Anda di halaman 1dari 92

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Kedokteran Tesis Magister (Kedokteran Klinis)

2019

Korelasi Hasil Pediatric Appendicitis


Score (PAS) dengan Hasil
Ultrasonografi (USG) pada Apendisitis
Anak di RSUP H.Adam Malik dan RS
USU Medan

Irawan, Hari
Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/16920
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
KORELASI HASIL PEDIATRIC APPENDICITIS SCORE (PAS) DENGAN HASIL
ULTRASONOGRAFI (USG) APENDIKS PADA PASIEN APENDISITIS ANAK DI RSUP
HAM DAN RS USU MEDAN TAHUN 2018

TESIS

OLEH :

HARI IRAWAN

NIM : 127041110

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK ILMU BEDAH


DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019

Universitas Sumatera Utara


KORELASI HASIL PEDIATRIC APPENDICITIS SCORE (PAS) DENGAN HASIL
ULTRASONOGRAFI (USG) APENDIKS PADA PASIEN APENDISITIS ANAK DI RSUP
HAM DAN RS USU MEDAN TAHUN 2018

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Dalam
Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara

OLEH :

HARI IRAWAN

NIM : 127041110

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK ILMU BEDAH


DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK

LATAR BELAKANG

Apendisitis merupakan penyebab paling umum dari operasi pada anak-anak di unit
gawat darurat. Diagnosis apendisitis pada anak-anak sangat sulit. Untuk membantu diagnosis
apendisitis akut pada anak-anak, ada sistem penilaian yang telah diusulkan dan sampai
sekarang yang digunakan adalah Pediatric Appendicitis Score (PAS). Pemeriksaan USG
adalah pemeriksaan non-invasif, murah, mudah dilakukan dan waktu yang dibutuhkan
pendek, paparan radiasi yang diterima minimal / tidak ada , sehingga aman untuk wanita
hamil dan anak-anak serta potensi untuk memeriksa kasus termasuk rasa sakit pada bagian
abdominal. Kebutuhan kita dalam menilai hubungan PAS dan sejauh melakukan
Ultrasonografi Apendiks untuk anak-anak belum terbukti belum pernah dilakukan penelitian
sebelumnya, sehingga peneliti berniat untuk membuat dan memilih penelitian ini.

METODE

Penelitian ini adalah analitik prospektif dengan desain cross sectional, dimana sampel
yang dinilai adalah pasien dengan gejala sakit perut dan dengan diagnosis apendisitis di
Rumah Sakit Umum H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara
Medan dari awal 2018 hingga akhir 2018 . Pasien yang memasuki kriteria inklusi
diperiksa untuk mengetahui nyeri perut dan didiagnosis dengan apendisitis berdasarkan
Pediatric Appendicitis Score (PAS) dan Pasien menjalani pemeriksaan ultrasonografi
appendisitis sebelum operasi. Semua data yang telah dikumpulkan, direkam, dan diproses
menggunakan program pemrosesan statistik untuk melihat korelasi antara PAS dan USG
hasil apendiks sebelum operasi.

HASIL

Dari 33 sampel penelitian , usia pasien memiliki rata-rata 13 tahun, 19 sampel


adalah perempuan (57,6%) dan 19 lainnya adalah laki-laki (42,4%) . Dari 7 sampel dengan
Skor PAS risiko rendah, ada 5 sampel dengan sugestif apendisitis, Dari 21 sampel dengan
skor PAS risiko sedang, 5 dari mereka dengan sugestitif apendisitis dan 5 dari sampel dengan
skor PAS Risiko Tinggi, 3 sampel dengan sugestif apendisitis. Berdasarkan hasil analisis
penelitian ini, ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara skor PAS dan
hasil pemeriksaan USG dengan nilai p> 0,05 (p = 0,076) .

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari penelitian ini, tidak ada hubungan
yang signifikan antara skor PAS dengan pemeriksaan USG pada pasien apendisitis di Rumah
Sakit H. Adam Malik dan Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara Medan.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

BACKGROUND

Appendicitis is the most common cause of surgery in children in the emergency unit.
Diagnosis of appendicitis in children is difficult.To help a diagnosis of acute appendicitis in
children, there is a scoring system that has been proposed and until now the one used is the
Pediatric Appendicitis Score (PAS). Ultrasound examination is a non-invasive examination,
inexpensive, easy to do and the time needed is short, radiation exposure received is minimal /
non-existent,so it is safe for pregnant women and children as well as the potential for
examining cases including abdominal pain.Our need to assess PAS relationships and so far
doing Ultrasonography Appendix to children have not been proven yet, so researchers intend
to make and select this research.

METHODS

This study is a prospective analytic with cross sectional design, where the samples
assessed were the patients with a symptom of abdominal pain and with a diagnosis of
appendicitis at H. Adam Malik General Hospital Medan and North Sumatera University
Hospital Medan from early 2018until the end of 2018. Patients who entered the inclusion
criteria were examined for their abdominal pain and diagnosed with appendicitis based on
Pediatric Appendicitis Score(PAS) and Patient has an appendicitis ultrasonography
examination before surgery. All data that has been collected, record and processed using a
statistical processing program to see the correlation between PAS and USG results of
appendix before surgery.

RESULTS

Of the 33 study samples,The age of the patient has a mean of 13 years old, 19 samples
were female(57,6%) and 19 others were male (42,4%). Of the 7 samples with low risk PAS
Score , there is 5 samples with suggestive appendicitis, Of the 21 samples with moderate risk
PAS score, 5 of them with suggestive appendicitis and 5 of the samples with High Risk PAS
score, 3 of the samples with suggestive appendicitis. Based on the results of the analysis of
this study, it was found that there was no significant relationship between PAS scores and
USG examination results with a value of p> 0.05 (p = 0.076).

CONCLUSION

Based on the results of data analysis obtained from this study, there is no significant
relationship between PAS scores with ultrasound examinationin appendicitis patients at H.
Adam Malik Hospital and North Sumatera University Hospital Medan.

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat
dan anugerah-Nya sehingga saya berkesempatan mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis Bedah di Departemen Ilmu Bedah FK-USU Medan, serta kesempatan yang
diberikan-Nya untuk dapat menyusun dan menyelesaikan Hasil Penelitian Magister Ilmu
Bedah ini.
Saya sebagai penulis berusaha menyusun Hasil Penelitian Magister Ilmu Bedah ini sesuai
dengan kemampuan dan segala keterbatasan yang saya miliki untuk dipersembahkan kepada
pembaca sebatas judul yang tercantum pada sampul yakni : “Korelasi Hasil Pediatric
Appendicitis Score (PAS) dengan Hasil Ultrasonografi (USG) pada apendisitis anak di RSUP
H.Adam Malik dan RS USU Medan” dengan kapasitas sebagai seorang peserta PPDS Ilmu
Bedah FK USU dan Hasil Penelitian ini merupakan tugas Magister Kedokteran dalam tahap
dalam proses penyelesaian pendidikan tersebut.
Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan saya sampaikan kepada Dekan FK USU DR. dr.
Aldy Safruddin Rambe, SpS(K), Ketua Program Studi MKK FK USU DR.dr.Rodiah
Rahmawaty Lubis, M Ked (Oph), SpM (K), dan Sekretaris Program Studi MKK FK USU
DR.dr.Mohd.Rhiza Z Tala, M Ked (OG) SpOG(K) sehingga penelitian ini dapatr diselesaikan
dengan baik.
Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada dr. Erjan Fikri,
M.Ked (Surg),SpB, SpBA(K)GU, Kepala Divisi Bedah Anak Departemen Ilmu Bedah FK
USU, dr. Elvita Rahmi Daulay, M.Ked (Rad), SpRad (K) sebagai pembimbing penelitian
Magister, terima kasih kepada Plt.Kepala Departemen Ilmu Bedah FK USU dr. Adi Muradi
Muhar, SpB-KBD dan Plt. Kepala Program Studi Ilmu Bedah FK USU dr. Edwin Saleh
Siregar, SpB-KBD yang telah menuntun dan membimbing saya menyelesaikan Hasil
Penelitian Magister Ilmu Bedah ini, sehingga Penelitian ini dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada dr. Putri C. Eyanoer, Ms. Epi,
PhD, sebagai Konsultan Metodologi Penelitian, yang telah meluangkan waktu membantu
menyelesaikan penelitian ini.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada dr. Utama Abdi Tarigan, SpBP-RE sebagai
Ketua Seksi Ilmiah yang telah memberikan fasilitas kepada saya selama menyelesaikan
penelitian ini.
Keyakinan yang tinggi dari peneliti atas segala kekurangan yang terdapat dalam Hasil
Penelitian Magister ini baik dalam isi maupun dalam bentuk penampilannya, peneliti dengan

iii

Universitas Sumatera Utara


kerendahan hati mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan kritikan dari
pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaannya.

Medan, Juli 2019

Hari Irawan

iv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………………………i
ABSTRACT………………………………………………………………………………….ii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………v
DAFTAR TABEL……………………………………………………………………………vii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………..viii
DAFTAR DIAGRAM……………………………………………………………………….ix
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………………….x
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………1
1.1. Latar Belakang Penelitian………………………………………………………..….……1
1.2. Perumusan Masalah……………………………………………………………………….4
1.3. Tujuan Penelitian………………………………………………………………………….4
1.4. Manfaat Penelitian………………………………………………………………………...4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….……………..6


2.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks Vermiformis…………………….……………….….....6
2.2. Apendisitis………………………………………………..……………………………….9
2.2.1. Defenisi………………………………………....…………………………………...….9
2.2.2. .Epidemiologi…………………………………………..……………………………….9
2.2.3. Etiologi dan Faktor Resiko………………..…………………………………………...11
2.2.4. Patofisiologi…………………………….……………………………………………..12
2.2.5. Gambaran Klinis Apendisitis Akut Pada Anak…………..…..……………………….14
2.2.5.a. Anamnesis…………………………………………..……………………………….14
2.2.5.b. Pemeriksaan Fisik……………………………………….………………………….15
2.2.6. Uji Diagnostik…………………………………………….…………………………..18
2.2.6.A. Pemeriksaan Laboratorium………………………………………………………...18
a. Pemeriksaan Darah Lengkap dengan Diftel……………….…………….………….18
b. Pemeriksaan C-Reaktive Protein…………………………….……………………..18
c. Pemeriksaan Urinalisis……………………………..………………………………..19
d. Pemeriksaan Laboratorium Lainnya Terhadap Apendisitis Akut..…….…………..19
2.2.6.B. Pemeriksaan Radiologi………………………………………………………….….20
a. USG (Ultrasonografi) Apendiks……………………………………………………..20
b. CT Scan……………………………………………………………………………...38
c. Pemeriksaan MRI……………………………………………………………………40
2.2.6.C. Pemeriksaan Mikrobiologi………………………………………...………………..40
2.2.6.D. Pemeriksaan Histopatologi………………………………………………………….40

Universitas Sumatera Utara


2.2.7. Pediatric Appendicitis Score (PAS)…………………………………………………41
2.2.8. Penatalaksanaan Apendisitis Akut Pada Anak…………..…………………………..44
2.2.8.A. Penatalaksanaan Konservatif (Non-Operatif)……………………………………..46
2.2.8.B. Apendektomi…..…………………………………………………………………..47
2.2.9. Prognosis Apendisitis Akut Pada Anak……..……………………………………….50
2.2.10. Komplikasi………………………………………………………………………….50
2.3. Diagnosis Banding Apendisitis Akut Pada Anak………..…………………………….51
2.4. Kerangka Teori………………………………………………………………………...53
2.5. Kerangka Konsep………………………………………………………………………54
2.6. Hipotesis Penelitian………….………………………………………………………...54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……………………..…………………………...55
3.1. Desain Penelitian………………………………………………………………………55
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………………………….....55
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian…………………………………………………….....55
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi……………………………………………………..........56
3.5. Cara Pengambilan Sampel dan Besar Sampel……………………………………..….56
3.6. Identifikasi Variabel…………………………………………………………………..57
3. Defenisi Operasional……………………………………………………………………..57
3.8. Cara Kerja……………………………………………………………….……………..59
3.8.1. Alokasi Subjek……………………………………………………………………….59
3.8.2. Tahap Pelaksanaan…………………………………………………………………...59
3.8.3. Tahap Akhir Penelitian…………………………………………………………...….60
3.9. Alur Penelitian……………………………………………………………………..…..60
3.10. Rencana Analisis Data………………………………………………………………..61
3.11. Pertimbangan Etis…………………………………………………………………….61
BAB IV HASIL PENELITIAN……………………………………………………………62
4.1 Karekteristik Subjek Penelitian…………………………………………………………62
4.2 Korelasi Pediatric Appendicitis Score dengan Ultrasonografi (USG)………………….63
BAB V PEMBAHASAN…………………………………………………………………..64
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………….69
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………70
LAMPIRAN………………………………………………………………………………..78

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi Apendisitis Akut Menurut Ultrasonografi……………………………36


Tabel2.2. Grading Apendisitis Akut Berdasarkan Klinis, Imaging, dan
Laparoskopi………………………………………………………………...…….……….…37
Tabel2.3. Temuan Apendisitis Akut Pada Ultrasonografi……………..………..…………...37
Tabel2.4.Perbandingan CT Scan Tanpa Kontras dan USG………………………..………..39
Tabel2.5Pediatric Appendicitis Score (PAS)………………………………………………...41
Tabel 2.6. Karakteristik Klinis Pasien Sangkaan Apendisitis Akut……………..……….….43
Tabel2.7. Klasifikasi Pasien Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin terhadap PAS………..…...44
Tabel2.8.Perbandingan Laparoskopi Apendektomi dengan Open Appendectomy…….……48
Tabel4.1 Karakteristik Hasil Subjek Penelitian………………………………...….………...62
Tabel4.2 Korelasi Hasil Pediatric Appendicitis Score (PAS) dengan hasil USG………..….63

vii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi Apendiks Vermiformis……………………………………...…………7


Gambar2.2. Variasi Letak Ujung Apendiks…………………………………………………..8
Gambar2.3. Lokasi Nyeri Klasik Apendisitis Akut……………………………….………....14
Gambar2.4. USG Apendiks Normal…………...…….………………………………………24
Gambar2.5.Adjuvan Teknik Dependent Operator (Manual Posterior)………………………25
Gambar2.6.Ultrasonografi Apendiks Potongan Longitudinal……………………………….27
Gambar2.7.Ultrasonografi Doppler Appendisitis Akut…………………………..…………28
Gambar2.8.Ultrasonografi Appendisitis Akut…………………………………..…………..33
Gambar2.9.Ultrasonografi Appendisitis Akut Potongan Longitudinal………………………34
Gambar2.10.Tipe Appendisitis Menurut Ultrasonografi…………………………………….35
Gambar2.11.CT Scan Appendisitis Pada Anak………………………………………...……39
Gambar2.12. Laparoskopi Appendektomi……………………………………………..……48
Gambar2.13 Open Appendectomy……………………………………………………….…49

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR DIAGRAM

Diagram Distribusi Umur Pasien Appendisitis Pada Penelitian Kohort terhadap 588
pasien……………………………………………………………………………………….43
Diagram Kerangka Teori…………………………………………………………………...53
Diagram Kerangka Konsep…………………………………………………………………54
Diagram Alur Penelitian………………………………………………………………….....60

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

USG : Ultrasonografi
CT : Computed Tomography
MRI : Magnetic Resonance Imaging
PAS : Pediatric Appendicitis Score
GALT : Gut Associated Lymphoid Tissue
Ig A : Immunoglobulin A
DRE : Digital Rectal Examination
CRP : C-Reaktif Protein
RBC : Red Blood Cell
WBC : White Blood Cell
MHz : Mega Hertz
RQL : Right Quadrant Low
LOLD : Left Oblique Lateral Decubitus
CDU : Color Doppler Ultrasound
NGT : Naso Gastric Tube

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Apendisitis merupakan penyebab paling sering tindakan pembedahan pada anak di

unit gawat darurat. Diagnosis apendisitis pada anak sulit dilakukan. Anak biasanya

datang dengan keluhan nyeri perut namun anamnesis sulit dilakukan terhadap anak,

hal ini merupakan suatu tantangan bagi seorang dokter untuk menegakkan diagnosis

secara efisien dan efektif dari sedikit informasi yang didapat dari pasien (Victor Y et

al. 2012).

