Perubahan-perubahan yang dibuat kemudian dicantumkan dalam tiga permenkes Baru, yaitu
Permenkes No. 36 tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Status: mengubah Permenkes
No 30 tahun 2014. (Download/Unduh)
Permenkes No. 35 tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Status: mengubah Permenkes No. 35
tahun 2014. (Unduh)
Permenkes No. 34 tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Status: mengubah Permenkes
No. 58 Tahun 2014. (Unduh)
Peranan BPOM dalam pengawasan sediaan farmasi dipertegas di aturan Permenkes terbaru
Perubahan dalam ketiga peraturan tersebut pada umumnya sama, yaitu melibatkan Badan Pengawas
Obat dan Makanan dalam proses pengawasan, pengelolaan, dan distribusi obat-obatan di apotek,
puskesmas, dan rumah sakit.
Permenkes Nomor 34 dan 35 Tahun 2016 menambahkan satu poin pada Pasal 1 dan menyisipkan tiga
pasal tambahan (Pasal 9A, 9B, dan 9C) pada Permenkes 58 dan 35 Tahun 2014, berturut-turut,
sedangkan Permenkes Nomor 36 Tahun 2016 juga menambahkan satu poin pada Pasal 1 dan
menyisipkan tiga pasal tambahan (Pasal 8A, 8B, dan 8C) pada Permenkes Nomor 30 Tahun 2014.
“Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat Kepala BPOM adalah Kepala
Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.”
2
Pasal-pasal yang disisipkan pada masing-masing Permenkes tersebut mencakup 3 poin, yaitu:
1. Pengawasan dalam pengelolaan sediaan farmasi, selain dilaksanakan oleh Menteri, Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, juaga dilakukan oleh Kepala
BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Selain pengawasan, Kepala BPOM dapat
melakukan pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah
dan masyarakat di bidang pengawasan sediaan farmasi.
2. Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
yang juga dilakukan oleh Kepala BPOM, dilaporkan secara berkala kepada Menteri Kesehatan.
Laporan dibuat dan disampaikan setidaknya sekali dalam setahun.
3. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ketiga peraturan menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu tanggal 8 Agustus 2016 di
Jakarta.
1. Penyelenggaraan uji mutu obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah dilakukan dengan tahapan
pengambilan sampel, uji laboratorium, dan pelaporan hasil uji. Pengujian mutu obat disesuaikan
dengan prioritas sampling BPOM, yang ditentukan dengan mempertimbangkan usulan
prioritassampling dari instalasi yang bersangkutan. Pengambilan sampel dilaksanakan dengan
koordinasi bersama Direktur Jendral (untuk instalasi farmasi milik Kementrian Kesehatan) dan Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota (untuk instalasi farmasi milik pemerintah daerah
provinsi/kabupaten/kota), paling lambat 10 hari kerja sebelum kegiatan pengambilan sampel.
2. Obat yang dijadikan sampel meliputi semua jenis obat, terutama obat yang tercantum dalam
Formularium Nasional dan obat program kesehatan. Kriteria obat yang dijadikan sampel antara
laincold chain product, obat yang tidak stabil atau mudah rusak, obat-obat life saving, dan obat-
obat fast-moving. Jumlah dan jenis ditentukan dengan memperhitungkan aspek ketersediaan obat di
3
instalasi yang bersangkutan. Jumlah sampel untuk sediaan padat maksimal 100 satuan terkecil,
sediaan cair maksimal 18 wadah, dan sediaan semisolid maksimal 15 wadah.
3. Setiap pengambilan sampel disertai Berita Acara Pengambilan sampel (BAP), Berita Acara Serah
Terima (BAST), dan Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) ditandatangani oleh petugas BPOM atau Balai
Besar/Balai POM dan penanggung jawab instalasi yang bersangkutan.
4. Hasil pelaksanaan uji mutu obat terdiri atas memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS).
Penyampaian hasil pelaksanaan uji mutu obat dilakukan secara berkala setiap 3 bulan untuk hasil uji
MS dan paling lambat 10 hari kerja sejak ditetapkan untuk hasil uji TMS. Terhadap hasil uji TMS,
dilakukan penarikan dan pemusnahan. Perintah penarikan dan pemusnahan disampaikan kepada
industri farmasi bersangkutan dengan tembusan Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota.
5. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan permenkes ini dilakukan oleh Menteri, Kepala
BPOM, Kepala Balai Besar/Balai POM, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
Sumber : binfar.depkes.go.id