vitamin A kepada anak-anak yang menderita askariasis. Walaupun begitu,
infeksi parasit harus diatasi ketika kita menghadapi populasi dengan persoalan defisiensi,
dapat disertai dengan xeroftalmia.
6) Kondisi sosioekonomi
Dalam pengertian kesehatan masyarakat. Kemiskinan terutama terjadi
penyebab defisiensi vitamin, sekalipun tidak selalu demikian,. Pada
umumnya, defisiensi vitamin A ditemukan terutama di negara-negara yang
perekonomiannya relatif miskin. Sejumlah penelitaian memperlihatkan bahwa keluarga
di negara-negara yang perekonomiannya relatif memiliki lahan yang lebih sempit,
kondisi perumahan yang lebih buruk, hewan peliharaan yang lebih sedikit, dan
kemampuan ekonomi yang lebih rendah (diukur berdasarkan lebih sedikitnya barang
yang dimiliki seperti radio, arloji, atau sepeda). Meskipun indikator status
sosioekonomi yang rendah ditemukan (di Bangladesh) berkaitan dengan risiko
xeroftalmia yang 1,5-2,3 kali lebih tnggi, namun karakteristik ini tidak selalu dengan
sendirinya meramalkan kejadian xeroftalmia. Tingkat pendidikan yang rendah pada
ayah atau ibu dalam keadaan ini dapat dibedakan, merupakan faktor risiko yang lain.

C. Gejala Xeroftalmia

Gejala xerophthalmia awalnya ringan, namun akan bertambah parah jika asupan
vitamin A penderita tidak kunjung terpenuhi. Kekurangan vitamin A dapat membuat
konjungtiva, yaitu selaput tipis yang melapisi kelopak mata dan bola mata, menjadi
kering, tebal, hingga berkerut. Hal inilah yang memicu munculnya gejala awal
xerophthalmia.
Kondisi tersebut akan dirasakan sebagai gejala mata kering oleh penderitanya. Gejala
yang akan dirasakan oleh penderita xerophthalmia akibat mata kering adalah:

 Mata terasa gatal.


 Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam mata.
 Rasa pedih atau terbakar di mata.
 Mata merah.
 Rabun senja.
 Penglihatan menjadi kabur.
 Mata lebih sensitif terhadap cahaya.

Saat xerophthalmia bertambah parah, maka akan muncul jaringan kornea mata yang
melepuh atau disebut dengan bintik Bitot. Jika dibiarkan, kondisi mata penderita dapat
menjadi semakin parah, ditandai dengan munculnya luka memborok atau ulkus kornea.
Hal tersebut berbahaya karena bisa menimbulkan kebutaan permanen pada penderita.
Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO sebagai berikut :
1. Buta senja = XN. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina. Pada
keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-remang setelah
lama berada di cahaya yang terang. Penglihatan menurun pada senja hari, dimana
penderita tidak dapat melihat lingkungan yang kurang cahaya.
2. Xerosis konjunctiva = XI A. Selaput lendir mata tampak kurang mengkilat atau terlihat
sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
3. Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B. Gejala XI B adalah tanda-tanda XI A
ditambah dengan bercak bitot, yaitu bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama
celah mata sisi luar. Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang
merupakan tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai penentuan
prevalensi kurang vitamin A pada masyarakat. Dalam keadaan berat tanda-tanda pada XI
B adalah, tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjunctiva, konjunctiva
tampak menebal, berlipat dan berkerut.
4. Xerosis kornea = X2. Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai kornea, kornea
tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
5. Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B. Kornea melunak seperti bubur dan
dapat terjadi ulkus. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea.Keratomalasia dan
tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan prolaps jaringan isi bola mata dan
membentuk cacat tetap yang dapat menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat
memburuk dapat mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui
tahap-tahap awal xeroftalmia.
6. Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea. Kornea tampak menjadi putih atau bola
mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas
berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat
disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.
7. Xeroftalmia Fundus (XF). Tampak seperti cendolXN, XI A, XI B, X2 biasanya dapat
sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan
keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa hari bisa
menjadi keratomalasia. X3A dan X3 B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan
meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi pada
kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea.Prinsip dasar untuk mencegah
xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan vitamin A yang cukup untuk tubuh serta
mencegah penyakit infeksi. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum
(Wardani, 2012).
D. Pengobatan Xeroftalmia

Pada tahap awal pengobatan, dokter akan memberikan suplemen vitamin A, baik
yang diminum atau disuntikkan ke tubuh penderita xerophthalmia. Pemberian vitamin A
lebih diutamakan untuk diberikan kepada penderita yang sudah didiagnosis menderita
rabun ayam atau rabun senja (night blindness).
Suplemen vitamin A bertujuan untuk menghilangkan rabun senja dan membantu mata
kembali memproduksi cairan untuk melumasi mata.
Jika xerophthalmia menyebabkan kornea penderita rusak, maka dokter akan
memberikan antibiotik untuk mencegah infeksi selanjutnya. Kemudian, ada kemungkinan
mata pasien akan ditutup untuk melindungi mata hingga luka lepuh yang diderita benar-
benar sembuh.
Selain mendapatkan suplemen vitamin A, penderita perlu menjalani perbaikan gizi
dengan mengonsumsi makanan yang kaya akan vitamin A, seperti:

 Makanan hewani, seperti hati sapi, ayam, salmon, tuna, makerel, susu, keju, yoghurt, dan
telur.
 Makanan nabati yang meliputi sayuran bayam, selada, dan wortel, serta buah-buahan,
seperti jeruk, pepaya, dan semangka.