Diagnosis apendisitis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,

laboratorium dan pemeriksaan penunjang yaitu imaging radiologi. Bagaimanapun

penegakan diagnosis apendisitis ini tidak mudah, bahkan sampai 50% pasien di

rumah sakit yang dicurigai apendisitis mempunyai gejala klinik yang tidak jelas,

sehingga diperlukan pemeriksaan pendukung yang baik (Kessler.2003).

Perkembangan teknologi di bidang radiologi seperti ultrasonografi

(USG), CT Scan dan MRI dapat membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut.

Pemeriksaan dengan USG merupakan langkah radiologis awal dalam diagnosis

apendisitis namun alat ini memiliki sensitivitas yang terbatas. Pemeriksaan CT scan

dan MRI memiliki gambaran pencitraan yang lebih baik dibandingkan dengan USG.

Meskipun terdapat kekhawatiran akan tingginya radiasi CT scan, penggunaan low

dose CT scan ternyata memiliki tingkat apendektomi negatif dan tidak ada

perbedaan dalam tingkat perforasi (Shogilev. 2014). Namun, permasalahan

Universitas Sumatera Utara


yang terjadi terutama di negara berkembang adalah keterbatasan fasilitas di

instalasi gawat darurat yang merupakan ujung tombak dalam diagnosis

pasien dengan apendisitis akut pada anak. Oleh karena itu, diperlukan cara lain

untuk membantu diagnosis yaitu dengan menggunakan sistem skoring klinis.

Untuk membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut pada anak,

terdapat sistem skoring yang telah diajukan dan hingga kini yang digunakan

adalah Pediatric Appendicitis Score (PAS). Kebutuhan kita untuk menilai hubungan

PAS dan selama ini melakukan Ultrasonografi Apendiks pada anak sampai saat ini

belum dapat dibuktikan, sehingga peneliti bermaksud membuat dan memililih

penelitian ini serta penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya di institusi

kami.

Pediatric Appendicitis Score (PAS) relatif sederhana, alat diagnostic yang

akurat untuk menilai akut abdomen dan mendiagnosis apendisitis pada anak-anak

(Journal of Pediatric Surgery.Elsevier Science USA. 2002).

Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan yang non invasif, murah, mudah

dikerjakan dan waktu yang diperlukan singkat, paparan radiasi yang diterima minimal

/ tidak ada sehingga aman bagi wanita hamil dan anak-anak serta potensial untuk

pemeriksaan kasus-kasus yang termasuk abdominal pain (Jacob. 2005).USG

merupakan prosedur diagnostik yang paling sering digunakan karena tidak

menimbulkan nyeri pada penggunaannya dan hasilnya dapat diketahui secara

langsung, juga secara luas dianggap aman untuk digunakan (Abramowicz. 2013).

Pemeriksaan USG pada apendisitis bermanfaat karena kita dapat mevisualisasikan

Universitas Sumatera Utara


apendiks pada pasien sehingga kita dapat mengidentifikasikan apakah apendiks

tersebut normal atau abnormal (Kessler N.2004).

Modalitas radiologi dalam penegakan diagnosis apendisitis mempunyai peran

yang besar, diantaranya pemeriksaan yang mempunyai akurasi tinggi yaitu CT scan

dan USG. Akhir-akhir ini pemeriksaan USG untuk memvisualisasikan apendiks

sangat dibutuhkan, walaupun terdapat beberapa kekurangan, diantaranya pemeriksaan

USG sangat tergantung keterampilan pemeriksa (teknik pemeriksaan), lokasi

apendiks yang sulit dijangkau oleh transduser, kondisi pasien, adanya udara usus

yang mengaburkan pemeriksaan dan lain sebagainya (Jacob. 2006)

Pengangkatan jaringan normal apendiks terjadi sekitar 10-20% dari seluruh

total kasus apendisitis pada anak. Untuk itu dibutuhkan pemeriksan tambahan baik

berupa imaging ataupun pemeriksaan laboratorium. Imaging diagnostik digunakan

untuk meningkatkan angka kejadian diagnosis apendisitis, namun hal tersebut

mempunyai beberapa keterbatasan seperti terpaparnya ionisasi radiasi, ketersedian

tenaga pemeriksa yang terampil pada setiap waktu, dan tingginya biaya pemeriksaan

(Chen chun yu.2013).

Pada umumnya temuan normal apendiks saat tindakan apendektomi

merupakan suatu kesalahan misdiagnosis (Dikovsky Elizabeth. 2016). Keterlambatan

diagnosis dapat menyebabkan perforasi dan peritonitis.Hal ini membuktikan

pentingnya diagnostik yang akurat untuk kecepatan diagnosis dan untuk mengurangi

jumlah apendektomi yang tidak perlu (Emily E.K, Loren. 2014).

Universitas Sumatera Utara


1.2 .Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan hasil Pediatric Appendicitis Score (PAS) dengan hasil

pemeriksaan USG apendiks preoperative terhadap apendisitis pada anak di RSUP

HAM dan RS USU Medan.

1.3 .Tujuan Penelitian

Tujuan umum

Untuk mengetahui korelasi hasil Pediatric Appendicitis Score (PAS) dengan

hasil pemeriksaan USG apendiks pada anak di RSUP HAM dan RS USU Medan.

Tujuan khusus

1.Untuk mengetahui distribusi frekuensi subyek penelitian berdasarkan

karakteristik (usia dan jenis kelamin).

2.Untuk mengetahui distribusi frekuensi subyek penelitian berdasarkan jenis

apendisitis akut atau apendisitis perforasi.

3.Untuk mengetahui korelasi antara hasil Pediatric Appendicitis Score (PAS)

dengan hasil pemeriksaan USG apendiks preoperative pada anak.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat bagi peneliti adalah untuk mengetahui korelasi antara hasil Pediatric

Appendicitis Score (PAS) dengan hasil pemeriksaan USG apendiks preoperatif

terhadap apendisitis pada anak di RSUP HAM dan RS USU Medan, sehingga

dijadikan alternatif dalam mendiagnosis apendisitis sebelum dilakukan tindakan

operasi.

Universitas Sumatera Utara


Manfaat bagi tenaga kesehatan, institusi akademis dan peneliti lain adalah

sebagai informasi bahwa Pediatric Appendicitis Score (PAS) dan USG apendiks

dapat digunakan mendiagnosis apendisitis pada anak.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks Vermiformis

Appendiks pertama kali terbentuk pada usia lima bulan kehamilan. Apendiks

merupakan kelanjutan dari sekum, tapi pemanjangan apendiks tidak secepat kolon

lainnya sehingga terbentuk struktur yang menyerupai cacing (Minkes RK. 2012).

Apendiks adalah suatu kantong yang terbentuk dari sekum dan terletak di

inferior ileocaecal junction.Secara embriologi apendiks dan sekum berkembang dari

midgut pada minggu ke-6 kehamilan, sekitar pada bulan ke-5 apendiks terbentuk

memanjang dari sekum. Pada neonatus panjangnya sekitar 4,5 cm sedangkan pada

dewasa 9,5 cm, dengan diameter dinding terluar 2-8 mm dan diameter lumen 1-3 mm.

Pada neonatus dan bayi bentuknya seperti kerucut, sehingga memperkecil

kemungkinan obstruksi, semakin bertambah usia bentuknya akan berubah menjadi

tabung. Ujung dari apendiks biasanya terletak pada kuadran kanan bawah rongga

pelvis, namun dapat juga bervariasi (Zinner. 2007).

Dinding apendiks terdiri dari dua lapisan, lapisan luar terdiri dari otot

longitudinal yang merupakan kelanjutan dari taenia coli dan lapisan dalam terdiri dari

otot sirkular yang dilapisi oleh epitel kolon (Minkes RK. 2012).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1. Anatomi apendiks vermivormis (Zadeh Surgical Inc. 2007)

Aliran darah apendiks terutama dari arteri apendikularis yang merupakan

cabang arteri ileokolika. Arteri ini berjalan dari mesoapendiks posterior menuju ileum

terminal. Arteri apendiks aksesorius dapat muncul dari percabangan arteri

cecalposterior. Kerusakan pada arteri ini dapat menyebabkan perdarahan hebat intra-

operatif maupun pasca-operatif dan harus dicari secara teliti serta diligasi setelah

arteri apendikularis dikontrol (Minkes RK. 2012).

Bagian proksimal apendiks terletak pada dinding posteromedial sekum, kira-

kira 2,5 cm dibawah katup ileocecal. Di sini juga merupakan tempat bersatunya

taenia (Minkes RK. 2012).

Letak bagian distal ujung apendiks bervariasi, 65 % terletak di retrocecal, 30

% terletak di pelvis, dan 5 % terletak di ekstraperitoneal (dibelakang sekum, kolon

asenden, atau ileum distal). Letak ujung apendiks menentukan gejala dan tanda awal

apendisitis.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2 Variasi letak ujung apendiks

Saat lahir, terdapat beberapa folikel limfoid submukosa yang terus membesar,

puncaknya pada usia 12 – 20 tahun, kemudian folikel ini akan mengecil kembali. Hal

ini berhubungan dengan insidensi apendisitis (Minkes RK. 2012).

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran

lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.

Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid

Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah Ig A.

Immunoglobulin A sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun

demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena

jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di

saluran cerna dan seluruh tubuh (Sjamsuhidajat. 2004).

Universitas Sumatera Utara


2.2.Apendisitis

2.2.1. Definisi

Apendisitis adalah inflamasi pada apendiks vermiformis (Saucier A, et al.

2013). Menurut definisi lain, apendisitis adalah inflamasi bagian dalam dari apendiks

vermiformis yang menyebar ke bagian-bagian lainnya (Schwartz SI. 2009).

Menurut Minkes, apendisitis akut adalah inflamasi dan infeksi akut dari

apendiks vermiformis, yang secara sederhana sering disebut sebagai apendiks

(Minkes RK, 2013). Apendiks adalah suatu struktur yang buntu, berasal dari sekum.

Apendiks dapat terlibat dalam berbagai proses infeksi, inflamasi, atau proses kronis

yang dapat menyebabkan dilakukan apendektomi. Kata “apendisitis” dan “apendisitis

akut” digunakan secara bergantian dengan maksud yang sama (Victor Y, et al. 2012).

Sementara itu, keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial. Para ahli

bedah menemukan banyak kasus di mana pasien dengan nyeri abdomen kronis,

sembuh setelah operasi apendektomi. Mereka sepakat bahwa ketika appendiks tidak

terisi atau hanya terisi sedikit oleh barium saat barium enema dilakukan pada pasien

dengan keluhan nyeri abdomen kuadran kanan bawah yang bersifat kronis intermiten,

maka sangat mungkin didiagnosis apendisitis kronis.

2.2.2. Epidemiologi

Apendisitis merupakan penyebab utama nyeri abdomen yang membutuhkan

tindakan operasi segera pada anak-anak (Ballester JCA. et al. 2009). Di Amerika

Serikat dijumpai 77.000 kasus apendisitis akut pada anak per tahun. Laki-laki lebih

berisiko menderita apendisitis daripada perempuan dengan rasio 1,4:1. Puncak

insidensi apendisitis pada usia 10 – 20 tahun (Saucier A, et al.2013).

Universitas Sumatera Utara


Di negara-negara barat, sekitar 7 % populasi mengalami apendisitis pada

suatu waktu dalam kehidupannya (Obinna O.2011). Di Inggris dilaporkan 40.000

pasien per tahun dirawat karena apendisitis di Spanyol pada tahun 2003 dilaporkan

bahwa kasus apendisitis sebanyak 132,1 kasus per 100.000 populasi dimana proporsi

apendisitis perforasi sebesar 12,1 % dan proporsi operasi apendektomi negatif sebesar

4,3 %, sedangkan angka mortalitas 0,38 % (Aschraff, K.W. 2000).

Di Afrika Selatan, pada akhir abad ke-20 diperkirakan 10 % populasi berkulit

putih menjalani operasi apendektomi, sedangkan populasi berkebangsaan Afrika

hanya kurang dari 1 % yang menjalani operasi apendektomi. Perkiraan insidensi

apendisitis pada orang Afrika adalah 10 kasus per 100.000 populasi.Perbedaan ini

biasanya disebabkan oleh perbedaan pola makan, dimana orang dari negara sedang

berkembang mengkonsumsi makanan yang rendah lemak dan tinggi serat

(Appendicitis. 2013).

Di Korea Selatan dilaporkan bahwa insidensi apendisitis 22,71 kasus per

10.000 populasi per tahun, yang dioperasi apendektomi 13,56 kasus per 10.000

populasi per tahun, dan insidensi apendisitis perforasi 2,91 kasus per 10.000 populasi

per tahun. Risiko menderita apendisitis pada laki-laki tidak berbeda secara bermakna

dengan perempuan yaitu 16,33 % berbanding 16,34 %. (Chen chun yu. 2013).

Insidensi apendisitis dan operasi apendektomi diduga berhubungan variasi

musim (Eylin. 2009). Menurut sebuah penelitian pada anak-anak di India Utara,

jumlah kasus apendisitis meningkat pada musim hujan dengan kelembaban tinggi,

yaitu pada bulan Juli sampai awal September (Eylin. 2009). Di Nigeria bagian barat

daya juga dilaporkan bahwa insidensi apendisitis lebih tinggi pada musim hujan

10

Universitas Sumatera Utara


(April - September) dengan puncak pada bulan Juni – Agustus (Chen chun yu. 2013).

Pada penelitian di Korea Selatan dilaporkan bahwa puncak insidensi apendisitis dan

operasi apendektomi adalah pada musim panas. Sedangkan pada penelitian lain pada

di Amerika Serikat dilaporkan bahwa insidensi apendisitis paling tinggi pada musim

gugur (OR 1,12; 95% CI: 1,04-1,21) dan musim semi (OR 1,11; 95% CI: 1,03-1,20)

(Victor Y, et al. 2012). Adanya variasi musim memungkinkan adanya peranan faktor-

faktor ekstrinsik yang heterogen, seperti kelembaban, alergen, radiasi sinar matahari

serta infeksi virus dan bakteri dalam etiopatogenesis apendisitis. Infeksi virus dan

bakteri menyebabkan hiperplasia jaringan limfoid sehingga terjadi obtruksi lumen

apendiks (Eylin. 2009).

2.2.3. Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi pasti apendisitis akut hingga saat ini belum diketahui. Jumlah asupan

makanan berserat, obstruksi lumen, dan faktor genetik diduga berperan dalam proses

terjadinya penyakit. Sejumlah penyakit infeksi dan parasit diketahui melibatkan

apendiks dan kadang-kadang dapat menyebabkan inflamasi apendiks (Chen chun yu.

2013).

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran konsumsi rendah serat dan

pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Kebiasaan konsumsi rendah serat

mempengaruhi defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen sehingga

memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat. 2005).

Apendisitis diawali obstruksi lumen apendiks diikuti oleh infeksi.(Saucier A,

Eunice Y, Huang, et al.2013). Obstruksi dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid

(60 %), fekalit (35 %), benda asing (4 %), tumor (1 %). Obstruksi juga dapat

11

Universitas Sumatera Utara


disebabkan oleh parasit Enterobius vermicularis dengan proporsi 0,2 – 41,8 % di

seluruh dunia.

