Anda di halaman 1dari 13

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBN JAMA’AH

Ahyar Rasyidi
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Jami
Jl. Mesjid Jami No.1 Banjarmasin

Abstrak:
Dalam dunia pendidikan, lebih-lebih pendidikan Islam, anak didik
atau pelajar diposisikan sebagai objek utama pendidikan, yang
selanjutnya dibina dan diajari untuk menjadi manusia yang dewasa,
manusia yang mandiri dalam segala hal, dalam rangka pembiasaan
ketaatan diri menjadi hamba yang bertakwa di sisi Allah Swt.
Penegasan tentang posisi anak didik atau pelajar ini dalam menuntut
ilmu merupakan salah satu hasil pemikiran penting berkenaan
dengan anak didik. Di antara pemikir pendidikan Islam yang
terkenal melahirkan berbagai gagasan berkenaan dengan berbagai
unsur terkait dengan proses pendidikan adalah Ibn Jama’ah. Ibnu
Jama’ah dikenal sebagai seorang pemikir, pendidik, dan seorang
penulis yang produktif dalam berbagai bidang ilmu keislaman.
Salah satu karya tulisnya yang terkait dengan pendidikan adalah
Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘lim wa al-
Muta’allim. Dalam kitab ini, di antara permasalahan penting yang
dibicarakan adalah berkaitan dengan berbagai etika yang harus
dijaga, baik oleh pendidik maupun anak dalam proses
pembelajaran.
Kata-kata kunci:
Pemikiran pendidikan, Ibn Jama’ah, dan kitab Tadzkirah al-Sami
wa al-Mutakallim.

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir
hingga tercapai kedewasaan jasmani dan ruhani dalam interaksi dengan
alam dan lingkungan masyarakatnya. Pendidikan merupakan proses yang
terus-menerus, sehingga ada istilah bahwa pendidikan itu hendaknya
dilaksanakan secara berkelanjutan dalam kurun waktu yang panjang (live
long educations) dan tidak pernah berhenti, artinya bahwa selama ada
kehidupan dalam diri manusia maka selama itu pula ia belajar, tidak pernah
berhenti. Di dalam proses pendidikan ini keluhuran martabat manusia sangat

29
Jurnal Al Jami Volume 15, Nomor 29, Januari – Juni 2019

diutamakan karena ia menjadi “subjek” dari pendidikan tersebut. Karena


manusia menjadi subjek dalam pendidikan maka ia dituntut oleh suatu
tanggungjawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. 1 Jadi,
manusia sebagai pebelajar dibebani tanggungjawab yang berat untuk
tercapainya tujuan pendidikan, untuk itu, pebelajar hendaknya memiliki
motivasi dan orientasi yang jelas dalam pelaksanaan pendidikan.
Pendidikan adalah aktivitas yang sengaja dilakukan untuk
mengembangkan individu secara penuh. Karena itu, norma, etika dan nilai-
nilai keutamaan menjadi penting dalam semua perencanaan pendidikan. 2
Dalam kegiatan formal pendidikan, pelajar merupakan unsur yang sangat
menentukan, di samping unsur guru. Karena keduanya merupakan aset
hidup yang mampu mengolah dan melaksanakan unsur-unsur lainnya yang
berupa aset mati. Di samping itu pelajar adalah manusia yang sedang berada
dalam proses perkembangan dan pertumbuhan yang memerlukan
pendidikan untuk mengaktualkan potensinya. 3
Untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pendidikan, maka
dilaksanakan kegiatan belajar mengajar yang di dalamnya ada kegiatan
penting yaitu belajar yang berarti suatu proses dari seorang individu yang
berupaya mencapai tujuan, yaitu suatu bentuk perubahan tingkah laku yang
relatif menetap.4 Pelajar adalah manusia yang mampu dididik dan
membutuhkan pendidikan dalam rangka mengaktualkan potensi yang ada
pada dirinya serta untuk mendapatkan ilmu pengetahuan serta memenuhi
kebituhan hidup dan sebagai bekal beribadah kepada Allah Swt. Oleh
karena itu ilmu merupakan sesuatu yang sangat berharga, maka seseorang
yang menuntut ilmu sepantasnya membekali dirinya dengan akhlak yang
mulia, sebagai upaya persipan diri demi keberhasilannya.
1
Suwito, “Pendidikan yang Memberdayakan”, Pidato Pengukuhan Guru
Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
2002, h.23.
2
Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993), h.1.
3
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama: di Lingkungan
Keluarga, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1976), h.110.
4
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar,
(Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1999), h.28.