Xerophthalmia perlu ditangani dengan tepat karena berisiko menyebabkan kerusakan


mata yang semakin parah. Bila xerophthalmia terus berlanjut dan tidak ditangani dengan
tepat, maka akan terjadi kerusakan saraf dan jaringan mata hingga menyebabkan
kebutaan permanen.
a. Pengobatan xeroftalmia adalah sebagai berikut;.Berikan 200.000 IU
b. Vitamin A secara oral atau 100.000 IU Vitamin A injeksi.
c. Hari berikutnya, berikan 200.000 IU Vitamin A secara oral
d. 1 – 2 minggu berikutnya, berikan 200.000 IU Vitamin A secara oral
e. Obati penyakit infeksi yang menyertai
f. Obati kelainan mata, bila terjadi
g. Perbaiki status gizi

E. Pencegahan Xeroftalmia

Prinsip dasar untuk mencegah xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan vitamin A


yang cukup untuk tubuh serta mencegah penyakit infeksi terutama diare dan campak. Selain
itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum.
Berikut beberapa langkah untuk mencegah Xeroftalmia:
1. Mengenal tanda-tanda kelainan secara dini
2. Bagi yang memiliki bayi dan anak disarankan untuk mengkonsumsi vitamin A dosis
tinggi secara periodik, yang didapatkan umumnya pada Posyandu terdekat.
3. Segera mengobati penyakit penyebab atau penyerta
4. Meningkatkan status gizi, mengobati gizi buruk
5. Memberikan ASI Eksklusif
6. Ibu nifas mengkonsumsi vitamin A (<30 hari) 200.000 SI
7. Melakukan Imunisasi dasar pada setiap bayi
Xerophtalmia dapat dicegah dengan memastikan bahwa kebutuhan vitamin A harian
tercukupi, terutama melalui makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Jika diperlukan,
seseorang yang memiliki gangguan penyerapan vitamin A, seperti pecandu alkohol,
serta penderita cystic fibrosis dan sirosis hati, dapat mengonsumsi suplemen vitamin A
sesuai anjuran dokter.
Asupan vitamin A per hari yang dibutuhkan tergantung dari usia dan jenis kelamin.
Pria dewasa membutuhkan asupan harian vitamin A sebanyak 3000 unit, sedangkan
wanita dewasa membutuhkan sebanyak 2310 unit vitamin A per hari. Untuk wanita
hamil kebutuhan harian vitamin A adalah 2565 unit.
Asupan vitamin A harian yang diperlukan anak-anak adalah sekitar 2000 unit untuk
anak usia di bawah 13 tahun, 1320 unit untuk usia di bawah 8 tahun, serta 1000 unit
untuk usia 1-3 tahun.
Untuk mengurangi risiko anak Anda terkena xerophthalmia, Anda juga dapat
membawa anak yang masih berusia 0-5 tahun ke posyandu secara rutin, terutama
untuk mengikuti program pemberian vitamin A dari pemerintah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Xeroftalmia atau Xerosis adalah istilah yang menerangkan gangguan
kekurangan vitamin A pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata
dan gangguan fungsi sel retina yang berakibat kebutaan. Kata Xeroftalmia
(bahasa latin) berarti “mata kering”, karena terjadi kekeringan pada selaput
selaput lendir (konjungtiva) dan selaput bening (kornea) mata. Penyakit ini sering
disebut dengan rabun senja karena penderita tidak dapat melihat benda dengan
jelas apabila dalam keadaan malam hari. Mata kering ini terjadi akibat kurangnya
zat pelindung yang disebut retinol atau vitamin A.

B. Saran
Timbulnya penyakit Xeroftalmia akibat kekurangan vitamin A.
Kekurangan Vitamin A karena kurangnya perhatian terhadap kesehatan masing-
masing individu dan keluarga. Maka untuk mencegah ataupun menanggulangi
terjadinya peningakatan kekurangan vitamin A, penulis menyarankan untuk lebih
banyak mengomsumsi buah-buahan, biji-bijian, sayur-sayuran dan juga hewani
yang banyak mengandung vitamin A. Dengan demikian, akan mengurangi resiko
terjadinya penyakit akibat kekurangan Vitamin A.
DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2002. Gizi dalam daur kehiduan.Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Palembang. Proyek peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi.
Desi dan Dwi 2009. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta. Nuha Medika. Departemen
Kesehatan RI, Konsumsi Kapsul Vitamin A pada Ibu Nifas.
Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
Depkes Kesehatan RI. 2003. Deteksi dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia: Pedoman Bagi
Tenaga Kesehatan. Jakarta

Haryadi, Hendri. 2011 . Makalah Kekurangan Vitamin A “Ilmu Gizi”. Diakses dari http://handri-
haryadi.blogspot.com
Iskandar, Zulkarnaen. 2012. Kekurangan Vitamin A. Diakses
dari http://kuliahiskandar.blogspot.com.

http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2136

Anda mungkin juga menyukai