Pada penelitian lain dilaporkan bahwa insidensi apendisitis berhubungan

dengan infeksi mumps (95% CI 0,07 – 0,24; p<0,001) (Victor Y et al. 2012).

2.2.4. Patofisiologi

Patofisiologi dasar apendisitis adalah obstruksi lumen apendiks diikuti oleh

infeksi(Obinna O, et al. 2011).Pada 60 % pasien, obstruksi disebabkan oleh

hiperplasia folikel di submukosa. Hal ini paling sering ditemui pada anak-anak dan

disebut sebagai apendisitis kataralis.Pada 35 % pasien, obstruksi disebabkan oleh

fecalith dan biasanya dijumpai pada pasien dewasa (Obinna O, et al.2011).

Bersamaan dengan terjadinya obstruksi, sekresi mukus terus berlangsung dan

meningkatkan tekanan intraluminal. Kemudian terjadi pertumbuhan bakteri yang

berlebihan. Mukus didalam lumen berubah menjadi pus dan tekanan intraluminal

terus meningkat.Hal ini menyebabkan distensi apendiks dan nyeri viseral yang khas

di daerah epigastrik atau periumbilikus (Ivan CP.2013) karena apendiks dipersarafi

oleh pleksus saraf torakal sepuluh (Victor Y, et al. 2012).

Karena tekanan intraluminal terus meningkat, terjadi obstruksi aliran limfe,

yang menyebabkan edema dinding apendiks. Stadium ini dikenal sebagai apendisitis

akut atau fokal. Karena inflamasi semakin hebat, terbentuk eksudat pada permukaan

serosa dari apendiks. Ketika eksudat mencapai peritoneum parietal, timbul nyeri yang

lebih intens dan terlokalisasi pada abdomen kuadran kanan bawah.Inilah yang disebut

gejala klasik apendiitis (Obinna O, et al. 2011).

12

Universitas Sumatera Utara


Peningkatan tekanan intraluminal lebih lanjut menyebabkan obstruksi vena,

yang menyebabkan edema dan iskemia apendiks. Hal ini memudahkan invasi bakteri

ke dinding apendiks yang dikenal sebagai apendisitis akut supuratif. Akhirnya,

dengan peningkatan tekanan intraluminal yang terus berlanjut, terjadi trombosis vena

dan kegagalan arteri yang menyebabkan gangren dan perforasi (Obinna O,et al.2011).

Perforasi menyebabkan pelepasan cairan dan bakteri dari apendiks yang

inflamasi ke rongga abdomen. Selanjutnya akan terjadi inflamasi pada permukaan

peritoneum yang disebut peritonitis. Lokasi dan luas peritonitis tergantung pada

berapa banyak cairan usus yang tumpah (Victor Y, et al. 2012).

Jika tubuh berhasil menutup perforasi, nyeri akan berkurang. Walaupun

demikian, gejala tidak sepenuhnya sembuh. Pasien mungkin masih merasa nyeri

abdomen pada kuadran kanan bawah, penurunan nafsu makan, perubahan pola

defekasi (misalnya diare, konstipasi), atau demam intermiten. Jika perforasi tidak

berhasil ditutup, maka akan terjadi peritonitis difus (Obinna O, et al. 2011).

Berdasarkan komplikasi, apendisitis diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu

apendisitis sederhana bila tidak dijumpai komplikasi gangren, perforasi atau abses

dan apendisitis komplikata bila dijumpai satu atau lebih komplikasi di tersebut atas

(Saucier A, et al. 2013).

13

Universitas Sumatera Utara


2.2.5. Gambaran Klinis Apendisitis Akut pada Anak

2.2.5.a. Anamnesis

Pada permulaan apendisitis, pasien bisa tidak demam atau subfebris.

Peningkatan suhu yang lebih tinggi dihubungkan dengan apendisitis perforasi

(Obinna O, et al. 2011).

Berdasarkan anamnesis dapat ditemukan 2 (dua) jenis gejala apendisitis, yaitu:

a. Gejala klasik

Gejala klasik hanya dijumpai pada 55 % kasus, yaitu jika apendiks berada di

anterior. Gejala diawali oleh nyeri perut di periumbilikus yang memberat

dalam 24 jam.Nyeri menjadi lebih tajam dan berpindah ke fosa iliaka kanan,

lalu menetap. Ditemukan juga gejala hilangnya nafsu makan, mual, muntah,

dan konstipasi (Obinna O, et al. 2011).

Berdasarkan sebuah penelitian, muntah dan demam lebih sering ditemukan

pada anak dengan diagnosis apendisitis daripada penyebab lain nyeri abdomen

(Victor Y, et al. 2012)

Gambar 2.3 Lokasi nyeri klasik apendisitis akut (Zadeh Surgical Inc. 2007)

14

Universitas Sumatera Utara


b. Gejala atipikal

Gejala atipikal berhubungan dengan variasi letak anatomi apendiks (Obinna

O, et al. 2011). Nyeri tumpul sering muncul ketika ujung apendiks terletak di

retrosekal. Jika ujung apendiks terletak di pelvis, pasien akan mengeluhkan

disuria, sering berkemih, dan nyeri di suprapubis karena apendiks yang

inflamasi mengiritasi kandung kemih. Pasien juga dapat mengeluhkan diare

atau tenesmus jika ujung apendiks yang inflamasi dekat dengan rectum

(Obinna O, et al. 2011). Namun, jika ditanya lebih lanjut, biasanya diare

berupa buang air besar yang lunak, sedikit-sedikit, tetapi sering (Victor Y, et

al. 2012).

Sebuah penelitian yang dilakukan pada 63 pasien apendisitis usia kurang dari

3 tahun melaporkan bahwa awalnya 57 % mengalami salah diagnosis.

Sebanyak 33 % memiliki keluhan utama diare.Sebanyak 84 % telah

mengalami perforasi dan atau gangren (Saucier A, et al.2013).

Berdasarkan penelitian cohort pada 755 anak, apendisitis pada anak-anak

dapat menunjukkan gejala atipikal. Gejala klasik hanya ditemukan pada 50 –

68 % anak (Saucier A, et al.2013).

2.2.5.b. Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik pada anak-anak bisa bervariasi tergantung pada

usia anak. Iritabilitas bisa menjadi satu-satunya tanda apendisitis pada neonatus. Pada

anak yang lebih tua sering terlihat tidak nyaman atau menyendiri, lebih suka

15

Universitas Sumatera Utara


berbaring diam karena iritasi peritoneum. Remaja sering memiliki tanda klasik

apendisitis (Victor Y, et al.2012).

Kebanyakan anak-anak dengan apendisitis tidak demam atau subfebris. Pada

pemeriksaan fisik umum biasanya didapati suhu 38 C atau lebih rendah, suhu yang

berfluktuasi mungkin mengindikasikan adanya abses apendiks (Saucier A, et

al.2013).

Pada pemeriksaan fisik jantung dan paru dapat ditemukan takikardi dan

takipnoe karena dehidrasi atau kesakitan (Saucier A, et al.2013).

Pemerikasaan abdomen bertujuan untuk mencari kontraksi involunter dari

muskulus rektus atau oblikus (tanda peritoneal). Pada awal apendisitis, anak mungkin

tidak menunjukkan tanda peritoneal. Sementara, anak yang lebih muda lebih sering

memiliki nyeri abdomen difus dan peritonitis, mungkin karena omentumnya belum

berkembang dengan sempurna dan tidak dapat membungkus perforasi (Saucier A, et

al.2013).

Nyeri maksimal dapat ditemukan di titik McBurney pada abdomen kuadran

kanan bawah. Dapat teraba massa jika apendiks sudah perforasi (Saucier A, et al.

2013).

Temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri lepas, nyeri

pada perkusi, dan tanda peritoneal. Walaupun nyeri abdomen kuadran kanan bawah

ditemukan pada 96% pasien, ini bukan merupakan temuan spesifik. Kadang-kadang,

nyeri abdomen kuadran kiri bawah menjadi keluhan utama pada pasien dengan situs

inversus (Schwartz SI.2009).

16

Universitas Sumatera Utara


Pada pasien dengan apendiks yang terletak dimedial, dapat ditemukan nyeri

tekan suprapubis. Pada pasien dengan apendiks yang terletak dilateral sering

ditemukan nyeri pada daerah panggul kanan. Pada pasien dengan apendiks yang

terletak di retrosekal bisa tidak ditemukan nyeri tekan sampai apendisitis sudah lanjut

atau perforasi (Victor Y, et al.2012).

Ditemukannya tanda Rovsing (nyeri pada abdomen kuadran kanan bawah

setelah dilakukan palpasi atau perkusi pada abdomen bagian kiri) menunjukkan ada

iritasi peritoneal.

Untuk memeriksa tanda Psoas, baringkan anak miring ke kiri dan

hiperekstensikan sendi panggul kanan. Ditemukannya nyeri (respon positif)

mengindikasikan adanya massa inflamasi diatas otot psoas yaitu apendisitis letaknya

pada retrosekal (Victor Y, et al. 2012).

Untuk memeriksa tanda obturator, lakukan fleksi dan internal rotasi pada

sendi paha kanan. Ditemukannya nyeri (respon positif) menunjukkan adanya massa

inflamasi diatas daerah obturator (apendisitis pelvik) (Victor Y, et al. 2012).

Cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan adanya iritasi peritoneal

antara lain dengan memerintahkan pasien sit up di tempat tidur, batuk, atau posisi

berdiri dan jongkok begantian. Akan timbul nyeri yang mengindikasikan adanya

iritasi peritoneum (Victor Y, et al. 2012).

Pada bayi laki-laki dan anak-anak kadang-kadang datang dengan keluhan

inflamasi pada hemiskrotum karena migrasi cairan atau pus dari apendiks yang

inflamasi melalui prosesus vaginalis yang patent (Schwartz SI. 2009).

17

Universitas Sumatera Utara


Sebagai tambahan, penting untuk dilakukan pemeriksaan rektal pada setiap

pasien dengan gejala klinis yang tidak jelas, serta pemeriksaan pelvis pada

perempuan yang mengeluhkan nyeri abdomen (Schwartz SI. 2009).

Menurut Minkes, Digital Rectal Examination (DRE) bermanfaat untuk

menegakkan diagnosis yang tepat, khususnya pada anak-anak dengan appendisitis

yang terletak di pelvis. Temuan klasik pemeriksaan ini adalah nyeri pada bagian

kanan rektum. Dapat juga untuk memastikan adanya feses yang keras atau massa

inflamasi (Schwartz SI. 2009). Namun, menurut Craig tidak ada bukti ilmiah bahwa

DRE bermanfaat untuk menegakkan diagnosis apendisitis (Schwartz SI. 2009).

2.2.6. Uji Diagnostik

Sampai saat ini belum ada satu uji diagnostik yang dapat menegakkan diagnosis

apendisitis secara akurat. Berikut ini adalah beberapa uji diagnostik apendisitis:

2.2.6.1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan Darah Lengkap dengan Diftel

Jumlah leukosit meningkat pada 70 - 90 % kasus apendisitis akut. Namun,

peningkatan tersebut biasanya ringan dan baru jelas terlihat setelah lebih

dari 24 jam perjalanan penyakit atau setelah proses penyakit berlanjut.

Peningkatan neutrofil juga ditemukan yaitu lebih dari 75 % pada 78 %

pasien apendisitis akut (Schwartz SI. 2009).

b. Pemeriksaan C-Ractive Protein (CRP)

CRP adalah protein fase akut yang disintesis di hati sebagai respon

terhadap kerusakan jaringan atau inflamasi. Peningkatan CRP terjadi

setelah 2 - 6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dan karena waktu

18

Universitas Sumatera Utara


paruhnya yang singkat, kadar CRP akan segera menurun setelah stimulus

inflamasi hilang. Kadar CRP normal kurang dari 6 mg/dL. Pada sebuah

penelitian dilaporkan bahwa kadar CRP kembali normal setelah 12 jam

munculnya gejala apendisitis (Schwartz SI. 2009)

c. Pemeriksaan Urinalisis

Menurut penelitian Chun-yu et al, dimana dilakukan pemeriksaaan

urinalisis pada pasien yang dicurigai dengan apendisitis akut sebelum

dilakukan tindakan pembedahan. Dilakukan pemeriksaaan urinalisis rutin

yang terdiri dari 2 pemeriksaan yaitu tes kimiawi untuk melihat adanya

kandungan kimiawi yang abnormal dan test mikroskopik untuk melihat

partikel abnormal yang terlarut. Hasil dari penelitian tersebut

menyebutkan bahwa badan keton dan nitrat pada urin merupakan

parameter yang signifikan dalam memprediksi apendisisis perforasi, dan

pada pemeriksaan mikroskopis jika di temukan 2 RBC pada lapang

pandang besar, atau 4 WBC pada lapang pandang besar dapat di gunakan

untuk memprediksi apendisitis perforasi pada anak (Chen chun yu.2013).

d. Pemeriksaan Apendisitis Akut Lainnya

Pemeriksaan laboratorium lain yang memiliki nilai diagnostik moderat

terhadap apendisitis akut adalah hiperbilirubinemia, kadar kalprotektin

plasma, dan kadar amiloid A serum (Saucier A, et al. 2013).

19

Universitas Sumatera Utara


2.2.6.2. Pemeriksaan Radiologi

a. USG (Ultrasonografi)

Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan yang non invasif, murah,

mudah dikerjakan dan waktu yang diperlukan singkat, paparan radiasi

yang diterima minimal / tidak ada sehingga aman bagi wanita hamil dan

anak-anak serta potensial untuk pemeriksaan kasus-kasus yang termasuk

abdominal pain (Jacob. 2005)

Penggunaan USG direkomendasikan untuk konfirmasi, tapi tidak dapat

mengeksklusi apendisitis akut pada anak-anak dan remaja (level 2 [mid-

level] evidence). Untuk mengeksklusi apendisitis akut, dianjurkan

pemeriksaan CT scan (Schwartz SI. 2009)

Pemeriksaan USG untuk apendisitis yang penting adalah, kita harus dapat

memvisualisasikan apendiks pada penderita sehingga kita

dapatmengidentifikasikan apakah apendiks tersebut normal atau

abnormal.Pengalaman operator yang sejalan dengan perlengkapan USG

yang canggih membuat frekuensi apendiks yang terdeteksi menjadi

meningkat (Hwa Lee, Ki Joeng, et al. 2005)

USG pada apendisitis sangat tergantung pada berbagai faktor, yaitu:

1. Alat USG yang digunakan, mencakup:

a).Macam USG (USG transabdominal, transrektal maupun USG

Color Doppler)

20

Universitas Sumatera Utara


b). Transduser (transducer linear frekuensi tinggi 5-12 MHz,

transducer konveks frekuensi rendah 2-4 MHz untuk pasien

obesitas atau posisi apendiks yang dalam);

2. Ketrampilan pemeriksa, mencakup:

a). Pengalaman dan pengetahuan yang baik pada pemeriksa tentang

apendisitis (pengalaman dan ketrampilan yang kurang pada

pemeriksa dapat menurunkan akurasi diagnostik dalam

visualisasi apendiks);

b). Teknik pemeriksaan yang digunakan, mencakup:

b.1). Teknik kompresi bertahap arah anterior (Puylaert. 1986).

b.2). Teknik kompresi bertahap ke arah atas

b.3). Teknik manual posterior

b.4).Teknik dengan memposisikan transduser, yaitu diletakkan

di daerah yang paling nyeri dirasakan penderita (lokal),

transducer diletakkan pada lateroposterior untuk

visualisasi apendiks yang letaknya dalam di kavum pelvis

(deep pelvic, retrocaecal) atau diletakkan suprapubik

untuk mempermudah visualisasi apendiks dengan jendela

akustik kandung kemih yang terisi penuh,

b.5).Teknik positioning penderita (posisi left oblique lateral

decubitus membantu pencitraan appendiks retrosekal), hal

ini karena pemutaran pasien dari posisi supinasi ke left

oblique lateral decubitus menyebabkan sekum dan ileum

21

Universitas Sumatera Utara


terminal berpindah ke medial di depan muskulus psoas

sehingga kedalaman area coli retrosekal dan area

retroileum di atas muskulus psoas akan dikurangi.

