Anda di halaman 1dari 14

Sejarah Singkat Pekabaran Injil di Tanah Borneo dan Berdirinya

GPKB di Tanah Borneo.

Bagian ini saya akan memaparkan secara singkat bagaimana Injil masuk di
tanah Borneo dan juga saya akan memasukan sejarah singkat berdirinya
GPKB di tanah Borneo ini. Masuknya perkabaran Injil di tanah Borneo
terutama di Kota Pontianak dan sekitarnya pada tahun 1839, dimana badan
Zending ini berasal dari Amerika, yakni “American Board Of
Commissioners For Foreign Missions”. Namun apa yang mereka lakukan
tidak membawa hasil yang memuaskan. Kemudian pada tahun 1906,
perkabaran Injil dilakukan kembali, yakni perkabaran Injil Methodist (Board
Of Foreign Missions Of The Methodist Episcopal Church) dari Amerika.
Satu hal yang cukup mempengaruhi perkabaran Injil di tanah Borneo, bahwa
warga keturunan Tionghoa yang ada di Singapura, yakni mereka yang
sekolah di Theologia membantu pelayanan di Kalimantan Barat, dan
penginjilan yang dilakukan hanya khusus bagi orang-orang keturunan
Tionghoa di Pontianak dan sekitarnya. Badan-badan Zending lainnya yang
pernah melayani perkabaran Injil di Kalimantan Barat, antara lain Christian
Missionary Alliance (CMA) di Balai Sepuak dan Melawi, kelompok lain juga
dari Amerika seperti Go Ye Fellowaship, The Borneo Faith Missions, World
Wide Evangelization.[5] Misi Katolik adalah misi yang pertama masuk pada
masyarakat suku Dayak Kanayatn Tahun 1894 melalui Desa
Sejiram,Singkawang,[6] kemudian mendirikan pusat penginjilan dan
pendidikan di desa Nyerongkop. Selanjutnya dari Desa Nyerongkop
menjangkau seluruh wilayah Dayak Kanayatn antara lain Menjalin,
Karangan, Sompak, Pak Kumbang, Sidik (pedalaman Senakin),Pahauman,
dan Ngabang, berhasil menjangkau hampir seluruh wilayah Dayak
Kanayatn.Misi Protestan pertama adalah Region Beyon Mission Union
(RBMU), misi khusus untuk masyarakat pedalaman. Teologianya yang
mula-mula beraliran menonite yang banyak dipengaruhi oleh paham
anabaptis.[7] Menurut Sugit Zibeon, misi ini juga masuk lewat Desa Sejiram,
Singkawang tahun 1933. Penginjil wanita berkebangsaan Belanda bernama
Great van Eint membuka pos pelayanan pertama di desa Perigi Kecamatan
Darit, kepada suku Dayak Banyuke berbahasabanyadu’, sampai tahun 1954,
berhasil membawa lebih dari 3000 jiwa Dayak Kanayatn dan Banyuke
kepada Kristus. Kemudian pada tahun itu juga berbadan hukum, dengan
nama Gereja Persekutuan Pemberitaan Iman Kristus (GPPIK), (sekarang
Gereja Persekutuan Pemberitaan Injil Kristus), Pada tanggal 11 Agustus
1957 mendirikan Sekolah Alkitab Berea (SAB), (sekarang STT Berea).[8]

Menurut keterangan beberapa saksi hidup, diantaranya Salib,[9] penginjilan


oleh misi Katolik dan Protestan pada generasi pertama ini, padanan nama
“Pencipta,”atau “Yang Tertinggi” adalah nama Jubata.[10]Namun nama
Jubata akhirnya tergeser oleh nama Allah versi bahasa Indonesia, sejak
adanya Alkitab bahasa Indonesia, nama Jubata oleh para penginjil lokal
pertama dinyatakan sebagai ilah, tujuannya untuk membedakan diri dengan
masyarakat beragama suku yang dianggap animisme.

Kebangkitan lembaga adat yang didukung oleh tokoh-tokoh adat dan tokoh
masyarakat yang dimotori oleh intelektual Dayak (umumnya beragama
Katolik), dan publikasi media masa, khususnya Kalimantan
Review[11]memacu kebangkitan lembaga adat yang terorganisir secara
modern, di dalamnya terkait agama suku, semakin menumbuh suburkan
sinkritisme dengan alasan ‘adat’mendapatkan pembenaran. [12]

Menurut Bahari Sinju, gerakan mempertahankan integritas Dayak, termasuk


“bidang kebudayaan Dayak” yang mencakup bahasa, kesenian, adat
istiadatkepercayaan asli, dan lain-lain, terutama untuk menghadapi
pemikiran “Indonesiaisme” dan “globalisme”agar manusia Dayak tidak
tercabut dari akar budayanya. Perlu dipikirkan bagaimana supaya “ciri khas
Dayak” di gerejatetap dipertahankan, di gereja Dayak dipakai bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar, banyak suku-suku di Indonesia yang
menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar, kita harus berusaha
mempertahankan bahasa, ciri,dan identitas Dayak.[13]