30
Ahyar Rasyidi, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Jama’ah

Telah diketahui bahwa sejak zaman dahulu Indonesia terkenal pada


Dunia Internasional sebagai negara yang santun, sopan, ramah tamah, dan
memiliki etika dan budi pekerti yang luhur. Pelajaran tentang etika dan
akhlak telah diajarkan dalam berbagai level atau jenjang pendidikan baik
sejak taman kanak-kanak, hingga di perguruan tinggi. Dalam Islam, yang
menjadi rumpun dan sumber kebenaran yang bersifat mutlak khususnya
pada kitabnya Alquran sebagai wahyu dari Tuhan Allah Swt, sarat dengan
ajaran tentang etika kebenaran, akhlak, dan budi pekerti serta sopan santun
yang mulia.

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya Islam
dipengaruhi oleh pemikiran dan gagasan para tokoh ilmu pengetahuan. Di
antara mereka sebagaimana disebutkan oleh Abdullah Abd al-Da’im adalah:
Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H), Ibn Khaldun (w.808 H), Muhammad bin
Sahnun (w.256 H), Al-Tsa’alabi (w.427 H), Ibn Miskawaih (w.412 H), al-
Hafizh Ibn ’Abd al-Barr (w.463 H), Al-Zarnuji (w.571 H), Al-’Almawi, Al-
Thusi (w.673 H), al-Subki (w.771 H), Zaynuddin bin Ahmad al-Syami
(w.966 H), Ibn Abi Zayd (w.386 H), Al-Qabisi (w.403 H), Ibn al-Hajj
(w.737 H).5 Ibn Jama’ah termasuk tokoh yang sangat penting dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dalam kemajuan pendidikan Islam.
Ibn Jama’ah memiliki pemikiran yang berpengaruh dan menjadi
ikutan yang dicatat dalam sejarah kemajuan ilmu pengetahuan, memiliki
banyak murid dan karya tulis yang selalu dikenang.
Di antara pemikiran ibnu Jama’ah adalah tentang etika pelajar, etika
terhadap buku, dan profesionalisme seorang guru, yang dapat diaplikasikan
dalam dunia pendidikan sekarang ini, terutama pendidikan di Indonesia.
Dalam pemikirannya, Ibn Jama’ah menempatkan posisi orang-orang yang
berilmu lebih tinggi dari mereka yang ahli ibadah, karena orang yang
berilmu adalah pewaris para Nabi.6 Ibn Jama’ah mendasarkan pemikiran ini
pada hadis Nabi Muhammad Saw yang menyatakan hal tersebut.

5
Abd al-Amir Syamsuddin, Al-Fikr al-Tarbawi ‘Inda Ibn Jamâ’ah, (Beirut:
Al-Syirkah al-‘Âlamiyyah Lil Kitâb, Cet. I, 1990), h.12.
6
Ibn Jama’ah al-Kinany, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-
‘lim wa al-Muta’allim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), h.5-6.

31
Jurnal Al Jami Volume 15, Nomor 29, Januari – Juni 2019

C. Pemikiran Ibn Jama’ah


1. Riwayat Hidup Ibn Jama’ah
Nama lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin Muhammad ibn
Ibrahim ibn Sa’adullah ibn Jama’ah ibn Ismail ibn Jama’ah ibn Hazim ibn
Sakhr ibn ’Abd Allah al-Kinaniy al-Hamwa al-Syafi’iy. 7 Beliau dilahirkan
pada malam Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 639 H, bertepatan dengan bulan
Oktober 1241 M, di Hamah8 dan wafat pada malam Senin 21 Jumadil Ula
733H/1333 M dalam usia 94 tahun, satu bulan dan beberapa hari. Jenazah
beliau setelah dishalatkan di Masjid Jami’ al-Nashiry Mesir, kemudian
dimakamkan di Qirafah.9 Ibn Jama’ah memiliki 3 orang saudara. Beliau
adalah anak yang paling kecil dalam keluarganya. Beliau hidup sepanjang
masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah dan Mamluk di Mesir. 10
Ibn Jama’ah lahir di Hamah, yang merupakan kota penting Syria di
samping Damaskus dan Aleppo. Kota ini termasuk daerah yang cukup
berkembang saat kelahiran Ibn Jama’ah. Setelah penaklukan Mongol,
beberapa kota di Syiria memperoleh kebebasannya dan berkembang dengan
pesat. Kota Hamah mengalami kemajuan yang pesat pada masa Dinasti
Ayyubiyah. Dinasti ini giat membangun lembaga-lembaga pendidikan di
kota yang di kuasainya, termasuk Hamah. Menjelng kelahiran Ibn Jama’ah,
di Hamah sudah terdapat madrasah, khanqah, zawiyah, dan masjid, lengkap
dengan dukungan wakaf. Singkatnya, meskipun tidak sebanding dengan
Kota Damaskus atau Kairo, namun, Hamah merupakan kota yang hidup dan
mampu memberi lingkungan ilmiah yang kondusif. 11