3. Kondisi/ keadaan pasien, yaitu:

3.a). Pasien dengan struktur abdomen kwadran kanan bawah (RQL=

Right Quadran Low) yang sulit dikompresi, misal pada anak,

wanita hamil, obese, pasien dengan nyeri abdomen difus,

3.b). Pasien ileus atau dengan udara usus prominen.

3.c). Lokasi /posisi apendiks (akurasi diagnostik USG menurun pada

posisi apendiks di area retrosekal atau true pelvic).

(Baldisserotto. 1996)

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan USG apendisitis:

1). Pemilihan transduser linier frekuensi tinggi 5-7,5 MHz atau 2-4 MHz

transduser kurve frekuensi rendahdisesuaikan keadaan/kondisi penderita.

2). Lakukan pemeriksaan dengan teknik kompresi menggunakan transduser linier

resolusi tinggi (> 7,5 MHz). Posisi penderita supinasi dan transducer

diletakkan pada lokasi/titik pada abdomen yang dirasa paling nyeri

(Sonography Self Localization) dan tangan pemeriksa diletakkan diposterior

(regio flank atau pinggang) penderita.Transducer dikompresikan di daerah

RLQ secara bertahap dan identifikasi arteri atau vena femoralis, ileum

terminal, sekum dan apendiks berada di sekitar daerah tersebut (Quilin. 1994)

Awalnya kita lakukan teknik kompresi bertahap dengan transduser pada

dinding anterior abdomen secara pelan tetapi tegas.Bila apendikstervisualisasi,

22

Universitas Sumatera Utara


diameter dinding apendiks diukur secara teliti dengan potongan longitudinal

dan transversal. Gambaran USG apendiks normal terlihat sebagai tabung yang

buntu (blind ended tubular) dengan diameter kurang dari 6 milimeter dan

tampak adanya peristaltik. Bila dilakukan dengan teknik kompresi bertahap

(grade compression) appendiks tersebut ikut tertekan dan struktur lemak

periappendiceal tidak mengalami echogenitas (Baldiesserotto. 2000).

Gambaran apendiks pada potongan transversal tampak echogenitas yang

berbeda dengan lapisan lapisan hipoechoic yang concentric (melingkar), hal ini

berhubungan dengan macam-macam lapisan dinding usus. Lapisan dinding

usus yang tervisualisasi pada USG ada 5 yaitu:

1). Lapisan dalam tampak hiperekoik yang terletak antara mucosa dan

intraluminal pada lapisan paling dalam.

2). Lapisan hipoekoik yang merupakan lapisan muskularis mukosa,

3). Lapisan tengah hiperekoik yang merupakan submukosa,

4). Lapisan diluarnya yang hipoekoik merupakan muskularis propria,

5). Lapisan terluar yaitu hiperekoik yang merupakan lapisan serosa. Cairan

intraluminer tampak central hipoekoik sonolusen (Hwa Lee et al. 2005).

23

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.4 USG Apendiks Normal

Bila apendiks tidak tervisualisasi dengan teknik seperti di atas (disebut teknik

graded scanning compression atau teknik kompresi bertahap), maka dilakukan

beberapa tambahan pemeriksaan sesuai dengan kondisi pasien, lokasi apendiks,

transducer yang digunakan. Adjuvant atau teknik tambahan yang digunakan disebut

teknik dependent operator (added operator dependent technique to graded

compression sonography) dengan waktu tambahan yang dibutuhkan sekitar 15 menit.

Beberapa tambahan teknik dependent operator yang dikerjakan, yaitu:

1). Teknik Kompresi Bertahap ke arah atas. Hal ini biasanya dilakukan untuk

lokasi apendiks vermiformis true / false pelvis dengan bagian distal

apendiks yang bebas, sehingga jarak dengan transducer jauh dan adanya

sudut insonansi antara apendiks dengan transduser linier frekuensi tinggi.

Teknik ini dimulai dengan sapuan ke atas dengan tekanan transduser linier

frekuensi tinggi untuk bergerak ke atas pada sekum letak rendah dan

24

Universitas Sumatera Utara


apendiks. Derajat kompresi ke atas dari transduser akan menampakkan

sekum dan apendiks vermiformis di atas musculus psoas atau pada

anterior korpus vertebra (Hwa Lee, et al. 2005).

2). Teknik Kompresi Manual Posterior. Caranya yaitu pasien diposisikan

supinasi dengan transducer diletakkan di atas permukaan abdomen

kuadran kanan bawah dengan teknik kompresi bertahap kemudian

ditambahkan dengan cara meletakkan tangan di aspek posterior kuadran

kanan bawah pada arah yang berlawanan dengan transducer. Teknik ini

dapat membuat kekuatan kompresi ekstrinsik pada sisi yang berlawanan

dengan abdomen kwadran kanan bawah bagian anterior atau anteromedial

menggunakan tangan kiri seperti gambar dibawah ini.

Gambar 2.5:Adjuvan Teknik Dependent Operator Manual posterior (Hwa

Lee. 2005)

Kompresi dari aspek posterior sekum atau spatium pericaecal dengan atau

tanpa pemindahan anteromedial di atas musculus psoas pada abdomen

kwadran kanan bawah sistema usus. Kekuatan kompresi dan posisi tangan

25

Universitas Sumatera Utara


kiri secara dinamik diubah-ubah mengikuti bagian colon yang dicurigai

sebagai apendisitis.Cara ini dapat meningkatkan spatial resolusi.Teknik ini

digunakan pada pasien dengan struktur perut yang hanya dapat dikompresi

minimal atau pada pasien obesitas yang berotot (Hwa Lee,et al. 2005).

3) Posisi tubuh Left Oblique Lateral Decubitus (LOLD). Posisi tubuh LOLD

membantu pencitraan apendiks retrocaecal, karena pemutaran pasien dari

posisi supinasi ke LOLD menyebabkan caecum dan ileum terminal

berpindah ke medial di depan musculus psoas dan posisi lateral dari area

coli retrosekal dan retroileum (di atas musculus psoas).

4). Transducer Konveks Frekuensi Rendah. Pemeriksaan dengan transducer

frekuensi 2-4 M.Hz digunakan untuk pasien obesitas dan lokasi apendiks di

dalam pelvis (Hwa Lee. 2005).

5). Pemeriksaan Tambahan dengan Color Doppler Ultrasound (CDU).

Gambaran apendiks normal pada pemeriksaan USG yang lain seperti di

bawah ini:

26

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.6 Ultrasonografi Apendiks potongan Longitudinal

Pada pemeriksaan tambahan dengan USG color doppler, apendisitis positif

bila adanya depiction dari hipervascularisasi dinding apendiks atau pada kuadran

kanan bawah bila dibandingkan dengan jaringan normal yang menunjukkan tidak

adanya/jarangnya signal skater color doppler. Penelitian baru-baru ini menunjukkan

bahwa color doppler USG merupakan teknik yang dapat diandalkan untuk

membuktikan bahwa adanya peningkatan aliran darah yang biasanya menyertai

proses peradangan seperti apendisitis (Craig. 2006).

Pemeriksaan tambahan seperti USG color doppler pada pemeriksaan apendiks

dibandingkan dengan menggunakan pemeriksaan USG gray scale dapat

meningkatkan spesifisitas dari 92% menjadi 97% dan akurasi dari 90% menjadi 93%

untuk diagnosis apendisitis akut pada anak (Quilin, Siegel. 1994). Adanya gas atau

udara dalam lumen apendiks belum tentu menunjukkan adanya inflamasi pada

27

Universitas Sumatera Utara


apendiks sedang tidak adanya gas dalam lumen apendiks membantu untuk konfirmasi

adanya apendisitis akut atau inflamasi dinding apendiks (Rattenbacher. 2000).

Gambar 2.7 Apendisitis Akut pada Ultrasonografi Doppler. (Shawn. 1994)

(a) Scan longitudinal CDS dengan peningkatan signal yang menyolok, sesuai

gambaran hyperemia difus (b) Scan transversal dengan aliran yang nyata

di dinding apendiks

Modalitas radiologi dapat menurunkan angka apendektomi negatif (Puylaert.

1986). Angka deteksi pemeriksaan USG pada visualisasi apendiks 60-83 %,

sensitifitas lebih 90% pada pasien suspek apendisitis. Ada beberapa penelitian yang

menggunakan modifikasi teknik yang dilakukan Puylaert dikombinasi dengan

beberapa teknik tambahan (teknik dependent operator pada USG kompresi bertahap),

jumlah apendiks yang tervisualisasi dari 84% menjadi 98% dan meningkatkan

sensitifitas hingga 99%, spesifisitas 99% dan akurasi 99% (Puylaert. 1986).

Penambahan berbagai teknik operator dependent pada graded USG kompresi

memungkinkan perbaikan visualisasi apendiks normal maupun abnormal (Hwa Lee,et

al. 2005)

1. Self-Localization sebagai tambahan teknik kompressi bertahap

28

Universitas Sumatera Utara


Sonography Self Localization dapat mempersingkat waktu pemeriksaan dan

mempunyai validitas tambahan bila dilakukan bersamaan dengan teknik kompresi

bertahap. Waktu yang dibutuhkan untuk teknik kompresi bertahap sekitar 15- 20

menit. Akurasi pemeriksaan USG kompressi bertahap menurut Puylaert digabung

dengan Sonography Self Localization dapat meningkatkan akurasi diagnostik dari

75% menjadi 86%. (Lim K.H,et al. 1996)

2. Adjuvant Teknik Kompresi Manual Posterior

Teknik kompresi bertahap menurut Puylaert di tambah adjuvant teknik

kompresi manual posterior menggunakan transducer linier dengan frekuensi 5-7,5

MHz dan pasien diperiksa pada posisi supinasi. Teknik kompresi bertahap menurut

Puylaert dengan melakukan kompresi anterior untuk mengurangi rongga antara

tempat yang sakit dengan transducer frekuensi tinggi pada fokus yang

dituju.Tambahan teknik manual posterior ini sebagai tambahan pemeriksaan untuk

memvisualisasikan apendiks vermiformis yang bertujuan untuk melakukan kompresi

USG bertahap dan membuat kekuatan kompresi ekstrinsik pada sisi yang berlawanan

pada abdomen kwadran kanan bawah bagian anterior atau anteromedial

menggunakan tangan kiri.

Cara ini diikuti kompresi dari aspek posterior sekum atau spatium perisekal

dengan atau tanpa pemindahan anteromedial diatas muskulus psoas pada kwadran

kanan bawah. Selanjutnya kekuatan kompresi dan posisi tangan kiri secara dinamik

diubah-ubah mengikuti bagian kolon yang dicurigai sebagai apendisitis.

Cara ini membantu memperoleh kedalaman yang cukup didapatkan oleh

transducer frekuensi tinggi dengan memberikan secara bersamaan kompresi bertahap

29

Universitas Sumatera Utara


dari anterior dan posterior yang dapat meningkatkan spatial resolution. Cara ini sering

disebut teknik kissing effect kompresi reciprocal anterior posterior. Pendekatan USG

apendiks dengan urutan visualisasi ileum terminale, valvula ileosekal, polus sekalis

dan orificium apendiks dengan bentuk tubular (blind ending tubular / saluran buntu),

tidak ada peristatik usus dan lokasinya di retroileal atau retrocaecal atau daerah

disekitarnya, non compressible. Teknik Adjuvant kompresi manual posterior biasanya

digunakan pada pasien obese atau struktur otot abdomennya yang hanya dapat

dikompresi minimal (Hwa Lee, et al. 2005).

Teknik adjuvant kompresi manual posterior berguna untuk mendeteksi

apendiks vermiformis dan untuk diagnosis serta menyingkirkan apendisitis akut

terutama yang berlokasi retrocaecal atau retrocolica akibat tekanan bagian posterior

abdomen kanan bawah ke atas sehingga transducer frekuensi tinggi dapat mencapai

rongga retrokolika atau retrosekal pada tepi anterior rongga psoas dengan

meningkatkan resolusi spatial.

3. Adjuvant Left lateral Decubitus Position dengan Transducer linier atau

Konveks

Akibat pemutaran pasien dari posisi supinasi ke Left Oblique Lateral

Decubitus, caecum dan ileum terminale berpindah ke medial di depan musculus psoas

oleh perubahan postur tersebut dan kedalaman porsi lateral dari area coli retrocaecal

akan dikurangi (mengurangi area retroileum di atas musculus Psoas). Cara ini juga

dapat menyebabkan pelebaran dinding uterus sehingga cocok untuk pemeriksaan

wanita hamil yang dicurigai apendisitis.

30

Universitas Sumatera Utara


4. Penggunaan Transduser Konveks

Frekuensi Rendah (2-4 MHZ) Cara ini dapat memvisualisasikan apendiks

pada pasien obesitas atau pasien dengan lokasi apendiks yang dalam dirongga pelvis.

5. Adjuvant dengan Pemeriksaan Color Doppler Ultrasound (CDU)

Aliran darah di dinding apendiks atau massa di kuadran kanan bawah

abdomen pada CDU dapat mendukung apendisitis, tetapi tidak adanya aliran tidak

dapat secara pasti membedakan apendiks normal dengan yang tidak normal.

Apendisitis dengan pemeriksaan CDU disebut positif bila adanya depiction dan

hipervascularisasi dinding apendiks atau pada kwadran kanan bawah bila dibanding

dengan jaringan normal yang menunjukkan tidak adanya atau jarangnya signal skater

color doppler. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa CDU merupakan teknik yang

dapat diandalkan untuk membuktikan adanya peningkatan aliran darah yang biasanya

menyertai proses peradangan seperti apendisitis. CDU dapat memperlihatkan

hiperperfusi yang dihubungkan dengan apendisitis akut.Sensitifitas pemeriksaan USG

gray scale dikombinasikan dengan CDU menunjukkan peningkatan sampai 95% bila

diinterpretasikan bersama (Chresbrough, Burkhard. 1993)

6. Adjuvant Teknik Graded kompresi kearah Atas

Teknik ini dimulai dengan sapuan ke atas dengan tekanan transducer linier

frekuensi tinggi untuk bergerak ke atas caecum letak rendah dan apendiks, kompresi

bertahap ke atas dari transduser akan menempatkan sekum dan apendiks vermiformis

di atas musulus psoas atau anterior corpus vertebrae. Kebiasaan penyapuan kearah

bawah dengan transduser linier frekuensi tinggi pada pemeriksaan awal USG graded

compression dapat menyebabkan batas bawah atau apendiks yang berlokasi di false

31

Universitas Sumatera Utara


atau true pelvis tertekan lebih ke bawah dan berpindah ke area pelvis yang lebih

dalam sehingga menyebabkan deteksi apendiks vermiformis lebih sulit. Penelitian

oleh Jong Hwa Lee, et al, angka deteksi appendiks vermiformis menggunakan Graded

Compression technique dan masing-masing adjuvant technique operator dependent

menunjukkan adanya peningkatan angka deteksi visualisasi apendiks sebelum dan

sesudah adjuvant technique operator dependent (Hwa Lee, et al. 2005)

Dari penjelasan di atas, teknik sdjuvant pemeriksaan USG untuk visualisasi

apendiks mempunyai akurasi tertinggi adalah teknik kompresi manual posterior

dengan angka deteksi 93% (sensitifitas97%, spesifisitas 99% dan akurasi 98%),

sedang yang terendah adalah teknik perubahan posisi left oblique lateral decubitus

dengan angka deteksi 90% dengan sensitifitas 94%, spesifisitas 99% dan akurasi 97%

(Hwa Lee. 2005).