Dengan demikian kita dapat menganggap bahwa pertentangan antara agama


suku dan kekeristenan antara lain disebabkan oleh bahasa,antara bahasa
Indonesia dan bahasa Dayak Kanayatn, antara nasionalisme dan kedaerahan.
Dan di bidang keagamaan menjadi pertentangan antara “Jubata” dengan
“Allah”dan antara “Alkitab” dengan “adat istiadat”. Menegaskan bahwa suku
Dayak Kanayatn memiliki kerinduan mendengar Injil dalam bahasa dan
budayanya sendiri yang belum disentuh oleh Injil,[14] Injil belum
dikontekstualkan secara tepat dalam bahasa asli dan budaya asli masyarakat
Dayak Kanayatn. Konsekwensi dari permasalahan tersebut adalah; metode
PI yang konfrontatif terhadap agama suku[15] perlu dirumuskan ulang,
strategi baru yang lebih tepat patut dipikirkan.

Sebagai umat kristiani kita patut mengucap syukur atas segala usaha yang
dilakukan pendahulu kita dalam memberitakan Injil sampai ke pelosok-
pelosok desa, keluar masuk hutan belantara bahkan sampai menggunakan
pesawat terbang karena sulitnya sarana transportasi dan komunikasi saat itu.
Mereka inilah yang patut kita banggakan sebagai pionir-pionir yang
membawa berita keselamatan, dan Injil di Kalimantan Barat.Namun sangat
disayangkan, walaupun sudah lebih dari setengah abad berita Injil masuk di
Kalimantan Barat ternyata visi dan misi mereka belum memberikan hasil
yang diharapkan. Hal ini ternyata disebabkan oleh system operasionalnya
yang hanya bersifat sementara dan pelayanan yang tidak kontekstual. Karena
luasnya daerah Kalimantan Barat perkabaran Injil dilakukan dari satu desa
ke desa yang lainnya dilakukan dalam waktu yang singkat atau sementara
dalam waktu tertentu, kemudian pindah lagi ke desa lainnya dan seterusnya
tanpa ada pembinaan dan pemeliharaan. Pada waktu tertentu mereka kembali
lagi ke tempat/desa semula, ternyata benih-benih yang mulai tumbuh hilang
lagi, dimana masyarakat yang semula sudah menerima berita Injil, kembali
lagi ke kepercayaan leluhur mereka/animisme.[16]

Hal ini dibuktikan oleh saudara-saudara kita anggota ABRI pada saat
penugasan di daerah perbatasan Kalimantan Barat dalam rangka penumpasan
gerombolan PGRS/PARAKO, di mana pada saat itu mereka membaur
dengan penduduk suku Dayak. Mereka sangat tertarik dengan lagu-lagu
rohani yang dinyanikan para anggota ABRI saat istirahat dan menyatakan
lagu-lagunya mereka pernah dengar dan sangat tertarik. Melihat kenyataan
ini, anggota ABRI yang beragama Kristen mulai kembali mengajarkan lagu-
lagu rohani sambil memberitakan Injil sesuai kemampuan atau
pengetahuannya. Kehadiran anggota ABRI ini membawa sukacita bagi
penduduk asli/suku Dayak di mana mereka ditugaskan, dan sangat
mengharapkan kahadiran mereka seterusnya.

Sekembalinya bertugas/masa penugasan di daerah selesai, berita suka cita ini,


yaitu kerinduan saudara-saudara kita di daerah/pedesaan disampaikan kepada
para hamba Tuhan perintis GPKB di kota Pontianak, dimana mereka ini
sebenarnya mempunyai tugas pokok sebagai aparat Negara (TNI, Polri,
AURI dan PNS).

Lahirnya Gereja Protestan Kalimantan Barat (GPKB)yang


dimanapada awalnya Gereja ini merupakan suatu persekutuan kecil, yang
sebagian besarnya adalah anggota TNI/Polri/Sipil beserta keluarganya, yang
saat itu jemaat berjumlah 20 KK atau sekitar 80 Jiwa dan mengadakan
ibadah/kebaktian di Aula RAI ASRU/ kompleks asrama Sudirman Pontianak
(asrama militer), sekarang ini, tempat tersebut telah menjadi kompleks
pertokoan “Nusa Indah” Pontianak. Penggunaan tempat ini atas izin tertulis
dari PANGDAM XII Tanjungpura. Komandan Distrik Militer 1207
Pontianak J.J Korah, untuk pembinaan rohani anggota ABRI dan
keluarganya. Persekutuan ini diadakan seminggu sekali dan dilayani oleh
Pdt. J.G.Liando yang pada saat itu menjabat sebagai KA. Roh.PROTDAM
XII Tanjungpura.
Para penggagas/pendiri gereja yang semuanya dari kaum awam, sebagai
manusia biasa penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Mereka menyadari
bahwa untuk mendirikan suatu lembaga/organisasi, perlu suatu perencanaan
yang matang dimana untuk mendirikan organisasi Gereja perlu adanya
tenaga Pendeta, tempat ibadah, dan dana penunjang. Memang melalui
banyak tantangan dan pergumulan. Namun rupanya Tuhan tahu motivasi dan
kerinduan mereka, Tuhan menjawab Doa dan kerinduan mereka, dengan
telah mengerakan hati seorang Ibu janda Kristen keturunan Tionghoa
bernama Ny. Hen Kim Moy, memberikan cuma-cuma tanah beserta
bangunan rumah diatasnya/tempat kediamannya (karena mereka semua
pindah ke Jakarta) untuk digunakansebagai tempat ibadah/Gereja, yaitu
terletak di Jl. Wa’ Serang No 81 Pontianak (sekarang berdiri Gereja Protestan
Kalimantan Barat (GPKB) “ELIM” Jl. Rajawali No 57 Pontianak).