7
Hasan Ibrahim Abd ‘Al, al-Fikr al-Tarbawy ‘inda Badruddin Ibn Jamaah
dalam Min A’lam li al-Tarbiyah al-Islamiyah, Jilid 3, (Kairo: Maktabah al-
Tarbiyah al-‘Arabi li Dauli al-Khalij), h.275.
8
Abd al-Jawad Khalaf, Al-Qadli Badruddin Ibn Jama’ah Hayatuhu Wa
Atsaruhu, (Pakistan: Jami’ah al-Dirasah al-Islamiyah, 1988), h.32.
9
Ibid., h.48.
10
Badruddin Ibnu Jama’ah, Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab
al-‘Âlim wa al-Muta’allim, (Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, Cet. III, 1433
H), h.3.
11
Hasan Asari, Etika Akademis dalam Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2008), h.27.

32
Ahyar Rasyidi, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Jama’ah

Keluarga Ibn Jama’ah termasuk keluarga yang memperhatikan ilmu


pengetahuan dan termasuk keluarga yang terhormat dengan keilmuan. ’Abd
al-Jawwad Khalaf mencatat ada 40 sarjana terkenal lahir dari keluarga Ibn
Jama’ah. Beberapa anggota keluarganya berhasil menjadi faqih, qadli, atau
khatib terkenal, di mana fiqih pada masa Dinasti Mamluk merupakan
disiplin utama dalam bidang pendidikan. Menjadi qadli atau khatib
merupakan simbol keberhasilan seorang ilmuan. Beberapa ahli fiqih (faqih)
terkenal berasal dari Bani Jama’ah, mulai kakek dan ayah Ibn Jama’ah,
hingga sepupu dan anak-anak mereka. Para faqih dari golongan ini disegani
dalam waktu lama di Hamah, Damaskus, Kairo, dan Yerussalem. Ibn
Jama’ah adalah figur tokoh ilmuan yang paling menonjol dari keluarga ini
dan meniti karir di kota itu. Namun, beliau banyak menghabiskan waktu dan
masa kehidupannya di Kairo.12
Ibn Jama’ah mendapat pengajaran agama dari beberapa guru yang
sangat terkenal di tempat dan masanya, baik oleh ayahnya sendiri maupun
guru-guru yang lain.13
Ibn Jama’ah merupakan seorang tokoh yang berpengaruh, dan
memiliki banyak murid yang tersebar di pelosok Jazirah Arab. Di antara
murid-murid beliau yang sangat terkenal dan memiliki pengaruh besar
dalam perkembangan sejarah ilmu pengetahuan Islam adalah: al-Imam Atsir
al-Din Abu Hayyan; al-‘Allamah Taju al-Din al-Sabaki; al-Muarrikh al-
Kabir Shalah al-Din al-Shafadi; al-Imam al-Muhaddits Nur al-Din ‘Ali Ibn
Jabir al-Hasyimi; al-Faqih al-Kabir Qutb al-Din al-Sanbathi; Syihab al-Din
al-Hakari; al-Imam al-Kabir Syams al-Din Ibn al-Qamakh; Muhammad Ibn
Muhammad Ibn al-Husaini al-Halabi; dan al-Syaikh al-Qadli ‘Imad al-Din
al-Balbisi.14
Hal yang sangat dikenal dan membuat Ibn Jama’ah termasuk tokoh
yang sangat produktif dalam menulis dan berkarya. Beliau mempunyai
karya yang banyak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di antara
karya Ibn Jama’ah yang dikenal adalah mencakup bidang Ulumul Quran,
Ulumul Hadis, Fikih, Kalam, Sejarah, Nahwu, Sastra, Perang, Astrologi,

12
Ibid., h.26.
13
Abd al-Jawwad Khalaf, Al-Qadi Badr al-Din Ibn Jama’ah, h.47.
14
Ibid., h.62.

33
Jurnal Al Jami Volume 15, Nomor 29, Januari – Juni 2019

Pendidikan, dan Politik.15 Misalnya al-Tibyan fi Mubhamat al-Qur’an; al-


Manhal al-Rawi fi Mukhtashar ’Ulum al-Hadits al-Nabawi; al-’Umdah fi al-
Ahkam; al-Radd ’ala al-Musyabbahah fi Qawlihi Ta’ala ”al-Rahman ’Ala
al-’Arsy Istawa; al-Mukhtashar al-Kabir fi al-Sirah; Syarh Kafiyah Ibn al-
Hajib; Lisan al-‘Adab; Tajnid al-Ajnad wa-Jihat al-Jihad; Risalah fi al-
Astaralib; Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi ‘Adab al-‘Alim wal-
Muta’allim; Tahrir al-Ahkam fi Tadbir Ahl al-Islam; dan lain-lain. 16

2. Pemikiran Ibn Jama’ah


Konsep pemikiran Ibnu Jama’ah dituliskan beliau dalam kitab beliau
ini merupakan hasil dari kajian mendalam dalam kitab Tazkirah al-Sami’ wa
al-Mutakallim. Namun demikian, Ibn Jama’ah sendiri sebenarnya mengakui
bahwa karyanya hanya sebuah hasil himpunan (majmu’) dari apa yang ia
dengar (almasmu’) dari para guru atau yang ia baca. Hal ini sebagaimana
diungkapkannya dalam kitab Tazkirah sebagai berikut:
‫ أَ ْو َم َر ْرتُ ِب ِه‬،ِ‫س ِم ْعتُهُ ِمنَ ْال َمشَايِ َخ السﱠادَات‬ َ ‫َو َج َم ْعتُ ذَلِكَ ِم ﱠما اتﱠفَقَ فِي ْال َم ْس ُم ْو‬
َ ‫ أَ ْو‬،ِ‫عات‬
َ‫سانِ ْي ِد َو ْاﻷَدِلﱠ ِة؛ َك ْيﻼ‬ ِ ‫ َوذَك َْرتُهً َمحْ ذُ ْو‬،ِ‫ أَ َو ا ْستَفَ ْدتُهُ فِي ْال ُمذَاك ََرات‬،ِ‫طالَعَات‬
َ َ ‫ف ْاﻷ‬ َ ‫فِي ْال ُم‬
ُ‫طالَ ِع ِه أَ ْو َي ُملﱠه‬
َ ‫علَى ُم‬ ُ ‫َي‬
َ ‫ط ْو َل‬
“Dan aku telah mengumpulkan ini semua dari apa yang sejalan
dengan hal-hal yang telah aku simak, atau aku dengar dari para syaikh yang
mulia, atau dari apa yang telah aku dapati dari penela’ahan-penela’ahan,
atau dari apa yang aku ambil manfaat dalam nasihat-nasihat pengingat, lalu
aku menyebutkannya dengan menghilangkan sanad hadis dan dalil-dalil
rincinya; agar tidak memperpanjang waktu dalam menelaahnya atau agar
tidak menjenuhkan”.17
Struktur kitab Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim ini dimulai
pendahuluan singkat; lalu sebuah bab kecil tentang keutamaan ilmu dan
ulama’ serta keutaman kegiatan mengajar dan belajar. Dalam sisa bab,

15
Haji Khalifah, Kasyf al-Zunun ‘an Asami al-Kutub wal-Funun, (Istanbul:
Wakalah al-Ma’arif, 1941-1943), h.720.
16
Abd al-Jawwad Khalaf, Al-Qadi Badr al-Din Ibn Jama’ah, h.68- 75.
17
Badruddin Ibn Jama’ah, Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim, h.33.

34
Ahyar Rasyidi, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Jama’ah

dibahas etika akademis yang dibagi kedalam: 1) etika ilmuan (‘alim); 2)


etika penuntut ilmu (muta’allim); 3) etika terhadap buku; dan 4) etika para
penghuni asrama.18
Konsep pemikiran dari kitab ini diuraikan secara singkat sebagai
berikut:
a. Etika Personal Ilmuan (Adab al-Nafs)
Pemikiran Ibn Jama’ah yang sangat dikenal adalah tentang etika. Ibn
Jama’ah memiliki konsep etika yang sangat berpengaruh dalam etika
keilmuan pendidikan. Ada 12 konsep etika yang menjadi kepribadian
ilmuan atau pengajar (guru) yang baik, 19 di antaranya: seorang ilmuan
senantiasa dekat dengan Allah Swt, sendirian maupun bersama orang lain;
ilmuan harus memelihara ilmu pengetahuan sebagaimana para ulama salaf
memeliharanya; ilmuan harus zuhud dan menghindari kekayaan material
berlebihan; ilmuan tidak menjadikan ilmu sebagai alat mencapai tujuan
duniawi seperti kemuliaan, kekayaan, ketenaran, atau bersaing dengan orang
lain; ilmuan harus terhindar dari tindakan tercela atau kurang pantas, baik
agama maupun adat; ilmuan melaksanakan ajaran agama dan mendukung
syi’ar; ilmuan dapat memelihara amalan sunat, baik berupa perbuatan
maupun perkataan; ilmuan memperlakukan masyarakat dengan dengan
akhlak mulia; ilmuan membersihkan diri dari akhlak buruk dan
menumbuhkan akhlak terpuji; ilmuan memperdalam ilmu pengetahuan terus
menerus; ilmuan tidak boleh segan belajar dari yang lebih rendah jabatan,
keturunan, atau usia; ilmuan mentradisikan menulis dalam bidang yang
ditekuni dan dikuasai.20
b. Etika dalam Mengajar
Terkait dengan etika dalam mengajar, Ibn Jama’ah juga membagi
kepada 12 etika yang seharusnya dijaga, yakni: menjelang mengajar, ilmuan
membersihkan diri dari hadats dan kotoran, merapikan diri, serta
mengenakan pakain bagus; ketika keluar dari rumah, seorang ilmuan
hendaknya berdoa mencari ilmu (thalab al-Ilm), mengingat Allah Swt,
mengucap salam kepada yang hadir, lalu melaksanakan shalat dua rakaat
(khususnya majelis di masjid); pengajar hendaknya duduk pada posisi yang

18
Hasan Asari, Etika Akademis dalam Islam, h.41.
19
Ibid., h.42.
20
Badruddin Ibn Jama’ah, Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim, h.44-55.

35
Jurnal Al Jami Volume 15, Nomor 29, Januari – Juni 2019

bisa dilihat seluruh yang hadir; pembelajaran hendaknya dimulai dengan


membaca ayat Alquran sebelum pelajaran agar berkah, mendoakan diri
sendiri, hadirin, dan kaum Muslimin; dalam mengajarkan beberapa disiplin
ilmu dalam sehari, maka harus mendahulukan yang lebih mulia dan lebih
penting; pengajar hendaknya mengatur suara agar tidak terlalu lemah hingga
sulit didengar hadirin, juga tidak terlalu keras hingga mengganggu orang di
luar majelis; hendaknya menjaga majelis agar tidak menjadi ajang senda
gurau, kebisingan, atau perdebatan yang tidak jelas yang hanya
mengakibatkan kelupaan; sebaiknya dapat mengingatkan orang yang
berlebihan dalam debat, atau bingung dalam debat, atau jelek tatakrama,
atau tak mau tenang setelah menemukan kebenaran; ilmuan harus bersikap
adil dalam memberikan pelajaran; hendaknya memberi penghargaan
sewajarnya terhadap orang asing (bukan anggota kelas reguler) yang datang
ketika majelis sedang berlangsung, dengan mempersilakan dan
menerimanya dengan baik; mengakhiri pelajaran dengan wallahu a’lam
seperti halnya mufti mengakhiri jawaban tertulis; dan seorang ilmuan
seharusnya mengetahui keahlian dan mengajarkan bidang keahlian itu. 21
Etika guru sangat penting bagi guru sebagai seorang yang menjadi
contoh bagi para pelajarnya. Hal ini sebagaimana dikehendaki dalam UU
Sistem Pendidikan Nomor 20 tahun 2003, di mana guru harus memiliki
kepribadian yang harus menjadi pedoman dalam sikap dan prilakunya
sebagai pengajar.
c. Etika Pelajar (Adab al-Muta’allim)
Dalam belajar, pelajar hendaknya memiliki dan menjaga etika, agar
pembelajaran yang diterimanya, mendapatkan berkah selain dari ilmu
pengetahuan yang diserap. Menurut Ibn Jama’ah ada 10 etika pelajar yang
menjadi sikap dan harus dilaksanakannya: pelajar hendaknya membersihkan
hati dari kotoran, sifat buruk, akidah yang keliru, dan akidah tercela; pelajar
hendaknya meluruskan niat hanya karena Allah Swt, menghidupkan syariat
islam, menyinari hati, dan mengasah batin dalam rangka mendekatkan diri
pada Allah Swt; pelajar hendaknya menghargai waktu dengan mencurahkan
perhatian untuk urusan menuntut ilmu pengetahuan; pelajar hendaknya
menjaga kesederhanaan pakain dan makanan; pelajar hendaknya membuat