Beberapa hasil penelitian menyebutkan gambaran USG untuk diagnosis

apendisitis adalah

1). Diameter dinding apendiks > 6 mm (sensitivitas dan spesifisitas 98% dan

akurasi 97%);

2). Non compressible (sensitifitas, spesifisitas dan akurasi 96%;

3). Intraluminal fluid (sensitifitas 53%, spesifisitas 92% dan akurasi 71%);

4). CDU, flow in wall mempunyai sensitifitas 52%, spesifisitas 9% dan

akurasi 73% (Kessler. 2003)

Pada penelitian yang lain menyebutkan bahwa adanya gas intraluminal

apendiksmenunjukkan kemungkinan apendisitis dapat disingkirkan, sedang tidak

32

Universitas Sumatera Utara


adanya gas dalam lumen apendiks menunjukkan adanya apendisitis akut. Tanda

periapendiseal untuk apendisitis yaitu:

1) Perubahan inflamasi lemak (sensitifitas 91%, spesifisitas 76% dan akurasi

83 %);

2). Penebalan dinding sekum (sensitifitas 75%, spesifisitas 88% dan akurasi

59%); Periileal lymphonodes (sensitifitas 32%, spesifisitas 62% dan akurasi

62%.(Kessler N, et al. 2003).

Gambaran USG pada apendisitis adalah apendiks akan terlihat sebagai blind

ending tubular structure, non compressible dan tanpa peristaltik, diameter apendiks

lebih 6 mm seperti dibawah ini (Craig. 2006). Adanya intraluminal fluid (terlihat bila

tidak adanya garis dalam lumen usus yang dapat menutupi apendiks) dan pada USG

Doppler adanya aliran darah (hyperemia) menunjukkan adanya inflamasi apendiks.

(Jacobs. 2006)

Gambar 2.8 Ultrasonografi Apendisitis Akut

Gambar A. Potongan transerval teknik kompressi bertahap pada apendisitis

akut: tampak penebalan dinding apendiks (diameter lebih 6 mm) dengan kumpulan

cairan yang terlokulasi dalam lumen apendiks Gambar B. Potongan longitudinal :

33

Universitas Sumatera Utara


tampak struktur tubular, non compressible, non peristaltik dengan diameter dinding

apendiks lebih dari 6 mm. Tampak tepi seperti cincin pada cairan periapendiseal

(Craig. 2006).

Gambar 2.9 USG Apendisitis Akut

Pada penelitian oleh Nicholas Kessler, et al 2 tanda penting pemeriksaan USG

yang paling akurat pada apendisitis adalah:

1). Diameter > 6 mm dimana sensitifitas, spesifisitas dan akurasi berturut-turut 98%,

98% dan 97%

2). Non compressible dimana sensitifitas, spesifisitas dan akurasi berturut-turut 96%,

96% dan 96% (Kessler et al. 2003)

34

Universitas Sumatera Utara


Adanya intraluminal fluid (terlihat bila tidak adanya garis dalam lumen usus

yang dapat menutupi apendiks) dan pada USG Doppler adanya aliran darah

(hiperemia) menunjukkan adanya inflamasi apendiks (Jacobs. 2006).

Karena pemeriksaan minimal invasive mudah dilakukan dan bisa diulang,

memang penting untuk mendiagnosis apendisitis akut. Appendiks normal biasanya

tidak dicitrakan dengan ultrasonografi. Bila dilibatkan oleh peradangan dan

membesar, bagaimanapun, dapat divisualisasikan.

Apendisitis terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi

dengan gambaran ultrasonografi di bawah ini (Kojima et al. 1993).

Gambar 2.10 Tipe Apendisitis menurut Ultrasonografi

Gambaran apendisitis meliputi hipertrofi dinding apendiks, gangguan struktur

berlapis normal, penghancuran dinding, dan cairan purulen atau fekalith di dalam

lumen apendiks.

35

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1 Klasifikasi Apendisitis Akut menurut Ultrasonografi (Kojima et al.
1993)

Pathological Layer structure of Submucosal layer


diagnosis the appendiceal
wall
Type I Catarrhal Clear No hypertrophy
Type II Phlegmonous Indistinct Hyperthropied
Type III Gangrenous Disrupted Indistinct and partly
lost

Pada apendisitis kataralis, dinding apendiks tampak tiga lapisan, sementara


struktur berlapis ini menjadi tidak jelas dalam apendisitis phlegmonous. Tidak
dijumpai strukturlapisan apendiks pada apendicitis gangrenous yang telah lanjut.
Akumulasi cairan periapendiseal menunjukkan bentuk abses-sekunder akibat
perforasi. High periapendiceal echo menunjukkan agregasi omentum dan jaringan
lain yang telah terkena inflamasi. Jika beberapa dari temuan ini dijumpai maka
diindikasikan untuk operasi.

Menurut Kojima et al, apendisitis terbagi menjadi tiga jenis tergantung pada
hasil ultrasonografi (Kojima. 1993).

Klasifikasinya bergantung pada high echopada lapisan submukosa, seperti


yang dijelaskan oleh Yuasa et al., ada atau tidak adanya visualisasi apendiks dan
panjang atau pendeknya diameter appendix. Pola ultrasonografi tipe I sebanyak76%
pasien dengan apendisitis kataralis, sedangkan itu tipe II pada 82% pasien dengan
apendisitis phlegmon, dan tipe III pada 94% pasien dengan apendisitis gangrenosa.
Mereka menyimpulkan bahwa tingkat berat ringannya apendisitis dapat dinilai oleh
ultrasonografi pra operasi, sehingga jika memang bukan apendisitis, maka
apendektomi tidak perlu dilakukan, maka ultrasonografi adalah modalitas yang sangat

36

Universitas Sumatera Utara


diperlukan karena bisa digunakan untuk kedua mendiagnosis apendisitis dan menilai
beratnya apendisitis.

Tabel 2.2 Grading Apendisitis Akut berdasarkan klinis, imaging dan


laparoskopi (Gomes et al. 2015)

Non Complicated Acute Appendicitis


Grade 0 : Normal looking Appendix (endoappendicitis/Periappendicitis)
Grade 1 : Inflamed Appendix (Hypereia, edema ± fibrin without or little pericolic
fluid)
Complicated Acute Appendicitis
Grade 2 : necrosis : A: segmental necrosis (without or little pericolic fluid )
B : base necrosis (without or little pericolic fluid)
Grade 3 : Inflammatory Tumor : A : Flegmon
B : Abscess less 5cm without peritoneal free air
C : Abscess above 5 cm without peritoneal free air
Grade 4 : Perforated Diffuse peritonitis with or without peritoneal free air

Tabel 2.3 Temuan Apendisitis Akut pada Ultrasonografi

Real time US signs of acute appendicitis


Direct Signs Indirect Signs
Non compressibility of the appendix Free fluid surrounding appendix
Perforation appendix might be
compressible
Diameter of the appendix > 6 mm Local abscess formation
Single wall thickness > 3 mm Increased echogenity of local mesenteric
fat
Target sign Enlarged local mesenteric fat
lymphnodes
Hypoechoic fluid filled lumen

37

Universitas Sumatera Utara


Hyperechoic mucosa submucosa
Hypoechoic muscularis layer
Appendicolith : hyperechoic with Thickening of the peritoneum
posterior shadowing
Color Doppler and contrast enhanced US Sign of secondary small bowel
obstruction
Hypervascularity in early stages of AA
Hypo to vascularity in abscess and
necrosis

Kelemahan USG sebagai uji diagnostik apendisitis adalah:

(1) Sensitivitas sangat bergantung pada keahlian operator (Operator


Dependent)

(2) Kesulitan untuk memvisualisasi apendiks yang tidak mengalami


inflamasi;

(3) Lebih sulit memvisualisasi apendisitis pada anak yang gemuk.

B. Pemeriksaan CT Scan

CT scan memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang tinggi untuk mengevaluasi


dugaan suatu apendisitis akut (level 1 [likely reliable] evidence). Temuan CT scan
yang mengindikasikan apendisitis adalah penebalan apendiks atau penebalan dinding
sekum. Temuan CT scan yang mengindikasikan apendisitis perforasi adalah
gambaran udara di sekitar apendiks atau sekitar sekum, abses, flegmon, dan udara
bebas yang ekstensif. CT scan dapat membantu mengkonfirmasi dugaan apendiceal
mass pada pasien anak yang obesitas. Pada pasien dengan abses apendiks, CT scan
juga dapat membantu evakuasi abses dengan CT-guided drainage. Namun, pada
anak-anak, gambaran apendicolith memiliki nilai diagnostik yang rendah (level 2
[mid-level] evidence) (Saucier A, Eunice Y, Huang, et al. 2013).

38

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.11. CT scan apendisitis akut pada anak

Berdasarkan systematic review, CT scan lebih sensitif daripada USG untuk


menegakkan diagnosis apendisitis akut (level 1 [likely reliable] evidence) (Saucier A,
Eunice Y, Huang, et al. 2013).Perbandingan USG dan CT scan tanpa kontras
dipaparkan sebagai berikut.

Tabel 2.4. Perbandingan CT scan tanpa kontras dan USG (Saucier A, Eunice Y,
Huang, et al. 2013)
CT scan tanpa kontras (%) USG (%)
Sensitivitas 97 100
Spesivisitas 100 88
Akurasi 98 91

Kelemahan CT scan sebagai uji diagnosis adalah paparan terhadap radiasi.


Dilaporkan bahwa satu kali CT scan abdomen meningkatkan risiko anak tersebut
menderita kanker dan risiko tersebut semakin besar jika usia paparan semakin muda.
Menurut penelitian Brenner et al., perkiraan risiko kanker pada anak yang dilakukan
CT scan pada usia < 5 tahun adalah 0,15 - 0,23 %, usia 5 - 15 tahun adalah 0.11 -
0,15 %, dan dewasa 1:1100 (Victor Y, et al. 2012).

39

Universitas Sumatera Utara


C. Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI ternyata tidak lebih baikdibandingkan pemeriksaan lain dalam


mendiagnosis apendisitis akut. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa
MRI memiliki keuntungan yaitu menurunkan insiden laparotomi negatif. MRI
menghabiskan lebih banyak waktu dan biaya dibandingkan pemeriksaan lain
(Prystowsky et al. 2005; Petroianu. 2012; Humes & Simpson. 2011).

2.2.6.c. Pemeriksaan Mikrobiologi

Berdasarkan Texas Children Hospital Evidence-Based Outcomes Centre: Acute


Appendicitis / Appendectomy Management Guideline tahun 2012, kultur bakteri
perioperatif tidak rutin dilakukan pada anak dengan apendisitis akut, kecuali jika
ditemukan apendiks perforasi dengan abses (strong recommendation, low quality
evidence).

2.2.6.d. Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi merupakan standard baku emas diagnosis apendisitis


(Victor Y, et al. 2012). Pada stadium awal apendisitis, secara makroskopis apendiks
tampak edema dengan dilatasi pembuluh darah serosa. Secara mikroskopis, tampak
infiltrat neutrofil pada lapisan mukosa dan muskularis hingga ke lumen apendiks.
Selanjutnya, secara makroskopis dinding apendiks tampak menebal, lumen
berdilatasi, dan terbentuk eksudat serous. Pada stadium ini, secara mikroskopis
tampak nekrosis mukosa. Pada stadium lanjut apendisitis, secara makroskopis tampak
tanda-tanda nekrosis mukosa hingga lapisan luar dinding apendiks dan bisa
ditemukan gangren. Pada stadium ini, secara mikroskopis tampak mikroabses
multipel pada dinding apendiks dan nekrosis berat pada semua lapisan (Schwartz
SI.2009). Pada stadium ini terjadi perforasi appendiks. Sebuah penelitian melaporkan
bahwa bagian tengah apendiks lebih sering mengalami perforasi daripada bagian
ujung apendiks.

40

Universitas Sumatera Utara


2.2.7. Pediatric Appendicitis Score (PAS)

Pada tahun 2002, untuk pertama kalinya Samuel membuat skor apendisitis khusus
untuk anak-anak. Dari 1170 anak usia 4 - 15 tahun yang dirujuk ke ahli bedah anak
dengan keluhan nyeri perut yang sugestif apendisitis, diteliti secara prospektif data
demografi, gejala, tanda, pemeriksaan laboratorium, dan hasil pemeriksaan patologi
dari apendektomi yang dilakukan oleh ahli bedah anak. Kemudian dilakukan analisis
regresi linear multipel dari semua parameter hingga diperoleh delapan komponen
sebagai komponen Pediatric Appendicitis Score (PAS). Kedelapan elemen tersebut
beserta nilai diagnostiknya dipaparkan pada tabel berikut:

Tabel 2.5 Pediatric Appendicitis Score (Parveen KZ. 2017)

Parameter Nilai Skor

Anorexia 1

Nausea / emesis 1
Fever 1
Migration of pain 1

Tenderness in right lower quadrant 2

Cough / percution / hope tenderness 2


Leucocytosis 1
Netrophilia 1
Total 10

Migration of pain: Artinya nyeri yang berpindah dari umbilikus kekuadran kanan
bawah abdomen (Samuel M. 2002)

Cough tenderness: Artinya batuk yang disebabkan peningkatan nyeri (Dunphy’s sign)
(Kirkwood KS. 2012)

Neutrophilia and Leukocytosis, tergantung pada usia anak (Engorn B. 2015)

41

Universitas Sumatera Utara


Penelitian prospektif yang dilakukan Bhatt pada 246 anak dengan
menggunakan PAS menunjukkan bahwa jika digunakan cut-point tunggal (PAS 5)
menghasilkan false positive dan false negative yang tinggi. Performa PAS meningkat
bila digunakan dua cut-point. Dengan menggunakan strategi ini, negative
appendectomy rate 4,4% (Victor Y, et al. 2012).

Penelitian prospektif yang dilakukan Adibe et al. pada 112 anak


menunjukkan bahwa PAS dapat digunakan selain sebagai alat diagnostik juga sebagai
indikator prognosis apendisitis akut.Semakin tinggi nilai PAS, semakin besar pula
kemungkinan terjadinya apendisitis komplikata.

Anak dengan keluhan nyeri abdomen dengan PAS:

• PAS < 5 berisiko rendah untuk terjadi apendisitis. Anak dengan PAS <
5 dapat dirawat jalan atau diobservasi selama 24 jam. Namun, nyeri perut yang
menetap atau adanya keluhan tambahan lain harus dievaluasi ulang.

• PAS > 9 berisiko tinggi untuk terjadi apendisitis komplikata. Anak


dengan PAS > 9 harus dioperasi apendektomi.

• PAS 6 – 8 lebih sering dijumpai apendisitis sederhana. Anak dengan


PAS 6 – 8 juga dioperasi apendektomi.