Selanjutnya atas gagasan Pdt.Y.G. Liando, agar beberapa anggota jemaat


(Bpk T.N. Rotikan, Bpk Mendur, Bpk E.J. Lantu) menghubungi Pdt. Evert
Korengkeng yang pada saat itu sedang membantu pelayanan jemaat Go Ye
Fellowship di Meliau dan Sei Dekan dengan menyampaikan visi dan misinya
dan tenyata ditanggapi positif oleh beliau dan menyatakan kesediaannya
untuk melayani jemaat.

Atas dasar keyakinan Iman dengan telah tersedianya Hamba Tuhan pendeta
dan rumah tempat beribadah maka didirikanlah satu organisasi gereja, yang
secara resmi berdiri tanggal 10 Februari 1963, dengan nama Gereja Protestan
Kalimantan Barat (GPKB) dengan alamat Jl. Wa’ Serang No 81 Pontianak
dan sekarang ini menjadi Jl. Rajawali No 57 Pontianak. Teapat tanggal
tersebut di pasang plang Gereja Protestan Kalimantan Barat (GPKB)
Pontianak.

Saat Berdirinya, susunan pengurus Gereja terdiri dari : Badan Majelis Gereja
dan Badan Pengurus Gereja.Untuk mewujudkan Visi dan misi, GPKB
berdasarkan keyakinan iman, meletakan dasar Firman Tuhan yang terambil
dari perjanjian baru, yakni Roma 1:16-17 : “Aku tidak malu memberitkan
Injil, karena Injil adalah kuasa Allah......dstnya. dan dalam Alkitab
Terjemahan Baru, selengkapnya:

-“Sebab Aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil
adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya, pertama-
tama orang Yahudi tetap juga orang Yunani”.
-“Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah yang bertolak dari Iman dan
memimpin kepada Iman. Seperti ada tertulis orang benar akan hidup oleh
iman”.

Nats Firman Tuhan ini, saat itu juga tercantum dalam logo stempel/cap
Gereja ProtestanKalimantan Barat sampai sekarang ini. Sebagaimana telah
di ungkapkan dalam pendahuluan, bahwa GPKB didirikan bukanlah karena
hibah dari salah satu Zending/missie ataupun adanya sponsor dari luar, tapi
GPKB lahir oleh kerja dan kuasa Roh Kudus melalui para tokoh-
tokoh/perintis dan pencetus lahirnya GPKB, di mana segala usaha Daya dan
dana dengan segala pengorbanannya semuanya bersumber dari mereka
beserta jemaat yang ada pada saat itu.[17]

Setelah GPKB resmi berdiri lengkap dengan Badan Majelis Gereja dan
Pengurus Gereja, maka ditetapkan GPKB Pontianak, sebagai Pusat
Pengembangan perkabaran Injil sampai ke pelosok daerah Kalimantan Barat.
Majelis Gereja, tugasnya pemeliharaan dan pembinaan jemaat termasuk di
dalamnya pengembangan dan peningkatan jemaat (kualitatif dan kuantitatif)
di mulai dari Kota Pontianak dan sekitarnya. Pengurus Gereja, tugasnya
antara lain mengusahakan sarana dan prasarana bangunan Gereja secara fisik,
mengusahakan dana untuk penyempurnaan bangunan Gereja/rumah tempat
ibadah, demikian juga segala urusan organisasi baik baik dalam dan luar
pemerintahan ditangani oleh Pengurus Gereja.

C.Pendekatan Kontekstual dalam Pelayanan di Tanah Borneo.

Pelayanan adalah salah satu dari tiga panggilan orang Kristen, yaitu
bersekutu, bersaksi, dan melayani. Pelayanan yang kita lakukan adalah
pelayanan Kristiani, yakni pelayanan seperti yang dilakukan oleh Kristus
Yesus Sendiri. Karna itu tujuan pelayanan kita adalah “menjadikan” manusia
kembali sebagi “ciptaan baru” di dalam Kristus atau ada istilah yang sering
Pdt. Jokosamuel gunakan, yaitu memilihara keselamatan jemaat dan
memanusiakan manusia. Karena itu semua macam kegiatan pelayanan
Kristiani haruslah berdasarkan pelayanan Kristus dan dilakukan karna Dia.

Tugas penting dari konteks, bagaimanapun juga, tidak dapat diabaikan.