21
Hasan Asari, Etika Akademis dalam Islam, h.51.

36
Ahyar Rasyidi, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Jama’ah

jadwal kegiatan yang ketat dan jelas manfaatnya; pelajar hendaknya


menghindari makan terlalu banyak; pelajar hendaknya bersifat wara’ papan,
sandang, pangan semua diperoleh dengan cara yang halal; pelajar
hendaknya mengurangi konsumsi makanan yang bisa menyebabkan
kebodohan dan lemahnya indera seperti apel, asam, kubis atau cuka; pelajar
hendaknya meminimalkan waktu tidur, tetapi tidak menggangu kesehatan;
pelajar hendaknya membatasi pergaulan hanya dengan orang yang bisa
bermanfaat bagi belajar.22
d. Etika Terhadap Buku
Buku ialah alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Oleh sebab
itu, sepantasnya buku perlu dihormati. Salah seorang tokoh ilmuan Muslim
seperti Ibn Jama’ah sangat menghormati buku sebagai alat untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Karena itu, Ibn Jama’ah pun ingin agar
semua anak didiknya memahami dan menjaga etika terhadap buku.
Ada beberapa etika yang harus dijaga untuk menghargai buku,
sebagaimana berikut: murid senantiasa berupaya memperoleh buku yang
dibutuhkan dengan jalan membeli, menyewa, atau meminjam; seseorang
hanya meminjamkan buku kepada orang yang diyakini memanfaatkan buku
tanpa merusak; waktu membaca, buku tidak dibiarkan terletak di lantai dan
terlempar secara berlebihan; jika meminjam buku, seseoarng harus
memeriksa saat mengambil dan saat mengembalikan; saat menyalin buku
ilmu agama, seseorang harus suci, bersih badan dan pakaian, menghadap
kiblat, serta memulai naskah dengan membaca basmalah; dalam menyalin
hendaknya dihindari tulisan yang terlalu halus, karena bisa mengakibatkan
kurang jelasnya tulisan; jika naskah buku dibandingkan dengan naskah lain
yang benar atau dengan bantuan seorang syekh (pembimbing), maka harus
diberi tanda harakat dan diakritik. Bagian yang potensial menimbulkan
salah ejaan dan membutuhkan perbaikan harus diperhatikan khusus; jika
ingin membuat penjelasan (takhrij, terkadang disebut juga al-lahq) tentang
sesuatu dari matan, ia dapat membuatnya di margin buku; boleh menulis
judul bab, nama-nama tokoh, dan pasal-pasal buku dengan tinta merah, atau
tulisan tebal, untuk mempermudah dalam mencari kalimat; dalam koreksi
tambahan atau kekeliruan naskah, cara membuang atau menghapus (al-
darb) lebih baik daripada menggosok kertas (al-hakk) hingga tulisan hilang;