Pediatric Appendicitis Score (PAS) dipakai pada pasien umur 3-18 tahun.
(MD+Calc)

Menurut Penelitian Carisa et al. tentang Evaluating Appendicitis Scoring


Systems Using a Prospective Pediatric Cohort tahun 2007, terdapat distribusi
kejadian apendisitis berdasarkan umur serta penggolongan umur pada penelitian
mereka sebagai berikut:

42

Universitas Sumatera Utara


Diagram Distribusi Umur Pasien Apendisitis Pada Penelitian Kohort terhadap
588 pasien (Schneider, et al. 2007)

Tabel 2.6 Karakteristik Klinis Pasien sangkaan Apendisitis Akut (Scneider, et al.
2007)

Feature All Patients Age < 10 years


No Appendicitis Appendicitis No Appendicitis Appendicitis
(N=931) (N=197) (N=150) (N=56)
Median age, y (lQR) 11,5 (8,0. 14,7) 12,7 (9,7, 15,4) 6,7 (5,7. 8,5) 8,2 (7,0. 9,5)
Migration of pain 26,6% (104/391) 49,2 ((97/197) 21,3% (32/150) 37,5% (21/56)
Anorexia 56,5% (221/391) 73,1 (144/197) 60,7 (91/150) 78,6% (44/56)
Nausea / Vomiting 64,7% (253/391) 85,8 (169/197) 68% (102/150) 82% (46/56)
RLQ tenderness 62,9% (246/391) 82,7 (163/197) 49,3% (74/150) 82,1% (46/56)
Rebound pain 23,3% (91/391) 47,7 (94/197) 14% (21/150) 46,4% (26/56)
Increase in temperature* 45,0% (176/391) 46,2 (91/197) 62,7 % (94/150) 58,9% (33/56)
Leucocytosis* 47,8 (187/391) 89,8 (177/197) 62,7% (94/150) 96,4% (54/56)
Differential WBC count 43,2% (169/391) 84,3 (166/197) 58% (87/150) 87,5% (49/56)
with left shift
Cough/hopping/percussion 35,8% (140/391) 66,5 (133/197) 28,7% (43/150) 69,6% (39/56)
tenderness

43

Universitas Sumatera Utara


*Increase in temperature ≥ 37,3 C

*Leucocytosis: WBC 10.000/µL

Parveen KZ et al tahun 2017 melakukan penelitian apendisitis anak dengan


membagi menjadi kelompok studi.Kelompok studi tersebut melibatkan 60 anak
dengan ciri apendisitis. Sebagian besar anak yang termasuk dalam penelitian ini
(50%) berusia antara 11-16 tahun.Mayoritas dari mereka adalah laki-laki (61%).
Mayoritas anak-anak (25%) dengan skor PAS 4-6 berusia antara 11-16 tahun. 16,6%
anak-anak dengan PAS ≥7, berusia antara 11-16 tahun. 25% laki-laki memiliki skor
PAS antara 4-6 dan 25% memiliki skor PAS ≥ 7. Seperti tabel dibawah ini:

Tabel 2.7 Klasifikasi Umur, Jenis Kelamin terhadap PAS (Parveen ZK,
Avabratha SK, Shetty K. 2017)

PAS ≤3 PAS 4-6 PAS ≥ 7 Total


n = 10 n = 30 n = 20
Age
4-5 1 (1,6%) 1 (1,6%) 3 (5%) 5 (8,3%)
6-10 4 (6,6%) 14 (23%) 7 (11,6%) 25 (41,6%)
11-16 5 (8,3%) 15 (25%) 10 (16,6%) 30 (50%)
Sex
Male 7 (11,6%) 15 (25%) 15 (25%) 37 (61%)
Female 3 (5%) 15 (25%) 5 (8,3%) 23 (38%)

2.2.8. Penatalaksanaan Apendisitis Akut pada Anak

Perjalanan penyakit mulai dari obstruksi apendiks hingga perforasi apendiks


memerlukan waktu yang sangat singkat, yaitu sekitar 72 jam sejak timbulnya gejala
(Victor Y, et al. 2012). Pasien dengan gejala klasik appendisitis membutuhkan
konsultasi bedah segera. Puasakan pasien yang diduga apendisitis dan berikan cairan

44

Universitas Sumatera Utara


intravena. Pasien dengan apendisitis biasanya membutuhkan bolus cairan intravena
(level of evidence A II) untuk mengkoreksi dehidrasi, kemudian resusitasi cairan
dilanjutkan sesuai dengan derajat keparahan apendisitis. Pada pasien tanpa tanda
syok, terapi cairan intravena diberikan jika dicurigai ada infeksi intra-abdominal.
Pasang kateter untuk memantau produksi urin guna menghitung kebutuhan
cairan.Pasang Naso Gastric Tube (NGT) bila perlu (Victor Y, et al. 2012).

Terapi antibiotik intravena untuk membunuh bakteri usus (misalnya,


cefalosporin generasi kedua, gentamisin, metronidazol) harus diberikan segera setelah
diagnosis apendisitis perforasi dikonfirmasi.

Antibiotik pascaoperasi tidak diperlukan pada apendisitis sederhana pada


anak-anak. Apendisitis gangrenosa memerlukan terapi antibiotik 48 - 72 jam. Pada
apendisitis komplikata / lanjut, antibiotik monoterapi (piperacilin/tazobaktam) (Victor
Y, et al. 2012) minimal diberikan 3 hari efektif untuk menurunkan komplikasi infeksi
pascaoperasi pada anak yang akan dioperasi apendektomi (strong recomendation,
moderate quality evidence). Dosis pertama diberikan segera setelah tegak diagnosis
apendisitis akut terbukti. Dosis kedua diberikan 30 menit sebelum dilakukan insisi
operasi.Terapi antibiotik perioperatif terbukti efektif mencegah komplikasi
pascaoperasi apendektomi (level 1 [likely reliable] evidence). Lanjutkan monoterapi
minimal 3 hari (dosis ketiga) pada anak dengan apendisitis komplikata. Literatur lain
menyebutkan bahwa terapi antibiotik pada apendisitis perforasi minimal 7 - 10 hari,
atau lebih lama bila diperlukan. Antibiotik intravena diberikan selama di rumah sakit,
dilanjutkan antibiotik per oral bila pasien sudah cukup sehat untuk pulang) (Saucier
A, et al. 2013).

Pemberian terapi analgetik pada apendisitis akut tidak boleh ditunda.


Penundaan analgetik tidak menolong dalam mendiagnosis apendisitis (strong
recommendations, high quality evidence). Pemberian terapi analgetik pascaoperasi
harus konsisten sesuai dengan jadwal pemberian (strong recommendation, low
quality evidence) (Saucier A, et al. 2013). Berikan terapi antiemetik parenteral bila
diperlukan serta antipiretik (Victor Y, et al. 2012).

45

Universitas Sumatera Utara


2.2.8.1. Penatalaksanaan Konsevatif (Non-operatif)

Penatalaksanaan konservatif adalah dengan pemberian obat-obatan tanpa operasi.


Penatalaksanaan konsevatif bermanfaat ketika operasi apendektomi tidak dapat
dilakukan atau sangat berisiko tinggi untuk dilakukan, misalnya pada orang yang
yang berada di kapal selam atau sedang berlayar di laut (Victor Y, et al. 2012).

Menurut Surgical Infection Society and the Infectious Society of America


tahun2009, penatalaksanaan non-operatif pada pasien apendisitis akut non-perforasi
dapat dipertimbangkan jika ditemukan perbaikan gejala yang bermakna sebelum
operasi (level of evidence B-II) (Santacrose R., Craig S. 2006).

Apendisitis sederhana pada dewasa bisa berhasil diobati dengan antibiotik,


tetapi angka kejadian peritonitis dalam 30 hari lebih tinggi daripada pasien yang
dilakukan operasi apendektomi, serta dijumpai angka kekambuhan 15 % dalam 1
tahun (level 1 [likely reliable] evidence) (Saucier A, et al. 2013). Namun,
penatalaksanaan konservatif dengan antibiotik pada anak dengan apendisitis akut
masih merupakan hal yang baru dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sebelum
direkomendasikan untuk praktik rutin (Victor Y, et al. 2012).

Namun, menurut sebuah penelitian meta-analisis menyimpulkan bahwa


walaupun antibiotik dapat digunakan sebagai terapi primer pada apendisitis
sederhana, operasi apendektomi masih menjadi terapi definitif untuk apendisitis akut.

Namun, bila setelah tiga hari pemberian antibiotik intravena, tidak ada
perbaikan yang bermakna, penatalaksanaan konservatif dianggap gagal. Risiko
kegagalan terapi konservatif meningkat pada pasien anak dengan apendisitis perforasi
yang ditemukan apendikolit (41,7 %) dibandingan dengan yang tidak ditemukan
apendikolith (13 %), tetapi lokasi apendikolit tidak menjadi prediktor terjadinya
kegagalan(Victor Y, et al. 2012).

CT scan dapat memprediksi kegegalan penatalaksanaan konservatif pada anak


dengan apendisitis perforasi (level 2 [mid level] evidence) (Saucier A, et al. 2013).

46

Universitas Sumatera Utara


2.2.8.2. Apendektomi

Apendektomi merupakan terapi definitif pada apendisitis karena dapat dicapai


perbaikan spontan setelah apendektomi dan angka kekambuhan setelah terapi
konservatif dengan antibiotik cukup besar (14 – 35 %) (Saucier A, et al. 2013).

Indikasi apendektomi adalah:

1. Pasien dengan gejala klasik apendisitis, pemeriksaan fisik dan laboratorium


yang mendukung apendisitis.

2. Pasien dengan gejala atipikal dan temuan radiografi konsisten dengan


apendisitis.

3. Pasien dengan gejala atipikal yang mengalami perburukan (nyeri menetap dan
suhu meningkat, pemeriksaan klinis memburuk, leukosit meningkat)(Obinna
O, et al.2011).

Tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan operasi apendektomi. Akan tetapi,


pasien dengan abses periapendiks yang berbatas tegas, operasi apendektomi biasanya
ditunda. Abses dilakukan drainase terlebih dahulu, baik secara per kutan maupun
operasi (level of evidence A-II).

Operasi apendektomi dapat dilakukan dengan prosedur laparoskopi


apendektomi maupun dengan open appendectomy. Prosedur mana yang harus dipilih,
ditentukan oleh tingkat kemahiran ahli bedah dalam melakukan prosedur tersebut
(Obinna O, et al. 2011). Perbandingan laparoskopi apendektomi dan open
appendectomy dipaparkan pada tabel dibawah ini.

47

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.8 Perbandingan laparoskopi apendektomi dan open appendectomy (Obinna
O, et al. 2011).

Laparoscopic
Open appendectomy
appendectomy
Lebih rendah Lebih tinggi
Infeksi luka pascaoperasi
(level 2 evidence) (level 2 evidence)
Lebih singkat Lebih panjang
Lama perawatan di rumah sakit
(level 2 evidence) (level 2 evidence)
Abses pascaoperasi
Lebih sering Lebih jarang
pada pasien dengan apendisitis
(level 2 evidence) (level 2 evidence)
gangrenosa atau perforasi

Gambar 2.12 Laparoskopi Apendektomi (Zadeh Surgical. 2007)

48

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.13 Open appendectomy (Zadeh Surgical Inc. 2007)

49

Universitas Sumatera Utara


Pada penelitian Groves dilaporkan bahwa pada pasien anak dengan
apendisitis, infeksi luka operasi lebih sedikit dan lama perawatan di rumah sakit lebih
singkat pada laparoskopi apendektomi dibandingkan dengan open appendectomy.

Pada penelitian Schietroma dilaporkan bahwa pada pasien dengan apendisitis


perforasi dengan peritonitis, respons stress setelah open appendectomy lebih tinggi
secara bermakna daripada laparoskopi apendektomi. Pada kelompok open
appendectomy ditemukan peningkatan insidensi bakteremia, endotoksemia, dan
inflamasi sistemik (Obinna O, et al.2011).

2.2.9. Prognosis Apendisitis Akut pada Anak

Adapun prognosis apendisitis akut pada anak yaitu:

1. Risiko perforasi

Risiko perforasi pada pasien apendisitis akut akan meningkat setelah lebih dari 36
jam munculnya gejala awal dan tanpa pengobatan (level 2 [mid-level] evidence).

2. Sembuh spontan

Apendisitis akut sederhana dilaporkan sering sembuh spontan (level 3 [lacking direct]
evidence).Angka kekambuhan dari apendisitis sederhana yang telah sembuh spontan
sebesar 38%, dan biasanya terjadi dalam satu tahun setelah gejala pertama muncul
(level 2 [mid-level] evidence).

3. Kematian

Angka kematian neonatus yang menderita apendisitis dilaporkan telah menurun, yaitu
dari 78% (tahun 1975) menjadi 30% (tahun 1976 - 2000).

2.2.10. Komplikasi

Komplikasi apendisitis antara lain:

50

Universitas Sumatera Utara


1. Apendisitis Perforasi

Sebanyak 20 - 35 % pasien akut apendisitis saat terdiagnosis sudah mengalami


perforasi apendiks. Risiko perforasi 7,7 % dalam 24 jam pertama, dan meningkat
seiring dengan waktu.

2. Sepsis

3. Perlengketan paska operasi (adhesion)

4. Infeksi luka operasi

Angka kejadian luka operasi pada apendisitis sederhana tidak berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan apendisitis perforasi.

5. Obstruksi usus

6. Abses intra abdomen/ pelvis

7. Kematian

Angka kematian akibat apendisitis di Belanda sebanyak 1 kasus per tahun pada tahun
1996 - 2003 (Saucier A, et al. 2013).

2.3. Diagnosis Banding Apendisitis Akut pada Anak

Gejala dan tanda apendisitis tidak spesifik sering ditemukan pada diagnosis
lain.20 Kesalahan diagnosis apendisitis pada anak sebanyak 25 – 30 %, dan angka
kesalahan diagnosis ini berbanding terbalik dengan usia pasien. Kesalahan diagnosis
tersering adalah apendisitis didiagnosis sebagai gastroenteritis (Saucier A, et al.
2013).

Apendisitis jarang pada bayi. Jika ditemukan apendisitis pada bayi, maka
dugaan adanya penyakit Hirschsprung’s juga harus dipertimbangkan. Berikut ini
adalah beberapa diagnosis banding apendisitis akut pada anak:

51

Universitas Sumatera Utara


1. Konstipasi

2. Sindroma Hemolitik Uremik

3. Divertikulum Meckel

4. Kista ovarium

5. Gastroenteritis

6. Intususepsi

7. Infeksi saluran kemih dan pyelonefritis

8. Pelvic Inflamatory Disease

52

Universitas Sumatera Utara


2.4 Kerangka Teori
Hiperplasia folikel lymphoid Benda Asing Fekalith Striktur Tumor
Hiperplasia Folike

Diet Rendah Serat


Mukosa yang diproduksi Mukus Terbendung

Peningkatan Tekanan intralumen/dinding apendiks


Pediatric Appendicitis
Score (PAS)
Aliran Darah Berkurang

Edema dan Ulserasi Mukosa


PAS ≤ 5 PAS ≥ 9

PAS 6-8 Apendisitis Akut (Apendisitis sederhana), bila berlanjut dapat menjadi Nyeri
apendisitis komplikata dibawah ini Epigastrium

Terputusnya Aliran Darah


Ultrasonografi (USG)
Apendiks
Obstruksi Vena, edema bertambah , bakteri menembus dinding usus

Catarrhal Peradangan Peritoneum


Gangrenous

Phlegmonous Aliran Arteri Terganggu

Infark dinding apendiks

Gangren

Dinding Apendiks Rapuh

Infiltrat Perforasi

Apendisitis Infiltrat Apendisitis Perforasi

53

Universitas Sumatera Utara


2.5 Kerangka Konsep

Pediatric Appendicitis Score Ultrasonografi (USG)


(PAS) Apendiks

PAS PAS 6- PAS ≥


Catarrhal Phlegmo
≤5 8 9 Gangrenou
nous
s

Bukan Apendisitis Apendisitis

2.6.Hipotesis Penelitian

Terdapat Korelasi antara Hasil Pediatric Apendicitis Score (PAS) dengan


hasil Ultrasonografi (USG) apendiks preoperatif terhadap pasienapendisitis anak di
RSUP HAM dan RS USU Medan.