Ketika kita berbicara mengenai pelayanan mau tidak mau kita akan
mengusahakan pendekatan Kontekstual dalam pelayanan untuk mendaratkan
setiap pembinaan kita. Setiap cerita, tradisi, budaya, dan latarbelakang
kehidupan yang sangat konkret ini menujukan peran konteks atau situasi
hidup yang ada pada setiap objek pelayanan kita.
Teolog-teolog pembebasan juga telah menujukan bahwa setiap proses
berteologi selalu dipengaruhi oleh “lingkungan sosial” seseorang. Demikian
juga, para feminis memberi tekanan pada pentingnya untuk mengawali dari
pengalaman perempuan dan mengunakanya sebagai lensa penafsiran. Semua
konsep dari latarbelakang kehidupan, lingkungan sosial, dan pengalaman ini
memang berarti konteks di mana masyarakat itu hidup dan mengahayati
keparcayaan mereka.

Dengan cara yang sama, pelayanan di tanah Borneo memiliki pendekatan


kontekstual, seprti yang telah diuraikan di atas melalui Misi Katolik pertama
mengunakan padanan nama Sang Pencipta dengan istilah Jubata dalam
pekabaran Injil dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Disini jelas para
misiolog zaman dulu mengunakan pendekatan kontekstual untuk menjakau
jiwa-jiwa di tanah Borneo ini.

Kata "kontekstualisasi" telah ditambahkan pada perbendaharaan kata dalam


bidang misi dan teologi sejak diperkenalkan oleh Theological Education
Fund (TEF) pada tahun 1972.[18] Konteks pembicaraan tentang
kontekstualisasi dalam diskusi TEF adalah pendidikan teologi di negara-
negara dunia ketiga. Namun, para misiolog menyadari bahwa ide dari
kontekstualisasi itu sendiri sebenarnya sudah ada jauh sebelum TEF
bersidang, yaitu terdapat di Kitab Suci. Contohnya adalah inkarnasi Yesus
Kristus dan pendekatan Paulus pada waktu ia mengomunikasikan Injil
kepada orang bukan Yahudi (Kis. 17:16-34; 1 Kor. 9:19-23).

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila ada di antara para misiolog
yang beranggapan bahwa kontekstualisasi hanya merupakan istilah baru dari
istilah-istilah yang telah ada dan dipakai sebelumnya. Istilah-istilah itu
adalah indigenisasi, inkulturasi, akomodasi, dan adaptasi. Selain itu, para
misiolog dan teolog juga berbeda pendapat tentang apa yang perlu
dikontekstualisasikan. Apakah Alkitabnya, teologinya, atau berita Injilnya?
Mereka juga mendiskusikan tentang sejauh mana proses kontekstualisasi itu
boleh dilakukan. Apakah hanya isinya, bentuknya, atau keduanya? Oleh
karena itu, bagian ini akan menjabarkan pentingnya kontekstualisasi dan
aplikasi kontekstualisasi sebagai sebuah pendekatan dalam pelayanan di
tanah Borneo.

Pada umumnya, kontekstualisasi dilihat sebagai suatu istilah yang


memaparkan tentang suatu proses di mana berita tentang iman Kristen dibuat
menjadi relevan dan berarti bagi budaya yang menjadi penerima berita
tersebut. Para misiolog menegaskan bahwa kontekstualisasi bukan
sinkretisme, akomodasi, atau teologi situasional. Bagi mereka,
kontekstualisasi adalah teologi yang berorientasi pada Alkitab. Oleh karena
itu, pada bagian ini, arti dari sinkritisme, akomodasi, dan teologi situasional
akan dijelaskan supaya kita memiliki pengertian yang jelas tentang apa yang
tidak dimaksudkan dengan pengertian kontekstualisasi.

Pertama, sinkritisme. Sinkritisme adalah suatu proses di mana unsur-unsur


dari satu agama diintegrasikan ke dalam agama yang lain. Sebagai akibatnya,
ada perubahan yang fundamental dari agama tersebut. Dengan kata lain,
sinkretisme merupakan gabungan dari dua atau lebih kepercayaan yang
saling bertolak belakang sehingga bentuk gabungannya merupakan sebuah
hal yang baru. Kedua, akomodasi. Rupanya akomodasi memiliki pengertian
yang berbeda bagi orang yang berbeda. Bagi J. Calvin, firman Allah di
Alkitab merupakan penyataan Allah di mana melaluinya Ia telah
mengakomodasikan diri-Nya pada kapasitas manusia.[19] Sedangkan bagi
misiolog Katolik, akomodasi berarti adanya suatu proses pentransmisian
teologi Barat yang tidak berubah pada gereja-gereja Kristen di bagian dunia
yang lain. Tetapi kontekstualisasi tidak memiliki arti yang sama dengan
istilah akomodasi yang dipakai oleh Calvin, karena teologi kontekstual tidak
memiliki otoritas yang sama dengan Kitab Suci. Demikian pula
kontekstualisasi bukan akomodasi sebagaimana yang dimengerti dalam
konteks misiologi Katolik, karena tujuan dari kontekstualisasi adalah untuk
menghentikan jual beli teologi Barat. Karena itu, J. H. Bavinck menolak
istilah akomodasi sebab menurutnya hal itu merupakan penyangkalan dari
akibat dosa pada umat manusia secara keseluruhan. Baginya, akomodasi
merupakan usaha untuk mengkontekstualisasikan Injil dengan mengabaikan
fakta bahwa budaya manusia telah dicemari oleh dosa. Ketiga, teologi
situasional. Bong Rin Ro dan C. Nunez dkk.[20], yang adalah teolog-teolog
yang berasal dari dunia ketiga, tidak setuju dengan pendekatan teologi ini.
Mereka percaya bahwa konteks sosial dapat berubah dan arti dari teks
Alkitab tidak boleh ditentukan oleh konteks sosial. Sebaliknya, para teolog
pembebasan berbeda pendapat dengan kedua teolog di atas. Mereka
mengatakan bahwa teologi harus bertitik tolak dari konteks sosial.
Penderitaan-penderitaan dari manusia yang tersingkir dalam masyarakat,
orang-orang yang tertindas, dan orang miskin merupakan sumber autentik
untuk mengerti kebenaran kristiani. Para teolog pembebasan meyakini bahwa
gereja dan dunia tidak boleh terpisah. Mereka menyatakan bahwa gereja
harus membiarkan dirinya "didiami dan diinjili oleh dunia". Hal ini berarti
gereja harus selaras dengan dunia. Pendapat inilah yang ditentang oleh F.
Schaeffer[21] dan teolog evangelikal lainnya. Karena menurut mereka, Kitab
Suci adalah hakim bagi budaya dan bukan sebaliknya.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kontekstualisasi bukanlah
sinkritisme, akomodasi, atau teologi situasional. Kontekstualisasi adalah
proses yang terus berlangsung dalam upaya menjadikan Injil diterima dan
dimengerti oleh si penerima dalam budaya mereka yang dinamis, baik secara
politik, sosial, dan ekonomi. Kontekstualisasi merupakan usaha untuk
menjawab pertanyaan yang benar dalam budaya tertentu sesuai dengan Kitab
Suci tanpa adanya pencemaran dari kebenaran itu sendiri. Bersamaan dengan
itu, harus diakui bahwa iman Kristen (demikian pula kontekstualisasi) tidak
dapat dipisahkan dari budaya. Sebab itu sangatlah penting bagi para misiolog
dan teolog untuk mengerti bagaimana relasi budaya dengan Kitab Suci
sebelum mereka mempraktikkan kontekstualisasi dalam pelayanan. Di tanah
Borneo budaya yang menojol adalah budaya Dayak yang dimana masyarakat
mayoritas menghidup adat budaya dan tradisi mereka.

Suku Dayak adalah kelompok etnis asli di Tanah Borneo, mayoritas


beragama Kristen Katolik dan Protestan. Dilihat dari pengelompokan bahasa
yang dituturkan, suku Dayak terbesar di Kalimantan Barat adalah sukuDayak
Kanayatn, berbahasa banana’ atau ahe berjumlah kira-kira 500.000-600.000
jiwa.[22] Umumnya beragama Katolik dan Protestan, yang beragama suku,
(agama asli),[23] diperkirakan sekitar3%. Umat Katolik sebagian besar
masih mempraktekkan agama suku, demikian pula dengan kaum Protestan.
Penolakan oleh kelompok kecil seringkali mengakibatkan penjatuhan
hukuman adat kepada yang bersangkutan, seperti yang terjadi di desa Saleh
Bakabat, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak.

Saladi, salah seorang penginjil GKII di saleh Bakabat….minta


perlindungan pemerintah untuk beribadat. Menurut timanggong
Maniamas Miden, Saladi jengkel karena dalam suatu perkara hukum
adat ia kalah…..beberapa tahun yang lalu di desa tersebut
dilaksanakan upacara adat mereka melakukan pantangan, tidak boleh
membunuh binatang, dilarang menebang pohon bergetah, dan aneka
pantangan lainnya. “adat seperti itu berhala, tidak ada gunanya” ujar
Saladi [24]

Bagi masyarakat suku Dayak Kanayatn, antara agama suku dan adat adalah
suatu kesatuan yang keberadaannya harus dipertahankan dan diakui di
samping agama resmi.[25] Agama suku dikelompokkan ke dalam adat dan
menjadi substansi dari adat, ketika lembaga adat diberdayakan, agama suku
terikut di dalamnya.[26] Hal itu menyulitkan posisi gereja, terutama di
daerah-daerah yang pemeluk Protestannya sedikit. Saya berpendapat, untuk
menyikapi kasus-kasus tersebut diperlukan penelitian ilmiah mengenai latar
belakang pemikiran masyarakat suku tersebut secara komprehensif, terutama
mengenai pokok-pokok pemikiran keagamaannya, hasilnya dapat dipakai
untuk bahan kajian sebagai jalan masuk mengkontektualkan pekabaran Injil.
Karena itu saya memulaitulisan ini dengan pendekatan pelayanan yang
kotektualisasi di Tanah Borneo secara khusus mengambil sample pada suku
Dayak yang ada di Tanah Borneo yang serat dengan budaya, adat, dan tradisi.

Kesadaran akan perlunya pendekatan kontekstualisasi dalam Gereja telah


berkembang lebih kurang tiga dekade terakhir ini. Setelah beberapa abad
Gereja bersikap neatif, bahakan menindas terhadap kebudayaan dan agama
suku (karna konsep teologis“Kristus melawan agama-agama”), belakangan
Gereja mulai melakukan “pertobatan” teologis dan kultural dengan
menyadari bahwa kebudayaan dan agama suku adalah subjek-subjek
kebudayaan yang harus dihormati, sama seperti menghormati martabat dan
kebebasan manusia. Kebudayaan memiliki begitu banyak kekayaan kearifan
lokal, yang selama berabad-abad, jauh sebelum kekeristenan telah menjadi
pedoman hidup, orientasi nilai-nilai dan mampu membangunan kestabilan
sosial dengan sesama dan alam semesta. Juga kebudayaan menyedikan
wahana spritual untuk berhubhungan dengan Yang Lain sebagai sosok Ilahi,
yang berdampak langsung pada kesejatraan hidup sehari-hari. Oleh karena
itu terlalu arogan bila warisan tradisi kebudayaan dan agama lokal yang
begitu arif-luhur dan kaya itu dikafirkan begitu saja oleh Gereja (khususnya
para misinonaris awal). Kini metode telah bergeser, dan Gereja sedang
memasuki sebuah gerakan budaya untuk mencari “Kristus dari agama-
agama”, Kristus yang meghadirkan diri rumusan dogma-dogma dan siasat
Gereja, dalam berbagai ekspresi kultural luhur-mulia dari berebagai warisan
teradisi kebudayaan lokal.

Sikap positif dan upaya membangun interaksi sehat dan konstuktif terhadap
kebudayaan serta agama asli itu diungkapkan dalam kontekstualisasi.
Kontekstualisasi merupakan wujud nyata hidup dan pesan kristiani dalam
suatu lingkungan budaya yang ada. Pengalaman kristiani tidak hanya
diungkapkan dengan unsur-unsur dari kebudayaan yang bersangkutan,
kontekstualisasi bukanlah sekedar adaptasi lahiriah dangkal. Pengalamn
kristiani meresapi kebudayaan sedemikian rupa, sehingga perubahan dan
pembaharuan terjadi dan ciptaan baru dilahirkan. Untuk itu harus disadari
bahwa nilai-nilai dan praktek-praktek keagamaan yang tradisional sejauh
mencantumkan kebaikan dan kebanaran merupakan bentuk-bentuk konkret
“persiapan Injil” bangsa yang bersangkutan.Ini dapat dikatakan sebagi
bentuk “Perjanjian Lama” di luar Israel, dan dapat menjadi tanah yang subur
bagi tumbuhnya benih-benih iman kepada Yesus Kristus.[27]
Yang bisa dipikirkan sebagai dasar usaha kontektualisasi adalah inkarnasi
(penjelmaan Allah daging/manusia di dalam Yesus Kristus, yang lahir, besar
dan hidup melayani dalam konteks budaya lokal tertentu, yakni budaya Ibrani
dan agama Yahudi). Namun sebagaimana diingatakan Banawiratma,
pendasaran kontekstualisasi tidak boleh berhenti pada inkarnasi, sebab pokok
iman Kristiani adalah Yesus Kristus yang disalib, bangkit dan
mengaruniakan Roh Kudus kepada kita. Roh Kudus inilah yang bekerja
dalam proses kontekstualisasi, membuka mata dan hati kita untuk melihat
kehadiran Yesus Kristus dalam kebudayaan-kebudayaan.[28]

Pada setengah abad usia Pembinaan Iman di tanah Borneo atau masyarakat
Dayak Kanayatn ini, kontekstualisasi merupakan sebuah agenda berteologi
yang sangat mendasar, yang harus disikapi oleh GPKB bersama Gereja-
gereja lain. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah niat dan usaha baik.
Namun usaha kontekstualisasi ini harus dikelola dengan baik, terencana dan
sistematis. Diperlukan studi-studi mendalam baik secara teologis, filosofis,
antropologis-sosiologis. Diperlukan komitmen dan kebijakan pastoral yang
kuat dari para pimpinan Gereja untuk menjadikan pendekatan kotekstualisasi
dalam pelayanan di tanah Borneo sebagai agenda pelayanan yang penting
bagi GPKB. Diperlukan pendekatan pastoral yang arif, mengigat bahwa
pandangan dikotomi negatif anatara agama dan budayayang terwarisi selama
setengah abad ini sudah telanjur diinternalisasi banyak pihak, baik para
pendeta, pelayan Gereja, kaum intelektual maupun jemaat awam. Diperlukan
keberanian untuk melakukaneksperimen iman dan budaya yang beresiko pro-
kontra di dalam Gereja, sehingga dibutuhkanjuga kecerdasan emosional dan
spritual untuk memanajemaninya dengan baik.

D.Kesimpulan, Refleksi Teologis Kontekstual dan Saran.

Pada bagian ini saya akan menyimpulkan tulisan ini dan sebagai bahan
refleksi teologis kontekstual dalam pelayanan di tanah Borneo ini. Ketika
refleksi teologis kotekstual ini diperhadapkan pada realitas GPKB yang
merayakan ulang tahun setengah abad penginjilan di tanah Borneo dan demi
menatap masa depan, tidak bisa tidak, GPKB akan mengahdapai ketegangan
antara “ortodoksi” (ajaran dokmatis) dan “ortopraksis” (tuntutan kongkrit
pelayanan). Agar keteganagantersebut dapat sedikit terdamaiakan,
barangkali cara pandang terhadap keyakinan agama harus diubah, dari agama
yang semata-mata memuat ajaran dan dogma yang eksklusif dan membatasi
menjadi agama sebagai pengalaman religius yang inklusif dan merangkul.

Secara etimologis, agama yang dituturkan dari kata religio, dalam bahasa
Latin merupakan perpaduan antara kata re dan legere. Secara harafiah,
perpaduan tersebut mengandung arti “mengumpulkan kembali, menggulung,
membicarakan, membaca, memeriksa sekali lagi, dan menimbang-nimbang”.
Atas dasar arti tersebut, agama mempunyai fungsi sebagai pengikat
persatuan. Dalam arti itu, dapat dikatakan bahwa agama tidak lain merupakan
fenomena budaya. Bahakan dalam realitasnya agama erat terkait dengan
kebudayaan, kendati tidak boleh disamaratakan dengan kebudayaan.

Paling tidak, dari pengalaman dan penghayatan, kita selalu mengalami bahwa
simbol-simbol agama kerap kali diambil dari kekayaan budaya masyarakat
terkait, baik dari segi bahasa, pakaian, bahakan tata peribadatan. Justru
karena itulah, kehadiran agama-agama mestinya mengangkat nilai-nilai
kebudayaan ke taraf yang menyelamatkan. Hal yang sama berlaku juga bagi
kehadiran dan keberadaan GPKB selama setengah abad di tanah Borneo dan
masa yang akan datang. Dalam arti itu, bila GPKB hadir dalam gerakan
budaya yang ada di tanah Borneo, niscaya GPKB tidak akan pernah hilang
dari peredaran. Sebaliknya, GPKB justru semakin mengakar kuat dalam
tanah subur religiositas dan kebudayaan di tanah Borneo, tumbuh sebagi
salah satu pohon keselamatan, yang akan mengasilkan buah penebusan
Kristus secara berlimpah.

Memang, kehadiran dan kebaradaan GPKB dengan kebudayaan di tanah


Borneo secara khusus di daerah-daerah yang mayoritas kebudayaan Dayak
Kanayatn telah mengakibatkan benturan-benturan nilai-nilai yang
menumbuhkan sikap misioner yang kuat di satu pihak; namun di lain pihak,
identitas GPKB (sebagai salah satu identitas Kristianitas) mulai ditantang
untuk menerima pengaruh kultural kebudayaan di tanah Borneo. Benturan ini
menimbulkan kesan bahwa agama toh tidak serta merta identik dengan
kebudayaan (misalnya kekeristenan tidak identik dengan Eropa/Barat,
GKKB tidak identik dengan Cina, HKBP tidak identik dengan Batak, GPKB
tidak indentik dengan Dayak). Pesan iman Kristianitas selalu bersifat
universal mencakup semua orang, kendati ekspresinya terikat oleh
kebudayaan lokal.

Dalam konteks GPKB, Kristianitas di tanah Borneo memang harus berakar


pada kebudayaan di tanah Borneo dan bersifat enik yang ada di tanah Borneo,
tetapi tidak boleh diekstremkan bahwa begitulah pokok iman GPKB. Sebagi
salah satu institusi religius (agama), GPKB harus mengembangkan sikap
dasar bahwa agama (dalam GPKB) adalah suatu living faith dan living
tradion. Justru karena GPKB merupakan dinamika iman yang hidup dan
tradisi yang hidup, maka GPKB harus terus-menrus menyesuaikan diri dalam
perkembangan zaman, tanpa harus larut di dalamnya. Dengan demikian sikap
atau tindakan yang harus dilakukan oleh seorang hamba Tuhan, Gereja dan
Masyarakat Dayak Kanayatn, karna mayoritas anggota Jemaat GPKB di
daerah adalah masyarakat Dayak Kanayatnmaka dengan ini saya akan
memberikan saran untuk mensistimatiskan setiap anjuran yang ada dalam
tulisan ini untuk bisa digunakan sebagai bahan pelayanan kontekstual di
tanah Borneo, saran tersbuat adalah sebagai berikut:

Kepada Hamba Tuhan yang melayani di masayarakat Dayak Kanayatn:

1.Hamba Tuhan harus dapat mempelajari budaya, adat istiadat dan


konsep berpikir masyarakat setempat sehingga meminimalis bahkan
menghindari terjadinya kesalahpahaman dan mengetahui tindakan
yang tepat dalam menjelaskan tentang simbol adat sehingga tidak
bertentangan dengan iman Kristiani.

2.Hamba Tuhan harus mengubah pandangan hidup/worldview


masyarakat Dayak Kanayatn melalui khotbah yang berhubungan
dengan kebudayaan, sehingga memberikan jalan kepada injil untuk
dapat memberikan arti yang baru tanpa mengubah bentuk-
bentukbudaya (simbol) itu sendiri.

3.Hamba Tuhan harus dapat mengkontekstualisasikan budaya


setempat ke dalam terang injil dengan cara melakukan pendekatan
kontekstual (memiliki pemahaman atau memahami simbol-simbol
adat dan menjelaskannya menurut iman kristen kepada masyarakat
Dayak Kanayatn).

4.Hamba Tuhan harus tahu dan benar-benar mengerti apa budaya atau
adat istiadat setempat, posisi budaya tersebut (konteksnya dimana)
dan tahu persis apa tujuannya juga apa resikonya jikalau budaya
tersebut dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya
sikap sinkritisme atau dualisme.

5.Belajar untuk memahami budaya setempat melalui keterlibatan


langsung dalam kehidupan sehari-hari atau melalui perencana yang
sistematis guna menemukan simpul yang tepat bagi pelayanan
pastoral yang kontekstual.

1. Tidak memberikan penilaian terlalu dini sebelum mengetahui dengan pasti


bahwa budaya tersebut bertentangan denang nili-nilai Injili. selidiki lebih
dalam dan berlaku fair terhadap budaya lokal.
2. Memanfaatkan kepercayaan kepada Jubata dalam masyarakat Dayak
Kanayatn, untuk membawa jemaat/umatlebih menghayati iman dalam
konteks budayanya.

Kepada Gereja yang ada di lingkungan masyarakat Dayak Kanayatn:

1.Gereja dapat memahami dan membedakan mana adat istiadat,


budaya adat dan kepercayaan adat.

2.Gereja tidak anti terhadap adat istiadat setempat.

3.Gereja harus menghargai lingkungan, tidak mencela dan


meremehkan adat istiadat agar terang injil dapat diterima oleh
masyarakat Dayak Kanayatn.

4.Gereja harus mengetahui apa yang dibutuhkan jemaat baik secara


jasmani maupun secara rohani.

1. Gereja hendaknya mengkaji ulang sikap gereja terhadap kepercayaan


masyarakat Dayak Kanayatn, yang mengatakan Jubata sebagai padadan kata
Allah itu Berhala, karena jelassekali bahwa kepercayaan kepeda Jubata tidak
bertentangan Kriteria wahyu umum yang diakui oleh gereja.
2. Meneliti lebihdalam aspek-aspek kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn
melalui penelitian yang terencana dan sistematis, untuk menemukantitik
simpul yang kokoh guna megembangkan pelayanan pastoral yang
kontekstual.
3. Mengadopsi atau mensintesiskan pengungkapan iman melaluiliturgi dalam
ibadah jemaat dengan nilai-nilai budaya yang dapat dikuduskan oleh Injil.

Kepada Masyarakat Dayak Kanayatn:

1.Masyarakat Dayak Kanayatn harus tahu, memahami dan mengerti


adat itu sendiri sehingga mengetahui makna yang terkandung
didalamnya.

2.Masyarakat Dayak Kanayatn dapat membedakan adat mana yang


bertentangan dan adat mana yang tidak bertentangan dengan firman
Tuhan.

3.Masyarakat Dayak Kanayatn yang sudah menjadi kristen boleh


menggunakan simbol-simbol yang tidak bertentangan dengan
kebenaran injil dan tidak lagi mengikuti dan menggunakan adat yang
bertentangan dengan firman Tuhan.

4.Masyarakat Dayak Kanayatn harus peduli terhadap budaya tersebut


dan berusaha mengetahui makna yang disimbolkan didalamnya.

5.Masyarakat Dayak kristen harus dapat mempertahankan


pengudusan dalam kebudayaan, dengan berusaha menyeleksi
kebudayaan itu dari hal-hal yang bertentangan dengan firman Tuhan
serta menjaganya dari pengaruh iblis dan memperbaharuinya.

6.Masyarakat Dayak Kanayatn harus tahu, memahami dan mengerti


kosmologi atau pandangan hidup yang diturunkan secara turun oleh
nenek moyangitu, sehingga mengetahui makna yang terkandung
didalamnya.

7.Masyarakat Dayak Kanayatn haruslah berusaha semaksimal mukin


untuk tidak mempertahankan kosmologi yang bertentangan dengan
yang Ideal (firman Tuhan) dan mengarahkan pandangan hidup yang
terdisional ke arah yang modern dan sebaliknya harus
mempertahankan konsep kosmologi yang sesuai dengan yang Ideal

Anda mungkin juga menyukai