22
Badruddin Ibn Jama’ah, Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim, h.80-88.

37
Jurnal Al Jami Volume 15, Nomor 29, Januari – Juni 2019

pemilik buku boleh membuat hasyiyah, faidah, atau tanbih pada margin
buku.23
e. Etika Penghuni Madrasah
Untuk fokus dalam belajar perlu ada tempat untuk tinggal bagi
pelajar, apalagi bagi pelajar yang berasal dari daerah yang jauh, maka
mereka memerlukan tempat tinggal yang mendukung mereka belajar dengan
sungguh-sungguh. Ini sebagaimana yang diterapkan di pesantren-pesantren
pada lembaga pendidikan di Indonesia sekarang khususnya. Terkait dengan
itu untuk menjaga keharmonisan penghuni tempat tinggal atau asrama
pelajar, Ibn Jama’ah memberikan 11 etika yang harus diterapkan: pelajar
yang ingin tinggal di asrama harus memastikan bahwa madrasah dan waqaf
berasal dari harta halal, dan pemberi waqah adalah wara’; pengajar yang
mengajar madrasah harus ilmuan yang mendekati kriteria etika ilmuan baik;
pakar dibidangnya, religius, cerdas serta berwibawa; penghuni madrasah
harus berupaya semaksimal mungkin untuk selalu mentaati pelaturan yang
berlaku dan dicantumkan dalam waqfiyyah madrasah; jika pemberi waqaf
mensyaratkan yang berhak menghuni asrama adalah orang-orang yang dapat
beasiswa saja, maka seorang yang di luar itu tidak berhak tinggal;
seseoarang yang tinggal di madrasah harus benar-benar konsentrasi pada
menuntut ilmu; penghuni asrama harus saling menghormati, memberi
salam, saling membantu dan saling memaafkan; sedapat mungkin penghuni
asrama memilih kamar dengan bertetangga dengan yang saleh, rajin, dan
berperilaku baik; jika tinggal dekat dengan masjid atau perkumpulan lain
yang menggunakan karpet atau tikar, harus menjaga kebersihan dari kotoran
sandal yang jatuh; penghuni asrama dilarang duduk-duduk di pintu, kecuali
terpaksa, tidak dikoridor menuju jalan; tidak diperbolehkan melihat dari
celah pintu kamar orang lain meski lewat di depannya; mengupayakan agar
selalu tiba di majelis lebih dulu dari guru.
Ulama salaf mengatakan bahwa salah satu etika terhadap mudarris
adalah bahwa para murid menunggunya, bukan sebaliknya, guru menunggu
murid.24

23
Ibid., h.115-124.
24
Ibid., h.125-133.

38
Ahyar Rasyidi, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Jama’ah

Mengapa Ibn Jama’ah sangat mementingkan terkait dengan etika,


tentu saja semua itu ada sebabnya. Hery Noer Aly dalam tulisannya pada
Jurnal Tsaqafah menuliskan bahwa kepedulian Ibnu Jama’ah terhadap
karakter guru dan pelajar tampaknya dilatarbelakangi oleh kondisi buruk
moral masyarakat di masanya. Ia hidup di masa dan wilayah yang sama
dengan Ibnu Taimiyah (661-728 H), yaitu Syam dan Mesir. Di masa ini,
dari aspek politis, Syam berada di bawah Daulah Mamalik yang beribukota
Kairo. Di dua wilayah tersebut pemerintahan secara umum tidak stabil dan
mengalami banyak gejolak. Secara eksternal kondisi ini disebabkan oleh
bertubi-tubinya serangan dari tentara Mongol. Secara internal, sisa-sisa
kerajaan-kerajaan salib telah menguasai kota-kota di sepanjang pantai
Tortus, Akka, dan Tripoli serta mengobarkan bahaya terus-menerus bagi
kaum Muslimin. Dari aspek sosial kemasyarakatan, kezaliman telah
merajalela di masyarakat. Selain pajak mencekik mayoritas penduduk,
upaya pendangkalan dan penyimpangan akidah membuat mayoritas Muslim
yang berakidah dangkal menjadi bulan-bulanan. Fenomena yang muncul
kemudian ialah menyebarnya khurafat yang berkaitan dengan pengkultusan
makam para wali dan berbagai objek ziarah. Hal ini diikuti dengan
maraknya praktik-praktik keliru melalui tarekat sufi; seperti berjalan di atas
api, bermain ular, dan memakan kaca. Demikian pula taqlid dan mazhab-
mazhab telah memecah belah para fuqaha dan pusat-pusat ilmu, sehingga
lahir konflik-konflik berbasis mazhab dan akidah. 25

D. Kesimpulan
Ibn Jama’ah secara lengkap bernama Badr al-Din Muhammad ibn
Ibrahim ibn Sa’d Allah ibn jama’ah ibn Ismail ibn Jama’ah ibn Hazim ibn
Sakhr ibn ’Abd Allah al-Kinani, lahir pada tanggal 4 Rabiul Akhir
639/1241, di Hamah, Syria.Beliau hidup di masa Ayyubiyah dan Mamluk. 26
Di masa kecil Ibn Jama’ah terdapat madrasah, khanqah, zawiyah,
dan masjid, lengkap dengan dukungan wakaf. Singkatnya, meskipun tidak

25
Hery Noer Aly, “Penciptaan Lingkungan Edukatif dalam Pembentukan
Karakter: Studi Terhadap Aplikasi Pemikiran Ibn Jama’ah”, Jurnal al-Tsaqafah,
Vol. 8, No.1, April 2012, h.57.
26
Badruddin Ibn Jama’ah, Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim, h.3.

39
Jurnal Al Jami Volume 15, Nomor 29, Januari – Juni 2019

sebanding Damaskus atau Kairo, Hamah merupakan kota yang hidup,


mampu memberi lingkungan ilmiah yang kondusif. 27
Ibn Jama’ah lahir dari keluarga yang terpandang dan memperhatikan
ilmu pengetahuan dan termasuk keluarga yang terhormat dengan keilmuan.
’Abd al-Jawwad Khalaf mencatat ada 40 sarjana terkenal lahir dari keluarga
Ibn Jama’ah. Beberapa anggota keluarganya berhasil menjadi faqih, qadli
atau khatib terkenal, di mana Fiqh pada masa Mamuluk merupakan disiplin
utama dalam pendidikan era Mamluk. Menjadi qadli atau khatib merupakan
simbol keberhasilan seorang ilmuan. Beberapa faqih terkenal merupakan
berasal dari Bani Jama’ah, mulai kakek dan ayah Ibn Jamah, hingga sepupu
dan anak-anak mereka.
Ibn Jama’ah memperoleh pengajaran dari banyak tokoh ilmuan yang
terkenal di zamannya. Hal inilah yang membuatnya menjadi seorang tokoh
alim dan produktif dalam mengarang beberapa kitab yang dikenal. Di antara
kitabnya yang paling dikenal adalah Tazkirat al-Sami’ wal-Mutakallim yang
membahas tentang pendidikan yang membahas terkait dengan beberapa
etika dalam belajar dan mengajar yang harus diterapkan oleh para pelajar
dan pengajar agar mencapai ilmu pengetahuan dengan hidmat dan penuh
berkah dari Allah Swt.
Terkait dengan etika ini, sangat penting dalam dunia pendidikan.
Sebagaimana sekarang ini pendidikan di Indonesia sedang merealisasikan
tentang pendidikan budi pekerti, agar siswa memiliki akhlak atau etika
dalam pembelajaran dan kehidupan sehari-hari dengan guru, teman, orang
tua dan masyarakatnya.

Referensi
Abd al-Amir Syamsuddin, Al-Fikr al-Tarbawi ‘Inda Ibn Jamâ’ah, Beirut:
Al-Syirkah al-‘Âlamiyyah Lil Kitâb, Cet. I, 1990.
Abd al-Jawad Khalaf, Al-Qadli Badruddin Ibn Jamaah Hayatuhu Wa
Atsaruhu, Pakistan: Jami’ah al-Dirasah al-Islamiyah, 1988.
Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

27
Hasan Asari, Etika Akademis dalam Islam, h.27.

40
Ahyar Rasyidi, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Jama’ah

Badruddin Ibnu Jama’ah, Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-


‘Âlim wa al-Muta’allim, Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, Cet.
III, 1433 H.
Haji Khalifah, Kasyf al-Zunun ‘an Asami al-Kutub wal-Funun, Istanbul:
Wakalah al-Ma’arif, 1941-1943.
Hasan Asari, Etika Akademis dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,
2008.
Hasan Ibrahim Abd ‘Al, al-Fikr al-Tarbawy ‘inda Badruddin Ibn Jamaah
dalam Min A’lam li al-Tarbiyah al-Islamiyah, Jilid 3, Maktabah al-
Tarbiyah al-‘Arabi li dauli al-Khalij.
Hery Noer Aly, “Penciptaan Lingkungan Edukatif dalam Pembentukan
Karakter: Studi Terhadap Aplikasi Pemikiran Ibn Jama’ah”, Jurnal
al-Tsaqafah, Vol. 8, No.1, April 2012.
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama: di Lingkungan
keluarga, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar,
Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1999.
Suwito, “Pendidikan yang Memberdayakan”, Orasi Ilmiah Pengukuhan
Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.

41

Anda mungkin juga menyukai