54

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik prospektif dengan design

cross sectional untuk melihat hubungan antara hasil Pediatric Appendicitis

Score (PAS) dengan hasil ultrasonografi (USG) apendiks preoperatif pada

anak.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Departemen Bedah Divisi Bedah

Anak baik di IGD dan Poliklinik Bedah Anak RSUP Haji Adam Malik dan

RS USU Medan. RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit

rujukan tertinggi di Sumatera Utara dan rumah sakit pendidikan dengan sarana

dan prasarana yang memadai untuk melaksanakan penelitian, sedangkan RS

USU Medan adalah RS Jejaring terdekat dari RSUP Haji Adam Malik Medan.

Pengambilan data dimulai sejak usulan penelitian ini di setujui komite etik

yaitu awal tahun 2018 sampai akhir tahun 2018.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi target adalah pasien anak dengan keluhan nyeri perut dan

didiagnosis secara klinis apendisitis. Populasi terjangkau adalah pasien anak

dengan keluhan nyeri perut dan didiagnosis apendisitis yang berobat ke RSUP

52
Universitas Sumatera Utara
HAM dan RS USU Medan. Sedangkan sampel penelitian adalah sebahagian

dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria inklusi

a. Pasien anak usia5-18 tahun dengan keluhan nyeri perut yang didiagnosis

suspek apendisitis berdasarkan Pediatric Appendicitis Score (PAS), yaitu:

anorexia, nausea/emesis, demam, migration of pain, tenderness in right

lower quadrant, cough/percution/hope tenderness, leukositosis

(>10.000/mm3), dan netrophilia (> 75%).

b. Pasien mempunyai hasil pemeriksaan ultrasonografi apendikspreoperatif.

3.4.2 Kriteria eksklusi

Pasien dengan data rekam medis (hasil USG apendiks dan data untuk

menilai hasil PAS) yang tidak lengkap dan pasien dengan diffuse peritonitis

(komplikasi apendisitis).

3.5 Cara Pengambilan Sampel dan Besar Sampel

Pengambilan sampel akan dilakukan dengan cara non probability

sampling yaitu dengan teknik consecutive sampling. Jumlah sampel minimal

yang dihitung berdasarkan rumus berikut:

56

Universitas Sumatera Utara


( )

Keterangan:

n = besar sampel

= level kebermaknaan = 1.96

P = proporsi apendisitis pada anak = 9%(Jangra et al., 2013)

Q = 1 – P = 91%

d = presisi = 0.1

( )
= 31.46

Dari pehitungan di atas, maka besar sampel minimal dalam penelitian ini

adalah 32 orang anak.

3.6 Identifikasi Variabel

1. Variabel Bebas : Hasil Pediatric Appendicitis Score

2. Variabel Tergantung : Hasil USG Apendiks

3.7 Definisi Operasional

1. Usia: adalah usia subyek penelitian berdasarkan apa yang tercatat dalam

rekam medis.

Cara dan alat ukur: mencatat dari rekam medis.

Hasil ukur: 5-10 tahun, 11-18 tahun.

Skala ukur: ordinal

2. Jenis kelamin: adalah jenis kelamin subyek penelitian berdasarkan apa

yang tercatat dalam rekam medis.

57

Universitas Sumatera Utara


Cara dan alat ukur: mencatat dari rekam medis

Hasil ukur: laki-laki dan perempuan

Skala ukur: nominal.

3. Apendisitis: peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis

berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan

dikonfirmasi melalui pemeriksaan histopatologi.

Cara dan alat ukur: mencatat dari rekam medis.

Hasil ukur: apendisitis akut dan apendisitis perforasi.

Skala ukur: Nominal.

4. Pediatric Appendicitis Score (PAS): alat diagnostik yang akurat untuk

mendiagnosis apendisitis pada anak-anak yang dilakukan dengan

mencatat berdasarkan kriteria klinis dan hasil laboratorium.

Cara dan alat ukur: Mencatat informasi dari rekam medis.

Hasil ukur: Apendisitis berisiko rendah (PAS <= 5) yang dapat berobat

jalan, Apendisitis sederhana (PAS 6-8), Apendisitis berisiko tinggi (PAS

>=9).

Skala ukur: Ordinal.

5. Ultrasonografi Apendiks: hasil pemeriksaan radiologi yang dilakukan

pada pasien dugaan apendisitis akut yang tercatat pada rekam medis.

Hasil ukur:

a. Apendisitis akut (bila hasil dinyatakan apendisitis dan sugestif

apendisitis dari hasil pembacaan Radiologist)

58

Universitas Sumatera Utara


b. Non apendisitis (bila hasil dinyatakan bukan apendisitis dari hasil

pemmbacaan Radiologist)

Skala ukur: Nominal

USG Apendiks

Positif Negatif

PAS

Positif

Negatif

6. Target sign: pada USG apendiks potongan aksial dijumpai target sign

dengan karakteristik adanya fluid filled center dan dikelilingi oleh

echogenic mucosa dan submucosa dan hypoechoic muscularis.

3.8 Cara Kerja

3.8.1 Alokasi subjek

Pemilihan subjek ditetapkan sesuai kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada

penelitian ini dengan memilih rekam medis pasien anak yang didiagnosis

sangkaan apendisitis.

3.8.2 Tahappelaksanaan

1. Melakukan pengumpulan data usia dan jenis kelamin pasien dari rekam

medik.

2. Melakukan pengumpulan data untuk menilai hasil PAS.

59

Universitas Sumatera Utara


3. Melakukan pengumpulan data berupa hasil Ultrasonografi apendiks.

4. Menabulasi dan melakukan uji statistik hasil Pediatric Appendicitis Score

dengan hasil ultrasonografi apendiks.

3.8.3 Tahap akhir penelitian

Melakukan penyusunan dan penggandaan laporan

3.9 Alur Penelitian

Populasi Anak
< 18 tahun

Subjek Penelitian

Usia, Jenis Kelamin

Pediatric Appendicitis
Score (PAS)

Hasil USG

Analisis Data

Gambar 3.1. Alur Penelitian

60

Universitas Sumatera Utara


3.10 Rencana Analisa Data

Data akan dianalisis secara deskriptif untuk melihat distribusi

frekuensi subyek penelitian berdasarkan karakteristik dan jenis apendisitis.

Kemudian akan dilanjutkan dengan analisis inferensial untuk melihat

hubungan antara PAS dengan hasil USG apendiks preoperative dengan

menggunakan uji Chi square. Hasil dinyatakan signifikan dengan nilai

kebermaknaan <0.05

3.11 Pertimbangan Etis

Penelitian ini dilakukan pada pasien anak yang dengan sangkaan

apendisitis dan telah dilakukan USG Apendiks di RSUP HAM dan RS USU

Medan.

61

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 33 orang pasien yang memiliki

median usia 13 tahun. Mayoritas subjek penelitian adalah perempuan

sebanyak 19 orang (57,6%) dan laki-laki 14 orang (42,4%). Berdasarkan skor

Pediatric Appendicitis Score (PAS), sebanyak tujuh orang (21,2%) pasien

memilliki risiko rendah dengan skor <5, 21 orang pasien (63,5%) merupakan

apendisitis sederhana dengan skor 6-8, dan lima orang subjek penelitian

(15,2%) memiliki risiko tinggi. Berdasarkan hasil pemeriksaan USG,

sebanyak 28 orang (84,8%) pasien sugestif apendisitis dan lima orang pasien

(15,2%) non apendisitis.

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian

n=33

Usia (Tahun), Median (Min-Maks) 13 (7 -18)


Jenis Kelamin, n (%)
Laki-laki 14 (42,4%)
Perempuan 19 (57,6%)
Skor PAS
≤ 5 (Risiko Rendah) 7 (21,2%)
6-8 (Sederhana) 21 (63,5%)
≥9 (Risiko Tinggi) 5 (15,2%)
Ultrasonografi (USG)
Apendisitis 28 (84,8%)
Non Apendisitis 4 (15,2%)

59
Universitas Sumatera Utara
4.2 Hubungan Pediatric Appendicitis Score(PAS) dengan Hasil Pemeriksaan

Ultrasonografi (USG)

Hubungan PAS dan hasil USG dianalisis dengan menggunakan uji

fisher exact sebagai alternative analisis uji Chi Square. Berdasarkan hasil

analisis diperoleh bahwa tidak terdapat hubunganyang signifikan antara skor

PAS dengan hasil pemeriksaan USG dengan nilai p=0,076).

Tabel 4.2.Korelasi Pediatric Appendicitis Score (PAS) dengan HasilPemeriksaan

Ultrasonografi (USG)

USG
P
Positif Negatif
PAS Risiko Rendah 5 (17,9%) 2 (40,0%)
0,076*
Sederhana 20 (71,4%) 1 (20,0%)
Risiko Tinggi 3 (10,7%) 2 (40,0%)
Total 28 (100,0%) 5 (100,0%)

Tabel 4.3.Persentase Korelasi Pediatric Appendicitis Score (PAS) dengan

Hasil Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

USG
p
Positif Negatif Total
PAS Risiko Rendah 71,4% 28% 100%
0,076*
Sederhana 95,3% 4% 100%
Risiko Tinggi 60% 40% 100%

63

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian ini yang diikuti sebanyak 33 orang pasien, usia

pasien termuda 7 tahun dan usia tertua 18 tahun dengan median usia 13 tahun.Subjek

penelitian kebanyakan adalah perempuan sebanyak 19 orang (57,6%) dan laki-laki 14

orang (42,4%). Berdasarkan skor Pediatric Appendicitis Score (PAS), sebanyak tujuh

orang (21,2%) pasien memilliki risiko rendah dengan skor < 5, 21 orang pasien

(63,5%) merupakan apendisitis sederhana dengan skor 6-8, dan lima orang subjek

penelitian (15,2%) memiliki risiko tinggi. Berdasarkan hasil pemeriksaan USG,

sebanyak 28 orang (84,8%) pasien sugestif apendisitis dan lima orang pasien (15,2%)

non apendisitis.

Hubungan PAS dan hasil USG dianalisis dengan menggunakan uji fisher

exact sebagai alternative analisis uji Chi Square. Berdassarkan hasil analisis diperoleh

bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor PAS dengan hasil

pemeriksaan USG dengan nilai p>0,05 (p=0,076). Pada Penelitian yang sama oleh

Parveen KZ tahun 2017, dari 60 pasien anak yang mengalami apendisitis, kebanyakan

berjenis kelamin Laki-laki (61%) disbanding perempuan (39%) serta kebanyakan

berusia 11-16 tahun dengan rentang usia termuda 4 tahun dan tertua 16 tahun.

Pediatric Appendicitis Score (PAS) adalah suatu sistem skoring yang terdiri

dari anamnesis berupa gejala (symptom), pemeriksaan fisik serta pemeriksaan

laboratorium pada pasien anak yang dicurigai suatu apendisitis. Sistem skoring ini

pertama kali dikemukakan oleh Madan Samuel yang meneliti sebanyak 1.170 orang

67
Universitas Sumatera Utara
pasien anak di 2 Rumah Sakit di London dalam kurun waktu selama 5 tahun.

Berdasarkan penelitian beliau, PAS ≤ 5 bukan suatu apendisitis, PAS 6 sugestif suatu

apendisitis serta PAS ≥ 7 sangat mungkin suatu apendisitis (Samuel M, 2002)

Anak-anak dengan skor PAS < 3, memiliki PAS yang sama bahkan setelah 6

jam, hanya 1 dari anak-anak dengan PAS ≤ 3 yang menjalani operasi dan biopsi

dengan diagnosis apendisitis. Sebanyak 30 orang (49%) dengan skor PAS 4-6, 70%

diantaranya diulang penghitungan skor ≤ 3, selebihnya 10 pasien dilakukan operasi

karena skor PAS mereka setelah diulang ≥ 7 (Dhruv K, et al. 2016).

Diagnosis imaging telah banyak digunakan dan makin sering diaplikasikan

namun memiliki keterbatasan, termasuk paparan radiasi ion (CT Scan), teknisi ahli

yang terbatas saat melakukan USG serta segi biaya.Apendiks yang tidak tervisualisasi

merupakan keadaan yang cukup sering sehingga sulit memastikan apendisitis (Ang

A, et al. 2001-2013).Fungsi skoring PAS semakin terlihat ketika memutuskan apakah

pasien anak tersebut dapat dipulangkan atau menjalani operasi apendektomi (Jaremko

J, et al. 2011).

Penelitian oleh Elafihar MA menunjukkan bahwa hasil USG positif

apendisitis merupakan indikasi dilakukan operasi apendektomi, namun hasil USG

negatif apendisitis tidak mengesampingkan apendiitis dengan kata lain belum tentu

tidak apendisitis. Dalam penelitian ini, USG menunjukkan adanya apendisitis

sebanyak 88,3% dari seluruh anak. USG menunjukkan apendisitis pada semua anak

dengan skor PAS ≥ 7, tetapi korelasinya dengan PAS tidak signifikan secara statistik,

penelitian tersebut sejalan dengan penelitian ini dimana tidak terdapat korelasi yang

65

Universitas Sumatera Utara


signifikan antara hasil Pediatric Appendicitis Score dengan hasil pemeriksaan

Ultrasonografi (USG) pada apendisitis anak. Dari penjelasan diatas, skor apendisitis

pada anak merupakan alat yang sangat membantu dalam menegakkan diagnosis

apendisistis pada anak (Elafihar M, et al.2013).

Diagnosis apendisitis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,

laboratorium dan pemeriksaan penunjang yaitu imaging radiologi. Bagaimanapun

penegakan diagnosis apendisitis ini tidak mudah, bahkan sampai 50% pasien di

rumah sakit yang dicurigai apendisitis mempunyai gejala klinik yang tidak jelas,

sehingga diperlukan pemeriksaan pendukung yang baik (Kessler, 2003). Penegakkan

diagnosis apendisitis pada anak sering mengalami banyak kesulitan dikarenakan

gejala gejala yg dikeluhkan menyerupai dengan gejala penyakit umum lainnya yang

dapat sembuh sendiri.Anak - anak jarang menunjukkan gejala gejala apendisitis yang

khas seperti orang dewasa, hal ini menyebabkan tantangan untuk tenaga medis

terutama dokter untuk membuat diagnose tepat waktu (Parveen KZ et al, 2017).

Untuk membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut pada anak,

terdapat sistem skoring yang telah diajukan dan hingga kini yang digunakan

adalah Pediatric Appendicitis Score (PAS).

Pada penelitian Kim dkk pada tahun 2015 dengan sampel sebanyak 285

pasien (51,9% anak laki-laki) berusia 3 hingga 17 tahun (13 ± 3,0) dimasukkan di

antaranya 92 (32,3%) menjalani operasi (6 pasien (6,5%) memiliki histologi normal

dan termasuk dalam kelompok non-Apendisitis Akut) , 86 pasien (30,2%) termasuk

dalam kelompok Apendisitis Akut dan 199 pasien (69,8%) dimasukkan dalam

66

Universitas Sumatera Utara


kelompok non-Apendisitis Akut. Kelompok Apendisitis Akut memiliki PAS secara

signifikan lebih tinggi daripada kelompok non-Apendisitis Akut (P <0,01).

Didapatkan hasil dimana temuan apendisitis pada CT abdomen positif lebih sering

pada kelompok Apendisitis Akut daripada pada kelompok non-Apendisitis Akut (P

<0,01) (Kim et al, 2015)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Obinna O.Adibe dkk Dalam 4 bulan,

112 pasien terdaftar dalam penelitian ini (median usia 10,5, kisaran 1-18). Dari 69

pasien yang menjalani operasi apendiks dengan laparoskopi dini. Untuk pasien pada

kelompok A, 75% menderita apendisitis sederhana dan 5% apendisitis komplikata.

