Komite Keperawatan adalah wadah non-struktural rumah sakit yang mempunyai fungsi utama
mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan melalui mekanisme
kredensial, penjagaan mutu profesi, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi.
Menteri Kesehatan RI (dr. Nafsiah Mboi SpA, MPH) telah menetapkan Peraturan Menteri
Kesehatan No 49 Tahun 2013 tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit. Peraturan tersebut
menyatakan bahwa setiap rumah sakit harus membentuk komite keperawatan. Komite keperawatan
ini bukan merupakan wadah perwakilan dari staf keperawatan, melainkan organisasi non struktural
dengan keanggotaan yang terdiri dari tenaga keperawatan (perawat dan bidan).
Komite Keperawatan dibentuk oleh direktur rumah sakit dan bertanggung jawab kepada
direktur rumah sakit. Susunan organisasi komite Keperawatan rumah sakit terdiri dari ketua komite
keperawatan, sekretaris komite keperawatan dan subkomite. Untuk subkomite terdiri dari subkomite
(1) kredensial, (2) mutu profesi dan (3) etika dan disiplin profesi. Keanggotaan komite keperawatan
ditetapkan oleh direktur RS dengan mempertimbangkan sikap profesional, kompetensi, pengalaman
kerja, reputasi dan perilaku. Sedangkan untuk jumlah personil keanggotaan komite keperawatan
disesuaikan dengan jumlah tenaga keperawatan di rumah sakit.
Pendanaan
Pelaksanaan kegiatan komite keperawatan didanai dengan anggaran rumah sakit dan
kepengurusan komite keperawatan berhak memperoleh insentif sesuai dengan aturan dan kebijakan
rumah sakit.
Sebagai bentuk peningkatan kinerja Komite Keperawatan dalam menjamin mutu pelayanan
keperawatan dan kebidanan serta keselamatan pasien di rumah sakit, dilakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap komite keperawatan. Bentuk pembinaan dan pengawasan berupa profesi
keperawatan maupun pendidikan keperawatan yaitu:(1) advokasi, sosialisasi dan bimbingan teknis
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan komite keperawatan dilakukan oleh Menteri, Badan
Pengawas Rumah sakit provinsi, dewan pengawas rumah sakit, kepala dinas kesehatan provinsi,
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, dan perhimpunan/asosiasi perumahsakitan dengan
melibatkan organisasi profesi yang terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing
Berdasarkan Lampiran Permenkes 49 tahun 2013 ada beberapa hal yang melatar belakangi
terbentuknya komite keperawatan yaitu:
1. Tenaga keperawatan di Rumah Sakit merupakan jenis tenaga kesehatan terbesar (jumlahnya
antara 50–60%), memiliki jam kerja 24 jam melalui penugasan shift, serta merupakan tenaga
kesehatan yang paling dekat dengan pasien melalui hubungan professional
2. Tenaga keperawatan memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat sesuai kewenangan dalam
memberikan asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan kepada pasien dan keluarganya.
3. Kewenangan tenaga keperawatan untuk melakukan tindakan medik merupakan tindakan yang
bersifat delegasi yang memerlukan Kewenangan Klinis tertentu dan perlu dikredensial
4. Pertumbuhan tenaga keperawatan di Rumah Sakit masih belum optimal, karena kurangnya
komitmen terhadap pertumbuhan profesi, kurangnya keinginan belajar terus-menerus, dan
pengembangan diri belum menjadi perhatian utama bagi individu tenaga keperawatan dan rumah
sakit
5. Tenaga keperawatan di Rumah Sakit cenderung melakukan tugas rutin dalam memberikan
pelayanan keperawatan dan kebidanan.
6. Tenaga keperawatan juga memiliki motivasi yang rendah serta kesempatan yang terbatas untuk
meningkatkan kemampuan profesinya melalui kegiatan-kegiatan audit keperawatan dan
kebidanan serta kegiatan pendidikan berkelanjutan.
BAB I BAB II
Komite keperawatan merupakan jembatan dalam penentuan jenjang karir perawat dan evaluator
pengembangan keprofesian yang mana pada akhirnya menentukan jenjang perawat klinik dengan
kewenangan klinis yang dimiliki (Puspitaningrum, 2017).
Undang-undang No.36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidiikan tinggi keperawatan, baik di dalam
maupun di luar negeri yang di akui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan
kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat, baik sehat maupun sakit. (Yetti K, dkk.2017)
Dalam kesehariannya perawat melakukan pelayanan keperawatan kepada pasiennya dengan
memberikan asuhan keperawatan dengan dilandasi pada aturan berupa perundang-undangan dank
ode etik yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang mengatur dalam pemberian pelayanan
keperawatan tidak hanya terkait dengan peraturan perundang-undagan tentang keperawatan, namun
juga peraturan perundang-undangan tentang kesehatan.
Tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan yang maksimal kepda masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang setingi-
tinginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara social dan
ekonomi serta sebgai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.
Peraturan perundang-undangn yang berlaku selain tentang keperawatan itu sendiri juga ada
ketarkaitannya dengan peraturan perundang-undangn tentang tenaga kesehatan no 36 tahun 2014,
dimana yang dimaksud dalam undang-undang tenaga kesehatan itu sendiri pada ketentuan umum
adalah membahas tentang definisi tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, uapay tenaga
kesehatan, fasilitas tenaga kesehatan, kompetensi, uji kompetensi, sertfikat kompetensi, standar
profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur pelayanan operasional, hingga membahas
tentang konsil tenaga kesehatan dan organisasi profesi yang dalam hal ini diartikan sebagai wadah
berhimpun tenaga kesehatan yang seprofesi.
Di pasal kedua undang-undang tenaga kesehatan ini menjelaskan bahwa undang-undang ini
dibuat berdasarkan perikemanusiaan, manfaat, pemerataan, etika dan profesionalisme, penggormatan
terhadap hak dan kewajiban, keadilan, pengabdian, norma agama, dan perlindungan. Selain itu pada
pasal 3 ini juga mejelaskan tujuan dari undang-undang ini yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat
akan Tenaga Kesehatan, mendayagunakan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
memberikan pelindungan kepada masyarakat dalam menerima penyelenggaraan Upaya Kesehatan,
mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Upaya Kesehatan yang d.iberikan oleh
Tenaga Kesehatan dan memberikan kepastian.
Pada BAB II pasal 4 – 7 membahas tentang tanggung jawab dan wewenang pemerintah dan
pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Tidak hanya
itu pada undang – undang ini juga dibahas tentang kualifikasi dan pengelompokan tenaga kesehatan,
kemudian stndar yang harus dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayana
kesehatan, dan juga membahas tentang kompetensi mahasiswa yang nantinya kan terjun di dunia
kesehatan skelaigus tentang uji kompetensi yang harus mereka laksanakan sebagai bukti kompetensi
dan layak dalam memberikan pelayanan kesehatan serta tindakan – tindakan guna membantu dalam
pemberian pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan.
Apa yang melatarbelakangi dibentuknya UU no 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan?
Latar belakang dibentuknya UU no 36 tanun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan adalah untuk
meningkatan kesehatan masyarakat, melalui peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan
yang berkompeten, bertanggung jawab, menjunjung tinggi kode etik, meningkatkan mutunya melalui
pendidikan dan pelatihan, dan tersebar merata diseluruh wilayah Indonesia. SDM kesehatan
merupakan salah satu subsistem dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Tenaga kesehatan
berperan dalam mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015
mendatang terutama target menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI)(Yuningsih, 2014).
Apa isi dari UU no 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan?
UU no 36 tahun 2014 mengatur tentang professionalitas, dan kewajiban pada tenaga kesehatan.
Undang-Undang ini juga berisi tentang ketentuan umum, tanggung jawab dan wewenang tenaga
kesehatan. Selain itu, UU no 36 juga mengatur tentang pendayagunaan tenaga kesehatan di seluruh
wilayah Indonesia dan hak memperoleh kenaikan pangkat istimewa, serta pelindungan dalam
pelaksanaan tugas bagi tenaga kesehatan yang bertugas di daerah Daerah Tertinggal, Perbatasan dan
Kepulauan Terluar (DTPK) (Yuningsih, 2014).
Kapan dibentuknya UU no 36 tahun 2014
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM telah mengajukan RUU
tentang Tenaga Kesehatan melalui pengajuan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2012. RUU
Tenaga Kesehatan dari Presiden diajukan dengan Surat Presiden Nomor R75/Pres/09/2012 kepada
Ketua DPR RI pada tanggal 24 September 2012. Surat dari Presiden memuat penyampaian RUU
Tenaga Kesehatan untuk dibahas. Kemudian RUU ini dibahas oleh DPR dan diundangkan pada
tanggal 17 Oktober 2014 (Yuningsih, 2014).
Siapa yang membuat UU no 36 tahun 2014
UU no 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dibuat oleh Presiden sebagai kepala eksekutif yang
memegang kekuasaan pemerintahan dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 kemudian
diajukan kepada DPR sebagai legislative dan diberikan kepada yudikatif untuk dilakukan pengujian
kembali terhadap undang-undang. Tenaga kesehatan juga dilibatkan dalam memberikan usul inisiatif
bagi pemerintah. Pimpinan DPR mempunyai peran memberikan pandangan fraksi ataupun
pandangan masing-masing anggota (Yuningsih, 2014).
Siapa yang menjadi obyek dalam UU no 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan?
UU no 36tahun 2014 diperuntukkan bagi tenaga kesehatan yang dikelompokkan menjadi 13 jenis,
yaitu tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga
kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga
keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan tradisional dan
tenaga kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Tujuh kelompok tenaga kesehatan
yang terdiri dari 27 jenis tenaga kesehatan yaitu tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga
kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, dan tenaga
keteknisian medis (Indonesia, 2014).
Bagaimana penerapan UU no 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan?
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan merupakan Undang-Undang kesehatan
yang terbaru yang didasarkan pada paradigma sehat yang mengutamakan upaya promotif dan
preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Selain itu, Undang-Undang Kesehatan ini
mengubah sistem kesehatan di negara kita yaitu dari sentralistik menuju ke desentralistik (Kanter,
2016).
Undang- Undang ini juga mengatur tentang sanksi pidana bagi tindakan malpraktik.
Seorang tenaga kesehatan dapat dipidana karena:
1.Tindak pidana oleh tenaga kesehatan dalam praktik pelayanan kesehatan dapat terjadi apabila setiap
orang yang bukan tenaga kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai tenaga kesehatan yang
telah memiliki izin atau tenaga kesehatan melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan penerima
pelayanan kesehatan luka berat atau kematian serta tenaga kesehatan menjalankan praktik tanpa
memiliki STR termasuk tenaga kesehatan warga Negara asing yang dengan sengaja memberikan
pelayanan kesehatan tanpa memiliki STR sementara dan setiap tenaga kesehatan dan tenaga
kesehatan warga negara asing yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin. 2.Pemberlakuan sanksi
pidana terhadap tenaga kesehatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan terdiri dari pidana penjara dan pidana denda sesuai dengan jenis tindak yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pidana yang penjara berlaku 3 (tiga) tahun dan 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.00 (seratus juta rupiah) (Kanter, 2016).
Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan
Undang-undang atau legislasi adalah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau
unsur ketahanan yang lainnya. Sebelum disahkan, undang-undang disebut sebagai rancangan
Undang-Undang. Undang-undang berfungsi untuk digunakan sebagai otoritas, untuk mengatur, untuk
menganjurkan, untuk menyediakan (dana), untuk menghukum, untuk memberikan, untuk
mendeklarasikan, atau untuk membatasi sesuatu.Suatu undang-undang biasanya diusulkan oleh
anggota badan legislatif (misalnya anggota DPR), eksekutif (misalnya presiden), dan selanjutnya
dibahas di antara anggota legislatif. Undang-undang sering kali diamendemen (diubah) sebelum
akhirnya disahkan atau mungkin juga ditolak.
Undang-undang dipandang sebagai salah satu dari tiga fungsi utama pemerintahan yang
berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan. Kelompok yang memiliki kekuasaan formal untuk
membuat legislasi disebut sebagai legislator (pembuat undang-undang), sedangkan
badan yudikatif pemerintah memiliki kekuasaan formal untuk menafsirkan legislasi, dan
badan eksekutif pemerintahan hanya dapat bertindak dalam batas-batas kekuasaan yang telah
ditetapkan oleh hukum perundang-undangan. Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diajukan
oleh DPR atau Presiden.
Undang-Undang dibuat untuk mempertegas aturan yang mengatur hubungan antara
pemerintah dengan rakyat, hak-hak rakyatnya juga diatur, supaya tidak ada tumpang tindih prinsip
atu persepsi dan bias dijadikan pedoman untuk rakyat dalam menjalankan kehidupan yang teratur.
Undang-Undang Kesehatan no 36 Tahun 2009 dikeluarkan oleh presiden beserta pihak dan
steakholder kesehatan.Undang-Undang no 36 Disahkan Jakarta 13 october 2009. UU no 36 dibuat
untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
UU no 36 thn 2009 terdiri dari 22 Bab dan 205 pasal dimana terdapat beberapa Bab yang
berhubungan dengan keperawatan diantaranya pada BAB III dimana semua masyarakat Indonesia
berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, akses sumber daya dibidang kesehatan, berhak
mendapatkan lingkungan yang sehat serta informasi dan edukasi megenai pendidikan kesehatan.
Masyarakat pun wajib ikut mewujudkan, mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan ,
setiap orgpun wajib meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung
jawabnya termasuk tenaga perawat. Pada BAB IV juga dijelaskan pasal yang menyatakan bahwa
pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya dibidang kesehatan yang adil dan
merata disetiap daerah untuk memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya.
Pada BAB V Pasal ini mengatur mengenai perencanaan , pengawasan , pemgadaan ,
pembinaan terhadap mutu tenaga kesehatan. Kualifikasi tenaga kesehatan juga dibahas pada bab ini.
Kewenangan tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan dan wajib memiliki izin dalam
menyelenggaraka pelayanan kesehatan serta kode etik , standar profesi serta standar operasional
diatur dalam BAb V pasal 24. Pada BAB V pasal 25 Peningkatan mutu tenaga kesehatan melalui
pendidikan atau pelatihan menjadi tanggung jawab pemerintah dengan ketentuan penyelenggra
pendidikan juga diatur dalam peraturan pemerintah.
Imbalan dan perlindungan hukum dibahas dalam pasal 27 dimana semua tenagan kesehatan
berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum. Perawat sebagai profesi diwajibkan menjaga
kerahasiaan pasien dan apabila dalam menjalankan tindakan pelayanan kesehatan merugikan
masyarakat maka wajib mengganti rugi.
Sejak 2014, menunggu kurang lebih selama 5 (lima) tahun akhirnya turunan peraturan dari Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan dapat diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes RI) di tahun 2019 ini. Peraturan tersebut keluar dengan judul
“Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2019 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan”. Pada Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) No. 26 Tahun 2019 tersebut banyak sekali pasal-pasal penjelas serta
peraturan lebih lanjut yang sebelumnya dalam UU Keperawatan belum dijelaskan dan diatur
(Kemenkes RI, 2019; Kemenkumham RI, 2014).
Konten utama dalam Permenkes No. 26 Tahun 2019 sedikitnya ada 6 (enam) poin yang dibahas yaitu
mengenai jenis perawat, perizinan, penyelenggaraan praktik keperawatan, praktik mandiri perawat,
kebutuhan pelayanan kesehatan/keperawatan dalam suatu wilayah, serta pembinaan dan pengawasan
(Kemenkes RI, 2019).
Pada bagian perizinan dalam Permenkes dijelaskan dalam Pasal 14 Ayat 2 bahwa setiap pimpinan
pelayanan kesehatan wajib setiap triwulan melaporkan siapa saja perawatnya yang masih bekerja dan
sudah berhenti bekerja kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dengan tembusan kepada
organisasi profesi (Kemenkes RI, 2019). Hal tersebut cukup memberikan pencerahan bagi ketertiban
administrasi profesi keperawatan. Melalui pelaporan secara rutin, diharapkan pemerintah daerah
dapat memetakan mana saja perawat yang berizin, tidak berizin, dan harus dicabut izinnya karena
sudah tidak bekerja. Karena saat ini masih banyak perawat yang bekerja di pelayanan namun tidak
memiliki SIPP. Bahkan pernah terjadi di daerah Kalimantan sekitar 800 tenaga kesehatan (termasuk
di dalamnya ada perawat) terdata belum memiliki izin dari pemerintah daerah guna keberlangsungan
praktiknya (Kaltim Post, 2016). Mungkin saat ini belum ada kasus
di daerah tersebut. Namun jika suatu hari terjadi permasalahan etik dan legal dengan klien, maka
perawat tidak berizin bisa saja dituntut secara hukum.
Selain itu, Permenkes Nomor 26 Tahun 2019 juga menjelaskan dengan rinci tentang penyelenggaraan
praktik keperawatan dan praktik mandiri perawat. Pada Pasal 15 Ayat 6 disebutkan perawat yang
melakukan praktik mandiri harus memasang papan nama. Kemudian pada Pasal yang sama di Ayat
7 menjelaskan lebih lanjut papan nama yang dipasang harus ditempatkan di lokasi yang mudah dibaca
oleh masyarakat. Lebih detail di Ayat 8 (masih dalam pasal yang sama) mendeskripsikan bahwa pada
papan nama tersebut setidaknya memuat nama perawat, nomor STRP, nomor SIPP, dan keterangan
jenis pemberian asuhan keperawatan. Kewajiban pemasangan pengenal identitas berupa papan nama
pada pelayanan praktik mandiri perawat merupakan bentuk upaya memperkenalkan kepada
masyarakat bahwa perawat adalah profesi yang mandiri dan profesional sekaligus memberikan
perlindungan hukum bagi perawat atas kelegalitasan mereka memberikan asuhan pada masyarakat
(Anderson, 2017).
Masih dalam pembahasan penyelenggaraan praktik keperawatan dan praktik mandiri perawat. Pada
Pasal 15 Ayat 9 dalam Permenkes ini disebutkan pelaksanaan praktik mandiri perawat boleh
dilakukan dengan kualifikasi pendidikan paling rendah adalah profesi ners. Bahkan dalam Pasal 19
Ayat 1 dan 2, perawat vokasional memiliki tugas dan wewenang terbatas pada asuhan keperawatan
perorangan. Dari 10 wewenang perawat yang disebutkan dalam Pasal 17, hanya pengkajian, tindakan
keperawatan, tindakan kondisi gawat darurat, dan penyuluhan kesehatan (bukan konseling) yang
diperbolehkan. Perawat vokasional tidak diperkenankan untuk menegakkan diagnosis keperawatan,
membuat rencana keperawatan, melakukan rujukan, konseling, pemberian obat bebas terbatas, dan
wewenang lainnya (hanya boleh ners yang melakukannya). Ultimatum dari Kementerian Kesehatan
ini menunjukkan pengakuan bahwa perawat sejatinya adalah ranah yang profesional. Karenanya
pendidikannya pun harus tinggi. Studi turut menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan perawat
akan memengaruhi baiknya kualitas perawatan klien (Cho, Park, Choi, Lee, & Kim, 2018).
Sebenarnya dasar hukum praktik mandiri keperawatan sudah ada sejak sebelum berlakunya
Permenkes No. 26 Tahun 2019. Sehingga sampai sekarang masih ada perawat vokasional yang
melakukan praktik mandiri perawat. Berlakunya Permenkes ini mengindikasikan bahwa perawat jika
ingin tetap sustain harus segera melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Sebab dalam
Pasal 54 dijelaskan mengenai status perawat vokasi yang telah menjalankan praktik
mandiri sebelum diperundangkannya Permenkes ini tetap dapat melakukan kewenangannya namun
terbatas hingga maksimal 7 (tujuh) tahun sejak permenkes ditetapkan.
Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa Permenkes Nomor 26 Tahun 2019
merupakan peraturan penjelas dan pelaksana dari UU Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan.
Banyak aspek-aspek penting yang dijelaskan dalam Permenkes ini diantaranya mengenai perbedaan
tugas wewenang ners dengan perawat vokasional, perijinan praktik keperawatan, dan pedoman
penyelenggaraan praktik mandiri keperawatan. Diharapkan dengan diundangkannya Permenkes ini,
dapat meningkatkan mutu profesi keperawatan di masa yang akan datang.
Perawat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab telah memiliki payung hukum yaitu UU
No. 38 Tahun 2014 sebagai pedoman dalam melakukan asuhan keperawatan. UU No. 38 Tahun 2014
tentang Keperawatan, Pasal 4 ayat (3), Pasal 23, Pasal 28 ayat (5), Pasal 34, Pasal 35 ayat (5), dan
Pasal 57 memerlukan aturan pelaksanaan. Aturan Pelaksanaan UU No. 38 tahun 2014 tentang
Keperawatan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Kebijakan tersebut adalah Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) No.26 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.38 tahun 2018
tentang Keperawatan.
Permenkes No. 26 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan. Permenkes No. 26 Tahun 2019 terdiri dari IX bab dan 58 pasal, mencakup ketentuan
umum, jenis perawat, perizinan, penyelenggaraan praktik keperawatan, praktik mandiri perawat,
kebutuhan pelayanan kesehatan/keperawatan dalam suatu wilayah, pembinaan dan pengawasan,
ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Permenkes No. 26 tahun 2019 pada Bab 1 tentang Ketentuan Umum menjabarkan definisi
perawat, perawat vokasi, perawat profesi, keperawatan, praktik keperawatan, asuhan keperawatan,
pelayanan keperawatan, klen, surat tanda registrasi perawat (STRP), surat izin praktik perawat
(SIPP), perawat WNA, STR sementara, fasilitas pelayanan kesehatan, standar profesi keperawatan,
pemerintah pusat, Pemerintah daerah, menteri, dan organisasi profesi.
Bab II menjabarkan tentang jenis perawat yang terdiri dari perawat vokasi dan perawat profesi.
Perawat profesi terdiri dari Ners dan Ners spesialis. Bab III tentang perizinan menjelaskan tentang
STRP, SIPP, dan SIP sementara bagi WNA. Bab IV tentang penyelenggaraan praktik keperawatan
menjelaskan tentang tempat yang menjadi praktik keperawatan, tugas dan wewenang, keadaan
darurat, pencatatan serta hak dan kewajiban. Bab V tentang praktik mandiri perawat, menjabarkan
tentang penyelenggaraan praktik mandiri perawat. Bab VI tentang kebutuhan pelayanan
kesehatan/keperawatan dalam suatu wilayah, meliputi fasilitas kesehatan di kabupaten/kota yang
sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah.
Bab VII tentang pembinaan dan pengawasan, meliputi pemerintah, pemerintah daerah
kabupaten/kota, dan konsil keperawatn. Bab VIII tentang ketentuan peralihan menjabarkan tentang
perawat vokasi yang telah menjalankan praktik keperawatan secara mandiri sebelum diudangkannya
peraturan menteri ini tetap dapat melakukan praktik paling lama tujuh tahun sejak peraturan menteri
ini duiundangkan. Bab IX tentang ketentuan penutup yang menjabarkan tentang berlakunya peraturan
menteri ini dengan menyatakan pencabutan pada Permenkes No. HK.02.02/Menkes/148/2010
tentang izin dan penyelanggaraan praktik perawat, dan Permenkes No. 17 Tahun 2013 tentang
perubahan atas Permenkes No HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang izin dan penyelanggaraan
praktik perawat.
Berdasarkan Permenkes No.26 tahun 2019 telah dijabarkan secara rinci tugas dan kewenangan
perawat dalam melakukan asuhan keperawatan. Adanya peraturan tersebut dapat menjadi pedoman
dan acuan bagi setiap perawat. Alangkah baiknya jika setiap perawat telah memahami isi dari
Permenkes tersebut agar tidak terjadi kekeliruan dalam menjalankan praktik keperawatan. Selain itu,
dengan adanya Permenkes ini dapat sebagai batasan bagi perawat dalam menjalankan praktiknya agar
tidak ada tumpang tindih dengan profesi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA