Bagian ini saya akan memaparkan secara singkat bagaimana Injil masuk di
tanah Borneo dan juga saya akan memasukan sejarah singkat berdirinya
GPKB di tanah Borneo ini. Masuknya perkabaran Injil di tanah Borneo
terutama di Kota Pontianak dan sekitarnya pada tahun 1839, dimana badan
Zending ini berasal dari Amerika, yakni “American Board Of
Commissioners For Foreign Missions”. Namun apa yang mereka lakukan
tidak membawa hasil yang memuaskan. Kemudian pada tahun 1906,
perkabaran Injil dilakukan kembali, yakni perkabaran Injil Methodist (Board
Of Foreign Missions Of The Methodist Episcopal Church) dari Amerika.
Satu hal yang cukup mempengaruhi perkabaran Injil di tanah Borneo, bahwa
warga keturunan Tionghoa yang ada di Singapura, yakni mereka yang
sekolah di Theologia membantu pelayanan di Kalimantan Barat, dan
penginjilan yang dilakukan hanya khusus bagi orang-orang keturunan
Tionghoa di Pontianak dan sekitarnya. Badan-badan Zending lainnya yang
pernah melayani perkabaran Injil di Kalimantan Barat, antara lain Christian
Missionary Alliance (CMA) di Balai Sepuak dan Melawi, kelompok lain juga
dari Amerika seperti Go Ye Fellowaship, The Borneo Faith Missions, World
Wide Evangelization.[5] Misi Katolik adalah misi yang pertama masuk pada
masyarakat suku Dayak Kanayatn Tahun 1894 melalui Desa
Sejiram,Singkawang,[6] kemudian mendirikan pusat penginjilan dan
pendidikan di desa Nyerongkop. Selanjutnya dari Desa Nyerongkop
menjangkau seluruh wilayah Dayak Kanayatn antara lain Menjalin,
Karangan, Sompak, Pak Kumbang, Sidik (pedalaman Senakin),Pahauman,
dan Ngabang, berhasil menjangkau hampir seluruh wilayah Dayak
Kanayatn.Misi Protestan pertama adalah Region Beyon Mission Union
(RBMU), misi khusus untuk masyarakat pedalaman. Teologianya yang
mula-mula beraliran menonite yang banyak dipengaruhi oleh paham
anabaptis.[7] Menurut Sugit Zibeon, misi ini juga masuk lewat Desa Sejiram,
Singkawang tahun 1933. Penginjil wanita berkebangsaan Belanda bernama
Great van Eint membuka pos pelayanan pertama di desa Perigi Kecamatan
Darit, kepada suku Dayak Banyuke berbahasabanyadu’, sampai tahun 1954,
berhasil membawa lebih dari 3000 jiwa Dayak Kanayatn dan Banyuke
kepada Kristus. Kemudian pada tahun itu juga berbadan hukum, dengan
nama Gereja Persekutuan Pemberitaan Iman Kristus (GPPIK), (sekarang
Gereja Persekutuan Pemberitaan Injil Kristus), Pada tanggal 11 Agustus
1957 mendirikan Sekolah Alkitab Berea (SAB), (sekarang STT Berea).[8]
Kebangkitan lembaga adat yang didukung oleh tokoh-tokoh adat dan tokoh
masyarakat yang dimotori oleh intelektual Dayak (umumnya beragama
Katolik), dan publikasi media masa, khususnya Kalimantan
Review[11]memacu kebangkitan lembaga adat yang terorganisir secara
modern, di dalamnya terkait agama suku, semakin menumbuh suburkan
sinkritisme dengan alasan ‘adat’mendapatkan pembenaran. [12]
Sebagai umat kristiani kita patut mengucap syukur atas segala usaha yang
dilakukan pendahulu kita dalam memberitakan Injil sampai ke pelosok-
pelosok desa, keluar masuk hutan belantara bahkan sampai menggunakan
pesawat terbang karena sulitnya sarana transportasi dan komunikasi saat itu.
Mereka inilah yang patut kita banggakan sebagai pionir-pionir yang
membawa berita keselamatan, dan Injil di Kalimantan Barat.Namun sangat
disayangkan, walaupun sudah lebih dari setengah abad berita Injil masuk di
Kalimantan Barat ternyata visi dan misi mereka belum memberikan hasil
yang diharapkan. Hal ini ternyata disebabkan oleh system operasionalnya
yang hanya bersifat sementara dan pelayanan yang tidak kontekstual. Karena
luasnya daerah Kalimantan Barat perkabaran Injil dilakukan dari satu desa
ke desa yang lainnya dilakukan dalam waktu yang singkat atau sementara
dalam waktu tertentu, kemudian pindah lagi ke desa lainnya dan seterusnya
tanpa ada pembinaan dan pemeliharaan. Pada waktu tertentu mereka kembali
lagi ke tempat/desa semula, ternyata benih-benih yang mulai tumbuh hilang
lagi, dimana masyarakat yang semula sudah menerima berita Injil, kembali
lagi ke kepercayaan leluhur mereka/animisme.[16]
Hal ini dibuktikan oleh saudara-saudara kita anggota ABRI pada saat
penugasan di daerah perbatasan Kalimantan Barat dalam rangka penumpasan
gerombolan PGRS/PARAKO, di mana pada saat itu mereka membaur
dengan penduduk suku Dayak. Mereka sangat tertarik dengan lagu-lagu
rohani yang dinyanikan para anggota ABRI saat istirahat dan menyatakan
lagu-lagunya mereka pernah dengar dan sangat tertarik. Melihat kenyataan
ini, anggota ABRI yang beragama Kristen mulai kembali mengajarkan lagu-
lagu rohani sambil memberitakan Injil sesuai kemampuan atau
pengetahuannya. Kehadiran anggota ABRI ini membawa sukacita bagi
penduduk asli/suku Dayak di mana mereka ditugaskan, dan sangat
mengharapkan kahadiran mereka seterusnya.
Atas dasar keyakinan Iman dengan telah tersedianya Hamba Tuhan pendeta
dan rumah tempat beribadah maka didirikanlah satu organisasi gereja, yang
secara resmi berdiri tanggal 10 Februari 1963, dengan nama Gereja Protestan
Kalimantan Barat (GPKB) dengan alamat Jl. Wa’ Serang No 81 Pontianak
dan sekarang ini menjadi Jl. Rajawali No 57 Pontianak. Teapat tanggal
tersebut di pasang plang Gereja Protestan Kalimantan Barat (GPKB)
Pontianak.
Saat Berdirinya, susunan pengurus Gereja terdiri dari : Badan Majelis Gereja
dan Badan Pengurus Gereja.Untuk mewujudkan Visi dan misi, GPKB
berdasarkan keyakinan iman, meletakan dasar Firman Tuhan yang terambil
dari perjanjian baru, yakni Roma 1:16-17 : “Aku tidak malu memberitkan
Injil, karena Injil adalah kuasa Allah......dstnya. dan dalam Alkitab
Terjemahan Baru, selengkapnya:
-“Sebab Aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil
adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya, pertama-
tama orang Yahudi tetap juga orang Yunani”.
-“Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah yang bertolak dari Iman dan
memimpin kepada Iman. Seperti ada tertulis orang benar akan hidup oleh
iman”.
Nats Firman Tuhan ini, saat itu juga tercantum dalam logo stempel/cap
Gereja ProtestanKalimantan Barat sampai sekarang ini. Sebagaimana telah
di ungkapkan dalam pendahuluan, bahwa GPKB didirikan bukanlah karena
hibah dari salah satu Zending/missie ataupun adanya sponsor dari luar, tapi
GPKB lahir oleh kerja dan kuasa Roh Kudus melalui para tokoh-
tokoh/perintis dan pencetus lahirnya GPKB, di mana segala usaha Daya dan
dana dengan segala pengorbanannya semuanya bersumber dari mereka
beserta jemaat yang ada pada saat itu.[17]
Setelah GPKB resmi berdiri lengkap dengan Badan Majelis Gereja dan
Pengurus Gereja, maka ditetapkan GPKB Pontianak, sebagai Pusat
Pengembangan perkabaran Injil sampai ke pelosok daerah Kalimantan Barat.
Majelis Gereja, tugasnya pemeliharaan dan pembinaan jemaat termasuk di
dalamnya pengembangan dan peningkatan jemaat (kualitatif dan kuantitatif)
di mulai dari Kota Pontianak dan sekitarnya. Pengurus Gereja, tugasnya
antara lain mengusahakan sarana dan prasarana bangunan Gereja secara fisik,
mengusahakan dana untuk penyempurnaan bangunan Gereja/rumah tempat
ibadah, demikian juga segala urusan organisasi baik baik dalam dan luar
pemerintahan ditangani oleh Pengurus Gereja.
Pelayanan adalah salah satu dari tiga panggilan orang Kristen, yaitu
bersekutu, bersaksi, dan melayani. Pelayanan yang kita lakukan adalah
pelayanan Kristiani, yakni pelayanan seperti yang dilakukan oleh Kristus
Yesus Sendiri. Karna itu tujuan pelayanan kita adalah “menjadikan” manusia
kembali sebagi “ciptaan baru” di dalam Kristus atau ada istilah yang sering
Pdt. Jokosamuel gunakan, yaitu memilihara keselamatan jemaat dan
memanusiakan manusia. Karena itu semua macam kegiatan pelayanan
Kristiani haruslah berdasarkan pelayanan Kristus dan dilakukan karna Dia.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila ada di antara para misiolog
yang beranggapan bahwa kontekstualisasi hanya merupakan istilah baru dari
istilah-istilah yang telah ada dan dipakai sebelumnya. Istilah-istilah itu
adalah indigenisasi, inkulturasi, akomodasi, dan adaptasi. Selain itu, para
misiolog dan teolog juga berbeda pendapat tentang apa yang perlu
dikontekstualisasikan. Apakah Alkitabnya, teologinya, atau berita Injilnya?
Mereka juga mendiskusikan tentang sejauh mana proses kontekstualisasi itu
boleh dilakukan. Apakah hanya isinya, bentuknya, atau keduanya? Oleh
karena itu, bagian ini akan menjabarkan pentingnya kontekstualisasi dan
aplikasi kontekstualisasi sebagai sebuah pendekatan dalam pelayanan di
tanah Borneo.
Bagi masyarakat suku Dayak Kanayatn, antara agama suku dan adat adalah
suatu kesatuan yang keberadaannya harus dipertahankan dan diakui di
samping agama resmi.[25] Agama suku dikelompokkan ke dalam adat dan
menjadi substansi dari adat, ketika lembaga adat diberdayakan, agama suku
terikut di dalamnya.[26] Hal itu menyulitkan posisi gereja, terutama di
daerah-daerah yang pemeluk Protestannya sedikit. Saya berpendapat, untuk
menyikapi kasus-kasus tersebut diperlukan penelitian ilmiah mengenai latar
belakang pemikiran masyarakat suku tersebut secara komprehensif, terutama
mengenai pokok-pokok pemikiran keagamaannya, hasilnya dapat dipakai
untuk bahan kajian sebagai jalan masuk mengkontektualkan pekabaran Injil.
Karena itu saya memulaitulisan ini dengan pendekatan pelayanan yang
kotektualisasi di Tanah Borneo secara khusus mengambil sample pada suku
Dayak yang ada di Tanah Borneo yang serat dengan budaya, adat, dan tradisi.
Sikap positif dan upaya membangun interaksi sehat dan konstuktif terhadap
kebudayaan serta agama asli itu diungkapkan dalam kontekstualisasi.
Kontekstualisasi merupakan wujud nyata hidup dan pesan kristiani dalam
suatu lingkungan budaya yang ada. Pengalaman kristiani tidak hanya
diungkapkan dengan unsur-unsur dari kebudayaan yang bersangkutan,
kontekstualisasi bukanlah sekedar adaptasi lahiriah dangkal. Pengalamn
kristiani meresapi kebudayaan sedemikian rupa, sehingga perubahan dan
pembaharuan terjadi dan ciptaan baru dilahirkan. Untuk itu harus disadari
bahwa nilai-nilai dan praktek-praktek keagamaan yang tradisional sejauh
mencantumkan kebaikan dan kebanaran merupakan bentuk-bentuk konkret
“persiapan Injil” bangsa yang bersangkutan.Ini dapat dikatakan sebagi
bentuk “Perjanjian Lama” di luar Israel, dan dapat menjadi tanah yang subur
bagi tumbuhnya benih-benih iman kepada Yesus Kristus.[27]
Yang bisa dipikirkan sebagai dasar usaha kontektualisasi adalah inkarnasi
(penjelmaan Allah daging/manusia di dalam Yesus Kristus, yang lahir, besar
dan hidup melayani dalam konteks budaya lokal tertentu, yakni budaya Ibrani
dan agama Yahudi). Namun sebagaimana diingatakan Banawiratma,
pendasaran kontekstualisasi tidak boleh berhenti pada inkarnasi, sebab pokok
iman Kristiani adalah Yesus Kristus yang disalib, bangkit dan
mengaruniakan Roh Kudus kepada kita. Roh Kudus inilah yang bekerja
dalam proses kontekstualisasi, membuka mata dan hati kita untuk melihat
kehadiran Yesus Kristus dalam kebudayaan-kebudayaan.[28]
Pada setengah abad usia Pembinaan Iman di tanah Borneo atau masyarakat
Dayak Kanayatn ini, kontekstualisasi merupakan sebuah agenda berteologi
yang sangat mendasar, yang harus disikapi oleh GPKB bersama Gereja-
gereja lain. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah niat dan usaha baik.
Namun usaha kontekstualisasi ini harus dikelola dengan baik, terencana dan
sistematis. Diperlukan studi-studi mendalam baik secara teologis, filosofis,
antropologis-sosiologis. Diperlukan komitmen dan kebijakan pastoral yang
kuat dari para pimpinan Gereja untuk menjadikan pendekatan kotekstualisasi
dalam pelayanan di tanah Borneo sebagai agenda pelayanan yang penting
bagi GPKB. Diperlukan pendekatan pastoral yang arif, mengigat bahwa
pandangan dikotomi negatif anatara agama dan budayayang terwarisi selama
setengah abad ini sudah telanjur diinternalisasi banyak pihak, baik para
pendeta, pelayan Gereja, kaum intelektual maupun jemaat awam. Diperlukan
keberanian untuk melakukaneksperimen iman dan budaya yang beresiko pro-
kontra di dalam Gereja, sehingga dibutuhkanjuga kecerdasan emosional dan
spritual untuk memanajemaninya dengan baik.
Pada bagian ini saya akan menyimpulkan tulisan ini dan sebagai bahan
refleksi teologis kontekstual dalam pelayanan di tanah Borneo ini. Ketika
refleksi teologis kotekstual ini diperhadapkan pada realitas GPKB yang
merayakan ulang tahun setengah abad penginjilan di tanah Borneo dan demi
menatap masa depan, tidak bisa tidak, GPKB akan mengahdapai ketegangan
antara “ortodoksi” (ajaran dokmatis) dan “ortopraksis” (tuntutan kongkrit
pelayanan). Agar keteganagantersebut dapat sedikit terdamaiakan,
barangkali cara pandang terhadap keyakinan agama harus diubah, dari agama
yang semata-mata memuat ajaran dan dogma yang eksklusif dan membatasi
menjadi agama sebagai pengalaman religius yang inklusif dan merangkul.
Secara etimologis, agama yang dituturkan dari kata religio, dalam bahasa
Latin merupakan perpaduan antara kata re dan legere. Secara harafiah,
perpaduan tersebut mengandung arti “mengumpulkan kembali, menggulung,
membicarakan, membaca, memeriksa sekali lagi, dan menimbang-nimbang”.
Atas dasar arti tersebut, agama mempunyai fungsi sebagai pengikat
persatuan. Dalam arti itu, dapat dikatakan bahwa agama tidak lain merupakan
fenomena budaya. Bahakan dalam realitasnya agama erat terkait dengan
kebudayaan, kendati tidak boleh disamaratakan dengan kebudayaan.
Paling tidak, dari pengalaman dan penghayatan, kita selalu mengalami bahwa
simbol-simbol agama kerap kali diambil dari kekayaan budaya masyarakat
terkait, baik dari segi bahasa, pakaian, bahakan tata peribadatan. Justru
karena itulah, kehadiran agama-agama mestinya mengangkat nilai-nilai
kebudayaan ke taraf yang menyelamatkan. Hal yang sama berlaku juga bagi
kehadiran dan keberadaan GPKB selama setengah abad di tanah Borneo dan
masa yang akan datang. Dalam arti itu, bila GPKB hadir dalam gerakan
budaya yang ada di tanah Borneo, niscaya GPKB tidak akan pernah hilang
dari peredaran. Sebaliknya, GPKB justru semakin mengakar kuat dalam
tanah subur religiositas dan kebudayaan di tanah Borneo, tumbuh sebagi
salah satu pohon keselamatan, yang akan mengasilkan buah penebusan
Kristus secara berlimpah.
4.Hamba Tuhan harus tahu dan benar-benar mengerti apa budaya atau
adat istiadat setempat, posisi budaya tersebut (konteksnya dimana)
dan tahu persis apa tujuannya juga apa resikonya jikalau budaya
tersebut dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya
sikap sinkritisme atau dualisme.