Untuk pasien pada kelompok B, 68,4% pasien dengan apendisitis sederhana dan

26,3% apendisitis komplikata. Untuk pasien pada kelompok C, 27,3% apendisitis

sederhana dan 63,6% apendisitis komplikata, didapatkan hasil rata-rata lama

perawatan di rumah sakit meningkat dari 1,63 ± 0,34 untuk pasien dalam kelompok A

menjadi 5,9 ± 1,37 untuk pasien dalam kelompok C. Hal ini menunjukkan adanya

hubungan antara penilaian Pediatric appendicitis Score (PAS) dengan keparahan dari

sebuah kasus apendisitis (Obinna O Adibe, et all 2010). Pada penelitian yang

dilakukan oleh Parveen KZ dkk. dari 26 pasien anak yang menjalani operasi dan

dilakukan biopsi apendiks 15 orang (58,1%) dengan PAS ≥ 7, didapatkan hasil

positif apendisitis pada pemeriksaan biopsinya. Didapatkan juga korelasi yang baik

antara penilaian PAS dan hasil biopsi, namun tidak didapatkan korelasi yang baik

antara PAS dan hasil USG, dan penelitian ini menyimpulkan bahwa PAS adalah

sebuah alat penilaian untuk mendiagnosis apendisitis (Parveen KZ et al, 2017).

67

Universitas Sumatera Utara


Penelitian ini diikuti oleh 33 orang pasien yang memiliki median usia 13

tahun. Mayoritas subjek penelitian adalah perempuan sebanyak 19 orang (57.6%) dan

laki – laki 14 orang (42.4%). Didapatkan hasil dari 7 pasien dengan hasil PAS resiko

rendah didapatkan 5 pasien dengan sugestif apendisitis , dari 21 pasien dengan hasil

PAS resiko sederhana didapatkan 5 pasien dengan sugestif apendisitis, dan dari 5

pasien dengan hasi PAS resiko tinggi didapatkan 3 pasien dengan sugestif apendisitis

Berdasarkan hasil analisis penelitian ini diperoleh bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara skor PAS dengan hasil pemeriksaan USG dengan

nilai p >0.05 (p = 0.076). Alat USG yang digunakan, mencakup macam USG

transabdominal, transrektal maupun USG Color Doppler, Transduser (transducer

linear frekuensi tinggi 5-12 MHz, transducer konveks frekuensi rendah 2-4 MHz

untuk pasien obese atau posisi apendiks yang dalam) .Ketrampilan pemeriksa,

mencakup pengalaman dan pengetahuan yang baik pada pemeriksa tentang

apendisitis (pengalaman dan ketrampilan yang kurang pada pemeriksa dapat

menurunkan akurasi diagnostik dalam visualisasi apendiks). Kelemahan dari

penelitian ini adalah dari keseluruhan sampel yang diperoleh pada hasil pemeriksaan

USG pada penelitian ini dilakukan oleh lebih dari satu orang operator.

68

Universitas Sumatera Utara


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Mayoritas sampel penelitian adalah perempuan sebanyak 19 orang (57.6%)

dengan median usia 13 tahun. Hasil dari perhitungan skor PAS menunjukkan

bahwa 63.5% masuk ke dalam kategori apendisitis sederhana sedangkan hasil

USG sebanyak 84.8% menyatakan sugestif apendisitis.

2. Penelitian ini diikuti 33 orang pasien dengan rerata usia 13 tahun dimana

57,6% berjenis kelamin perempuan. Didapatkan pula angka penderita

apendisitis sederhana sebanyak 63,5% dan sebanyak 28 orang (84,8%) pasien

sugestif apendisitis dan lima orang pasien (15,2%) non apendisitis. Sehingga

dari hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor

PAS dengan hasil pemeriksaan USG p > 0.05, p = 0.076

6. 2. Saran

1. Berdasarkan hal yang dijumpai di lapangan maka sangat dianjurkan pihak

Rumah Sakit sebagai RS Pendidikan untuk memperbaiki sistem pengisian

data rekam medis sehingga data-data tersebut tidak hanya digunakan guna

kepentingan pasien tetapi juga sebagai informasi yang dapat diolah guna

memajukan sarana pendidikan bagi mahasiswa.

69

Universitas Sumatera Utara


2. Dikarenakan hasil pemeriksaan USG sangat operator dependent, maka untuk

penelitian yang berkaitan dengan pembacaan hasil USG sebaiknya dilakukan

oleh 1 orang operator saja.

70

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Ang A, Chong A, and Daneman A. 2001.Pediatric Appendicitis in real-time.The


value of sonography in diagnosis and treatment. Pediatr Emergency
Care.17(5): 334-40.

[EBSCO Information Services] Appendicitis. 2013. In DynaMed [database


online].[serialonline]http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&si
te=DynaMed&id=115548.

Aschraff, K.W. 2000.Pediatric Surgery. 3 th Edition.WB Saunders Company,


Philadelpia-NewYork-London-Tokyo: p. 406-21

Baldisserotto, M and Marchiori, E. 2000.Accuracy of Noncompressive Sonography


of Children with Appendicitis According to the Potential Positions of the
Appendix.AJR;175: 1387-1392

Ballester JCA, Sanchez AG, and Ballester F. 2009.Epidemiology of appendectomy


and appendicitis in the Valencian community (Spain) 1998-2007.Dig Surg.
26:406-412. doi 10.1159/000235956

Bergman, R.A, et al. 1999.Section 10 -Digestive System.Atlas of Microscopic


Anatomy. [serial online]. www.anatomyatlases.org

Bhatt M. 2008. Prospective validation of the pediatric appendicitis score in a


Canadian pediatric emergency department. Montreal. [Thesis].McGill
University.

Birnbaum BA,and Wilson SR. 2000. Appendicitis in the millennium.Rad 215:337–


348

Chen chun yu. 2016. Different urinalisis apperence in children with simple and
perforated appendicitis.American journal of emergency medicine. Elsevier,
vol 31 1560-1563. [serial online]. www.elsevier.com/locate/ajem.

71

Universitas Sumatera Utara


Chesbrough, R.M, Burkhard, T.K, Balsara, Z.N, Goff, W.B and Davis, D.J. 1993.
Self Localization in US of Appendicitis: An Addition to
GradedCompression. Radiology 187: 349-351

Craig S. Appendicitis. 2013. Medscape reference.[serial online].


http://emedicine.medscape.com/article/773895.

Dhruv K, Singh K, Patley D, and Painkara U. 2016. Paedriatric appendicitis scoring


: a useful guide to diagnose acute appendicitis in children. Int Surg
J.3(1):84-9.

Dikovsky Elizabeth. 2016. Pediatric abdominal pain: a cost effective approach to


abdominal pain diagnoses in the emergency department. ProQuest
10591240. [serial online]. www.proquest.com

Elafihar M, Taheri H, and Bighamian A. 2013. Diagnostic Value of


Ultrasonography in patients suspected acute appendicitis. Nepalese J
Radiol.2(2):13-9.

Emily E.K. 2016. Loren,,clinical evaluation of acute appendicitis, Elsevier vol 15.
[serial online]. www.elsevier.com/locate/ajem.

Eylin. 2009. Karakteristik pasien dan diagnosis histologi pada kasus apendisitis
berdasarkan data registrasi depatremen patologi anatomi FKUI RSUPN
Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003-2007. Jakarta [Skripsi].FK
Universitas Indonesia.

Goldman RD, Carter S, Stephens D, et al. 2008. Prospective validation of pediatric


appendicitis score. J Pediatr.153:278-282. doi 10.1016/j.jpeds.2008.01.033

Goulder F and Simpson T. 2008. Pediatric appendicitis score: a retrospective


analysis. J Indian Assoc Pediatr Surg.13(4)125-127. doi 10.4103/0971-
9261.44761

72

Universitas Sumatera Utara


Hermanto. 2011. Appendisitis pada Anak , emergency department diagnosis &
management. Artikel Kesehatan

Huckins, David S, Simon, et al. 2013. A novel biomarker panel to rule out acute
appendicitis in pediatric patients with abdominal pain.The Am J of Emerg
Med.31(9):1368-1375.
http://search.proquest.com/docview/1430634945?accountid=50257

Hwa Lee, J, Ki Jeong, Hwang ,J.C, Ham, S.Y and Yang, S.O. 2002.Graded
Compression Sonography with Adjuvant Use of a posterior Manual
Compression Technique in the Sonographic Diagnosis of Akute
Appendicitis.AJR178: 863-868

Hwa Lee, J, Ki Joeng, Y, Bo Park, J, Kang Park, J, Jeong, A.K, et al. 2005.
Operator Dependent Technique for Graded Compression Sonography to
Detect the Appendix and Diagnose Acute Appendicitis.AJR184: 91-97

Ivan CP. 2013. Karakteristik penderita apendisitis di RSUP Haji Adam Malik
Medan pada tahun 2009.[serial online].
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21908. [27 November 2013]

Jacobs, J.E. 2006. CT and Sonography for Suspected Akute Appendicitis:A


Commentary. AJR 186: 1094-1096

Jangra, Babita, Jangra, et al. 2013. Seasonal and day of weak variations in acute
appendicitis in north Indian children. J of Indian Association of Pediatr
Surg. 18(1):42-43. [serial
online]http://search.proquest.com/docview/1317919106?accountid=50257

Jaremko J , Crockett A, Rucker D, and Magnus K. Incidence and significance of


inconclusive results in ultrasound for Appendicitis in Children and
teenagers. Canadian Assoc Radiol J. 62(3):197-202.

73

Universitas Sumatera Utara


Kessler, N, Cysteval, C, Gallix, B, Lesnik, A, Blayac, P.M, et al. 2004.Appendicitis:
Evaluation of Sensitivity, Specificity, and Predictive Values of US,
Doppler US, and Laboratory Findings; Radiology. 230: 472 -478

Kim D, Shim D, and Cho K. 2016. Use of the Paediatric appendicitis score in a
community hospital.Ind Pediatric. 53(3):217-20.

Kojima, K., Fujita, T., Imanari, Y. et al. 1993. Usefulness of ultrasonography


in acute appendicitis. Nichi Rin Ge I Kaishi. [dalam bahasa Jepang] 54:
2524–2528.

Koo H, Kim H, Yang D Kim S, Park S, and Ryu J. 2013. Does computed
tomography have any additional value after sonography in patients with
suspected acute appendicitis?.J Ultrasound Med. 32(8);1397-403.

Lee SL. 2013. Vermiform appendix.Medscape reference.[serial online].


http://emedicine.medscape.com/article/195652-overview. [ 2 Desember
2013].

Lim, K.H, J.Lee, W, J.Lee, S, Namgung, S, and Lim, J.H. 1996. Focal Appendicitis
Confined to the Tip Diagnosis at US. Radiology 200: 799-801

Mansjoer, A. 2001.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculapius FKUI

Minkes RK. 2013. Pediatric appendicitis.Medscape reference.[serial online].


http://emedicine.medscape.com/article/926795.

Ncesu L, Yazicioglu AK, Selcuk MB, and Ozem N. 2004.Contrast-enhanced power-


Doppler US in the diagnosis of acute appendicitis.Eur J Radiol 50:201–209

Obinna O, Adibe, Oliver J, et al. 2011. Severity of appendicitis corelates with the
Pediatric Appendicitis Score. Pediatr Surg Int.27:655-658. Doi
10.1007/s00383-010-2744-9

Parveen KZ, Avabratha SK, and Shetty K. 2017. Int J Contemp Pediatr. (6):2196-
2199

74

Universitas Sumatera Utara


[Anonim]. 2005. Pediatric Appendicitis Score MD Calc.[serial online]
https://www.mdcalc.com/pediatric-appendicitis-score-pas

Petroianu A. 2012. Acute Appendicitis – Propedeutics and Diagnosis, Inflammatory


Diseases -Immunopathology,Clinical and Pharmacological Bases.

Puylaert, J. B.C.M. 1986. Acute Appendicitis: US Evaluation Using Graded


Compression ;Radiology158:355-360

Quillin,S.P, Siegel, M.J. 1994. Appendicitis: Efficacy of Color Doppler


Sonography. Radiology .191 :557-560

Rettenbacher.T, HollerwegerA.,MacheinerP., GritzmannN., Daniaux, M., et al,


2003. Ovoid Shape of the Vermiform Appendix: A Criterion to Exclude
Akute Appendicitis Evaluation with US. Radiology.226:95–100

RettenbacherT., HollerwegerA., MacheinerP., RettenbacherL., Frass, R., et al.


2000. Presence or Absence of Gas in the Appendix: AdditionalCriteria to
Rule Out or Confirm Akute Appendicitis Evaluation with US.Radiology;
214: 183-187

Ripolles T, Martinez-Perez MJ, Paredes JM., et al. 2013. Contrast enhanced


ultrasound in the differential between phlegmon and abscess in Crohn’s
disease and other abdominal conditions. Eur J Radiol 83:e525–e531.

Robbins and Cotran. 2004. Pathologic Basic of Disease , 8th ed Philadelpia : by


Saunders. an imprint of Elsevier Inc

Samuel M. 2002. Pediatric appendicitis score. J Pediatr Surg.37(6) 877-81.

Santacrose R.,and Craig S. 2006. Appendicitis.[serial online].


http://www.emedicine.com/topic41. [30 Desember 2011]

Saucier A, Eunice Y, Huang, et al. 2013. Prospective evaluation of a clinical


pathway for suspected appendicitis.Pediatrics.e88-e95. doi
10.1542/peds.2013-2208

75

Universitas Sumatera Utara


Schneider C, Kharbanda A, and Bachur R. 2007.Evaluating Appendicitis Scoring
Systems Using a Prospective Pediatric Cohort .Department of
Medicine and Division of Emergency Medicine.Children’s Hospital
Boston

Schwartz SI. 2009. Appendix, in Principles of Surgery, 8th ed. New York. Mc Graw
Hill Inc. 1307-30

Shawn P.Q, et al. 1994. Appendicitis acut.Radiology 191 : 557-560

Shogilev DJ, Duus N, Odom SR, and Shapiro NI. 2014. Diagnosing
Appendicitis: Evidence Based Review of the Diagnostic Approach in
2014.J West of Emergency Medicine.15(7): 859-71

Sjamsuhidajat, R,dan Jong,W.2005.Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Penerbit


Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Uigley AJ,and Stafrace S. 2013.Ultrasound assessment of acute appendicitis in


paediatric patients: methodology and pictorial overview of findings seen.
Insights Imaging.doi: 10.1007/s13244-013-0275-3

Victor Y, Kong, Bulajic B, et al. 2012. Acute appendicitis in a developing


country.World J Surg. 36:2068-2071. doi 10.1007/s00268-012-1629-9

Wesson DE, Singer JI, and Wiley JF. 2014.Acute appendicitis in children.[serial
online]. http://www.uptodate.com/contents/acute-appendicitis-in-children-
cli.Updated July 25, 2014.[7 Agustus 2014].

Yamashita, Y., Nishino, Y. and HirakawaK. 2000.Radiographic diagnosis of acute


appendicitis, a disease commonly treated by emergency surgery.
Establishment of the diagnosis depending on characteristic
findings.Shokaki Geka (Intestinal Surgery). 23: 1903–1910.

Yuasa, H. 1986. Ultrasonographic Diagnosis of Appendicitis.1st ed.Herusu


Shuppan, Tokyo. pp. 36–37.

76

Universitas Sumatera Utara


Zadeh. 2007. Zadeh Surgical Inc. [serial online].
http://www.zadehsurgical.com/general-surgery-services-
encino/appendicitis/2007.

Zinner MJ and Ashley SW. 2007.Maingot’s Abdominal Operation 11th Eddition.


The McGraw-Hill’s Companies. Chapter 21

77

Universitas Sumatera Utara


78

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai