Anda di halaman 1dari 271

1

"Alexis! Come on! We have to go now!" panggil


ayahku dari lantai bawah. Aku mendesah dan
meggendong ranselku lalu berjalan ke arah pintu.
Aku berhenti sebentar di depan pintu dan
memandang kamar yang telah ku tempati selama
17 tahun kehidupanku untuk terakhir
kalinya. Aku mendesah lagi dan menutup pelan
pintu di belakangku lalu turun ke bawah. "mom do
we have to go? I love New York" rengek Alexa pada
ibuku. Aku mendiamkan mereka dan berjalan
lurus ke taxi yang akan membawa kami sekeluarga
ke rumah baru kami.

***

"we're here!" seru ayahku meletakkan koper- koper


kami di dalam rumah. Aku masuk di
belakangnya memandang sekilas ke tempat-tinggal
baruku. Tidak buruk. "kids kamar kamar kalian di

1
atas. Alexis kamarmu pintunya warna biru tua.
Alexa punyamu yang kuning" jelas ibuku. Aku
tersenyum dan mengangguk padanya lalu berjalan
gontai dengan tampang lesu ke lantai atas. Alexa
menegikutiku di belakang dengan langkah dan
ekspresi yang sama. Terdapat tiga pintu di lantai
atas. Satu berwarna biru pucat dan dua lainnya
berwarna soft yellow dan putih gading. Mungkin
yang putih itu kamar mandi. Aku segera masuk ke
pintu biru yaitu kamarku. Aku meletakkan koper-
koperku didalam lalu duduk di kasur. Aku
memandang sekeliling kamar yang dipenuhi warna
biru, warna kesukaanku. Sepertinya orang tuaku
berusaha membuatku nyaman di sini. Di sebelah
barat kamar berdiri lemari besar bernuansa putih-
biru. Di sebelah timur kamar terdapat jendela dan
meja belajar di bawahnya. Aku melangkah ke
sebelah utara kamarku ke arah pintu kaca. Aku
membukanya dan berjalan keluar ke balkon.
Memang tidak terlalu buruk. Aku duduk di ayunan

2
dari kayu di pojok kanan balkon lalu menoleh ke
kanan. Wow jarak antara balkonku dan balkon
rumah sebelah sangat dekat. Nyaris tidak bersekat
malah. Apalagi dengan pagar yang membatasiku
hanya sepinggang, aku bisa dengan leluasa
memanjat dan menakut-nakuti orang yang tiggal di
kamar sebelah. Aku terkekeh. Lalu bangkit dan
masuk kembali ke kamar. Setelah merapihkan
barang-barang dan menggeser koper dan tas-tasku
ke kolong tempat tidur, aku berniat ke kamar
Alexa. Aku langsung masuk ke kamarnya tanpa
mengetuk dan melihat dia berbaring di
kasurnya memunggungiku. Kamarnya penuh
warna kuning, warna kesukaannya. Jelas sekali
orang tuaku ingin membuatku dan Alexa betah
disini. "Lex? Kau tidur?" Tanyaku dari pintu. "iya.
Pergi sana" gumamnya dari balik bantal. Aku
memutar bola mata dan masuk ke dalam. Alexa
berbalik dan duduk. Matanya sembab. Whoa dia
habis menangis rupanya. Aku duduk di tepi

3
kasurnya. "Lex, semua ak..." "jangan kau berani
bilang 'semua akan baik-baik saja' padaku Alexis"
potongnya melotot padaku. Aku mengangkat bahu.
"baiklah. Semua kacau Lex. Semua benar-benar
kacau. Kita tidak akan bisa keluar dari kota ini.
Sementara anak-anak lain hidup bahagia, kita akan
mengering dan tidak bisa keluar dari belenggu
kematian ini" kataku asal. Alexa memukul kepalaku
dengan bantalnya. "kau sinting". "tapi semua akan
baik-baik saja Lexa. Kau dan aku akan memulai
hidup baru dan beradaptasi dengan cepat. Lihat,
kota ini tidak seburuk itu kan? Lagipula, aku akan
selalu ada untukmu. Percayalah padaku" ujarku
menenangkannya. Dia mendengus "bagaimana aku
bisa percaya padamu kalau merawat tumbuhan
kacang hijau saja kau tidak bisa" ledeknya. Aku
cemberut. "baiklah. Jangan percaya padaku. Lebih
baik kau menangis sampai kota ini tenggelam oleh
air matamu" aku melipat tanganku di dada. Dia
memutar bola matanya. "tapi...kau tidak sedih

4
Alexis? Maksudku, aku saja yang baru sebelas tahun
tinggal di New York, pindah rasanya seperti sengaja
melempar suamiku ke tengah laut untuk dimakan
hiu" rengeknya. Aku terkekeh mendengar
perumpamaannya. Dia melanjutkan. "tapi kau? Kau
sudah tujuh belas tahun hidup di New York! Tujuh
belas tahun Alexis! Tapi kau merasa seperti ini
hanya liburan sebentar ke Kanada". "kau berlebihan
Lexa. Kau tahu itu" gumamku, memutar bola
mataku. Alexa nyengir. "tapi tidakkah kau sedih?"
tanyanya, ingin tahu. "jelas aku sedih. Aku juga
punya teman-teman dan kenangan di New York.
Pikirmu aku ini apa? Gadis menggelikan yang
dengan mudahnya melupakan orang-orang yang
ada di hidupnya?" jawabku mendramatisir. Alexa
memukulku lagi. "kau juga berlebihan Lexis. Dan
kau juga tahu itu" dia mengutipku. Aku mengacak-
ngacaknya rambutnya lalu memeluknya. " semua
akan baik-baik saja. Percayalah padaku" bisikku

5
mengelu-ngelus punggungnya pelan. Alexa
mengangguk dan membalas pelukanku.

***

Sinar matahari menembus jendela membuatku


mengerang dan perlahan membuka mata. Aku
menoleh ke jam di sebelah kasurku. Waktunya
bangun. Aku bangkit dan bergegas ke kamar
mandi. Hari ini adalah hari pertama aku masuk
sekolah di Stratford. Aku sangat, sangat tidak sabar.
Oh siapa yang aku bodohi?. Aku sebenarnya malas
dan ketakutan. Aku takut aku tidak diterima disini.
Aku tahu aku tahu, aku yang mengatakan kami
akan baik-baik saja pada Alexa dan sekarang aku
malah merasa kebalikannya. Tapi hey, jangan
salahkan aku. Aku yang tertua disini, jelas aku akan
menenangkan adikku. Aku keluar dari kamar
mandi nyaris mendesah frustasi sebelum kulihat
Lexa berdiri di depan pintu bertolak pinggang.
Kutelan lagi desah frustasiku dan tersenyum riang

6
padanya. "jangan pura-pura Alexis aku tahu kau
ketakutan" sinisnya, menutup pintu
dibelakangku. "kau juga sama takutnya denganku"
gumamku, kembali ke kamar.

***

"namaku Alexis Johnson. Senang bertemu kalian


semua dan kuharap kalian bisa membantuku". Aku
memperkenalkan diri di depan kelas
Matematikaku. "bagus. Kau bisa duduk di sebelah
Ms. James". Mr. Nick-guru Matematikaku-
menunjuk bangku kosong di sebelah gadis
berambut pirang yang kelihatannya ramah. Aku
tersenyum padanya lalu beranjak ke bangku
itu. "hai aku Brittany. Kau bisa memanggilku
Bree(read: bri). Kuharap kau betah disini". Gadis
berambut pirang itu menyodorkan tangannya
begitu aku duduk di bangku di sebalahnya. "Lexis.
Senang berkenalan denganmu Bree". Aku
tersenyum dan menyambut tangannya. Jelas orang

7
yang sangat ramah. Seharian aku berkeliling
sekolah ditemani Bree. Dia membuatku bertemu
hampir seluruh penduduk sekolah hanya dalam
waktu satu hari. Dia mengenalkanku pada
karyawan tata usaha, gerombolan Cheers, anggota
bisbol, hingga anak-anak kutu buku di sekolah.
Tampaknya Bree cukup populer. Tak heran.
Karena dia salah satu anggota Cheers yang cukup
cemerlang. Dan dia berhasil membujukku masuk
Cheers. Aku sedang berjalan melewati lapangan
bersama Bree, Ariana, Casey dan Samantha saat
sebuah bola basket menimpa kepalaku. Sial! Siapa
yang menimpukku?. Aku sempyongan memegangi
kepalaku. Seorang anak laki-laki berambut coklat
mengambil bolanya. Aku mendekatinya. "yang
benar sedikit kalau bermain bola" kataku,
memegang kepalaku. Anak itu bangkit dan
menatapku. Apa?. Aku saja atau dia memang
mandangku dengan tampang tidak suka?. Apa yang
salah denganku?. "perhatikan langkahmu kalau

8
berjalan" ketusnya. Aku terkesiap. Apa katanya?.
"kau bercanda? Kau yang harusnya perhatikan
kemana kau melempar bola. Tidak pernah main
basket ya?" balasku tak kalah sinis. Dia mendelik
lalu berbalik dan meninggalkanku. Ada apa
dengannya? Dia sinting atau apa?. Aku mendengus
dan ikut berbalik menghampiri teman-
temanku. "kau beruntung sekali terkena lemparan
Justin dan bisa mengobrol dengannya". Samantha
tampak terpukau. Aku menatapnya tidak percaya.
Otaknya terbentur ya?. Mana ada tertimpuk bola
menjadi sebuah keberuntungan?. "yang benar saja
Sam?". Aku menggeleng-gelengkan kepala. "kau tak
apa Lexis?. Justin memang dingin terhadap wanita.
Tapi tak kusangka dia akan begitu padamu. Kau
apakan dia?" tanya Ari. Aku mengangkat bahu dan
kembali melangkah. Jadi anak sombong tadi
bernama Justin?. Aku tersenyum licik. Awas kau
Justin.

9
***

Malamnya, aku sedang mengeringkan rambutku


sambil melamun ketika Alexa tiba-tiba berdiri di
sebelahku. "kau sedang apa?" tanyanya. Aku
terlonjak. Dia tertawa terbahak-bahak. Aku
memutar bola mataku lalu menepuk
kepalanya. "aku kaget tahu" desisku, kembali ke
aktifitasku. "kau melamun? Kau melamunkan apa?"
tanyanya lagi sambil menghilangkan sisa-sisa
tawanya. "tak ada. Bagaimana sekolahmu?". Aku
meletakkan pengeringku lalu perlahan-lahan
menyisir rambutku. "lumayan. Tidak. Bagus malah.
Seperti katamu, semua orang menerimaku dengan
baik. Tampaknya aku akan beradaptasi dengan
cepat" jawabnya tersenyum riang lalu keluar ke
balkonku. Aku mengikutinya. Kami sama-sama
duduk di ayunan kayu. "kau bagaimana?". Dia balik
tanya. Kami duduk bersebelahan sama-sama
menatap lurus ke depan. "sama. Hampir semua

10
orang baik. Mereka juga menerimaku dengan
senang" jawabku, tetap menatap lurus ke depan.
Tak akan ku ceritakan padanya tentang insidenku
dengan anak sombong bernama... Siapa namanya?
John? Ah masa bodohlah. "hampir? Maksudmu...
Ada yang tidak senang?". Alexa menggeser posisinya
menghadapku sekarang.Sial. Kenapa dia harus
menjadi teliti di saat-saat seperti ini?. Kenapa juga
aku bilang 'hampir'? Bukannya 'semua' saja. "tidak.
Memangnya aku bilang begitu?". Aku menoleh
padanya dan memasang muka polos sebisaku. Dia
mengerucutkan bibirnya menatapku tajam. Tidak
yakin akan perkataanku. Tuhan, anak ini bisa
sangat menyusahkan kadang-kadang. "apa?"
tanyaku, risih dipandangi begitu. Alexa
membetulkan posisinya ke posisi semula. "kau
bohong padaku" katanya singkat lalu bangkit dan
meninggalkanku. Aku mendesah. Anak itu... Jeli
sekali matanya. Aku tak mungkin memberitahunya
tentangku dan anak sombong tadi siang, sementara

11
dia mendapat penerimaan yang baik. Aku
mendesah lagi. Dasar bocah Jordan sialan.

***

Aku bangun sedikit lebih pagi hari ini. Aku


melangkah ke pintu balkon dan membukanya.Aku
berjalan keluar lalu menghirup nafas dalam-dalam.
Aku seperti melihat seseorang di balkon sebelah.
Well aku tidak lihat mukanya karna dia
menghilang masuk ke dalam. Aku mengangkat
bahu lalu kembali ke kemarku. "aku berangkat".
Aku berjalan keluar dari rumahku dan berbelok ke
kanan. Ah tali sepatuku terlepas. Aku berjongkok
untuk membetulkannya. Tiba-tiba seseorang
menabrakku yang membuatku tersungkur. Aku
mengerang kesakitan. "kau tidak apa-apa?". Dari
suaranya, sepertinya yang menabrakku anak laki-
laki. Dia menyodorkan tangan untuk membantuku
berdiri. Aku mendongak sambil tersenyum. "aku
baik-ba... K-kau?!". Aku menunjuknya sambil

12
melotot. Anak itu mendengus lalu menarik
tangannya kembali dan memasukannya ke saku
celananya. Ya. Dia yang menimpuk kepalaku
dengan bola basket kemarin. Si James? Ah entahlah
siapa namanya. Dan sekarang dia menabrakku.
Sebenarnya, apa maunya anak ini? Aku berdiri
sambil tetap menunjuknya. "apa yang kau lakukan
disini?". Anak itu menatapku dengan tatapan yang
sama dengan kemarin. "kau mengikutiku ya?"
tanyaku. Anak itu mendelik. "yang benar saja? Tahu
namamu saja tidak" jawabnya. "lalu kenapa kau ada
di sini? Di depan rumahku?" "itu rumahku". Anak
itu menunjuk rumah di sebelah kanan
rumahku. Aku menganga. Apa?!. Dia tetanggaku?.
Masa-masa bahagiaku di Stratford berakhir
sudah. "kau mengenal anak aneh ini kak?" tanya
seseorang yang mirip dengan bocah sombong di
hadapanku. Dia pasti adiknya. Anak laki-laki yang
mirip dengan si Jordan itu memakai seragam yang
sama dengan sekolah Alexa dan berdiri di samping

13
kakaknya. Dia juga menatapku dengan tatapan
yang sama dengan kakaknya. Benar-benar versi
kecil dari anak sombobg itu. "hey! Siapa yang kau
panggil aneh?" tanyaku. Mereka sama-sama
mendengus lalu pergi meninggalkanku. Aku
terkesiap. Kakak dan adik sama saja. Dasar bocah-
bocah sombong!

***

Aku masuk ke kelas Sejarahku dengan perasaan


yang tidak seburuk tadi pagi. Aku sekelas dengan
Ari-panggilan Ariana- dan Casey di kelas ini. Aku
melangkah ke dalam kelas dan seketika terkesiap
ketika kulihat anak sombong itu sedang membaca
di mejanya. Hari masih sangat pagi. Baru aku dan
anak itu di kelas. Dia mendongak sebentar lalu
langsung kembali membaca buku yang daritadi dia
baca. Aku mendengus lalu duduk sejauh mungkin
darinya. Sepagian ini aku hanya melotot padanya.
Terkadang dia sadar dan balas menatapku dengan

14
tatapan yang sama lalu langsung membuang
muka. Tak lama, Ari dan Casey datang dan duduk
di dekatku. "hi Lexis kau datang cukup pagi hari
ini" sapa Casey, begitu masuk ke kelas lalu duduk
di depanku. Kulihat anak sombong itu melihat ke
arahku sekilas. "kau hanya berdua dengan Justin
dari tadi?". Ari duduk di bangku sebelahku. Ah! Iya
namanya Justin. Aku baru ingat. Aku mengangguk
lalu kembali melotot Pada Justin. "kau kenapa?
Tampaknya pagimu kurang menyenangkan" tanya
Casey. Kelas mulai ramai. Aku mendesah lalu
menceritakan pagiku dengan si Justin dan versi
kecil dari dirinya.

***

Aku masuk ke kelas Biologiku bersama Bree. Ini


adalah kelas ke empat dan terakhir hari ini. Aku
terlonjak begitu melihat Justin duduk di salah satu
meja di dalam kelas. Apa-apaan ini? Aku sudah
melewati tiga pelajaran dan dia ada di dua

15
diantaranya. Aku mendesah kesal bercampur
frustasi dan memutar bola mataku saat aku
melewatinya. Aku duduk di dua meja dari belakang
sedangkan Justin duduk di dua meja dari depan.
Aku menopang dagu dengan wajah cemberut. "kau
kenapa Lexis?". Bree duduk di sampingku. Aku
melayangkan pandangan dingin ke arah Justin.
"tidak ada apa-apa. Hanya saja orang yang
menimpuku dengan bola basket, menubrukku
hingga jatuh yang juga merusak pagiku ada di tiga
dari empat kelasku hari ini. Dan yang harus di
catat, rumahnya ada di sebalah rumahku. Seperti
apa perasaanku, menurutmu?" jawabku datar. Bree
terkekeh. "aku tidak tahu mengapa kau dan Justin
terlihat sangat tidak akur. Tapi sepertinya kalian
berjodoh". "tentu saja" kataku sarkastik sambil
memutar bola mataku. Justin menoleh ke arahku-
masih dengan tatapan tidak sukanya- yang ku balas
dengan pelototan. Dia tersenyum mengejek lalu
berpaling. Aku mendengus. Tak lama Mrs. Lerman,

16
guru Biologiku masuk. Hari ini kami belajar
menegenai sistem pernafasan. Ini tidak begitu sulit
untukku karna aku sudah memepelajarinya di New
York. "Mr. Bieber dapatkau kau menjelaskan
berapa volume udara dalam paru-paru?". Tanya
Mrs. Lerman pada Justin. Aku memerhatikan anak
itu. Berharap dia tergagap dan tidak mengetahui
jawabannya. "volume udara dalam paru-paru
manusia kurang lebih lima ratus mililiter untuk
udara pernapasan atau volume tidal. Selain volume
tidal, terdapat juga seribu lima ratus mililiter udara
suplementer dan seribu lima ratus mililiter udara
kompliminter. Jadi jumlah udara pernapasan
kurang lebih tiga ribu lima ratus mililiter atau yang
disebut kapasitas vital paru-paru. Tetapi kapasitas
paru-paru bisa mencapai empat ribu mililiter"
jelasnya. Anak-anak lain memberi tepuk tangan
padanya. Aku menganga. Bree menyikutku. "kalau
ke berpikir Justin bodoh dan berharap dia tidak
bisa menjawab pertanyaan macam itu. Kau salah

17
besar" bisiknya. Aku mendesah dan mencibir. Mrs.
Lerman memanggil namaku. "Mrs. Johnson,
sekarang apa kau bisa menjelaskan padaku
mengenai frekuensi pernapasan pada manusia?".
Dia membetulkan letak kacamatanya. Aku
berdehem. "frekuensi pernapasan orang dewasa
normal dan sehat biasanya antara lima belas sampai
dua puluh per menit. Frekuensi pernapasan wanita
lebih cepat dari pada laki-laki. Umur, tinggi badan,
posisi dan aktifitas juga mempengaruhi frekuensi
pernapasan manusia". "kau cukup pintar Mrs.
Johnson". Mrs. Lerman tersenyum. "bukan begitu.
Aku sudah mempelajari bab ini di tempat tinggalku
sebelumnya" jawabku, menggeleng dan balas
tersenyum. "well itu menjelaskan semuanya".
Celetuk Justin tersenyum mengejek. Anak-anak lain
terkekeh. Aku melotot padanya. Dasar. Dia pikir
dia paling pintar?. Jadi kau mau perang Justin
Bieber? Baiklah. Akan kumulai perang denganmu.
Dasar bocah sombong sok keren.

18
2

Aku keluar dari gerbang sekolah dengan wajah


muram. Justin itu benar-benar!. Tadi saat aku lewat
di depan gerombolan teman-temannya, mereka
semua menatapku sambil terkekeh. Awas kau
Justin Bieber. Kubalas kau!. Saat sudah menjauhi
sekolah dan mendekati arah rumahku, aku
berhenti ketika kulihat Justin berjalan sendiri tidak
jauh di depanku. Aku tersenyum licik. Aku
mencari-cari batu kecil di bawah kakiku. Yap aku
dapat!. Kecil tapi cukup besar untuk membuatnya
kesakitan. Aku mengeker kepalanya teliti. Satu,
Dua, tiga! Yap kena!. Aku menahan tawa dan pura-
pura berjalan tanpa melihat anak itu. Justin
menoleh kebelakang sambil memegang kepalanya
yang tadi kutimpuk. Dia mentapku-melotot
tepatnya- lalu berbalik dan melangkah ke
arahku. "apa-apaansih kau?!" sewotnya memegang
belakang kepalanya. Dia masih melotot padaku.

19
Berdiri di hadapanku, memblokir jalanku. "apa?
Kenapa kau marah-marah padaku? Aku salah apa?".
Aku memasang muka polos dan tidak
bersalahku. Dia mendengus. "aku tahu kau
melemparku". "apa?! Tidak!" jawabku. Kembali
berjalan sambil melengos. "hey!". Dia menarik
bahuku. Aku terhuyung berbalik ke belakang
berhadapan dengannya. "kau ini sinting atau apa?
Aku tidak melemparmu dengan batu kerikil kecil
itu". Justin menyipitkan matanya. "dari mana kau
tahu aku ditimpuk batu kerikil kecil? Aku tidak
bilang apa-apa". Aku terkesiap. Sial!. Aku
keceplosan. "err pastilah kau ditimpuk batu. Ini
kan di pinggir jalan. Mana ada bola disini". Aku
mencari-cari alasan. "kau bohong" serangnya, maju
selangkah mendekatiku. "apa? Tidak, aku tidak
bohong". Aku mundur selangkah menjauhinya. Dia
maju selangkah lagi. Aku mundur lagi. Dia
menundukan kepalanya mendekati wajahku. "ap-
apa maumu?". Aku menelan ludah. Dia tersenyum

20
mengejek lalu menyentil keningku. Aku merintih
kesakitan. "untuk apa itu?" sewotku, mengusap-isap
keningku. "balasan dari melemparku dengan
kerikil" jawabnya, lalu meninggalkanku dan
kembali melangkah ke arah rumahnya. Aaah
siaaaaal! Aku kalah lagi!. Kubalas kau Justin
Bieber!!!.

***

Aku keluar dari kamar mandi sambil mengelus-elus


keningku yang tadi disentil bocah sombong itu.
Sakitnya masih terasa sampai sekarang. Alexa
keluar dari kamarnya dan memperhatikanku.
"kenapa keningmu?" tanyanya. "aku menabrak
pintu tadi" dustaku, bergegas ke kamarku. "bodoh"
gumamnya. Aku menjulurkan lidahku ke arahnya.
Aku masuk ke kamarku dan menutup pintu di
belakangku. Aku berjalan ke pintu balkon dan
keluar ke balkonku. Aku berdiri di ujungnya
menatap ke langit. "dasar bocah sombong sok

21
keren!. Jadi kau mau perang hah? Aku tak akan
kalah darimu. Lihat saja Dasar Justin sialan!". Aku
marah-marah pada langit. "aku juga tak akan kalah
darimu". Dia menjawab, ikut menatap langit di
balkon sebelah. Aku terlonjak nyaris terjatuh. "k-
kau lagi?! Apa yang kau lakukan di sana?!" tanyaku
sedikit berteriak. Justin mengernyit lalu menatapku
dan tertawa mengejek. "kenapa kau teriak-teriak?.
Kamarku di situ". Dia menunjuk kamar di
belakangnya. Aku menganga. "apa? Berarti
kamarmu ada di seberang kamarku? Hancur sudah
masa depanku di Stratford" rengekku. "jadi
kamarmu di situ? Hhh hilang sudah masa tenang
dalam hidupku". Dia mendesah dan
menggeleng. "jangan buat keributan kalau sudah
malam" sinisnya. Aku mendengus lalu masuk ke
kamarku. Membanting pintu di depanku. Aku
mengentak-entakan kaki saking kesalnya. "kau
sedang apa?". Aku terlonjak. Lalu berbalik dan
melihat Alexa duduk bersila di kasurku sambil

22
tertawa melihatku terkejut. Aku menghampirinya
dan menempeleng kepalanya. "kau mau aku mati
karna jantungan? Berhenti mengagetkanku!"
sewotku. Alexa menahan tawanya. "memangnya
kau sedang apa? Sepertinya kau sedang kesal". Dia
masih menahan tawa. Aku mendesah lalu duduk di
sebelahnya dan menggeleng. Alexa mengangkat
bahu. "kau tahu?" "tidak" selaku. Dia memukulku"
dengarkan aku!" omelnya, melotot padaku. Aku
nyengir. "mulai besok aku tidak berangkat pagi
bersama ayah" katanya. "kenapa?" jawabku,
berbaring di kasurku. "karna aku akan berangkat
bersama Jaxo. Dia tinggal di sebelah rumah kita"
jelasnya lagi. "APA?!". Aku terduduk saking
kagetnya. "kau berangkat bersama adik dari bocah
sombong itu?". "bocah sombong? Siapa bocah
sombong?" tanyanya, mengerutkan kening. Ah sial!
Aku salah omong lagi. Aku lupa kalau Alexa tidak
tahu soal Justin. Aku memukul kepalaku. "Lexis
aku bertanya padamu". Alexa melipat tangannya di

23
dada. "ku jelaskan nanti. Lanjutkan ceritamu". Aku
tersenyum padanya, mencari alasan. Dia mendesah.
"Jaxo itu kakak kelasku di sekolah. Dia pintar dan
baik. Aku berbincang-bincang dengannya hari ini
dan ternyata rumahnya di sebelah rumah kita.
Akhirnya kami memutuskan untuk berangkat
sekolah bersama mulai besok". Alexa tersenyum
senang. Apa? Adiknya Justin? Baik? Seingatku dia
sama saja dengan kakaknya. Sombong dan sok
keren. "lalu siapa bocah sombong itu Lexis?" tanya
Lexa. Aku menggigit bibir bawahku. Mencari
alasan. "Lexa kau tidak mengantuk? Tampaknya
kau lelah". Alexa memutar bola matanya. "tidak.
Aku tidak mengantuk". "kau tidak ada tugas?
Sebaiknya kau kerjakan dulu tugasmu" tanyaku,
tetap mencari alasan. Alexa memukul kepalaku
dengan bantal. "ceritakan! Sekarang!"
perintahnya. Aku mendesah. "dia itu Justin, kakak
dari temanmu yang barusan kau ceritakan" jelasku,
enggan. "maksudmu kakaknya Jaxo? Setahuku,

24
kakaknya Jaxo baik. Kenapa kau memanggilnya
anak sombong?". Aku mendesah lagi. Lalu
berbaring kembali. Menceritakan apa saja yang
terjadi antara aku dan Justin. Dalam hati aku
mengutuk daya ingat Lexa yang kuat.

25
3

Hari ini hari minggu. Aku bangun agak siang pagi


ini. Selesai mandi, aku turun ke bawah dan duduk
di meja makan bersama ayah, ibu dan Alexa. "Lexis,
setelah makan, tolong antarkan muffin buatan
mom ke tetangga sebelah". Ibuku menunjuk
sepiring muffin di konter. Aku mengangguk. "baik.
Rumah sebelah kiri kan?". "tentu saja sebelah kanan
sayang. Rumah keluarga Bieber" jawab ibuku. Aku
tersedak. Tidak. Tidak keluarga itu. Oh Tuhan apa
salahku sebenarnya? Kenapa aku selalu harus
bertemu dengan anak itu?. "kau baik-baik saja
sayang?". Ayahku menyodorkan susu padaku. Aku
mengenggaknya lalu mengatur napasku. "sangat
baik. Tapi... Bagaimana kalo Lexa yang mengantar
muffin itu?" tanyaku, berusaha agar tidak harus ke
rumah keluarga Bieber. "aku akan ke rumah Cheryl
pagi ini" jawab Lexa. "bagaimana kalu mom saja?
Mom pasti bisa berbincang dengan Mrs.

26
Bieber". "hanya ada granny Bieber di sana. Anak-
anak keluarga itu tinggal dengan kakek dan nenek
mereka" jelas Ibuku lagi. Aku menatap
ayahku. "apa? Kau tidak berpikiran kalau dad yang
mengantar muffin itu kan Alexis?" tanya
Ayahku. Aku mengangguk dan tersenyum
memohon padanya. Ayahku tertawa dan
menggeleng. "kau gila kalau menyuruh dad
berbincang dengan nenek mereka". "pasti ada
grandpa di sana dad" kataku, masih tersenyum
memohon. Biarlah aku dikira gila. Asalkan aku
tidak bertemu dengan Justin. Apalagi ada
kemungkinan adiknya, Jaxo juga ada di sana. Bisa-
bisa kami saling bunuh nanti. "tidak Lexis. Tidak
akan. Lagipula sewajarnya memang kau yang
mengantarnya bukan?" tolak ayahku. Aku
mendesah. "baiklah. Akan kuantar muffin itu".

***

27
Aku menarik nafas dalam-dalam baru mengetuk
pintu keluarga sialan ini. Tuhan semoga bukan
salah satu dari anak sombong itu yang
membuka. Pintu dibuka dan berdirilah seorang
nenek di hadapanku. Aku mendesah lega lalu
cepat-cepat tersenyum. "selamat pagi. Aku Alexis
Johnson. Keluarga kami baru pindah di sebelah
rumah anda. Aku mengantarkan muffin dari
ibuku. Kuharap anda menyukainya". Aku
menyodorkan piring muffinku pada nenek ini. "aku
tahu sayang. Keluarga Jonhson kan? Masuklah"
katanya ramah lalu masuk ke dalam
rumahnya. "terima kasih Mrs. Bieber". Aku
mengikutinya di belakang. "panggil saja aku
grandma, anak manis. Ayo duduk dulu. Biar
kusiapkan teh untukmu". Grandma meletakkan
muffinku di konter. "tidak usah repot-repot
grandma". Aku duduk di depan konter,
memperhatikan grandma. Setidaknya nenek
mereka tidak menyebalkan. Sangat baik

28
malah. "wah ada muffin. Muffin dari mana
Granny?. Kau? Apa yang kau lakukan di
sini?". Tiba-tiba Justin mucul dari belakangku
mengambil salah satu muffinku dan terkesiap saat
melihatku. "Justin! Mengapa kau berbicara seperti
itu? Ini muffin dari Alexis. Bilang terima kasih
padanya". Grandma meletakkan secangkir teh di
hadapanku. Aku tersenyum padanya. "oh darinya.
Aku tidak jadi makan" kata Justin datar lalu
meletakan muffinnya kembali. "ada tamu ya?".
Suara anak laki-laki lain dari belakangku perlahan
mendekat. Jaxo. Ini dia, perang akan dimulai.

***

Aku berbalik dan melihat Jaxo masih mengenakan


piyamanya dan dengan mata masih setengah
terpejam. Tampaknya baru bangun dia. "Jaxo, ini
Alexis. Bilang hai padanya". Grandma meletakkan
secangkir teh lain di depan Justin, mengisyaratkan
agar dia duduk bersama kami. Justin mendesah lalu

29
duduk di sebelahku. "jadi, Alexis, grandma dengar
kau satu sekolah dengan Justin. Benarkah?" tanya
Grandma, duduk di hadapanku dan Justin. "ya.
Kami memiliki beberapa kelas yang sama"
jawabku. "jadi bagaimana Justin di sekolah? Dia
tidak mau memberitahu grandma tentang
sekolahnya". Aku menelan ludah. Apa yang harus
kukatakan?. Cucumu menyebalkan grandma, dia
menimpukku dengan bola basket di hari pertama
masuk dan aku merasa dia akan merusak sisa
hidupku di Stratford?. Tidak mungkin kukatakan
seperti itu. "entahlah. Aku tidak begitu akrab
dengan Justin". Aku mengangkat
bahuku. "benarkah? Kenapa? Apa kalian
bertengkar?" tanya grandma. Kenapa orang tua
harus sangat peka?. Kurasakan diam-diam Justin
melirikku dari ujung matanya dan duduknya tegak.
Tegang dia rupanya. Dia pasti punya reputasi baik
di depan neneknya ini. Aku mengangkat bahu lagi.
"well... Mungkin karna aku perempuan dan dia

30
laki-laki. Jadi kami punya dunia yang berbeda"
jawabku asal. Semoga grandma menerima alasanku
ini. Grandma tersenyum dan mengangguk.
Sepertinya dia menerimanya. Aku mendesah lagi.
Justin juga sedikit mempersantai
posisinya. Grandma berdiri lalu mengangkat
cangkir tehnya dan meletakkannya di bak cuci
piring. "aku harus menelpon ibumu, Justin. Kalian
mengobrol lah". Dia tersenyum pada kami sambil
menepuk bahu Justin. Grandma naik ke lantai
atas Aku tersenyum pada Grandma lalu mendengus
saat menatap Justin. Dia mendelik dan
mengalihkan pandangannya ke arah lain. "kau
bukannya gadis yang menabrak kakakku tempo
hari?". Tiba-tiba Jaxo sudah ada di samping
kakaknya. Aku tersentak sedikit. Apa dia bilang?
Jelas-jelas aku yang jadi korban. "hey Jaxo.
Kakakmu lah yang menabrakku saat aku mengikat
sepatu" jawabku. "kau menghalangi jalan kakakku.
Jelas saja dia menabrakmu. Itu salahmu sendiri"

31
balasnya, mengambil salah satu muffin dariku. "itu
darinya". Tepat sebelum Jaxo menggigit muffin
dariku, Justin memberitahunya sambil
menunjukku. Jaxo terkesiap lalu kembali
meletakkan muffin itu. Nyaris melemparnya malah.
Reaksi yang sama dengan kakaknya. Aku
menatapnya shock. Bocah sialan. Dia kira aku beri
apa muffin itu?. Memangnya aku meracuninya?.
Kalau aku tahu reaksi mereka akan seperti itu, akan
benar-benar kuracuni muffin itu dan kujejali ke
mulut mereka satu persatu. "apa yang salah dengan
kalian ini?". Aku memutar bola mataku. "kenapa?
Itu kan darimu. Aku tidak yakin itu pantas
dimakan. Siapa tahu kau meracuninya" celetuk
Jaxo. "dia benar" sahut Justin, menganggukan
kepalanya. Aku terkesiap dan melotot pada
mereka. "ibuku yang membuatnya. Lagipula untuk
apa aku meracuninya. Kalau aku mau membunuh
kalian, akan langsung kulakukan dengan tanganku
sendiri" geramku, berdiri lalu beranjak pergi. "kau

32
sudah mau pulang? Padahal kami masih mau
berbincang-bincang denganmu. Kau tidak sopan
sekali" kata Justin mengejek. Aku keluar dari
rumah itu dengan tampang kesal. Suatu saat akan
kubunuh anak-anak itu.

33
4

Aku terbangun oleh bunyi jam weker di samping


tempat tidurku. Aku mendesah lalu bangkit dan
berjalan ke arah balkon. Aku berdiri di sana sambil
merentangkan tangan dan menghirup udara pagi
dalam-dalam. "selamat pagi dunia. Semoga tidak
terjadi satu pun hal buruk hari ini" kataku,
tersenyum. "kau kacau sekali. Tidak terlihat seperti
seorang gadis". Aku menoleh dan melihat Justin di
balkonnya sudah rapih, lengkap dengan seragam
sekolah kami. Berbanding terbalik denganku yang
baru bangun dengan ekspresi masih mengantuk
dan rambut acak-acakan akibat tidur semalam. "kau
baru bangun sekarang? Gadis macam apa yang
bangun sangat siang seperti ini? Bahkan bekas air
liurmu masih terlihat jelas di wajahmu"
sambungnya menatapku jijik. Aku mendengus lalu
menjulurkan lidahku padanya. "apa pedulimu? Aku
bangun siang atau pagi hari buta pun tidak ada

34
hubungannya denganmu" sinisku. "benar". Dia
mengangguk-angguk. Aku mendengus lagi lalu
melengos meninggalkannya dan kembali ke
kamarku. Dasar sok sempurna.

***

Aku masuk ke kelas Pemerintahan dan tidak


terkejut melihat Justin duduk manis di salah satu
meja di dalam kelas. Asal tahu saja, dia ada di
hampir seluruh kelasku. Hanya bahasa Jermanlah
satu-satunya kelasku tanpanya, dari total sembilan
mata pelajaran yang ku ambil. Aku duduk sejauh
mungkin dari Justin. Mengantisipasi kalau-kalau
dia membuatku marah dan aku akan melompat di
tengah kelas dan memitingnya di lantai. Setiap hari
aku hampir selalu menghabiskan waktu kosongku
untuk memelototinya atau sekedar memaki-
makinya dalam hati. Dan dia pun terkadang merasa
kupelototi dan menoleh kearahku lalu tersenyum
mengejek yang membuatku merasa ingin menebas

35
lehernya. Justin cukup pintar. Well, dia memang
pintar. Tipe cowok dingin, sempurna, bintang
olahraga yang digilai gadis-gadis satu sekolah. Dia
terkadang berbincang denganku hanya untuk
membuat wajahku memerah karna menahan
marah. Aku heran bagaimana bisa dia berbicara
begitu pedas padaku padahal bicara dengan anak
perempuan lain saja dia hampir tidak pernah. Apa
nenek moyangku dengan nenek moyangnya adalah
musuh abadi yang menyebabkan aku tidak bisa
tidak merasa ingin mencekiknya saat melihat
wajahnya?. Teman-teman perempuanku malah
merasa iri padaku karna bisa menarik perhatian
Justin. Mereka bahkan menjerit-jerit senang dan
bersikeras ingin main ke rumahku saat ku beritahu
kalau rumahku bersebelahan dengan rumah Justin.
Sayang saja mereka tidak tahu perhatian seperti apa
yang kudapatkan dari anak sombong itu. Mereka
semua berpendapat, Justin merasa bahwa aku
adalah rivalnya karena aku cukup dapat

36
menyamainya dalam hal pelajaran dan olahraga.
Aku tidak memikirkan pendapat mereka karna
yang aku tahu, mereka semua terobsesi pada anak
sombong sok keren bernama Justin Bieber yang
sialnya harus tinggal di sebelah rumahku dan
kamarnya di seberang kamarku.

***

"aku tidak peduli Lexis, aku akan ke rumahmu


akhir minggu ini. Sebaiknya kau persiapkan dirimu
sabtu nanti" kata Victoria. "tapi, untuk apa? Oh aku
tahu. Tentu saja untuk melihat anak sombong sok
keren itu". Aku memutar bola mataku. "betul
sekali" jawab Ari. "kalian salah jika pergi ke
rumahku. Maksudku, Justin tidak tinggal di
rumahku. Kalau kalian ingin melihatnya, pergi saja
ke rumahnya" jawabku berkeras menolak mereka
berkunjung ke rumahku. "seperti yang kubilang,
aku tidak peduli Lexis. Aku dan yang lain tetap
akan ke rumahmu sabtu ini. Percayalah, kami akan

37
di sana walaupun kau bilang ada infeksi virus
berbahaya di dalam rumahmu". Victoria tersenyum
padaku. Aku, Ari dan Victoria keluar dari kelas
Kimia kami lalu menghampiri Bree, Casey dan Sam
di dekat lokerku. Victoria menceritakan pada
mereka mengenai rencananya ke rumahku sabtu
ini. Mereka semua melonjak kegirangan begitu
mengetahui kemungkinan melihat Justin di luar
sekolah. Aku mendesah sambil meletakan buku-
bukuku ke dalam loker. Sepertinya tidak ada yang
dapat merubah keputusan mereka.

***

Malamnya, aku duduk di ayunan kayu di balkon


kamarku sambil mengerjakan PR Matematikaku
mengenai integral dan turunan. Aku mengetuk-
ngetuk pulpen ke keningku seraya berusaha
memecahkan soal yang ada di hadapanku. Sayup-
sayup, aku mendengar suara petikan gitar dari
kamar anak sombong itu. Entah apa yang merasuki

38
otakku, aku memutuskan memanjat sekat antara
balkonku dan balkon Justin lalu mengintip ke
dalam kamarnya. Aku mengintip melalui jendela
kamarnya dan melihat Justin sedang duduk di atas
tempat tidurnya sambil memetik gitar. Aku
mendengarkan permainan gitarnya. Dia lumayan
bagus. Tiba-tiba dia mendongak dan aku
bersumpah aku melihatnya tersenyum saat dia
memergokiku mengintip dirinya. Aku secepat kilat
memanjat dan kembali duduk di ayunanku,
berpura-pura mengerjakan soal Matematikaku lagi.
Dia keluar dari kamarnya dan medekatiku dari
balkonnya. Raut wajahnya tak dapat kutebak. "kau
mengintip". Itu jelas bukan pertanyaan. Aku
menoleh dan memasang ekspresi polos
terbaikku. "kau bicara padaku? Maaf, apa katamu?
Aku tidak mendengarnya" jawabku santai. Dia
menyipitkan mata menatapku. "kau mengintip ke
kamarku barusan". Aku pura-pura terkesiap. "aku
tidak mengintip kamarmu. Aku sedang

39
mengerjakan PR Matematikaku. Lagipula, untuk
apa aku mengintip seseorang yang bermain gitar di
atas tempat tidurnya?". "nah kau jelas-jelas
mengintipku". "dari mana kau tahu? Jangan
menuduhku macam-macam" "aku tidak menuduh.
Kau yang mengaku. Dari mana kau tahu aku
sedang bermain gitar di atas tempat tidurku kalau
kau tidak mengintip melalui jendelaku?". Dia
tersenyum menantang. Bodoh! Lagi-lagi aku
keceplosan. Alexis mengapa kau selalu punya
masalah dalam menipu orang?. Kau tidak berbakat
jadi orang jahat. Aku menelan ludah. "erm
itu...". Dia tersenyum licik lalu dengan mudah
melompati pembatas antara balkonku dan
balkonnya. Mati kau Alexis! Apa yang dia inginkan
kali ini?. "ma-mau apa kau?". Aku tergagap. Justin
mendekatkan kepalanya padaku. Menatap lurus ke
mataku masih tersenyum licik. Jarak antara wajah
kami hanya tinggal beerapa inchi saja. Aku bisa
mencium aroma tubuhnya dari jarak sedekat ini.

40
Dia semakin mendekatkan wajahnya. Aku
menahan napas tidak bisa bergerak. "jangan pernah
mengintipku lagi" bisiknya. Dia menyentil
keningku untuk kedua kalinya. Lalu melompat
kembali ke balkonnya. Dia masuk kembali ke
kamarnya sambil tertawa melihatku membeku
sambil menahan napas. Dasar bocah sombong
sialan!

41
5

Jam weker berdering keras di sebelah kasurku. Aku


membuka mata perlahan dan mengerang. Satu hari
lain bersama anak sombong itu. Aku mendesah
lalu bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke
kamar mandi.

***

Aku tersenyum riang memasuki kelas pertemaku.


Kelas Matematika. Ya, kau benar. Justin ada di sini.
Entahlah, aku tidak menyadarinya duduk di salah
satu bangku di kelas ini di hari pertamaku masuk.
Lagipula, siapa peduli? Toh dia ada di sini
sekarang. Aku melewatinya dengan santai. Semakin
lama semakin mudah buatku untuk mengabaikan
kehadiran Justin di sekitarku. Walaupun terkadang
dia membuatnya cukup sulit dengan selalu
membuatku tidak tahan untuk mematahkan
lehernya. Aku duduk dengan Bree dan

42
menceritakan insiden intip-mengintipku semalam.
Aku hanya bisa menceritakan semua kejadian
antara aku dan Justin pada Bree. Well, karna
diantara teman-temanku yang lain, dialah yang
paling tidak terlalu terobsesi pada tetanggaku itu.
Bree memang kagum pada Justin, tapi dia tidak
pernah menjerit tertahan saat Justin lewat di
hadapannya. Setidaknya tidak di depanku. Dia
menatapku lekat-lekat saat aku selesai cerita. "apa?"
tanyaku polos. Dia menggeleng. "tidak. Tidak ada
apa-apa. Hanya saja... Kurasa, sebentar lagi aku
akan mendengar cerita yang berbeda
darimu" "berbeda? Berbeda bagaimana maksudmu?"
tanyaku lagi. "bahwa kau mulai tertarik pada
tetangga sebelah rumahmu itu". Dia tersenyum
sarat arti. Aku terbahak sangat keras hingga anak-
anak lain menoleh pada kami. Aku diam seketika
dan tentu saja, Justinlah yang tatapannya paling
membuatku ingin menombaknya. "yang benar saja,
Bree? Kau salah makan atau apa?. Mana mungkin

43
aku akan menceritakan hal-hal seperti itu padamu"
kataku masih sedikit tertawa. "maksudmu, kau
akan menceritakannya pada orang lain?". Dia
tersenyum jahil. Aku memutar bola mataku. "tidak.
Aku tidak akan pernah menceritakan itu pada
siapapun karna aku tidak akan merasa seperti
itu". "tapi kau mengintipnya semalam"
tembaknya. "lalu? Apa yang penting dari aku
mengintipnya bermain gitar?". Aku tetap
berkeras. "kau tidak akan mengintipnya kalau kau
tidak penasaran" jawabnya. "benar. Aku memang
penasaran. Lalu apa? Apa masalahnya?" "rasa
penasaran bukanlah sesuatu yang dapat hilang
dengan mudah kecuali kau menemukan
jawabannya, Lexis. Dan kita bicara tentang
seseorang. Rasa penasaranmu tidak akan hilang
karna begitu kau memecahkan satu rasa
penasaranmu, akan ada rasa penasaran lain yang
muncul. Dan kurasa dalam kasusmu, rasa
penasaran itu akan berubah menjadi suatu

44
ketertarikan". Bree tersenyum. Aku memutar bola
mataku lagi. "kau ini sebenarnya apa? Ahli psikolog
yang menyamar jadi murid SMA?. Aku tidak akan
pernah merasa seperti itu" putusku. Bree terkekeh.
"kau tidak akan tahu Lexis". Dia berbalik dan
mengeluarkan buku-buku dari tasnya karna
pelajaran sebentar lagi akan dimulai. Aku
termenung. Aku tidak akan merasa seperti itu, ya
kan?. Aku mendesah dan ikut berbalik. Tak sengaja
aku menatap ke arah Justin duduk. Tatapanku
bertemu dengan tatapannya. Aku terkesiap. Lalu
dia berpaling. Tadi... tatapannya berbeda. Bukan
tatapan jijik atau mengejek seperti biasanya. Tapi
tatapan baru yang aku tidak tahu apa artinya. Dan
aku berani bersumpah-lagi- ada seulas senyum tipis
muncul dari bibirnya walaupun hanya satu detik.

***

Aku mengaduk-aduk makan siangku dengan garpu


sambil melamun. Aku tidak bisa menghilangkan

45
tatapan Justin di kelas Matematika tadi dari otakku.
Dan apakah tadi dia tersenyum atau tidak nyaris
membuatku tersedak rasa penasaran yang amat
besar. "Lexis, kau tidak apa-apa? Kau tidak
memakan makan siangmu" tanya Casey,
menatapku. Aku tersenyum dan mengangguk lalu
menyendok makan siangku dan mengunyahnya.
Aku melirik Bree yang dibalasnya dengan senyum
jahil. Aku memutar bola mataku dan mengalihkan
pandangan. Aku tidak sengaja bertatapan dengan
Justin-aku sering sekali beradu tatap dengannya
hari ini- yang duduk di meja sebelah. Ada tatapan
baru lagi yang terpancar dari matanya. Seperti
kekhawatiran atau entahlah aku tidak yakin. Dia
mengalihkan pandangannya dan mengobrol-
berpura-pura mungkin- dengan teman-temannya
saat mataku bertemu dengan miliknya. Aku
memandanginya penasaran. "berhenti menatapku!
Kau terlihat ingin memakanku dengan tatapan
seperti itu. Jika lapar, makanlah makan siang yang

46
ada di hadapanmu!" kata Justin, sadar
kupandangi. Aku terkesiap. "memakanmu?
Melihatmu saja sudah membuatku tak berselara".
Aku mendengus lalu bangkit dan melengos pergi
dari sana.

***

Aku duduk sambil mendengarkan musik dari


iPodku dan berayun-ayun pelan di balkonku dan
menengadah menatap langit malam ini. Langit
cerah, jadi aku bisa melihat bintang-bintang
berwarna keperakan berkilau di latar belakang
berwarna hitam pekat. Aku terkesiap ketika sebuah
gumpalan kertas mengenai kepalaku. Aku menoleh
dan melihat Justin berdiri di balkonnya tengah
menatapku. Aku melepas earphone di telinga
kananku. "kau kenapa sih? Kenapa kau
melemparku?!" sewotku. "aku memanggilmu dari
tadi tapi kau tidak menyahut, malah meggerak-
gerakkan kepalamu. Aku kira kau kerasukan jadi

47
aku khawatir kau akan menghancurkan seisi kota
kalau tidak secepatnya disadarkan" jawabnya
santai. "sejak kapan kertas bisa menyadarkan orang
yang kerasukan" cibirku. "aku tidak mau
mengambil resiko. Aku tidak tahu kau benar
kerasukan atau tidak. Jika kau benar kerasukan
mungkin saja kau akan mencabik-cabikku. Dan
dari tatapanmu sekarang, sepertinya kau memang
mau melakukan itu". Dia mengangkat bahu. Aku
melotot padanya. Asal tahu saja Justin Drew
Bieber, aku tidak hanya ingin mencabik-cabikmu,
ingin rasanya kulempar dirimu ke dalam neraka
saat ini juga. "apa yang sedang kau
lakukan?"tanyanya. "bukankah ini jelas?". Aku
menunjuk earphone di telinga kiriku lalu
menunjuk iPodku. Dia mengangguk. Aku melirik
Justin sekilas. Dia sedang duduk bersila di
balkonnya. Sebentar dia memetik gitarnya lalu
sebentar dia menulis sesuatu di buku yang di
bawanya. Sepertinya dia sedang membuat

48
lagu. "kau menulis lagu?" tanyaku, menoleh
padanya. "menurutmu?" jawabnya, tanpa
menoleh. "lagu seperti apa yang kau ciptakan". Aku
masih berusaha. "bukan urusanmu" jawabnya
lagi. Aku memutar bola mataku. "terserahlah". Aku
memasang earphone di telinga kananku dan
mengecilkan volume iPodku lalu kembali
mendongak menatap langit. Dapat kurasakan
Justin sesekali melirikku dari sudut mataku. "kau...
sudah makan malam?" tanyanya, ragu. Menatapku
kali ini. Aku tertegun sekejap mendengar
pertanyannya. Kenapa dia menyakannya. Aku diam
saja. Tetap menatap langit. Berpura-pura tidak
mendengarnya. "dia pasti mendengarkan musik
dengan volume sangat keras" gumamnya
lagi. Ruapanya dia mengira aku tidak
mendengarnya. Aku menoleh dan kembali melepas
earphone kananku. "kau bicara padaku?" tanyaku
polos. Dia mendengus lalu meggeleng-gelengkan

49
kepala. "lupakan" katanya. Beranjak masuk ke
dalam kamarnya. Apa yang salah dengannya?

50
6

Justin tersenyum padaku. Ya dia tersenyum


padaku!. Dia berdiri agak jauh dari tempatku
berdiri. Tunggu. Apa yang dikenakannya itu?.
Justin memakai pakaian serba putih. Kemejanya
seperti baju-baju pejabat eropa jaman dulu dengan
lipatan dan renda-renda di sekitar leher. Walaupun
aku berat mengakuinya, well dia tampak seperti
seorang pangeran. Aku menunduk dan terkesiap
melihat apa yang ku kenakan. Aku memakai gaun.
Bukan gaun malam seperti yang dipakai artis-artis
wanita di karpet merah sebuah acara penghargaan.
Tetapi benar-benar gaun. Dengan rok mengembang
dengan renda dan payet-payet bertebaran di seluruh
permukaan gaun. Aku mendongak dan kembali
menemukan Justin masih di posisinya semula. Dia
tersenyum semakin lebar padaku lalu melangkah
pelan menghampiriku. Aku terpaku. Aku tidak
dapat bergerak karna aku tidak bisa. Aku berusaha

51
menggerakkan tubuh dan mulutku, bermaksud
bertanya pada Justin dimana kami, mengapa kami
berpakaian seperti ini-dan mungkin kenapa dia
terlihat tampan dengan setelan seperti itu. Tapi
hasilnya nihil. Aku hanya terdiam sementara Justin
menghampiriku dengan kecepatan yang kelewat
lambat sampai rasanya ingin kulempar dia dengan
sepatuku. Justin berhenti dihadapanku-masih
tersenyum lebar. Oh tuhan, senyumnya... tunggu!
Alexis kau tidak bisa berpiki seperti itu. Kau tidak
boleh. Tapi tak dapat kupingkiri, senyumnya sangat
mempesona. Justin membuka mulutnya hendak
mengatakan sesuatu saat semakin lama aku merasa
pusing. Justin membuka mulutnya dan
mengucapkan sesuatu tapi aku tidak dapat
mendengarnya. Semakin lama semua terlihat
semakin tidak jelas. Aku mengerjap-ngerjapkan
mata lalu menyipitkan mataku agar penglihatanku
semakin jelas. Tetapi hasilnya tetap sama. Aku
tidak bisa melihat dan mendengar Justin. Aku

52
terkesiap dan terduduk di kasurku. Aku mengerjap-
ngerjapkan mataku lalu menarik nafas dalam-dalam
mencoba memperlambat detak jantungku. Itu tadi
hanya mimpi. Justin seperti pangeran hanyalah
mimpi Alexis, tenang saja. Aku berdiam diri di
kasurku beberapa saat berusaha mengatur
nafasku. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka yang
membuatku terlonjak. Alexa berdiri di depan
pintu. Aku memutar bola mataku. "kau benar-
benar ingin tidak memiliki kakak lagi Alexa.
Kerjamu hanya mengagetkanku saja". "bangun dari
tempat tidurmu. Sekarang sudah sangat siang.
Matahari saja sudah lelah menunggumu bangun"
katanya, lalu keluar dari kamarku. Aku mendesah
lalu bangkit dari tempat tidurku. Anak itu benar-
benar berusaha membunuhku sepertinya. Selalu
muncul tiba-tiba dan membuat jantungku nyaris
keluar dari tempatnya.

***

53
Selesai bersiap-siap aku bergegas keluar rumah dan
tepat sekali saat Justin juga akan keluar dari
rumahnya. Kami bertatapan sebentar lalu aku
segera mengalihkan pandanganku. Aku tidak bisa
menatap Justin setelah mimpiku barusan. Aku
melangkah meninggalkan rumahku. Aku merasa
diikuti dari belakang. Aku mempercepat jalanku
tapi tetap merasa diikuti. Aku menoleh dan
melihat Justin berjalan sedikit jauh di belakangku
sambil mendengarkan lagu dengan earphonenya.
Aku mengerutkan keing. Apa yang dia lakukan di
situ? Biasanya dia berangkat sekolah selalu lebih
dulu dari padaku. Aku mengangkat bahu lalu
melanjutkan langkahku.

***

Aku melangkahkan kaki memasuki kelas bahasa


Jerman. Aku mendesah lega menyadari tidak ada
Justin di kelas ini. Entahlah, aku merasa canggung
bertemu dengannya setelah mimpiku

54
semalam. Aku duduk bersama Victoria. Casey di
depan kami. "Alexis! Kau tidak mendengarku ya?".
Victoria merengut di sampingku. Membuatku
tersadar dari lamunanku. "oh maafkan aku Vic.
Apa katamu tadi?". Aku menatapnya bersalah. "ya
sudahlah. Aku hanya mengingatkanmu bahwa
Sabtu ini kami akan ke rumahmu" katanya,
tersenyum. Casey mengangguk di depan kami. "oh
baiklah. Omong-omong, sekarang hari apa?". Aku
mengangguk lalu bertanya bingung yang membuat
Victoria memutar bola matanya. "sekarang hari
Kamis, Lex. Kau tidak apa-apa? Kau tampak
bingung hari ini". Casey menatapku lekat-
lekat. Aku mengangguk. "aku baik-baik saja"
jawabku. Tak lama, guru bahasa Jerman kami
memasuki kelas dan memulai pelajaran.

***

Aku, Bree, Casey, Victoria dan Sam sedang


mengantri di kafetaria bersama. Sekarang jam

55
makan siang dan aku sudah berusaha keras tidak
menatap Justin seharian ini. Aku belum
memberitahu Bree tentang mimpiku karna
menurutku itu tidak penting. Tapi, kalau itu tidak
penting, mengapa aku tidak bisa mengenyahkan
mimpi itu dari kepalaku? Hah lama-lama aku bisa
gila!. "cepat maju. Jangan melamun kalau sedang
mengantri". Seseorang di belakangku
menegurku. "maaf. Maafkan aku". Aku
membungkuk lalu berbalik. Aku terkesiap saat
melihat Justin sedang menatapku. Aku segera
berbalik kembali tidak mau menatapnya lama-
lama. "memangnya kau ini vampir? Yang tidak bisa
tidur saat malam hari? Sampai di sekolahpun
melamun. Coba lihat lingkaran hitam di bawah
matamu itu. Seperti habis dipukuli" lanjutnya. Aku
tidak menyahut. Aku sedang tidak berselera adu
mulut dengannya hari ini. Biarlah dia bicara sesuka
hatinya. Aku sedang tidak ingin perang. Aku
mengambil makan siangku lalu beranjak dari

56
antrian. Dapat kurasakan tatapan mata Justin di
pungguku. Aku sangat ingin menoleh dan
memastikan apakah dia memang memandangiku
tapi kutahan diriku takut bertatapan dengannya
jika dia memang sedang memandangiku. Makan
siang hari ini berlalu seperti biasanya.

***

Aku keluar dari ruang loker bersama Sam, Casey


dan Bree. Sekarang adalah pelajaran olahraga.
Kami baru selesai mengganti seragam kami dengan
baju olahraga dan sedang melangkah ke arah
lapangan bisbol ketika aku memergoki Justin
sedang memperhatikanku dan teman-temanku dari
pintu ruang ganti laki-laki. Aku membiarkannya
dan melanjutkan langkahku ke lapangan
bisbol. Olahraga hari ini tentu saja bisbol. Aku bisa
bermain bisbol, hanya saja aku memang sedang
tidak bersemangat melakukan apapun hari ini.
Kami berlatih melempar dan memukul sebentar

57
lalu Mr. Sony-guru olahragaku- membiarkan kami
bermain. Aku duduk di deretan bangku penonton
sambil menyaksikan yang lain berlarian sepanjang
lapangan. Bree, Casey dan Sam juga ikut serta
dalam permainan kali ini. Aku tidak melihat Justin
ada diantara anak-anak di dalam lapangan itu. Aku
mengangkat bahu dan kembali menonton teman-
temanku. "hati-hati!!". Seseorang berteriak dari
samping lapangan. Sontak aku menoleh dan
seketika menghindar begitu kulihat sebuah bola
bisbol nyaris mengenai kepalaku. Justin berlari
kecil ke arahku dengan ekspresi was-was. "kau tidak
apa-apa?"

58
7

"kau tidak apa-apa?". Justin berlari kecil ke arahku


dengan ekspresi was-was. Aku mengangguk lalu
menunduk untuk mengambil bola bisbol yang -
mungkin saja- nyaris memecahkan kepalaku tadi.
Lalu menyerahkannya pada Justin berharap dia
akan pergi dan melanjutkan apapun yang sedang
dia kerjakan tadi. Sialnya, Justin duduk di salah
satu bangku sambil memain-mainkan bola
bisbolnya. "kau tidak apa-apa?" tanyanya, lagi. "iya.
Aku baik-baik saja. Bola itu bahkan tidak mengenai
kepalaku". Aku ikut memandang lurus ke arah
lapangan. "kau yakin?". Kali ini dia menoleh ke
arahku. Aku memutar bola mataku. "kau ini
kenapa sebenernya? Aku sudah bilang aku bak-baik
saja. Atau kau kesal karna bola tadi tidak
menghancurkan kepalaku?" jawabku. Dia
menatapku. Berbagai macam ekspresi bergantian
muncul dalam matanya. Tiba-tiba saja dia bangkit

59
dan meninggalkanku tanpa mengucapkan apa-apa
lagi.

***

Aku menutup lokerku lalu melangkah bersama


Bree, Casey, Ari, Victoria dan Sam menuju gerbang
sekolah. "jangan lupa Sabtu nanti Lexis" kata
Victoria riang. Aku memutar bola mataku. "aku
tahu Vic. Kau sudah mengatakan itu jutaan kali
hari ini". "boleh aku ikut ke rumahmu Sabtu nanti
Lex?" tanya Bree. Aku menggeleng. "tidak. Aku
tidak mau kau ada di sekitar rumahku. Aku bahkan
sebenarnya tidak ingin berada di dekatmu" kataku,
memandangnya dengan sinis. Bree memasang
wajah shock sambil memegang dadanya dan
melotot ke arahku. Aku tertawa terbahak-bahak
lalu merangkulnya. "aku hanya bercanda. Tentu
saja kau boleh ke rumahku Ms. Brittany Mason".
Aku mengerling padanya. Bree memukul kepalaku.
"kau membuatku serangan jantung Alexis. Aku kira

60
kau sungguh-sungguh" jawabnya. Aku kembali
terbahak lalu melambai pada teman-temanku dan
berjalan ke arah rumahku. Aku melihat Justin
beberapa langkah di depanku. Wow, aku tidak
menyadarinya ada di sana sejak tadi. Aku mengekor
di belakang Justin menyamai langkahnya menuju
rumah. Tiba-tiba dia berhenti. Aku sempat
berhenti untuk beberapa detik lalu melanjutkan
perjalananku. Aku melewatinya tanpa
menoleh. "Alexis" panggilnya. Dia masih diam
berdiri di tempatnya. Aku berhenti lalu
berbalik. "kau aneh hari ini" katanya. Aku
mengerutkan kening. "aneh? Aneh bagaimana
maksudmu?" tanyaku. Dia ragu sejenak. "kau... kau
sering melamun. Juga kau tidak pernah membalas
perkataanku, kau seperti menghindariku. Dan ada
lingkaran hitam di sekitar matamu. Kau kurang
tidur? Atau kau tidak enak badan?" tanyanya
bertubi-tubi. Aku tertegun sejenak. Sejelas itukah?
Untuk apa dia memerhatikanku seperti ini?. Aku

61
menyeringai. "kenapa? Kau khawatir padaku? Kau
takut aku sakit? Jangan-jangan kau mulai suka
padaku ya?" kataku, jahil. Aku menaik-naikkan
alisku padanya. Wajahnya memerah walaupun
hanya untuk beberapa detik lalu kembali
memasang ekspresi mengejeknya. "aku? Suka
padamu? Yang benar saja. Coba lihat wajahmu.
Kau bisa membuat anak umur tiga tahun pingsan
dengan wajah seperti itu" jawabnya. Aku tersenyum
jahil padanya. "ah tapi kau tidak menyangkal kalau
mengkhawatirkanku. Jadi, Tuan paling sempurna
dan sombong ini khawatir padaku ya". Aku tertawa
terbahak-bahak lalu berlari sambil berteriak "Justin
khawatir padaku. Justin khawatir padaku". Justin
mengejar di belakangku sambil berteriak-teriak
menyuruhku untuk diam. Aku terus berlari dan
Justin tetap di belakangku. Tiba-tiba, dia
menangkapku sambil menutup mulutku dan....
memelukku dari belakang.

62
***

Tiba-tiba dia menangkapku sambil menutup


mulutku dan... memelukku dari belakang. Aku
membeku. Tidak tahu apa yang sedang kurasakan
dan apa yang harus kulakukan. "tutup mulutmu
Alexis Johnson, sebelum aku yang membuatmu
diam" bisiknya di telingaku. Sial. Anak ini...
membuatku jantungku berdegup lebih cepat dan
lututku lemas. Aku meronta agar terlepas dari
pelukannya. Tapi dia malah mempererat
pelukannya. Duh, ada apa dengannya? Mengapa dia
tidak mau melepaskanku? Aku mengambil
ponselku di kantung kemejaku lalu mengetik
sesuatu. Aku menunjukan ponselku pada
Justin. 'apa yang kau lakukan? Cepat lepaskan aku!
Kita ada di pinggir jalan. Aku tahu kau
menyukaiku tapi tidak seperti ini' tulisku. Justin
membelalakkan matanya setelah membaca pesanku
lalu menempeleng kepalaku. "kau ini sangat

63
percaya diri ya? Menurutmu aku menyukaimu, hah?
Baiklah, mari kita lihat dirimu". Dia melepaskan
pelukan dan tangannya dari mulutku lalu memutar
badanku menghadapnya. Aku menelan ludah. Apa
yang ingin dia lakukan sekarang? Bocah ini! Justin
mencengkramku dengan lengannya, masing-masing
memegang sisi tubuhku. Lalu semakin lama dia
mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dia melirik ke
arah... bibirku! Aku mulai berdoa dalam hati.
Tuhan, semoga dia tidak ingin melakukan apa yang
sedang kupikirkan. Aku berusaha menarik tubuhku
menjauhinya. Tapi percuma, genggamannya terlalu
kuat untuk kulawan. Ah bagaimana ini?. Jantungku
berdegup tidak keruan. Rasanya seperti ada konser
band hard rock dengan soundsystem super yang
bisa memecahkan gendang telinga di jantungku
sekarang. Seandainya jantungku memilki tombol,
akan kumatikan sekarang juga. "ap-apa yang kau
lakukan?". Aku terbata. "sshhhh" balasnya. Dia
tersenyum separo sambil perlahan semakin

64
mendekatkan wajahnya ke wajahku. "h-hei Justin
kuperingatkan dirimu, aku pernah belajar karate.
Jadi enyahkan pikiranmu atau apapun yang sedang
ingin kau lakukan sebelum ku patahkan lehermu"
lanjutku. Bukannya berhenti, dia malah tersenyum.
Aku menelan ludah lagi. Senyumnya semakin lama
semakin lebar. Lalu... dia tertawa tepat di depan
wajahku. Dia tertawa terbahak-bahak sampai-
sampai ku pikir dia akan tersedak dan tewas
seketika. Aku merengut dan melipat tanganku di
dada sementara Justin memegangi perutnya karena
tertawa kelewat geli. Kurang ajar, aku dikerjai!. Aku
memandanginya dengan tatapan dingin sambil
menunggunya menghabiskan tawanya. Aku
membiarkan tanganku terlipat di dada untuk
menahanku agar tidak mencekiknya sekarang
juga. Justin menyelesaikan tawanya lalu tersenyum
sangat lebar di depanku. "apa? Jangan melihatku
seperti itu. Kau memandangiku seakan-akan aku
tidak pernah mandi selama hidupku"

65
ketusku. Justin kembali tertawa sambil lagi-lagi
memegangi perutnya. Sepertinya dia tidak akan
berhenti tertawa walaupun ada meteor jatuh dan
menimpa kepalanya sekarang. Aku mendengus
sebal lalu melangkah meninggalkannya. Dia
menyusul dan berjalan di sampingku tak lama
kemudian. "maafkan aku. Aku tidak dapat
menahan tawaku. Harusnya kau lihat wajahmu!"
katanya, mulai tertawa lagi. Aku cemberut. "tutup
multmu dan hentikan tawamu. Sebelum benar-
benar kupatahkan lehermu" kataku. Dia berusaha
menahan tawanya. Walaupun aku tahu, dia sangat
ingin tertawa sekeras-kerasnya hingga bergulingan
di lantai. Dan aku bersumpah, jika dia memang
melakukan itu, dengan senang hati akan kutendang
dia hingga hilang dari peradaban. "memangnya kau
pikir, apa yang ingin kulakukan padamu barusan?"
tanyanya, jahil. Oh, jadi sekarang dia yang
meledekku?. Bagus sekali. Sebentar lagi kami akan
saling bunuh. "apa saja. Aku tahu, anak laki-laki

66
sepertimu pasti memiliki pikiran yang unik dan
diluar akal manusia normal" kataku. "kalau
pikiranmu iya. Kau kan tidak normal"
candanya. Aku memukul lengannya dan dia
tertawa. "dasar mesum" gumamku. "apa? Mesum?
Kau pikir aku akan melakukan seperti itu padamu?
Yang benar saja. Aku juga masih waras" jawabnya,
kembali terbahak. "lupakan. Akan kubalas kau
nanti" kataku, menjambak rambutnya. Dia
merintih lalu menarik rambutku-walaupun tidak
sekeras aku menarik rambutnya- lalu terkekeh. Aku
memeperkuat tarikanku dan dia mulai
kesakitan. "baiklah. Kulepaskan tanganku dan kau
lepaskan tanganmu" pintanya. Aku mengangguk.
Lalu kami melepas tangan masing-masing dan
mulai tertawa bersama. Apa yang terjadi
sebenarnya? Ada apa dengan kami? Bagaimana
kami bisa seakrab ini?

67
8

Malamnya, aku duduk di ayunan di balkonku


sambil berayun-ayun pelan dan mengerjakan tugas
Biologiku. Sistem pencernaan. Aku membalik-balik
halaman buku Biologiku untuk mengisi
pertanyaan-pertanyaan yang tersedia. Seseorang
mengetuk pintu balkonku dan aku melihat Alexa
berdiri di ambang pintu. "aku tidak
mengagetkanmu kan? Bukumu kelihatannya tebal,
aku tidak mau itu menimpa kepalaku kalau aku
mengagetkanmu" ujarnya, duduk di
sampingku. Aku tersenyum. "ada apa?"
tanyaku. Alexa terdiam. "kau sudah dengar?"
tanyanya. "dengar apa?". "kau benar-benar belum
mendengarnya?" tanyanya lagi. "Alexa cepat katakan
ada apa! Jangan bertele-tele" kataku, jengkel. Dia
mendesah. Whoa, firasat buruk. "aku akan masuk
sekolah asrama" ujarnya. Aku mengangguk-angguk
karna tidak terlalu mendengarkannya. Aku

68
terkesiap begitu menyadari maksud perkataan
Alexa. "APA?! Kau akan apa?! Bagaima-
hmmpft". Alexa membungkam mulutku dengan
tangannya. "kecilkan suaramu Alexis! Mom dan
dad belum tahu kalau aku mengetahui ini
semua". "tunggu. Apa maksudmu mereka belum
tahu?" tanyaku, bingung.
Alexa mendesah lagi. "aku tidak sengaja mendengar
mereka membicarakan ini setelah makan malam
tadi". Alexa menaikkan kakinya lalu memeluk
lututnya. Aku terdiam. Aku tidak percaya.
Walaupun aku dan Alexa terkadang bertengkar,
tetapi aku menyayanginya. Sangat. Dialah tempat
aku menceritakan semua yang terjadi dalam hari-
hariku. Hanya dialah yang paling mengerti apa yang
ku inginkan dan yang sedang ku rasakan. Aku tak
dapat membayangkan kalau dia pindah ke sekolah
asrama. "lalu? Kau menerimanya begitu saja?"
tanyaku. Alexa mengangkat bahunya lalu mendesah
lagi. Aku ikut mendesah di sampingnya. "aku tidak

69
ingin kau pergi Lex. Kau yang selalu menemaniku,
akan jadi apa hidupku tanpamu? Aku bahkan tidak
yakin dapat melewati satu hari aja tanpa melihat
wajahmu atau mendengar suaramu" kataku. Dia
memukul kepalaku. "kau terdengar seperti lesbi
Lexis. Menjijikan" gerutunya. Aku tertawa dan
mengernyit meningat ucapanku pada Lexa barusan.
Dia benar. Aku terdengar seperti penyuka sesama
jenis. Lexa bangkit dari duduknya. "kau mau
kemana?" tanyaku. "aku mengantuk. Aku akan
pergi tidur" jawabnya, beranjak dari
balkonku. "tidur nyenyak Lex" gumamku. "kau
juga" balasnya. Aku mendesah lagi. Aku sungguh-
sungguh tidak ingin Lexa pergi. Dia adikku satu-
satunya dan entah apa yang akan terjadi nanti di
sekolah barunya. Bisa saja dia di musuhi teman-
temannya, atau dia diculik dan di sandera selama
berbulan-bulan atau mungkin asramanya adalah
sekolah agen rahasia seperti FBI yang melawan
teroris-teroris kelas kakap?. Oke, aku tahu, aku

70
memang berlebihan. "apa yang sedang kau
pikirkan?". Seseorang memaksaku keluar dari
pikiranku dan membuatku kembali ke kehidupan
nyata. Aku menoleh dan melihat Justin sedang
berdiri di balkonnya. "tidak ada. Apa yang kau
lakukan di sana?" tanyaku. "memangnya aku tidak
boleh berdiri di balkonku sendiri? Apa yang sedang
kau kerjakan?". Dia duduk di kursi di balkonnya
sambil menghadap ke arahku. Aku menunjukkan
buku biologiku padanya. "Biologi. Sistem
pencernaan" jawabku. "aku tahu. Wajahmu
berbentuk seperti lambung" ledeknya. "apa?!". Aku
merobek kertas dan melemparnya Justin. "aku
bercanda. Kau sedang ada masalah? Kau bisa cerita
padaku" katanya. Aku membelalakkan mataku. Tak
percaya dia bisa berkata seperti itu. Tak percaya jika
dia ingin mendengarkan masalahku.

***

71
"seperti yang kubilang, kau bisa menceritakan
masalahmu padaku". Justin menoleh padaku. Justin
duduk bersamaku di atas ayunan milikku. Dia
melompati batas antara balkonku dan balkonnya
lagi malam ini. Aku tidak menyahut. Memandang
lurus ke depan sambil memeluk lututku. Entahlah,
aku ragu. Haruskah aku memberi tahu Justin
masalah Alexa?. Maksudku, kami tidak pernah akur
sebelumnya, selalu saja mencoba mencekik leher
satu sama lain setiap bertemu dan baru tadi siang
kami bisa mengobrol dan tertawa karena satu hal
yang sama. Apakah aku cukup bisa
mempercayainya?. "tidak apa jika kau tidak ingin
memberitahuku. Mungkin itu terlalu pribadi
untukmu. Yang penting, kau selalu bisa
menceritakannya padaku" ujarnya lagi. Lalu berdiri
bermaksud kembali ke balkonnya. Aku menarik
ujung kausnya. "Alexa akan pindah sekolah. Dia
akan masuk asrama". Aku mengaku tanpa
menatapnya. Dia kembali duduk sambil

72
memandangiku. "dan kau... tidak mau dia pergi?"
tanyanya. Aku mengangguk dan mendesah. "aku
mengerti perasaanmu" lanjutnya. Aku menoleh ke
arahnya kali ini. Menatapnya bingung. Dia
tersenyum. "aku juga punya adik. Jaxo. Dia juga
seumuran dengan Alexa. Walaupun kami
terkadang bertengkar, aku tetap menyayanginya.
Biar bagaimanapun, dia tetap adikku satu-satunya"
jelasnya. Aku berpaling, kembali menatap lurus ke
depan. Aku tahu maksudnya. Seperti itulah
perasaanku pada Alexa. Alexa yang selalu
menemaniku melewati masa-masa sulit dalam
hidupku. Seperti saat aku mendapat nilai jelek, aku
bertengkar dengan sahabatku di New York dulu
atau saat ikan mas kokiku mati karena ku letakkan
di atas tanah di bawah terik matahari saat umurku
11 tahun. Aku, melewati itu semua
bersamanya. Kurasakan air mataku mulai
menggenang. Aku menarik kembali kesedihanku
tidak mau terlihat lemah di depan semua orang.

73
Terlebih Alexa dan... Justin. "aku yakin ini berat
untukmu. Tapi, ini mungkin memang yang terbaik
untuknya. Orang tuamu pasti ingin yang terbaik
untuk anak-anak mereka kan?. Itulah sebabnya
mereka memutuskan untuk memasukkan Alexa ke
asrama". Dia terus menatapku. Aku kembali
mengangguk. "memangnya kapan dia mau pergi?"
tanyanya. Aku mengangkat bahu. "entahlah.
Mereka belum yakin akan rencana ini". Justin
menatapku tak percaya. "apa? Kukira dia akan
pindah secepatnya. Alexa bahkan belum tentu
benar-benar akan pindah. Dan kau bersikap seolah
dia telah di tenggelamkan di tengah samudra". Dia
memutar bola matanya. Dia ada benarnya juga.
Alexa bahkan tidak yakin atas berita ini. Dan aku
sudah menangis dan bersedih-sedih seperti ratu
drama. Aku seperti ingin menertawakan diriku
sendiri. "kau sangat berlebihan" sambung
Justin. Aku melotot padanya. "kau mau
menghiburku atau mengajakku berperang? Tutup

74
mulutmu sebelum kita saling bunuh" kataku. Aku
tertawa. Dia ikut tertawa. "bagaimana aku bisa
menghiburmu kalau seperti ini kenyataannya?
Lagipula, memangnya kau mau membunuhku
dengan apa? Menimpukkan buku-bukumu itu ke
kepalaku? Kau bahkan tidak bisa melepaskan diri
dari genggamanku". Dia menaik-naikkan alis
matanya ke arahku. Sial. Dia bicara tentang tadi
siang. Aku memukul kepalanya dengan bukuku.
Dia menjerit dan mengambil bukuku. "kau benar-
benar ingin mati Alexis!" katanya, berniat
mendekatkan diri padaku. Aku mengambil bukuku
yang lain lalu mengahalangi wajahnya dengan buku
itu sambil mendorongnya menjauh. "jangan
macam-macam Justin. Kembali ke kamarmu
sekarang sebelum kulempar kau keluar dari planet
ini!" tukasku. Berdiri dan menjauhinya. Dia tertawa
lalu ikut berdiri dan lagi-lagi menyentil keningku
seperti dulu. "baiklah. Aku akan pergi Nona
Melodramatis-Tanpa-Tahu-Kenyataan" katanya,

75
lalau melompat kembali ke balkonnya sambil
tertawa. Aku ikut tertawa lalu merapihkan buku-
bukuku dan masuk ke dalam kamarku.

76
9

Sinar matahari perlahan masuk menembus jendela


kamarku diiringi kicauan burung dan hawa dingin
pagi hari. Aku membuka mataku pelan lalu segera
bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Alexa
keluar dari kamar mandi lalu tersenyum padaku.
Aku melambai dengan mata masih setengah
terpejam lalu masuk ke dalam kamar mandi dan
memulai rutinitas pagiku. Selesa mandi dan yanng
lainnya, aku keluar ke balkonku untuk menghirup
udara segar. Aku tersentak melihat Justin duduk di
atas kursi di balkonnya sambil menyeruput kopinya
dan membaca koran hari ini. Begitu menyadari
kehadiranku, dia mendongak dan tersenyum. Aku
balas tersenyum. "gayamu sok sekali. Seperti
bangsawan meminum secangkir kopi bersama
koran di pagi hari" kataku. Dia menyeringai. "well,
wajahku memang tampak seperti bangsawan, kan?.
Kau juga sudah rapih pagi ini. Biasanya kau baru

77
bangun dengan rambut acak-acakan, bekas liur di
seluruh wajahmu, dan wajah yang dapat membuat
semua tanaman layu seketika" balasnya, sedikit
tertawa. Aku menjulurkan lidahku padanya. Lalu
berbalik bermaksud kembali ke kemarku. "Alexis!"
panggilnya, sebelum aku masuk kembali ke dalam
kamarku. Aku menoleh. "ku tunggu kau di bawah.
Kita berangkat bersama hari ini. Kau mau?"
tanyanya, ragu. Aku tertawa. "kau benar-benar
menyukaiku ya Tuan Sok-Sempurna-Nan-
Sombong?" balasku, jahil. Dia mendelik. "kau ini,
benar-benar sangat percaya diri. Sekolah kita sama
dan kita juga mengambil hampir seluruh kelas yang
sama. Selain itu rumah kita bersebelahan. Kau
harusnya bangga dan memohon-mohon agar bisa
berangkat ke sekolah bersamaku" katanya sambil
menepuk-nepuk dadanya. Aku memutar bola
mataku. "mimpi saja kau!". Aku tertawa lalu masuk
kembali ke kamarku. Samar-samar ku dengar dia

78
tertawa di balkonnya. Aku tersenyum dan
mempersiapkan diri untuk bersekolah.

***

Aku berangkat sekolah bersama Justin. Dia benar-


benar menungguku di depan rumahnya. Aku tahu,
aku tahu, aku biasanya selalu adu mulut dengannya
dan memikirkan seribu cara berbeda untuk
membuatnya tersiksa. Dan perjalanan kami ke
sekolah pagi ini mebuatku berpikir. Dia bukanlah
orang yang buruk. Selain fakta bahwa dia dulu
sangat suka mengatakan sesuatu yang buruk
terhadapku padahal bicara dengan gadis lain saja
hampir tidak pernah, dia adalah orang yang mudah
di ajak bicara dan berpengatahuan luas. Kami
bercanda dan tertawa-tawa sepanjang perjalanan ke
sekolah. Aku masuk ke kelas Mathematikaku
sambil tertawa mendengar ocehan Justin. Ya Tuhan
anak ini sepertinya tidak bisa berhenti bicara! Ada
saja yang dia bicarakan sejak tadi. Dia berjalan di

79
depanku ketika memasuki kelas. Aku memandang
tempat dudukku dan terkesiap melihat Bree sudah
ada di sana dengan tatapan ada-apa-ini? Ke arah ku
dan Justin. Melihatku terkesiap Justin menoleh ke
tempat kemana aku memandang. Dia berbalik
sehingga Bree tidak dapat melihat wajahnya.
"sepertinya kau akan di beri beberapa pertanyaan"
bisiknya, tersenyum jahil. Aku memutar bola
mataku. "itu tidak membantu. Aku akan di
interogasi seperti gembong narkoba" balasku ikut
berbisik. Dia terkekeh lalu duduk di tempat
duduknya dan lagi-lagi tersenyum jahil padaku.
Aku menjulurkan lidah padanya lalu menarik
napas dan melangkah ke tempat Bree menungguku
dengan tidak sabar. Demi Tuhan! Rasanya matanya
nyaris keluar dari rongganya saking penasaran
dirinya. "ada apa ini? Kau? Dan dia? Apa yang
sebenarnya sedang terjadi? Ceritakan padaku!
Semuanya!" bisiknya dengan nada memaksa ketika
aku sampai di meja kami sambil menunjukku dan

80
Justin bergantian. Aku bahkan belum sempat
duduk dan meletakkan tasku. Anak ini benar-benar
ingin tahu. Kurasa dia akan mati penasaran jika
aku tidak memberitahunya. Aku duduk di
bangkuku dan menarik napas dalam-dalam dan
memulai ceritaku dari mimpiku tempo hari.

***

"APA?!". Bree berteriak saat kuceritakan kejadian


tadi siang. Aku membekap mulutnya sambil
melotot. "pelankan suaramu" bisikku, melirik ke
arah Justin. Justin sedang menatap kami lalu dia
mengerling padaku. Aku mendelik lalu mejulurkan
lidahku padanya. "kau gila. Kau benar-benar gila
Alexis!" kata Bree, setelah aku melepaskan bekapan
tanganku. Dia menatapku lekat-lekat. "apa?. Sudah
kubilang, aku dikerjai!. Dia hanya pura-pura
kemarin" sergahku. "berhenti menyangkalnya
Alexis. Aku tahu benar pikiranmu karna aku punya
pikiran yang sama" tukas Bree. "Brittany, ayolah!

81
Tidak mungkin kan Justin menyuka...". Aku tidak
melanjutkan perkataanku, malah melotot
padanya. "itu tepat apa yang aku pikirkan" katanya,
sambil mengangguk. "APA?!". Kali ini aku yang
berteriak. Anak-anak lain yang sudah ada di dalam
kelas sontak menengok ke arah kami. Aku segera
membekap mulutku sendiri sambil menunduk dan
meminta maaf karena telah membuat
keributan. "kau gila Bree. Kau sudah kehilangan
akal sehatmu" kataku. "kalau begitu kau juga"
balasnya, tenang. "bagaimana bisa begitu?". Aku
melipat tanganku di dada. "karna kau juga berpikir
begitu" tukasnya. Aku mendelik dan berniat
berargurmen tapi kutahan karna guru Mathematika
kami sudah memasuki kelas. Selama pelajaran
Matematika, aku melirik kepada Justin yang hari
ini duduk tidak jauh dariku. Terkadang aku
tatapan kami bertemu dan dia pasti mengerling
padaku yang kubalas dengan juluran lidahku. "dia

82
melirik ke arahmu terus" bisik Bree. Aku terkesiap.
"aku tahu" balasku, tersenyum.

***

"ingat besok Alexis". Victoria mengingatkanku saat


jam makan siang. Aku, Bree, Casey, Ari, Victoria
dan Sam duduk di satu meja. Dan entah kebetulan
atau tidak, Justin bersama teman-temannya lagi-lagi
duduk di sebelah meja kami. Dan dia duduk tepat
di sampingku. Aku tidak mempedulikan mereka
karena terlalu sibuk mengobrol dengan teman-
temanku dan makan siangku. Lagipula makan
siang kali ini adalah salah satu favoritku.
Hamburger dengan kentang goreng beserta jus
jeruk dan sekotak yoguhrt. Yumm. "aku tahu Vic.
Aku bersumpah, jika kau mengatakan itu satu kali
lagi, aku akan menimpukmu dengan bola basket"
kataku, memutar bola mata. Victoria tertawa. "ah
Alexis lihat kau dicari kepala sekolah!". Victoria
menunjuk ke arah pintu kafetaria. Aku menoleh

83
dan tidak melihat kepala sekolah disana. Aku
berbalik. "aku tidak melihat kepala seko...". Aku
terhenti begitu melihat yoghurtku telah raib dan
teman-temanku memakannya dengan semena-
mena. "kalian!! Itu kan favoritku!". Aku merengek.
Lalu melotot pada satu-persatu teman-
temanku. Mereka tertawa lalu meletakkan bungkus
yoghurtku yang kosong di depanku. Aku
mengangkat bungkus itu. Kosong tanpa sisa. "tega-
teganya" kataku, cemberut. Tiba-tiba saja sekotak
yoghurt baru yang belum dibuka tergeletak di
depanku. Aku menoleh dan melihat Justin sedang
menatapku. "makanlah. Aku tidak begitu suka
yoghurt" katanya, tersenyum. Aku menganga sambil
mengerjap-ngerjapkan mataku. Dia benar-benar
memberikan ini padaku?. Aku menatapnya tidak
percaya seraya dia bangkit mambawa nampan
makan siangnya dan meletakkannya di pojok lalu
berlalu keluar dari kafetaria. Meninggalkanku,

84
teman-temanku dan teman-temannya terpaku
karena apa yang dilakukannya barusan.

85
10

Sabtu pagi. Aku terbangun karena bunyi pesan


masuk di ponselku. Aku bangkit dan mengambil
ponselku lalu membuka pesannya. Ternyata dari
Victoria. "kami akan sampai di rumahmu pukul
sebelas. Sampai ketemu Alexis" tulisnya. Aku
mendesah. Baiklah, sebaiknya aku mandi dan
bersiap-siap. Setelah mandi dan menyisir
rambutku, aku turun ke bawah untuk
sarapan. "mom teman-temanku sampai pukul
sebelas" kataku sambil menenggak susu. "kau mau
mom menyiapkan sesuatu untukmu dan teman-
temanmu?" tanya ibuku. Aku mengangguk. "boleh.
Tapi tidak usah yang terlalu repot. Mereka hanya
main" jawabku. "berapa orang yang akan datang,
Alexis?" tanya ayahku, meletakkan koran pagi ini
yang dari tadi dibacanya. Aku menghitung dalam
hati. "empat" jawabku. "Megan akan menjemputku
jam satu, mom, dad" kata Alexa. "kau mau

86
kemana?" tanyaku. "aku mau merakit bom bersama
teman-temanku dan meledakkan kota ini"
jawabnya. Aku melempar sepetong kecil roti
padanya. "sinting" sahutku. Alexa tertawa. "kami
mau ke toko buku. Memangnya kau pikir kami
mau kemana?". Aku mengangkat bahu. "entahlah.
Menenggelamkan diri di lautan? Kedengarannya
seru" jawabku. Orang tua kami hanya menggeleng-
gelengkan kepala mereka mendengar percakapan
kami yang di luar percakapan remaja biasa.

***

"ini teman-temanmu di New York, Alexis?" tanya


Bree di depan meja belajarku. Aku menoleh dan
melihat dia menunjuk tempelan foto-fotoku dan
beberapa teman-temanku di New York. Aku
mengangguk. "pasti berat buatmu untuk pindah"
cetus Casey duduk di sampingku di atas kasur. Aku
mendesah. "awalnya memang sulit. Tapi aku bisa
apa? Kami bahkan sempat mogok makan sebelum

87
pindah agar orang tua kami mengurungkan niat
mereka. Awalnya, Lexa yang paling sulit menerima
kepindahan ini. Tapi toh sekarang justru dialah
yang paling bahagia hidup di Stratford. Aku merasa
dihianati" jelasku. Mereka tertawa. "tapi jika kau
tidak pindah, kau tidak akan bertemu kami" kata
Victoria, ikut duduk bersamaku dan Casey. Sam
mengangguk menyetujui. Mereka semua tersenyum
padaku. Aku membalas senyum mereka. "kau
benar. Kalau tetap di New York, aku tidak akan
pernah bertemu orang-orang sinting seperti kalian
semua" ujarku lalu tertawa. Mereka semua
menimpukku dengan bantal.

***

Aku keluar menuju balkon dan menghela napas.


Kunjungan mereka tidak buruk. Mungkin karna
mereka belum bertemu Justin. Omong-omong soal
Justin, aku belum melihatnya sampai siang ini. "kau
melamunkan apa?". Aku terlonjak. Baru aku

88
memikirkannya, dia sudah muncul. Justin berdiri
di balkonnya memakai celana selutut dan kaus biru
polos. "aku tidak melamun. Kau sedang apa?"
tanyaku. Dia melangkah lebih dekat. "aku baru
selesai membantu nenekku. Dia ingin membuat
kue hari ini" jawabnya. Aku terkekeh. "kau?
Membuat kue? Memangnya kau bisa?"
ledekku. "jangan tertawa!. Asal kau tahu saja, aku
sering membantu nenekku membuat kue.
Walaupun kedengarannya aneh, tapi aku cukup
mahir" belanya. Aku tertawa. "baiklah, baiklah.
Terserah apa katamu". Dia cemberut. "Lexis, aku...
Ingin mengatakan sesuatu, boleh?" tanyanya,
ragu. Aku berhenti tertawa dan menatapnya
bingung. "tentu. Kau sering mengatakan macam-
macam padaku selama ini. Kenapa sekarang tidak
boleh?". "kau mengira aku menyukaimu, bukan?
Jika...". "Alexis apa yang kau la- oh! Hi Justin!".
Victoria memotong perkataan Justin dan berdiri di
sampingku. Teman-temanku yang lain ikut keluar

89
ke balkonku dan menyapa Justin. Justin hanya
tersenyum pada mereka. Tapi matanya tidak
terlihat senang. "kya! kamarmu enak sekali. Ada
ayunanya pula" jerit Sam berlarian mengitari
balkonku. Teman-temanku yang lain mengikutinya
dan tertawa-tawa senang. "kau mau mengatakan apa
tadi?" tanyaku pelan. Raut wajah Justin menjadi
berbeda dengan tadi. Dia... terlihat kesal. "lupakan"
ketusnya lalu masuk kembali ke kamarnya. "ada apa
dengannya? Kenapa dia malah masuk ke kamarnya?
Padahal aku di sini untuk melihatnya" kata Victoria
di sampingku. Aku menempelengnya. "dasar
genit". Dia tertawa dan kembali pada teman-
temanku. Aku tidak beranjak dari tempatku tadi
dan memandangi pintu kamar Justin yang tertutup.
Dia kenapa? Kenapa dia terlihat begitu kesal?
Sebenarnya dia ingin mengatakan apa?.

90
11

Keeseokan harinya, hari minggu, aku bangun


cukup pagi hari ini. Aku memutuskan untuk
berlari pagi di sekitar lingkungan rumahku. Aku
bangkit dan mengganti bajuku dengan semacam
celana training selutut dan jaket serta mengenakan
sepatu ketsku. Aku pamit pada ibuku lalau segera
keluar rumah. Aku memasang earphone dan
menyalakan iPodku lalu mulai berlari-lari kecil
mengikuti jalan. Aku berlari sambil sesekali
menghirup udara pagi yang masih segar. Aku
menemukan taman kota dengan trek jogging yang
cukup nyaman yang di kelilingi dengan pohon-
pohon rindang besar di sisinya dan kursi taman
dari kayu di beberapa tempat untuk peristirahatan
orang-orang yang sedang jogging. Aku berlari di
sana sambil terus mendengarkan musik dari
iPodku. Saat berlari, aku kembali teringat dengan
kejadian kemarin dengan Justin. Sebenarnya apa

91
yang ingin dia katakan? Kalau aku mengira dia
menyukaiku, lalu apa?. Kenapa sih dia sering sekali
membuatku penasaran?. Aku juga belum
melihatnya pagi ini. Lagipula dia sepertinya tidak
mau bertemu denganku. Dia terlihat sangat kesal
kemarin. Aku jadi takut. Setelah sekitar tiga puluh
menit berlari-lari kecil, aku duduk di ayunan di
taman dekat trek jogging tadi. Tidak berbeda jauh
dengan trek jogging tadi, banyak pohon besar dan
rindang tumbuh di sekiling taman ini. Aku melihat
beberapa anak kecil berlarian di sekitar taman.
Wow, mereka hebat sekali bangun pagi-pagi hanya
untuk bermain. Mungkin mereka tadi jogging
bersama orang tua mereka, lalu merasa capek
berlari dan pergi kemari untuk bermain.
Entahlah. Selesai beristirahat dan mengatur
napasku, aku memutuskan untuk kembali ke
rumah. Aku kembali melewati jalan yang tadi
kutempuh. Hanya saja aku melewatinya dengan
berjalan sekarang, bukan berlari. Aku berjalan

92
santai sambil sesekali tersenyum saat berpapasan
dengan tetangga dekat rumahku. "ah Alexis! Kau
habis dari mana?" sapa Grandma Bieber ketika aku
melewati rumahnya. Aku berhenti dan tersenyum.
"aku baru kembali dari lari pagi. Aku bangun
cukup pagi dan memutuskan untuk jogging
berhubung sekarang hari minggu" jawabku. "ah kau
rajin sekali. Mampirlah sebentar" ajak
Grandma. Aku tersenyum dan menggeleng. "aku
ingin sekali, grandma. Tapi badanku basah oleh
keringat dan aku belum mandi. Lain kai ya,
Grandma?" tolakku halus. Grandma mengangguk.
"kau benar. Baiklah, salam untuk ayah, ibu dan
adikmu, ya?" katanya. Aku mengangguk. "baiklah.
Salam untuk Grandpa, Justin dan juga Jaxo. Aku
pulang dulu, Grandma. Sampai ketemu". Aku
melambai padanya lalu melangkah kerumahku. Dia
balas melambai lalu masuk ke dalam rumahnya.

***

93
Keesokan harinya, aku sudah siap berangkat
sekolah. Hari ini hari Senin. Aku mengikat tali
sepatuku lalu meraih gagang pintu dan melangkah
keluar. "aku berangkat" pamitku. Aku terkesiap saat
melihat Justin keluar dari rumahnya. Dia
menatapku dingin lalu melanjutkan langkahnya ke
sekolah. Dia sepertinya masih marah. Dia tidak
menawariku untuk berangkat bersama. Bagaimana
ini? Dia berjalan di depanku sekarang. Aku tidak
berani memanggilnya karena takut dia akan
mencekik leherku saking kesalnya. Oh tuhan, apa
yang harus kulakukan?

***

Aku belum mengobrol dengan Justin sampai siang


ini. Jangankan mengobrol, menatapku saja dia
sepertinya tidak mau. Aku mendesah dan
meletakkan nampan makan siangku di meja lalu
duduk bersama teman-temanku. Justin dan teman-
temannya duduk jauh dari mejaku. Jelas sekali dia

94
menjauhiku sekarang. Bree yang duduk di
sebelahku mengelus punggungku lalu tersenyum
padaku. Aku mebalas senyumnya. Ya, aku sudah
memberi tahu Bree semuanya. Dia sangat kaget dan
bingung kenapa kedatangan yang lain ke balkon
Sabtu lalu sangat membuat Justin marah. Aku
hanya mengangkat bahuku. "Lexis, kau baik-baik
saja? Kau kelihatan tidak bersemangat" tanya
Ari. Aku tersenyum. "aku baik-baik saja"
jawabku. "jangan bohong Lexis. Aku tahu ada yang
salah" timpal Sam. Aku mendesah. Haruskah aku
memberitahu mereka?. Maksudku, mereka juga
sahabatku sekarang. Aku menarik napas
dalam. "Justin menjauhiku seharian ini" aku
ku. Mereka terdiam karena kaget dan
bingung. "benarkah? Sepertinya kalian terlihat
akrab beberapa hari terakhir. Apa yang
membuatnya begitu?" tanya Casey. Aku
menceritakan semuanya pada mereka. "aku minta
maaf Lex. Seandainya aku tidak keluar dan

95
menganggu kalian Sabtu kemarin" sesal
Victoria. Aku tersenyum padanya. "tidak apa-apa
Vic. Kau tidak menganggu kok. Dia saja yang aneh
tiba-tiba marah" kataku. "JUSTIN!". Seseorang
berteriak memanggil Justin dari pintu
kafetaria. Aku menoleh dan melihat Riley-temanku
di kelas bahasa- menghampiri meja Justin. Riley
memang menyukai Justin. Dia sudah
menghabiskan hampir seluruh tahunnya di sekolah
untuk mengajak Justin berkencan atau sekedar
mengobrol dengannya. Tetapi, Justin selalu
menacuhkannya. Aku mendapat informasi ini dari
teman-temanku. Apa yang ingin dia lakukan
sekarang?. Dalam hati, aku sedikit berharap Justin
akan mendiamkannya. Riley duduk di sebelah
Justin dan menggeser bangkunya lebih dekat lagi
dengan bangku Justin. Apa-apaan ini?. Aku tidak
bisa mendengar percakapan mereka karena jarak
antara mejaku dan meja mereka. Tapi aku benar-
benar ingin tahu! Kulihat Justin tertawa pada apa

96
yang baru saja Riley katakan. Apa?. Kenapa dia
menanggapinya? Biasanya dia mengacuhkan gadis
itu!. Riley yang juga tertawa, sesekali memegang
tangan Justin dan Justin tampak menerimanya.
Rasanya aku ingin melempari meja mereka dengan
geranat sekarang juga. Tunggu, kenapa aku menjadi
kesal?. Tidak, aku marah. Benar-benar marah
sampai rasanya aku bisa menghancurkan sekolah
ini. Aku bersyukur karna jam makan siang sudah
berakhir dan aku tidak harus melihat mereka
berdua lagi. Aku mengangkat nampan makan
siangku tanpa memakan makanan yang ada di
dalamnya. Aku tidak selera hari ini.

***

Aku benar-benar tidak bicara dengan Justin


semenjak makan siang tadi. Aku bahkan tidak
bertemu dengannya saat pulang sekolah. Biarlah
dia mau marah padaku atau apa. Aku tidak
peduli. Malam ini, aku kembali duduk di ayunan di

97
balkonku sambil membalik-balik halaman majalah
yang kubawa dari dalam kamar. Justin keluar dari
kamarnya dan terdiam menatapku. Aku
menatapnya sekilas lalu kembali membaca
majalahku. Dia berdiri di ujung balkonnya. Aku
berdiri bermaksud kembali ke dalam saat dia
memanggilku. Aku berbalik. "apa?" ketusku. Dia
mengangkat alis matanya mendengar nada suaraku.
"ada apa denganmu?" tanyanya, dingin. "apa? Kau
yang seharusnya ditanya begitu. Lagipula apa
pedulimu?. Kenapa kau tidak mengobrol dengan
penggemarmu itu saja" balasku, tetap ketus. Dia
mengerutkan keningnya. "penggemar? Kau kenapa
sih? Kenapa jadi kau yang marah-marah?". Dia
makin kesal. Aku melipat tanganku di dada. "aku
tidak marah. Untuk apa aku marah?. Memangnya
apa peduliku denganmu dan Riley!". "Riley? Kau
marah karena Riley?" tanyanya, kembali
mengangkat alisnya. "lupakan!". Aku mengentakkan
kakiku lalu masuk ke dalam kamarku. Apa aku

98
marah karena Riley tadi siang? Kenapa aku harus
marah?

99
12

Keesokan harinya, aku masuk ke kelas sejarahku


dengan mood yang tidak lebih baik dari kemarin
malam. Aku tidak bertemu dengan Justin saat
berangkat tadi pagi. Walaupun aku tetap bertemu
dengannya di setiap kelasku hari ini. Aku melihat
Justin sedang duduk di bangkunya sambil membaca
buku. Aku melewatinya tanpa menoleh. Dapat
kurasakan dia melirikku sekilas saat aku lewat di
depannya. Aku meletakkan tasku di bangku lalu
duduk di kursiku sambil mendesah. Ari dan Casey
yang datang lebih pagi dariku melihat wajahku yang
tidak bersemangat. Ari mengelus pundakku. "kau
belum baikan?" tanyanya. Aku menggeleng. "aku
bertengkar dengannya semalam"
jawabku. "bagaimana bisa?" tanya Casey. Aku
menceritakan pada mereka pertengkaranku dengan
Justin semalam. "jangan bilang kau cemburu pada
Riley?". Ari mengambil keputusan begitu aku selesai

100
bercerita. Aku mendelik ke arahnya. "jangan
bercanda Ari. Aku? Pfffttt. Mana mungkin aku
cemburu". "menurutku, temanku seyang, itu
terlihat sangat jelas" sambung Casey. Aku melotot
padanya. Dan dia mengangkat tangannya tanda
menyerah. Aku menoleh pada Ari. Dia mebuat
gerakan seperti mengunci mulutnya. Aku
mendesah.

***

Aku keluar dari gerbang sekolah dan berjalan


sendirian menuju rumahku. Aku menceritakan
pada teman-temanku masalah kemarin malam saat
makan siang, dan reaksi mereka sama: aku
cemburu. "kau camburu Lexis. Jangan coba-coba
bilang tidak!". Bree melotot padaku. Aku
mendengus. "tapi aku memang tidak cemburu.
Bagaiman bisa kalian bilang aku cemburu" aku
tetap menolak. Aku menatap Victoria, meminta
pertolongan. "maafkan aku Lex, aku sangat ingin

101
membantumu menolak, tapi aku setuju pada
mereka" kata Victoria. Aku melotot padanya lalu
menempeleng kepalanya. Itulah percakapanku
dengan teman-temanku tadi siang. Kenapa meraka
bersikeras bahwa aku cemburu? Untuk apa aku
cemburu?. Aku bahkan tidak menyukai Justin, ya
kan?. "Alexis". Aku terpaku mendengarnya
memanggilku. Aku berbalik dan, di situlah Justin.
Berdiri tidak jauh di belakangku sambil menatapku
lurus. Aku menelan ludah berharap tidak akan
terjadi adu jotos antara aku dengannya mengingat
kami masih bertengkar. Dia maju mendekatiku.
Aku tetap berdiri di posisiku menatap setiap gerak-
geriknya. "kau terlihat banyak melamun hari ini"
katanya, dingin. Mendengar nada bicaranya, aku
merasa ingin menyemburnya sekarang juga. "apa
pedulimu?" jawabku, ketus dan melipat tanganku di
dada. "kau kenapa sih? Kau marah padaku?
Kenapa?" tanyany bertubi-tubi, ikut kesal. "aku?
Marah padamu? Yang benar saja. Bukannya kau

102
yang marah padaku? Kau yang mendiamkanku
sejak hari Sabtu!" jawabku sedkiti berteriak. Dia
terdiam. "kau tidak mengobrol denganku sejak
Sabtu pagi di balkonku saat kau bilang ingin
memberi tahuku sesuatu lalu teman-temanku
datang menginterupsimu. Sebenarnya apa yang
ingin kau katakan? Hah?" lanjutku, semakin
mengeraskan suaraku. "bagaimana kalu aku
memang menyukaimu?!" akunya ikut
berteriak. Aku menganga dan terkesiap. Dia bilang
apa?! Dia tidak mungkin menyukaiku, kan?. "ya. Itu
yang ingin ku katakan padamu Sabtu kemarin. Aku
menyukaimu, Alexis Johnson" lanjutnya. Aku tetap
tepaku, tidak dapat bergerak. Jantungku berdetak
dua ratus kali lebih cepat dari biasanya dan aku
tidak tahu harus mengatakan apa. Otakku seperti
tidak bekerja. Justin mengerang. "katakanlah
sesuatu Alexis. Kau membuatku gila". "oh". Hanya
itu yang keluar dari mulutku. Dia mendengus.
"'oh'? Hanya itu jawabanmu? Ayolah, aku sudah

103
membuang jauh-jauh harga diriku untuk
mengakuinya padamu dan jawabanmu hanya satu
kata sederhana itu? Kau benar-benar melukai harga
diriku" protesnya. Aku memukul kepalanya. "tutup
mulutmu!. Ayo pulang" jawabku, kembali
berjalan. Dia mengikuti di belakangku, masih
memprotes. "Alexis kau keterlaluan"
gumamnya. Aku menoleh. "kau bilang sesuatu?"
tanyaku, melotot padanya. "tidak ma'am" jawabnya,
cemberut. Aku tertawa dan mencubit pipinya lalu
berlari meninggalkannya yang berteriak padaku.

***

Malamnya, aku mendengar ketukan di pintu kaca


yang menuju balkonku. Aku mengerutkan kening
lalu membukanya dan hampir serangan jantung
melihat Justin berdiri di balkonku. "apa yang kau
lakukan di sini?" bisikku. Dia tersenyum. "hanya
melakukan kunjungan ke tetangga sebelah
kamarku" jawabnya. Aku memutar bola mataku

104
lalu hendak menutup pintu tapi terhalang oleh
kakinya. "apa maumu?" tanyaku. "aku bosan.
Temani aku mengobrol?" ajaknya. "ajak adikmu
saja" jawabku, berniat menutup pintu lagi dan
kakinya menghalangi lagi. "ayolah" katanya
lagi. "aku sedang tidak ingin mengobrol sekarang.
Lain kali saja". Aku meolaknya lagi. "kau sedang
ada masalah? Mau menceritakannya padaku?"
tanyanya. Aku mendesah lalu keluar ke balkonku
bersamanya. Kami duduk bersebelahan di
ayunanku sambil berayun-ayun pelan. "Alexa akan
benar-benar pergi ke sekolah asrama" kataku. Dia
menoleh padaku seketika. Dia tampak
terkejut. "benarkah? Jadi dia benar-benar pergi?"
tanyanya. Aku mengangguk. Lalu memeluk
lututku. "tadi, saat makan malam, ayah dan ibuku
memberi tahu kami" lanjutku. "apa reaksi Alexa?".
Dia menggeser posisinya menghadapku
sekarang "dia jelas-jelas menolak. Dia menangis dan
langsung masuk ke kamarnya. Dia bahkan belum

105
selesai makan dan tidak keluar kamarnya sampai
sekarang" jelasku. "kau sudah bicaranya padanya?"
tanya Justin lagi. Aku mengangguk. "aku langsung
menyusulnya ke kamar. Kami bahkan menangis
bersama. Kau tahu salah satu alasan dia tidak ingin
pindah?" tanyaku. Justin menggeleng. "dia
menyukaimu adikmu" kataku terkekeh. Justin
membelalakkan matanya. "Jaxo? Anak kecil jaman
sekarang sangat cepat tumbuh dewasa" jawabnya,
menggeleng-gelengkan kepala. Aku tertawa lalu
memukul lengannya. "jangan sok" kataku. Dia ikut
tertawa. "tapi, bukankah ini lucu? Aku
menyukaimu, dan adikmu menyukai adikku"
katanya, tertawa lebih keras. Aku tersipu
mendengar ucapannya. "apa-apaan sih kau. Aku
serius" kataku, memukul lengannya lagi. "aku juga"
ucapnya, jahil. Dia menaik-naikan alisnya
padaku. Aku menempeleng kepalanya. "tapi, aku
benar-benar tidak ingin dia pergi" kataku,
mendesah. Dia ikut mendesah. "nanti siapa yang

106
akan menemaniku jika aku bosan? Siapa yang akan
mendengarkan ceritaku? Dan siapa yang akan
menghiburku?" lanjutku. Justin tersenyum lalu
merangkulku. Aku membelalakkan mata melihat
apa yang dia lakukan. "aku yang akan melakukan
itu semua untukmu" katanya, tersenyum dengan
senyum paling menawan yang dimilikinya. Aku
terpaku mendengar ucapannya. Lagi-lagi jantungku
tidak terkendali. Rasanya, ingin sekali ku
masukkan jantungku ini ke dalam kotak dan
kubuang di tengah laut agar Justin tidak bisa
mendengar detaknya yang sangat berisik
ini. "pipimu merah". Justin menaik-naikkan alisnya
lagi dan tersenyum jahil. Aku sadar dari
lamunanku lalu melapaskan diri dari rangkulannya
dan memukulnya. "kau tersipu". Dia menunjuk
wajahku. Aku melotot padanya. "tidak"
jawabku. "ya. Pipimu merah sekali. Coba kau lihat
itu" katanya lagi lalu tertawa keras-keras. Aku
memukul-mukul badannya dan ikut tertawa

107
bersamanya. Mengapa terasa sangat nyaman saat
bersamanya?

108
13

Keesokan paginya, aku terbangun oleh suara dering


ponselku. Aku mengerang lalu mengangkat
panggilan masuk tersebut. "ke balkonmu
sekarang". Seketika aku terbangun saat mendengar
suara Justin di seberang. "apa? Untuk apa? Kau
gila?" kataku. "pergi ke balkonmu sekarang"
perintahnya lagi. Aku mendesah. "iya. Tunggu
sebentar". Aku bangkit dari tempat tidurku lalu
melangkah ke arah pintu depan kamarku. Aku
nyaris terjungkal saat melihat Justin duduk di
ayunanku dan tersenyum lebar dengan ponsel di
telinganya. Aku memegangi dadaku sambil
mengatur napasku. "kau membuatku serangan
jantung. Apa yang kau lakukan?". Dia terkekeh.
"hanya membangunkanmu" jawabnya. Apa? Dia
bilang apa? Membangunkanku? Mungkin
kesadarannya belum kembali sahabis tidur tadi.
Aku mendekatinya lalu menyentuh keningnya.

109
Tidak panas. Lalu mengapa dia mengigau?. "kau
kenapa?" tanyanya, bingung. Bukannya menjawab,
aku malah memukul pipinya. "kenapa kau
memukulku?!" tanyanya, shock. Dia melotot
padaku sambil memegang pipinya yang tadi di
pukul. Aku mengerucutkan bibir. "keningmu tidak
panas, dan kau kesakitan saat kupukul. Berarti kau
memang sudah tidak waras" kataku, mengelus-
ngelus daguku. Dia berdiri lalu menyentil dahiku.
"aw apa-apansih kau?" protesku. Dia
memandangiku. "kau pikir aku sakit? Aku sudah
sepenuhnya bangun dan segar. Dirimulah yang
baru bangun. Lihat wajahmu. Kau harusnya malu
malu menjadi wanita" katanya. Aku melotot
padanya lalu menempeleng kepalanya. "tak usah
mengomentariku. Kau juga belum mandi" kataku,
melipat tanganku di dada. "tapi aku tetap tampan"
balasnya, menaik-naikan alisnya. Aku memutar
bola mataku lalu mendorongnya agar kembali ke
kamarnya. "sebaiknya kau pergi. Aku mau mandi.

110
Kau sudah merusak pagiku". Dia tertawa lalu
melompati pagar pembatas balkonku dengan
balkonnya dengan mudah. Aku hampir masuk ke
dalam kamarku saat Justin memanggilku. Aku
berbalik. "ku tunggu kau di bawah" katanya
tersenyum, lalau masuk ke kamarnya. Aku
menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum lalu
masuk ke dalam kamarku. Anak itu.

***

"APA?!". Teman-temanku menjerit bersamaan


ketika kuceritakan apa yang Justin katakan padaku
kemarin. Aku mengernyit dan melotot pada
mereka semua. "pelankan suara kalian. Kita di
kafetaria saat ini". "sudah kubilang, kan? Kau yang
tidak percaya padaku". Bree melipat tangannya di
dada sambil terus menatapku. "aku tidak
menyangka Alexis. Kau bisa mengambil hati
seorang Justin Bieber. Dia tidak pernah berurusan
dengan wanita sejak kelas satu sampai kelas tiga

111
sekarang. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak
tertarik pada wanita" celetuk Casey. Kami tertawa
mendengar perkataan Casey. "aku tahu. Sejak
pertama kali kalian mengobrol-bertengkar lebih
tepatnya- akan ada sesuatu diantara kalian"
sambung Ari. Aku mendelik ke arahnya lalu
tertawa. "lalu bagaimana denganmu? Kau
menyukainya?" tanya Victoria. Aku tercekat. "mm...
aku... Aku tidak tahu" aku ku. Mereka semua
mendesah dan mengelus pundak dan
tanganku. Aku tidak sengaja melihat Justin di
seberang kafetaria tengah duduk sendiri dan tengah
memandangiku. Dia menaikkan telunjuknya ke
arahku menyuruhku untuk datang padanya. Aku
menoleh ke kanan dan kiri melihat mungkin dia
sedang bicara dengan orang lain. Aku menunjuk
diriku padanya. Dia mengangguk lalu
tersenyum. "well, pacarmu memanggil, Alexis.
Sebaiknya kau menghampirinya" ledek Sam. Yang
lain tertawa bersamanya. Aku melotot pada

112
mereka. "tutup mulutmu. Dia bukan
pacarku". "belum" sambung Victoria. Yang lain
mengangguk menyetujui. Aku memutar bola
mataku pada mereka lalu bangkit dari mejaku dan
melangkah ke meja Justin. Apa maunya sekarang?

***

Aku meletakkan nampan makan siangku di meja


lalu duduk di hadapan Justin. "temani aku makan
siang hari ini?" pintanya. "memangnya teman-
temanmu kemana?" tanyaku. "disana". Dia
menunjuk ke sebelah barat kafetaria. Aku menoleh
dan melihat teman-temannya terkekeh saat
memandangi kami. Dan aku menyadari, bukan
hanya mereka yang memandangi kami sekarang.
Melainkan seluruh manusia yang ada di kafetaria
melayangkan pandangan padaku dan Justin yang
duduk bersama hari ini. "kenapa kau tidak duduk
saja dengan mereka?" tanyaku lagi. Berusaha
mengacuhkan pandangan orang-orang pada

113
kami. "aku mengusir mereka" jawabnya santai.
Masih dengan senyum tersungging di
bibirnya. "apa? Kenapa?". Bagaimana bisa dia
mengusir teman-temannya? Teman macam apa dia
sebenarnya?. "aku mengusir mereka agar aku bisa
makan siang denganmu hari ini". Dia mengangkat
bahunya. Aku memutar bola mataku. "apa yang
salah denganmu? Kenapa kau bisa sangat baik
padaku secara tiba-tiba? Padahal satu minggu yang
lalu kita bisa saja saling bunuh hanya karena
perkataanmu padaku" kataku, menggeleng-
gelengkan kepala. "well, cinta bisa merubah
segalanya". Dia tertawa. Aku mendelik lalu
menimpuknya dengan kentang goreng. "kau
sinting". Aku tertawa bersamanya. "aku sinting
karenamu" katanya, mengerling. Aku mendengus
dan melemparnya lagi dengan kentang. "apa yang
sedang kau coba lakukan? Merayuku?"
tanyaku. "tidak. Aku sedang menunjukkan padamu
cintaku" katanya lagi. Aku tertawa mendengarnya.

114
"siapa kau dan apa yang kau lakukan pada si ketus
Justin?" kataku, bercanda. Dia tertawa. "tidak akan
ada lagi Justin yang bersikap ketus untukmu. Aku
akan selalu membuatmu tersenyum" jawabnya. Aku
terdiam mendengar perkataannya. Dapat kurasakan
pipiku menghangat dan jantungku berdegup dia
atas keadaan normal. Sial. Anak ini membuatku
begini lagi. "nah, kau tersipu lagi" katanya, lalu
tertawa terbahak-bahak. Aku melemparnya dengan
konteng goreng lagi sambil melotot. "tutup
mulutmu. Aku tidak tersipu". "kau sangat tersipu.
Bair kutebak, pasti jantungmu berdetak lebih cepat
sampai rasanya ingin kau keluarkan jantungmu itu
dari tubuhmu, ya kan?" terkanya. Sial. Bagaimana
dia tahu?. Aku mendengus. "jangan sok tahu". "apa
yang kalian lakukan?". Seseorang bertanya dari
sebelah Justin. Aku dan Justin sontak mendongak
pada si pemilik suara. Riley berdiri di samping
Justin, terlihat kesal dan tidak nyaman. Wajahnya
merah padam seperti sedang menahan napas di

115
dalam air. Aku mendengus lalu membuang muka.
Apa lagi maunya?. "kudengar barusan, kau
menyukai Alexis, benarkah Justin?" tanya Riley,
menahan napas. Aku menoleh ke arah Justin. Dia
menatapku sekilas lalu tersenyum kepada Riley.
"benar. Aku menyukainya. Apa itu mengganggumu
Riley?" tanyanya, santai. Aku mengalihkan
pandangan pada Riley. Dia tampak seperti
kehabisan napas. Aku khawatir jangan-jangan dia
memang mempunya masalah dengan pernapasan
atau tersedak makan siang hari ini. Dia menarik
napas panjang lalu dengan menekankan setiap kata
dia berkata "aku tidak terganggu sama sekali Justin".
Lalu dia pergi meninggalkan kami keluar dari
kafetaria. Begitu dia pergi, aku dan Justin sontak
tertawa terbahak-bahak sampai-sampai perutku
sakit. "kau lihat wajahnya? Dia seperti sedang
mengangkat beban seberat dua ton" kata Justin,
masih tertawa. Aku memuku lengannya. "kau
sangat kejam. Dia pasti sakit hati. Dia sudah

116
menyukaimu sejak kelas satu, tahu!" kataku, juga
tertawa. Justin mengangkat bahunya lagi. "aku tahu
tapi aku tidak peduli. Lagipula aku tidak pernah
menyukainya. Aku bahkan baru mengingat
namanya di kelas tiga" jawabnya, acuh. "Riley yang
malang". Aku menggeleng-gelengkan
kepala. "lagipula, kau tidak suka dengannya, kan?"
tanyanya. Aku mendelik. "tidak, itu tidak benar.
Lagipula, memangnya kenapa kalau aku tidak suka
dengannya?. Tidak ada hubungannya dengamu,
kan?" kataku. "kau mendengus saat dia datang.
Tentu saja kau tidak menyukainya. Dan tentu ada
hubungannya. Sudah kubilang, bukan? Aku akan
selalu membuatmu tersenyum?" ujarnya. Lagi-lagi
menyunggingkan senyum menawannya yang
mampu membuat setiap gadis kehabisan napas.

117
14

"Apa saja yang kau bicarakan dengannya selama


makan siang tadi? Kau harus menceritaan padaku
semuanya" tuntut Bree. Kami sedang melangkah ke
kelas kami berikutnya, Biologi. Aku mengangkat
bahuku. "kami hanya mengobrol biasa" jawabku,
lalu tersenyum. Bree melihat senyumku lalu
menatapku dengan tatapan jahil. "itu tadi jelas
menunjukkan kalian tidak hanya mengobrol biasa.
Alexis, katakan padaku!" pintanya. Aku mendesah
lalu menceritakan padanya percakapanku dengan
Justin saat jam makan siang tadi. Bree menjerit
kecil atau menahan napas saat ku beritahu apa yang
Justin katakan padaku. "oh dia jelas-jelas sangat
menyukaimu. Apa kalian sudah pacaran?" tanyanya,
kembali antusias. Aku menggeleng keras-keras.
"tidak. Tentu tidak. Selain dia belum melemparkan
pertanyaan itu, aku tidak mau dibakar hidup-hidup
oleh penggemarnya yang ada di sekolah" kataku.

118
Kami masuk ke dalam kelas lalu duduk di bangku
kami. Bree mengangguk. "kau benar. Tadi aku juga
melihat Riley menghampiri meja kalian. Apa yang
dia lakukan?" tanyanya, lagi. "dia bertanya apakah
Justin menyukaiku" jawabku, santai. "dan katanya?".
Bree lagi-lagi menahan napas menunggu
jawabannya. "Justin bilang dia memang
menyukaiku. Dan aku bersumpah, Bree, kau
harusnya melihat wajahnya! Dia seperti tercekik!"
jawabku. Bree menjerit lalu memelukku . "kau
benar-benar hebat Alexis!. Kau bahkan
mengalahkan Riley". Aku menggeleng-geleng
melihat tingkahnya lalu tertawa. Aku seketika
berhenti tertawa ketika kulihat Justin masuk dan
duduk di meja sebelahku. Dia duduk sambil
tersenyum padaku lalu sibuk mengeluarkan
peralatan menulis dan buku-bukunya. Anak ini
benar-benar. Guru Biologi kami masuk dan aku
juga mengeluarkan buku-buku dan alat
tulisku. Tiba-tiba, gumpalan kertas kecil terlempar

119
ke atas mejaku. Aku menoleh dan melihat Justin
yang tersenyum padaku. Kertas ini darinya?. Apa
lagi maunya kali ini?. Aku membuka kertas tersebut
dan melihat tulisanan tangan Justin. Aku
membacanya. "hai" tulisnya. Aku mendelik
membaca tulisannya lalu melotot padanya. Dia
hanya tersenyum. Aku kembali meremas kertas itu
lalu menyimpannya di sakuku. Satu kertas lain
muncul di mejaku. Aku membukanya. "kenapa kau
tidak membalas?" tulisnya lagi. Aku meremasnya
lagi dan kembali memasukkannya di sakuku. Kali
ini, selembar kertas di lipat dua yang ada di
mejaku. "Alexis balas suratku!" tulisnya kali
ini. Aku mendesah lalu mengambil penaku dan
membalas suratnya. "apa maumu?" balasku. Dia
tersenyum saat aku mengembalikan suratnya. "tidak
ada. Aku hanya ingin mengobrol :)"
tulisnya. "jangan ganggu aku" balasku lagi. "tapi aku
hanya ingin mengobrol :(". Dia memandangku
sedih saat aku melihat ke arahnya setelah membaca

120
balasannya. Aku mendesah lagi. "kau ingin
mengobrol tentang apa?". "dirimu" balasnya. "yang
benar saja!". Aku melotot padanya. Dia terkekeh
kecil. "baik-baik aku bercanda. Aku sedang tidak
ingin belajar Biologi hari ini" tulisnya. "tapi aku
ingin. Jangan ganggu aku" balasku. "kumohon?".
Dia menyatukan telapak tangannya kali ini. Aku
mengacuhkannya lalu memasukan kertas tadi ke
sakuku lagi tanpa membalas.

***

Aku sedang memasukkan buku-buku ke loker saat


Riley memanggilku. Teman-temanku sudah pulang
terlebih dulu karna aku harus ke ruang guru
menemui guru bahasa Jermanku tadi. Dan sekolah
sudah cukup sepi sekarang. Aku menghampiri
Riley. Riley menyuruhku mengikutinya. Aku
mengekorinya dari belakang sedangkan dia berjalan
di depanku. Dia mengajakku ke kamar mandi
wanita. Aku sempat khawatir. Aku tahu Riley

121
menyukai Justin dan aku yakin dia pasti sangat
kesal dengan apa yang terjadi di kafetaria saat jam
makan siang tadi. Aku menghela napas lalu
mengikuti Riley masuk ke dalam kamar mandi.
Semoga dia tidak ingin melakukan sesuatu yang
buruk. Aku melihat Riley menungguku sambil
menyender pada dinding di dalam kamar mandi.
Aku mendekatinya. "ada yang ingin kau bicarakan,
Riley?" tanyaku, ramah. Dia tidak menjawab, hanya
memandangiku dengan ekspresi datar. Aku juga
diam, menunggunya untuk bicara. Kami saling
bertatapan. Dapat ku rasakan kebencian dalam
sorot mata Riley. Aku tidak menyalahkannya.
Tentu saja dia pasti kesal padaku. Aku mengerti.
Karna bagaimanapun juga, aku sama-sama
wanita. Dia mendengus lalu memalingkan
wajahnya. "bagaimana Justin bisa menyukaimu?"
tanyanya, pelan. Sepertinya pertanyaannya bukan
ditujukan untukku. Melainkan untuk dirinya
sendiri. "kau bilang apa?" tanyaku, tetap berusaha

122
terdengar ramah. Dia menoleh. "tidak. Bukan apa-
apa. Jadi itu semua benar?. Justin menyukaimu?
Apa itu benar?" aku mengangkat bahu. "Justin
bilang begitu padaku. Tapi untuk benar atau
tidaknya, aku tidak tahu. Itu kan perasaan Justin"
jawabku. Dia mendengus lagi. Lalu melotot
padaku. "kau bahkan tidak lebih cantik dariku.
Bisa-bisanya Justin melihatmu, bukan aku!"
katanya, lagi. Nada bicaranya sudah mulai
meninggi. "benarkah? Sepertinya Justin tidak
berpendapat begitu" ujarku, santai. Riley tampak
semakin kesal mendengar ucapanku. Dia
menghentak bahuku dan aku terhuyung sedikit ke
belakang. "jaga mulutmu, Alexis! Bukan berarti
Justin menyukaimu kau bisa bicara seenaknya!"
bentaknya. "aku tidak bicara seenaknya Riley. Dan
memangnya kenapa kalau Justin memang
menyukaiku? Kau pikir aku menggunakan itu
untuk melakukan hal-hal aneh?. Lagipula DIA yang
menyukaiku, bukan aku yang berusaha

123
membuatnya menyukaiku. Aku bukan dirimu!"
jawabku, mulai kesal. "kau! Berani-beraninya kau!".
Riley berteriak lalu mendorong bahuku. Aku balas
mendorong bahunya. "asal kau tahu saja Riley,
kalau kau pikir aku lemah dan tidak akan
melawanmu saat kau melakukan hal-hal buruk
padaku, kau salah besar! Aku tidak peduli apakah
aku murid baru atau bukan, aku akan membela
harga diriku!" gertakku, menatapnya tajam. Riley
mundur beberapa langkah hingga punggunya
membentur tembok, lalu dia merosot perlahan dan
menutup wajahnya. "kenapa? Kenapa dia malah
menyukaimu? Aku sudah berusaha dari kelas satu.
Lalu kau datang dan dia malah melihatmu bukan
aku. Kenapa? Kenapa Alexis?". Riley menangis di
balik tangannya. Aku kaget melihat emosi Riley
yang berubah drastis. Dia membentak-bentak
diriku dua puluh detik yang lalu dan dia sekarang
menangis tersedu-sedu di hadapanku. Aku
menatapnya sedih. "aku menyukainya sejak

124
pertama kali aku melihatnya. Dan sejak itu, aku
berusaha menarik perhatiannya. Aku tahu, dia baru
mengingat namaku saat kelas tiga. Tapi itu tidak
maasalah bagiku. Karna dia ingat namaku. Lalu kau
pindah ke sini dan semuanya kau rebut.
Semuanya!" lanjutnya. Aku merasa kasihan pada
Riley. Aku berjongkok di depannya lalu mengelus-
elus pundaknya. Dia pasti sangat menyukai Justin.
Mungkin mencintainya. "aku minta maaf Riley.
Aku tidak bermaksud seperti itu. Tidak pernah
sekalipun terbersit di otakku akan seperti ini
jadinya. Aku benar-benar minta maaf" kataku. Dia
membuka tangannya dan menatapku. Matanya
sembab dan merah. Pipinya basah oleh air mata.
Dia pasti sudah menyimpan semua ini begitu lama.
Rasa sedihnya karena orang yang di sukainya
bahkan tidak menyadari kehadirannya. Dan dia
baru bisa mengeluarkannya sekarang. "aku tidak
pernah meminta Justin menyukaiku. Kau bahkan
tahu, bukan? Aku dan dia selau bertengkar dulu.

125
Dia selalu mengatakan hal-hal pedas padaku. Dan
itu tidak hanya satu atau dua kali" lanjutku. "aku
tahu. Tapi kau mendapatkan perhatiannya dengan
itu. Justin jarang bicara dengan wanita. Hanya
kaulah yang paling sering di ajaknya bicara"
jawabnya. "Riley, Justin baru menyukaiku. Dan itu
bisa berubah kapan saja. Selama kau mau berusaha,
kau pasti bisa mendapatkan perhatiannya. Kau
harus berjuang". Aku menyemangatinya. Dia
menggeleng. "tidak. Aku tidak akan berharap pada
Justin lagi. Aku sudah lelah berusaha menarik
perhatiannya. Aku sudah tidak ingin melakukan
hal yang aku tahu itu tidak akan berhasil"
balasnya. Aku menariknya dalam pelukan. "pasti
berat sekali menjad dirimu. Aku benar-benar minta
maaf" kataku. Dapat kurasakan mataku mulai
basah. "aku tahu. Tapi tidak apa. Seperti katamu,
kau tidak pernah memintanya menyukaimu. Aku
minta maaf karena meledak padamu" katanya. Aku
tersenyum lalu mengelus punggungnya. "aku tidak

126
memikirkannya. Aku mengerti perasaanmu. Aku
juga akan melakukan hal yang sama kalau aku jadi
kau" jawabku.

***

"kau dari mana saja? Kenapa baru sampai rumah?


Lihat sudah jam berapa sekarang? Kau ini gila atau
apa?". Aku terkesiap mendengar suara Justin yang
sedang mengomeliku. Aku mendongak dan
meihatnya berdiri di depanku dengan wajah
kesal. Aku tidak menyadari kalau aku sudah sampai
di depan rumahku karena melamun selama
perjalanan pulang. Justin berdiri di depan pagar
rumahnya sambil melipat tangannya di dada. Apa
dia menungguku?. "kau mau aku menjawab
pertanyaanmu yang mana? Kau ini seperti ayahku
saja" gumamku. "Alexis aku serius! Ini hampir gelap
dan kau baru sampai rumah. Sebenarnya kau habis
melakukan apa?!" tanyanya, masih dengan nada
tinggi. "aku habis dari sekolah. Aku lelah. Aku

127
bicara padamu nanti saja" jawabku, lalu melangkah
meninggalkannya. Aku sedang tidak ingin bicara
pada siapapun. Aku masih meimikirkan Riley. Dia
pasti sangat merana. "apa?! Alexis! Alexis!". Justin
memanggil-manggilku dari belakang. Aku
mengacuhkannya dan masuk ke dalam rumahku.

128
15

Malam harinya aku tidak berniat untuk sekedar


duduk berayun-ayun pelan di atas ayunan di
balkonku. Mungkin karena aku juga belum ingin
mengobrol dengan Justin. Entahlah, setelah
melihat ledakan emosi Riley tadi sore, aku merasa
aku adalah orang yang jahat. Maksudku, Riley
sangat menyukai Justin dan Justin justru terang-
terangan menunjukkan kalau dia menyukaiku.
Riley pasti sangat terluka. Aku mendesah lalu
mengacak-acak rambutku. "apa yang harus aku
lakukan? Kenapa Riley harus meluapkan emosinya
padaku? Dan kenapa Justin harus menyukaiku?"
keluhku. Aku terlonjak saat pintu depan kamarku
diketuk. Pasti Justin. Apa maunya? Bukankah aku
sudah bilang aku sedang tidak ingin mengobrol
dengannya? Dia kenapa sih? Susah sekali
diberitahu. Aku berniat mengacuhkan ketukannya
dan tetap duduk di meja belajarku, tapi Justin tidak

129
berhenti mengetuk!. Dia bahkan mengetuk seperti
orang gila. Aku mendengus lalu bangkit dan
melangkah ke pintu depan kamarku. "apa?"
jawabku, datar. "kau habis ngapain sih? Aku
mengetuk pintumu sejak tadi, tapi kau tidak
membukanya. Hampir saja aku mengetuk pintumu
sampai hancur" katanya. "kau kenapa? Kau aneh
sejak pulang sekolah barusan. Ada yang
mengganggu pikiranmu?" tanyanya bertubi-
tubi. Aku bertanya-tanya, bisakah anak ini diam
hanya untuk lima menit?. Dia cerewet sekali. "tidak
apa-apa. Aku hanya kelelahan" jawabku. Dia
memandangiku lekat-lekat. Aku risih
dipandanginya begitu. "mengapa kau
memandangiku seperti itu?" tanyaku. "kau punya
masalah. Dan kau tidak memberitahuku"
katanya. "memangnya aku harus memberi tahu
semua masalahku padamu? Kau kan bukan siapa-
siapa ku" ujarku, tetap datar. Justin tampak
tersentak mendengar perkataanku. Ekspresinya

130
berubah menjadi kelam. Sesaat aku menyesali
perkataanku barusan. Dia menghela napas lalu
tersenyum miris. "kau benar. Aku memang bukan
siapa-siapamu. Kenapa aku sangat
mengkhawatirkanmu, ya? Apa aku sangat
menyukaimu hingga melakukan hal-hal itu?"
tanyanya pada diri sendiri tanpa menatapku. Sial.
Aku benar-benar menyesal telah berkata begitu
padanya. Dia bisa sekali membuatku merasa
bersalah. "baiklah. Aku minta maaf telah
mengkhawatirkan dirimu, Alexis. Aku pulang dulu"
lanjutnya, masih dengan nada sedih yang sama lalu
melompat kembali ke balkonnya dan masuk ke
kamarnya. Dia... tampak sangat terpukul
mendengar kata-kataku. Alexis, apa yang sudah kau
lakukan?. Kenapa kau jahat sekali!. Pertama, kau
menyakiti Riley, dan sekarang Justin. Kau ini benar-
benar!. Aku menghela napas memandangi pintu
kamar Justin yang sekarang tertutup. Maafkan aku
Justin.

131
***

Besok paginya, aku tidak melihat Justin duduk di


balkonnya seperti biasa. Pintu kamarnya bahkan
masih tertutup. Apa dia benar-benar marah
padaku?. Bagaimana ini?. Apa yang harus ku
lakukan?. Aku juga tidak berangkat pagi bersama
Justin. Padahal aku ingin minta maaf padanya.
Baiklah, aku akan minta maaf nanti di sekolah.
Aku yakin, dia pasti sudah sampai sekolah. Aku
lemas ketika tidak kulihat Justin dimana-mana di
kelas Pemerintahanku. Dia belum datang?
Bagaimana bisa?. Setahuku, dia adalah murid
paling rajin. Aku mendesah lalu duduk di mejaku
menunggunya datang. Anak-anak lain sudah mulai
berdatangan. Tapi dia belum juga datang. Aku
semakin lemas setiap detiknya. Waktu semakin
mendekati bel masuk dan Justin belum juga
terlihat. Apakah dia baik-baik saja?. Justin masuk ke
kelas tepat bersamaan dengan bel masuk berdering.

132
Tampaknya dia sengaja. Dan guru Pemerintahan
kami adalah orang yang sangat tepat waktu. Dia
masuk selang dua menit setelah bel. Begitu datang,
Justin segera duduk di barisan paling depan tanpa
menoleh ataupun melirik padaku. Dia bahkan
duduk jauh dari mejaku. Dia... tampak
menghindariku.

***

Justin menghindariku seharian ini. Dia berusaha


tidak menatapku dan duduk sejauh mungkin
dariku saat di kelas. Begitu juga saat makan siang.
Aku sedang mengantri mengambil jatah makan
siangku saat seseorang menepuk pundakku pelan
dari belakang. Aku menoleh dan melihat Riley
berdiri di belakangku sambil tersenyum. Aku
membalas senyumannya. "kau baik-baik saja? Kau
kelihatan lesu hari ini" katanya. Aku sedikit
terkesiap. Apa aku begitu terlihat tidak
bersemangat?. "aku baik-baik saja. Mungkin hanya

133
kurang tidur" jawabku. "apa karena diriku? Karena
pengakuanku kemarin sore?" tanyanya, merasa
tidak enak. Aku menggeleng. "tentu saja bukan.
Jangan khawatir Riley. Ini tidak ada hubungannya
denganmu". Aku menepuk pundaknya sambil
tersenyum setelah mengambil makan siangku. Aku
melambai padanya dan melangkah ke meja dimana
teman-temanku duduk. Aku meletakkan nampan
di meja lalu duduk sambil mendesah. Justin
melewati mejaku tanpa menoleh. Lagi-lagi dia
duduk sejauh mungkin dariku. Dia duduk di ujung
timur kafetaria bersama teman-temannya. Teman-
temannya sepertinya juga tampak bingung dengan
Justin. Kemarin dia dengan terang-terangan
bercanda denganku, hari ini dia bahkan tidak
memandangku. Beberapa teman-temannya
menatapku dengan tanda tanya terpampang jelas di
ekspresi mereka. Aku mendesah lalu menunduk
menatap makan siangku tanpa selera. Teman-
temanku tampak menyemangatiku dengan

134
mengelus pelan punggungku atau sekedar
tersenyum prihatin padaku. Aku sebenarnya
bingung. Mengapa aku begitu sedih Justin
menghindariku? Mengapa aku bahkan tidak
bersemangat melakukan apa-apa?.

***

Aku keluar dari ruang ganti wanita bersama Bree,


Casey dan Sam lalu melangkah ke arah gymnasium.
Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus kembali
ceria. Aku menghela napas panjang lalu melangkah
masuk ke gymnasium sambil tersenyum. Olahraga
hari ini basket. Anak laki-laki dan perempuan di
bagi menjadi dua kelompok. Lalu masing-masing
kelompok akan melawan kelompok lain. Aku satu
kelompok dengan Casey sementara Bree dan Sam
ada di kelompok lawan. Kami berlarian
mengelilingi gymnasium sambil sesekali berteriak,
mendribel bola, atau merentangkan tangan di atas
untuk menangkap lemparan bola. Aku sedang

135
berlari menuju ring tim lawan bersiap-siap
menerima bola dari teman satu timku saat kulihat
Justin di lapangan sebelah sedang mendrible bola.
Aku terhenti melihatnya. Wajahnya yang
berkonsentrasi mendrible bola sekaligus mencoba
lepas dari lawan yang berusaha merebut bola
darinya seketika membuatku tak dapat
mangalihkan pandanganku darinya. Keringat
tampak menuruni pelipisnya menuju rahang
bawahnya. Matanya tajam, nafasnya memburu. Aku
terkesima melihat pemandangan itu. "Alexis,
awas!". Samar-samar kudengar teman-temanku
berteriak. Justin mendongak menatapku.
Keseriusan di sorot matanya tiba-tiba berganti
menjadi ketakutan yang amat besar. Tiba-tiba, aku
merasa kepalaku terhantam sesuatu cukup
keras Aku terhuyung sambil memegangi kepalaku.
Aku melihat Justin berlari kearahku sambil
mengatakan sesuatu. Lalu, aku tak sadarkan diri.

136
16

Aku membuka mataku pelan lalu mengerang kecil


saat sakit kepala hebat menyerang kepalaku. Aku
mengerjap-ngerjap lalu bangkit duduk sambil tetap
memegangi kepalaku. Aku mengedarkan
pandangan ke sekeliling ruangan. Sepertinya aku
ada di ruang kesehatan. Tiba-tiba pintu dibuka dan
kulihat Mrs. Pott-penjaga ruang kesehatan- masuk.
Dia tersenyum saat melihatku sudah sadar. "Ms.
Jhonson sudah sadar anak-anak" katanya ke arah
luar ruang kesehatan. Bree, Casey, Victoria, Ari
dan Sam masuk ke dalam dengan ekspresi
khawatir. "kau tidak apa-apa Alexis? Kau
membuatku serangan jantung, kau tahu?". Bree
duduk di sebelah tempat tidur. "kepalamu
tertimpuk bola basket cukup kencang. Dan kau
tidak punya tenaga. Apa kau sudah memakan
sesuatu sejak pagi?" tanya Mrs. Pott. Aku

137
menggeleng. Aku tidak sarapan pagi ini. Dan saat
makan siang, aku bahkan tidak memakan satu
sendok pun makan siangku. "itulah yang
menyebabkanmu pingsan, sayang. Kau belum
makan apa-apa tetapi kau berolahraga dan
kehilangan cukup banyak tenaga. Ini, makanlah
roti dan susu ini untuk mengembalikan
kekuatanmu. Kalau sudah merasa baikan, kau dan
teman-temanmu boleh pulang. Aku tinggal ya"
lanjut Mrs. Pott. Aku tersenyum padanya lalu dia
keluar dari ruang kesehatan. Aku kembali
mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan,
bahkan aku berusaha melihat keluar ruang
kesehatan. "kau mencari Justin? Dia... sudah
pulang" kata Victoria. Aku tertunduk. Jadi dia tidak
menungguku? Alexis kenapa kau mengharapkan
dia menunggumu? Kau kan yang bilang sendiri
kalau dia bukan siapa-siapamu?. Dan itu juga yang
membuatnya menjauhimu sekarang. Kau bodoh
sekali Alexis. Ari menepuk pundakku pelan dan

138
tersenyum. "aku baik-baik saja teman-teman. Aku
bukan mencari Justin. Hanya ingin tahu apakah
sekolah sudah sepi. Berapa lama aku pingsan?"
tanyaku, mengaganti topik pembicaraan. Mereka
bertukar pandang untuk sesaat lalu sama-sama
mendesah. "apa? Kenapa kalian mendesah?"
tanyaku. "berhentilah berpura-pura, Lex" kata
Victoria. "apa? Berpura-pura apa?" tanyaku,
bingung. "kami tahu kau begini karena kau
bertengkar dengan Justin. Kami mengerti dan kami
minta maaf karena kami tidak bisa membuatnya
menunggumu" lanjut Sam. "apa yang kalian
bicarakan? Aku tidak merasa seperti itu" elakku. Ari
meremas pundakku. "Alexis, kumohon.
Berhentilah menutupi perasaanmu dari kami.
Setidaknya, berhenti menyangkal perasaanmu
sendiri. Kami tahu kau sedih. Kami dapat melihat
itu" katanya. Kurasakan mataku mulai basah. Ada
apa ini? Apa yang meraka bicarakan sebenarnya?
Menyangkal apa?. "teman-teman dengarkan aku.

139
Aku tidak tahu apa yang kalian maksud dengan
menyangkal, tapi yang pasti, aku tidak sesedih yang
kalian kira" jawabku. Mereka semua mendesah
lagi. "aku sudah merasa baikan. Ayo kita pulang"
kataku, bangkit dari tempat tidur. Mereka semua
mengangguk. Lalu memapahku berjalan. Aku
tersenyum pada mereka mengisyaratkan aku tidak
perlu di bantu. Kami lantas segera keluar dari
sekolah setelah mengucapkan terima kasih pada
Mrs. Pott.

***

Selesai makan malam, aku berniat untuk duduk-


duduk sambil berayun pelan di balkonku. Aku
membawa iPodku lalu membuka pintu kaca dan
melangkah menuju balkon. Malam ini aku benar-
benar kacau. Ibu dan ayahku memberi tahuku
bahwa Alexa akan pergi minggu depan. Aku dan
Alexa menangis bersama dan memohon untuk
membatalkan niat mereka di meja makan tadi. Aku

140
benar-benar butuh teman. Aku duduk di ayunan
sambil mendengarkan 'Wish You Were Here" milik
Avril Lavigne. Sial. Kenapa harus lagu ini yang
terputar?. Aku merasa pintu kamar Justin terbuka.
Aku menoleh dan melihat Justin sedang ingin
keluar dari kamarnya. Dia sedikit terkesiap saat
meihatku lalu kembali memasang ekspresi dingin.
Setelah itu dia masuk kembali ke kamarnya. Aku
tertegun. Apa dia sebegitu marahnya padaku
sampai dia tidak jadi duduk di balkonnya?. Aku
mendesah. Aku benar-benar ingin mengobrol lagi
dengannya. Aku... ingin dia menghiburku saat ini.
Lagi-lagi mataku mulai berair. I wish you were here,
Justin....

141
17

Aku terbangun oleh sinar matahari yang menerpa


wajahku. Aku mengerjap sedikit lalu membuka
mataku. Aku bangkit dari tempat tidurku lalu
terhuyung. Aku langsung berpegangan pada tempat
tidurku. Aw kepalaku pusing sekali. Sebenarnya
kenapa ini?. Ah iya aku menangis semalaman.
Setelah kejadian Justin masuk ke kamarnya setelah
melihatku di balkon, aku menangis sendirian. Aku
menangis di tempat tidurku sampai tertidur.
Tunggu. Sebenarnya aku menangis karena apa?.
Karena Alexa akan masuk asrama atau karena
Justin menghindariku?. Ah pasti karena Alexa.
Tidak mungkin kan hanya karena Justin aku
menangis? Ya kan?. Aku mendesah lalu berjalan ke
arah meja riasku. Oh tidak. Mataku bengkak.
Mataku besar dan merah seperti alien. Bagaimana
aku bisa pergi ke sekolah dengan bola tennis meja
menggantung di mataku?. Aku segera lari ke bawah

142
mengambil air hangat untuk mengompres mataku.
Semoga saja bisa lebih kecil. Untung aku bangun
sedikit lebih pagi hari ini. Setelah sekitar lima belas
menit mengompres mataku-bola golf lebih
tepatnya-, aku bergegas ke kamar mandi. Aku
bertemu Lexa di atas dan, whoa matanya bahkan
lebih besar dari mataku. Kalau kau bilang mataku
seperti bola golf, matanya bisa seperti bola basket.
Oke itu berlebihan. Tapi matanya sangat besar
sampai-sampai seperti hanya tinggal satu garis. Aku
langsung tertawa terbahak-bahak melihatnya seperti
itu. Dia menimpukku dengan bantal sofa. "berhenti
tertawa sebelum kubuat kau tidak bisa tertawa lagi
seumur hidupmu. Kau pikir matamu tidak
bengkak, hah? Coba kau bercermin" sinisnya. "well,
setidaknya, adikku sayang, mataku tidak sebesar
matamu" ledekku, mengacak-acak rambutnya.Dia
merengut. "aku tidak akan sekolah dengan keadaan
seperti ini. Bisa-bisa aku dikira makhluk sihir dari
The Lord of The Ring" keluhnya. Aku tertawa lagi.

143
"coba kompres dengan air hangat. Aku
melakukannya dan cukup berhasil" usulku. Dia
mendesah lalu langsung turun ke bawah. Aku
terkekeh dan masuk ke kamar mandi. Ayah dan
ibuku nyaris terkena serangan jantung melihat
anak-anaknya berubah menjadi alien di Star Wars.
Mereka hampir memuncratkan sarapan mereka
saat aku dan Alexa turun ke bawah bersamaan
dengan masing-masing bola tennis di mata kami.
Aku terkekeh melihat reaksi mereka. Kalau bukan
alasan kami begini karena keputusan mereka
memasukkan Alexa ke asrama, aku pasti sudah
berguling-guling di lantai saking gelinya melihat
ekspresi orang tuaku.

***

Seperti orang tuaku, teman-temanku nyaris tewas di


tempat melihat wajahku saat aku sampai di sekolah.
Aku juga menahan tawa melihat ekspresi meraka.
Seletelah mengatur jantung mereka, mereka segera

144
menghampiriku. "Alexis kau kenapa? Matamu? Oh
tuhan ku kira bumi sedang di serang oleh makhluk
luar angkasa" ujar Casey. Aku tidak bisa menahan
tawaku. Aku tertawa terbahak-bahak sambil
memegangi perutku. "aku tidak apa-apa. Aku hanya
menangis semalaman" jawabku, masih tertawa. "kau
menangis karena...". "bukan karena apapun yang
kau pikirkan. Aku menangis karena Alexa akan
masuk asrama minggu depan" kataku memotong
perkataan dan pikiran Bree. Karena bel masuk
hampir berbunyi, aku menarik teman-temanku
untuk masuk ke kelas kami masing-masing. Aku
memasuki kelas Matematikaku bersama Bree dan
seluruh anak terkesiap melihatku. Aku melihat
Justin membelalakkan matanya begitu melihatku
tapi segera menata kembali ekspresinya dan pura-
pura membaca lagi. Aku tidak mempedulikan
mereka dan langsung duduk di bangkuku.
Setidaknya, ekspresi orang-orang pagi ini
menghiburku.

145
***

Dapat kurasakan Justin mencuri-curi pandang


kepadaku seharian ini. Walaupun dia selalu
langsung membuang muka atau mengalihkan
pandangannya saat aku menoleh ke arahnya, tapi
aku tahu dia memandangiku. Aku merasa segar
hari ini. Selain bola golf yang menggantung di
mataku, aku merasa ceria dan senang. Entahlah,
setelah menangis semalam suntuk, aku merasa
bebanku sedikit berkurang. Mungkin orang-orang
benar tentang menangis mengurangi sedikit
kesedihanmu. Aku tertawa-tawa bersama teman-
temanku saat makan siang. Kami menertawakan
apa saja. Dari celotehan Casey, ekspresi bosan anak-
anak yang mengantri jatah makan siang, sampai
omelan koki kafetaria dalam bahasa portugis yang
terdengar seperti bahasa luar angkasa. Aku merasa
benar-benar bahagia hari ini. "Justin terus
menatapmu, Lexis" kata Bree. Aku menghentikan

146
tawaku lalu sontak menoleh ke arah Justin. Dia
mengalihkan pandangannya dan mengobrol
bersama teman-temannya. Aku tersenyum kecut.
"biarkan saja. Aku sudah tidak mau memikirkannya
lagi. Kalau dia mau mendiamkanku untuk sisa
hidupnya ataupun benci padaku, itu terserah
padanya" jawabku. "tidak. dia tidak membencimu.
Buktinya Justin menungguimu kemarin saat kau
pingsan" celetuk Sam. Ari dan Bree menyikutnya
dan dia langsung menutup mulutnya. Aku
mengerutkan keningku. "apa maksudmu? Dia
menungguiku? Tapi dia tidak ada di sana kemarin"
kataku. Mereka semua bertukar pandang. Lalu
berpura-pura sibuk. "aku bertanya pada kalian,
teman-teman. Jawab aku!" paksaku. Victoria
memutar bola matanya "oh persetan dengan
ancamannya." gumamnya. "Benar. Dia
menungguimu kemarin. Dia pulang tepat sebelum
kau sadar. Sebenarnya, dia sangat tidak ingin
pulang. Dia ingin menunggumu sampai tersadar,

147
tapi dia tidak mau kau tahu dia menunggumu"
jelasnya. Aku menganga mendengar pernjelasan
Victoria. "kenapa kalian tidak memberi tahuku?"
tanyaku, masih shock. "seperti kata Victoria, dia
meminta kami tidak memberi tahumu. Dia tidak
mengatakan alasannya tapi yang jelas dia memaksa
kami untuk merahasiakannya darimu" lanjut
Bree. Aku menggeleng-geleng tidak percaya.
Kenapa dia melakukan itu? Jadi dia menugguiku?.
Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi. Tiba-
tiba saja otakku jadi lambat memproses
informasi. "maafkan kami Lex" ucap Casey. Aku
tersenyum pada teman-temanku. "tidak apa-apa.
Dia meminta kalian untuk tidak memberitahuku.
Aku tidak marah" kataku.

***

Lagi-lagi aku pulang dari sekolah saat langit hampir


gelap karena tugas bahasa Jermanku. Aku
sebenarnya takut untuk pulang saat matahari sudah

148
mulai terbenam seperti ini. Karena aku pulang ke
rumah berjalan kaki. Dan cukup banyak
berandalan di dekat sini. Sebenarnya mereka semua
seumuranku. Hanya saja mereka terlalu bengal
sehingga sering nongkrong di pinggir jalan sambil
minum-minum atau sekedar merokok. Dan sialnya,
mereka sedang berkumpul hari ini. Aku bisa
mendengar tawa mereka dari tempatku sekarang.
Bagaimana ini?. Jika aku melewati mereka aku
takut mereka akan berbuat macam-macam. Tapi
aku terlalu lelah untuk mengambil jalan memutar.
Aku menarik napas lalu melanjutkan jalanku
melewati anak-anak berandal itu. "hey Nona.
Mengapa kau baru pulang dari sekolah? Bukankah
ini sudah terlalu malam untuk gadis cantik
sepertimu berada di luar?" salah satu dari mereka
berteriak saat aku melewati mereka. Teman-
temannya hanya tertawa. Aku tidak menoleh dan
melanjutkan langkahku. "kenapa buru-buru sekali?
Kami hanya ingin mengobrol? Tidakkah kau ingin

149
mampir?" lanjut yang lain."tidak. Terima kasih"
jawabku, masih tetap melangkah. Dapat ku rasakan
mereka berjalan mendekatiku. "ayolah, Nona
manis. Ah! Kenapa dengan matamu? Kau habis
menangis ya? Well kau bisa menceritakan
masalahmu pada kami" kata Yang lan lagi. "tidak.
Terima kasih" jawabku lagi. Mereka kini sudah
sangat dekat denganku. Aku menelan ludah. Apa
yang harus ku lakukan sekarang?. Aku tidak mau
mati di tangan mereka. Bagaimana kalau mereka
membunuhku lalu membuang tubuhku ke laut?.
Alexis kau sebaiknya berhenti menonton film aksi!.
Imajinasimu sungguh kelewat liar!. Aku sedang
bersiap-siap mangambil napas untuk berteriak dan
lari secepat yang kubisa saat tiba-tiba... "jangan
ganggu dia!"

150
18

"Jangan ganggu dia!". Seseorang berteriak dari


belakangku. Aku menoleh dan di situlah berdiri
Justin. Sorot matanya tajam penuh kebencian dan
dia mengepalkan tangannya menahan amarah. "hey
kau! Bocah sok! Apa maksudmu berteriak-teriak
pada kami? Kau pikir kau siapa hah?!" bentak salah
satu anak berandal itu. "kubilang jangan ganggu
gadis itu!". Justin mngatakannya dengan dingin.
Justru membuatku lebih ketakutan dibandingkan
teriakannya tadi. "memangnya kenapa aku tidak
boleh mengganggunya? Kau siapanya?" tanya anak
yang memakai topi- tampaknya ketua dari anak-
anak bandel ini- sambil tersenyum. Justin
menatapku sekilas. "dia... pacarku". Aku menganga
seketika mendengar ucapannya. Buru-buru ku
tutup mulutku sebelum ada sesuatu masuk ke
dalamnya. "kau tidak dengar? Dia itu pacarku.
Jangan berani-berani kau sentuh dia" lanjut Justin,

151
masih dingin. Anak yang memakai topi tadi
terkekeh. "benarkah? Kalau begitu bagaimana
pacarmu bisa membiarkanmu pulang sendirian
malam-malam begini?" tanyanya, padaku. Aku
mengerjap. "dia... baru mau menjemputku"
dustaku. Dapat kurasakan Justin lega dengan kerja
samaku. "begitu ya?. Baiklah. Kalau dia memang
pacarmu. Aku tidak akan menganggunya" kata anak
bertopi tadi. Teman-temannya mengeluh panjang
pendek. Justin tersenyum sinis lalu melangkah ke
arahku. "terima kasih" sinisnya, lalu menarik
tanganku. Kami baru mau melangkah saat bahu
Justin di colek. Saat Justin menoleh, anak bertopi
tadi meninju Justin yang menyebabkan tersungkur
di tanah. "apa yang kau lakukan?!" bentakku, lalu
membantu Justin berdiri. Anak bertopi itu
mengangkat bahu. "anak ini akan membawamu
pergi. Dia sudah membuatku tidak jadi bersenang-
senang malam ini. Padahal aku sudah memikirkan
acara yang spesial untukmu, manis. Jadi hitung-

152
hitung itu bayarannya membawamu dariku"
katanya. Mendengar omongan anak itu Justin naik
darah. Dia bermaksud maju menerjang anak itu
tapi kutahan. "Justin, kumohon, jangan" bisikku.
Aku membimbingnya pergi dari sana secepat
mungkin. Aku memapah Justin melangkah
menjauhi mereka. Setelah jauh dari anak-anak
berandal itu, Justin bersikeras ingin jalan sendiri.
Aku menyuruhnya diam dan memaksanya jalan
dengan bantuanku. Saat sampai di depan
rumahnya, aku bilang padanya untuk ke balkon
setelah makan malam.

***

Aku duduk di ayunanku dengan kompres di


pangkuanku. Aku menunggu Justin. Dia pasti
sedang makan malam atau apa. Yang aku takutkan,
dia tidak akan keluar dari kamarnya. Ternyata dia
keluar sambil memegangi tepi bibirnya. Aku
menyuruhnya datang ke balkonku dan duduk di

153
ayunanku. "grandma bilang sesuatu soal
memarmu?" tanyaku. Aku mengompres memar-
memarnya. "ya. Kujawab aku terjatuh saat sedang
berjalan" jawabnya, merintih saat ku letakkan
kompres di luka-lukanya. "untung hanya satu orang
yang menonjokmu. Coba kalau mereka semua? Kau
bisa mati memar" celotehku, menekan-nekan
lukanya. Dia mengerang lalu menjauhkan
tanganku. "kau mau membuat ini tambah parah?.
Aku tahu ada bola golf di matamu, tapi jangan buat
ada bola tenis di samping bibirku. Pelan sedikit"
omelnya. "kau berlagak sok berani melawan
berndalan tadi. Tapi kau kesakitan saat ku obati.
Kemana harga dirimu?" balasku, tetap menekan-
nekan lukanya. Dia merebut kompresnya dari
tanganku. "biar aku saja. Bisa-bisa aku mati di
tanganmu" gerutunya. Aku memutar bola mataku.
"lagipula apa yang sih yang kau lakukan di sana
semalam itu?" tanyaku. Dia terdiam. "bukan
urusanmu" jawabnya, mengompres sendiri luka-

154
lukanya. Aku merebut kembali kompres itu dari
tangannya. Dia sempat protes tapi terdiam saat ku
pelototi. "Justin aku... minta maaf" kataku. Dia
terbelalak. "untuk apa?" tanyanya setelah menata
kembali ekspresinya. "untuk perkataanku tempo
hari. Aku tahu itu yang membuatmu menjauhiku.
Aku tidak bermak-". Aku tidak dapat
menyelesaikan omonganku karena Justin tiba-tiba
menarikku ke dalam pelukannya. "Alexis kau
terlalu banyak bicara" bisiknya.

***

Aku tertegun di dalam pelukannya. Untuk


kesejuta kalinya anak ini membuat pipiku
memerah dan jantungku tidak terkendali. Aku
melepaskan diri dari pelukannya. Dia seketika
terbahak-bahak. Aku menatapnya
bingung. "mengapa kau tertawa?" tanyaku. "tidak.
Hanya saja seharusnya kau lihat tampangmu. Kau
seperti terkena serangan jantung mendadak"

155
katanya. Dia tertawa terbahak-bahak sambil
memegangi perutnya. Aku cemberut. Melipat
tanganku di dada. Bagus sekali, sekarang dia
mempermalukanku. Tuhan suatu saat kubunuh
anak ini dan masuk neraka paling panas. Aku
memukul lengannya pelan. "berhenti tertawa! Ini
tidak lucu tau. Aku memang hampir tewas terkena
serangan jantung karena kau tiba-tiba memelukku"
omelku. Dia tetap tertawa sedangkan aku cemberut
sambil melototinya. Perlahan-lahan tawanya hilang
menjadi tinggal senyuman. Aku mendesah. "aku
minta maaf atas perkataanku tempo hari. Aku
sadar kata-kataku sungguh jahat. Aku..." "sshhtt.
Tidak apa-apa. Aku tidak memikirkannya". Justin
memotong perkataanku. "bagaimana mungkin kau
tidak memikirkannya?! Kau mendiamkanku selama
dua hari. Menatapku saja rasanya kau seperti
tercekik. Kau jelas-jelas marah padaku" kataku. Dia
terkesiap. "apa? Kau berpikir seperti itu?. Alexis aku
tidak marah padamu. Rasanya sekarang aku tidak

156
akan pernah bisa marah padamu" jelasnya,
tersenyum. "tapi kau menghindariku"
lanjutku. "aku melakukannya untukmu. Aku
merasa kau kesal karena aku terlalu perhatian
padamu. Jadi aku ingin memberimu ruang" katanya
lagi. Aku menggeleng. "aku tidak butuh ruang.
Entahlah, aku ingin kau ada di sini. Aku salah
berkata seperti itu. Aku minta maaf". Aku
menunduk. Justin mengangkat daguku dengan
telunjuknya. "hey tidak apa-apa. Setelah kau berkata
begitu, aku jadi berpikir. Kau benar. Kita tidak
punya hubungan apa-apa. Kita bahkan selalu
mencoba saling bunuh sebelumnya" katanya,
tersenyum. Aku mendesah. "aku tahu. Tapi aku
ingin kau terus menemaniku" jawabku. Dia
menaik-naikan alisnya kepadaku. "apa ini? Kau
mulai membutuhkanku? Kau mulai menyukaiku,
ya?. Ah aku tahu itu!. Kau memang menyukaiku!"
katanya, berdiri lalu melompat-lompat. Aku
memutar bola mataku lalu menimpuknya dengan

157
kain bekas kompresnya. "pelankan suaramu!. Bisa-
bisa orang mengira ada invasi alien di rumahku"
gerutuku. Dia kembali duduk di ayunan dengan
wajah paling bahagia. Kurasa dia tidak akan peduli
walaupun ada badai matahari di bumi sekarang
saking bahagianya dia. "memangnya kalau aku suka
padamu, akan berpengaruh padamu? kau bahkan
tidak menungguiku waktu aku pingsan kemarin"
kataku. Seketika ekspresinya berubah. Dia terdiam.
"tidak! Sebenarnya aku.... aku minta maaf"
jawabnya, menunduk. Aku menepuk bahunya.
"tidak apa-apa. Aku tahu kau menungguiku
kemarin" kataku. Dia membelalakkan matanya.
"kau tahu?" tanyanya, tidak percaya. Aku
mengangguk. "sudah kuduga teman-temanmu tidak
akan bisa merahasiakannya". Dia menggeleng-
geleng. Aku menempeleng kepalanya. "tapi
bukankah itu romantis?. Kau mengira aku tidak
memperhatikanmu padahal aku mengawasi dan
khawatir padamu dari jauh? Seperti kisah cinta

158
jaman dulu, kan?" tanyanya, menyeringai. Aku
tertawa. Lalu menutup wajahnya dengan lap tadi.
"kau menggelikan".
Dia tertawa. "tapi aku benar, kan?. Oh ya!
Sebenarnya kenapa matamu bisa sebengkak ini?
Kamu menangis semalaman?" tanyanya. Aku
mendesah lalu mengangguk. "apa penyebabnya?
Atau karena aku menghindarimu?". Dia menaik-
naikan alisnya padaku lagi. Aku menempelng
kepalanya. "harapmu!. Ini karena Alexa"
kataku. "kenapa dia?" tanyanya, lagi. Aku
menceritakan rencana keberangkatan Alexa dengan
mata berkaca-kaca. Di akhir ceritaku Justin
memelukku lagi. "maafkan aku. Aku tidak di sana
untuk menghiburmu. Pasti berat untukmu"
katanya, terdengar sedih. Aku mendesah lalu
membalas pelukannya. "tidak apa-apa". "hhh aku
rindu sekali padamu dua hari kemarin. Tidak
kusangka menghindarimu bisa begini sulit"
katanya. Aku tersenyum di balik punggungnya. Aku

159
juga tidak pernah menyangka, kau menghindariku
bisa sangat menyesakkan, Justin.

160
19

Keesokan paginya aku bangun dengan mood yang


sangat berbeda dengan beberapa hari belakangan
ini. Aku bangkit dari tempat tidurku dan
melangkah ke balkonku. Sudah lama aku tidak
menghirup udara pagi dari sana. Udara pagi terasa
dingin menusuk kulitku yang tidak tertutup
piyama. Kabut tipis menari-nari di atas atap rumah
tiap orang di temani kicauan burung dan cahaya
matahari yang mulai menunjukkan dirinya. Aku
merentangkan tanganku dan memejamkan mataku
sambil menghirup nafas pelan lalu
mengeluarkannya. "segar, bukan? Aku sudah
beberapa hari tidak melakukan ini". Aku menoleh
dan melihat Justin di balkonnya-masih dengan baju
tidurnya- melakukan aktifitas yang sama denganku.
Meresapi udara pagi. Aku tersenyum. "benar. Aku
juga" jawabku, singkat. Tanpa menatapnya. "oh iya.
Selamat pagi Alexis. Senang sekali wajahmu yang

161
pertama kali kulihat pagi ini" katanya, menoleh dan
tersenyum padaku. Aku juga menoleh padanya lalu
ikut tersenyum. "Selamat pagi dan mengesalkan
sekali wajahmu yang pertama kali kulihat pagi ini"
jawabku. Justin terkesiap mendengar jawabanku.
Dia memasang ekspresi kaget sambil memegangi
dadanya dan membelalakkan matanya. "kau... Kata-
katamu itu sungguh menyakitkan" Aku tertawa
terbahak-bahak melihat reaksinya. Dia menggeleng-
gelengkan kepalanya. "kau sungguh keterlaluan,
Alexis. Kau benar-benar bisa membunuhku pelan-
pelan jika kata-katamu seperti itu". Dia
cemberut. Aku terkekeh. "baiklah, baiklah. Ayo kita
lakukan lagi. Kita mulai dari saat kau
menyapaku". "tidak. Aku tidak mau" jawabnya. Dia
melipat tangannya di dada tanpa menatapku. Aku
tertawa lagi. "bailah kalau kau tidak mau. Aku
masuk dulu". Aku berbalik dan melangkah masuk
ke kamarku. Dia ikut tertawa. "kutunggu di bawah"
ujarnya. Aku menoleh lalu tersenyum padanya.

162
***

Hari ini hari Sabtu. Harusnya aku tidak sekolah.


Tetapi karena tim basket sekolahku akan ada
pertandingan, membuat anggota Cheerleaders
harus memulai latihan untuk mendukung tim
basket sekolah kami. Aku keluar dari rumah
dengan celana jeans dan jaket putih yang menutupi
seragam cheersku. Aku melihat Justin sudah siap
dengan seragam basketnya di depan rumahnya. Ya,
Justin adalah salah satu anggota tim basket. Aku
melangkah ke dalam gymnasium bersama Justin
sambil tertawa-tawa. Tampak beberapa orang sudah
datang dan mulai melakukan pemanasan. Aku
melambai pada Justin yang pergi ke lapangan di sisi
barat sambil melangkah ke lapangan lain di
gymnasium. Aku melangkah ke arah Bree, Ari dan
Victoria yang menatapku seakan-akan ingin
memakanku. Aku menghela nafas sebelum
menghampiri mereka. Mereka bertanya bersamaan

163
seperti kaset rusak. Aku menatap mereka bingung,
tidak tahu harus bilang apa. "teman-teman! Aku
tidak mengerti apa yang kalian bicarakan.
Tanyakan satu persatu" kesalku. Mereka terkekeh
lalu mulai menginterogasiku.

***

Aku sedang berlari mengelilingi lapangan sebagai


pemanasan, saat memergoki Justin memandangiku.
Dia tersenyum dan kubalas dengan juluran
lidahku. Tiba-tiba saja seseorang menabrakku yang
membuatku kehilangan keseimbangan. Aku
tersungkur di lantai gymnasium sambil mengerang
pelan. Aku melihat Jessica-teman satu Cheersku-
menghampiriku. "Alexis, kau baik-baik saja? Aku
sedang melamun tadi, mangkanya tidak sengaja
menabrakmu. Maafkan aku" katanya. Aku
tersenyum padanya. "aku tidak apa-apa. Aku juga
melamun tadi" jawabku. Aku berusaha berdiri
tetapi aku kembali tersungkur. Ada apa ini? Kakiku

164
benar-benar sakit. Aku bahkan tidak bisa berdiri.
Aku memegangi pergelangan kakiku sambil
merintih. Kulihat Justin berlari ke arahku dengan
raut khawatir di wajahnya. Dia berlutut di
hadapanku sambil memegangi bahuku. "Alexis kau
tidak apa-apa? Ada yang sakit? Apa kau pusing?"
tanyanya, bertubi-tubi. Bukannya kesakitan aku
malah tertawa melihatnya. Dia mengerutkan
kening melihatku tertawa. "mengapa kau tertawa?
Apanya yang lucu?" tanyanya, masih
khawatir. "tampangmu seperti orang yang baru saja
melihat alien. Santai sedikitlah" candaku. Dia
memutar bola matanya lalu bangkit dan
mengulurkan tangannya untuk membantuku. Aku
meraih tangannya lalu bangkit tetapi lagi-lagi aku
terjatuh. Aku merintih sambil terus memegangi
pergelangan kakiku. Rasa khawatir kembali terlihat
di wajah Justin saat aku kembali terduduk di lantai
gymnasium. Dia kembali berlutut dan sekarang
ikut memegang pergelangan kakiku. "kau terkilir?

165
Apa kakimu sakit?" tanyanya. Aku mengangguk
sambil menahan sakit. Dia menggerak-gerakan
kakiku. Aku menjerit kecil lalu memukul
tangannya menjauh dari kakiku. "itu sakit, tahu!"
rintihku. Dia menggantungkan tanganku di
lehernya lalu membantuku berdiri. "biar ku antar
kau ke ruang kesehatan" katanya. Aku terbelalak.
"tapi aku harus latihan cheers" jawabku. "kau gila?
Berjalan saja kau tidak bisa, apalagi menari dan
melompat-lompat seperti anggota sirkus?" kesalnya,
sambil melangkah keluar dari gymnasium. Aku
merengut. Pasrah membiarkan dia membawaku ke
ruang kesehatan.

***

"Kakimu terkilir. Aku ragu, kau bisa melakukan


latihan Cheers selama satu minggu ke depan.
Kakimu terpelintir dan itu membuat ototmu
terluka. Kau akan kesulitan berjalan beberapa hari
ini" jelas Mrs. Pott, setelah memerban pergelangan

166
kaki kiriku. Aku mendesah lalu berbaring di
tempat tidur di dalam ruang kesehatan. "berarti
Alexis tidak boleh berjalan dulu?" tanya Justin
berdiri di dekat Mrs. Pott. "bukan begitu. Kurasa
untuk ke sekolah dia masih bisa. Hanya saja
mungkin dia harus dibantu" lanjut Mrs. Pott. Justin
mengangguk lalu minta izin untuk kembali
gymnasium dan menlanjutkan latihan
basketnya. Aku mendesah lalu mengeluarkan
iPodku dan memasang earphonenya di telinga dan
memejamkan mataku.

***

Aku mendengar keributan di sekitarku lalu


perlahan membuka mata. Aku tertidur rupanya.
Sudah berapa lama aku tertidur?. "maaf kami
membangunkanmu". Bree muncul di hadapanku
dengan tampang lelah dan sorot mata khawatir. Ari
dan Victoria berdiri di belakangnya. Aku
tersenyum pada mereka dan melepaskan earphone

167
dari telingaku lalu duduk di tempat tidur. "kalian
tidak latihan?" tanyaku. Mereka tersenyum. "kami
sudah selesai" jawab Ari. Aku terkesiap. "apa?
Memangnya berapa lama aku tertidur?"
tanyaku. "mungkin sekitar tiga jam". Victoria
mengangkat bahunya. Aku menggeleng-gelengkan
kepalaku. Lama sekali aku tertidur. "maaf kami
tidak bisa langsung melihatmu tadi karena pelatih
Cope sudah datang" kata Ari. "pelatih juga
menanyaimu, Lex" lanjut Victoria. Aku
mengangguk. "tidak apa-apa. Lagipula aku hanya
tidur di sini" jawabku terkekeh. Pintu ruang
kesehatan dibuka dan terlihat Justin masuk dengan
keringat mengucur dari keningnya dan nafas yang
masih tersengal. Wow, dia pasti langsung ke sini
begitu latihannya selesai. "baiklah. Kami pulang
dulu. Jaga dirimu dan cepat sembuh Alexis" kata
Bree lalu bangkit diikuti Ari dan Victoria. Mereka
melambai pada Justin lalu keluar ari ruang
kesehatan. Justin melangkah mendekatiku lalu

168
tersenyum. "kau merasa baikan?" tanyanya. Aku
mengangkat bahu. "tidak tahu. Aku hanya tidur
dari tadi" jawabku. Dia terkekeh lalu mengelap
keringatnya dengan handuk dari tasnya yang dia
tenteng. "kau mau pulang sekarang?" tanyanya,
lagi. Aku mengangguk. Aku baru mau turun dari
tempat tidur ketika Justin berjongkok di depanku,
membelakangiku. "kau sedang apa?" tanyaku,
bingung. Dia memalingkan wajahnya menatapku.
"kau tidak dengar Mrs. Pott bilang apa? Kau harus
dibantu untuk berjalan" jawabnya. Aku memutar
bola mata. "maksudnya kau bisa memapahku.
Bukan menggendongku" kataku. Dia mengangkat
bahu. "begini lebih efisien". Aku melipat tanganku
di dada. "tidak. Aku tidak mau naik ke
punggungmu walaupun kau meminta" kataku,
bersikeras. Dia mengangkat bahunya sekali lagi lalu
menarik tanganku dan menggendongku. "siapa
bilang aku meminta? Aku memaksa" ujarnya,

169
tertawa lalu mengambil tasku dan melangkah
keluar dari ruang kesehatan.

170
20

"Siapa bilang aku meminta? Aku memaksa". Dia


tertawa lalu melangkah keluar dari ruang
kesehatan. Aku mencengkram lehernya erat sambil
memejamkam mataku. Mengantisipasi kalau-kalau
aku jatuh. Bisa ku dengar Justin tertawa sambil
menggendongku. "aku tidak akan melukaimu
Alexis. Tenang saja" ujarnya, terkekeh. Aku
menempeleng kepalanya. "lebih baik begitu. Atau
aku yang akan membuatmu tidak bisa berjalan"
sinisku. Dia tertawa lagi lalu membetulkan posisiku
di balik punggungnya. Aku mempererat
peganganku.

***

Justin membuka pintu pagar rumahku lalu dengan


santai melangkah masuk. Aku membelalakkan
mata. "apa yang kau lakukan?" bisikku,
panik. "mengantarmu pulang" jawabnya santai. "ke

171
rumahku?" tanyaku, lagi. "kamarmu, lebih
tepatnya. Ayolah Alexis. Pikirmu, aku akan
membiarkanmu masuk ke rumahmu sendiri dan
terancam tersandung tangga, setelah aku
menggendongmu dari sekolah?" kesalnya. Dia
memutar bola matanya. "tapi orang tuaku akan
bilang apa?" cemasku. "mereka tidak akan bilang
apa-apa. Kita satu sekolah, dan kita tetangga.
Mereka akan berpikir aku hanya membantumu"
jawabnya tersenyum. Dia mengetuk pintu depan
rumahku lalu menunggu seseorang membukankan
pintu. Ibuku membukakan pintu tidak lama
kemudian dan hampir mengeluarkan bola matanya
dari rongganya saat melihatku. "oh Tuhan Alexis?!
Ada apa ini?" tanyanya, panik. Dia menatapku lalu
Justin. Aku sebenarnya ragu apakah dia bertanya
mengenai sesuatu terjadi padaku atau Justin yang
menggendongku di punggungnya. "Alexis terjatuh
saat latihan tadi, Mrs. Jhonson. Petugas ruang
kesehatan mengatakan dia akan sulit berjalan

172
untuk satu minggu ke depan. Aku hanya
mengantarkannya pulang" jelas Justin.
Ibuku tersenyum lalu mempersilahkan kami
masuk. Ayahku dan Alexa menampakkan rasa
penasaran yang sama begitu melihatku dan Justin
masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi aku ragu alasan
tanda tanya mereka sebenarnya. Justin
mengantarku sampai di kamar, dan
mendudukkanku di ranjangku. "terima kasih
Justin" kata ibuku. Justin tersenyum. "tidak masalah
ma'am. Baiklah, Alexis sudah sampai, aku permisi
dulu" pamitnya, lalu melangkah keluar. Tidak lama
setelah Justin keluar dari kamarku. Handphoneku
berdering pertanda sms masuk. Aku membukanya
dan membaca sms dari Justin. "jangan kunci
pintumu setelah makan malam ;)" tulisnya. Aku
nyaris mendelik, tapi kutahan mengingat ayah, ibu
serta Alexa masih di kamarku. "sebaiknya kau
mandi dan mengganti bajumu Lexis. Setelah itu,
Lexa akan membantumu turun untuk makan

173
malam" kata ayahku. Dia bangkit lalu bersama
ibuku keluar dari kamarku. "panggil aku jika kau
butuh sesuatu" kata Alexa, lalu ikut keluar dari
kamarku.

***

Aku menceritakan kejadian di gymnasium pada


keluargaku. Mereka bersyukur atas kebaikan hati
Justin yang mau mengantarku pulang. Aku nyaris
mendengus mendengarnya. Selesai makan malam,
aku dibantu Alexa berbaring di ranjangku. Aku
tersenyum padanya sebelum dia keluar. Belum
sampai lima menit Alexa keluar dari kamarku,
Justin dengan santainya masuk melalui pintu kaca
ke dalam. Aku terduduk dan melotot padanya. "ya
Tuhan! Kau membuat jantungku nyaris melompat
keluar! Tidak pernah dengar tentang 'mengetuk
pintu' ya?" sewotku. Dia tertawa pelan. "mau duduk
di luar? Langit cerah, dan bintang terlihat jelas"
ajaknya. Aku mengangguk. Dia bermaksud

174
berjongkok di depanku berniat menggendongku
lagi, tapi aku mendorongnya. "aku tidak mau
digendong!" kataku, keras kepala. Dia mendesah.
"baiklah, baiklah. Ayo kupapah" jawabnya. Aku
mengalungkan lenganku di lehernya lalu tertatih
pelan bersamanya ke arah ayunanku. Dia
mendudukkanku di sana. "ini sungguh
menyebalkan! Dan sangat merepotkan" rengekku,
menunjuk kakiku yang diperban. Justin tersenyum.
"hanya satu minggu" jawabnya. "tetap saja. Aku
tidak mau kau atau Alexa memapahku kapan dan
kemana saja" kataku, lagi. Dia menatapku lurus dan
masih tersenyum kecil. "aku dengan senang hati
melakukannya untukmu" ujarnya. Aku tersipu lagi
lalu cepat-cepat menutupinya dengan
menempeleng kepalanya. Dia ikut tertawa. "hhhh
kalau begini caranya, aku harus menggendong
setiap hari selama satu minggu" desahnya. Aku
memukul lengannya. "memangnya, siapa yang mau
di gendong olehmu?. Aku lebih baik merangkak

175
sepanjang jalan" sinisku. Dia tertawa lagi lalu
mengacak-acak rambutku. "aku bercanda. Ya
ampun, kau sensitif sekali" candanya. Aku melipat
tanganku di dada lalu membuang muka. "tunggu
sebentar" katanya, bangkit. Aku baru mau
menanyainya, tetapi dia keburu melompat kembali
ke balkonnya dan masuk ke kamarnya. Sebenarnya
dia itu kenapa, sih?. Aku mengangkat bahu lalu
memandangi bintang. Tiba-tiba Justin sudah
kembali di sampingku membawa wadah berisi air
hangat dan lap kecil. Dia berjongkok di depanku,
bermaksud meraih pergelangan kakiku, tapi aku
segera menjauh darinya. "apa yang mau kau
lakukan?" tanyaku. Dia kembali meraih kakiku
dengan lembut dan memosisikannya di
hadapannya. "aku hanya ingin membersihkan
pergelangan kakimu. Mrs. Pott bilang, kakimu
tetap harus sering di bersihkan" katanya, membuka
perban di kakiku. Aku mngerutkan kening. "kapan
Mrs. Pott bilang begitu?" tanyaku. "saat kau tidur di

176
ruang kesehatan tadi" jawabnya, tersenyum. Aku
mengangguk. "tapi Justin, kau tidak harus
melakukannya. Aku bisa melakukannya sendiri.
Atau aku bisa menyuruh Alexa" elakku, berusaha
menjauhi kakiku lagi darinya. Dia lagi-lagi menarik
kakiku lembut. "tidak apa-apa. Aku ingin
melakukannya untukmu, Lexis. Kenapa sih kau
tidak mau aku menolongmu?" kesalnya. Aku
mendelik. "kau sedang datang bulan, ya? Kau
marah-marah terus" gumamku. Dia memutar bola
matanya, lalu mengelap kakiku dengan air hangat
yang di bawanya. Aku terpaku melihat Justin yang
berkonsentrasi merawat kakiku. Aku selalu
terpukau dengan ekspresinya. Senyumnya, tawanya,
bahkan saat dia tidak melakukan apa-apa pun, dia
bisa bisa dengan mudahnya membuat gadis-gadis
menahan napas. Aku memandanginya hingga tidak
sadar kalau dia sudah mendongak dan menatapku.
Senyum jahil menari-nari di bibirnya. Aku
terkesiap dan mengalihkan pandanganku karena

177
dipergoki menatap. "aku melihatmu
memandangiku. Kenapa? Kau tidak bisa melawan
pesonaku, ya?" dia menaik-naikan alisnya. "aku?
Terpesona olehmu? Tidak mungkin. Aku lebih baik
merana sendirian daripada terpesona olehmu"
candaku. Aku menempeleng kepalanya dan dia
terduduk ke belakang. Aku tertawa melihat
ekspresinya lalu dia bersila di hadapanku dan
kembali membersihkan kakiku. Ada apa ini? Dia
tidak membalas?. Apa dia marah?. Dia
membersihkan kakiku dengan ekspresi kesal. Aku
mulai khawatir. Jangan-jangan dia benar-benar
marah. "Justin?" panggilku. Dia menjawab dengan
gumaman dan tanpa menoleh ke arahku. Aku
menelan ludah. Bagaimana ini? Dia sepertinya
memang marah. "kau... marah?" tanyaku, takut. Dia
menggeleng. Ah dia jelas-jelas marah!. Apa yang
harus kulakukan?. "Justin, lihat aku". Aku menarik
kakiku pelan lalu menunggunya untuk mendongak
ke arahku. Dia mengangkat kepalanya dan

178
menungguku untuk mengatakan sesuatu. "aku
minta maaf. Kalau kata-kataku tadi
menyinggungmu" kataku, menatapnya. Ekspresinya
perlahan-lahan berubah. Pertama dia terlihat
merengut seperti memakan sesuatu yang asam, lalu
dia seperti sedang mengangkat beban seberat 2 ton,
setelah itu dia seperti orang tolol yang cekikikan
kelewat sering. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak
hingga berguling-guling di lantai balkonku. Sial.
Benar-benar sial!. Aku dikerjai lagi. Anak ini
kerjanya kalau tidak membuatku tersipu dengan
kata-kata putisinya pasti mengerjaiku. Aku
berusaha bangkit dan masuk kembali ke kamarku
membiarkan anak di depanku ini berguling-guling
seperti orang yang kehilangan akal sehatnya.
Seandainya mencekik seseorang bukan tindakan
kriminal, akn kucekik Justin sekarang
juga. Melihatku berusaha keras berdiri, Justin
segera bangkit lalu menolongku kembali ke
kamraku. Dia membantuku duduk di ranjangku

179
lalu tersenyum menatapku. Aku balas menatapnya
cemberut-masih kesal karna dikerjai tadi. "aku
bercanda. Kau menganggapku benar-benar marah?"
tanyanya. Aku mengangguk. "oh Tuhan Alexis. Kau
tidak pernah mengingat perkataanku padamu, ya?
Aku pernah bilang sekarang aku seperti tidak bisa
marah padamu, bukan?" katanya. Aku mengangguk
lagi. Dia tersenyum. "baiklah, kau sebaiknya
istirahat. Ku jemput kau besok pagi" ujarnya lalu
mengelus rambutku pelan dan melangkah keluar
dari kamarku. Sebelum menutup pintu kacaku, dia
berkata "selamat malam Alexis" "selamat malam
Justin" jawabku. Dia tersenyum lalu menutup pintu
di hadapannya. Tunggu!. Tadi dia bilang apa?.
Menjemputku besok pagi?. Maksudnya ke
rumahku?. Aku berharap dia bercanda dengan
ucapannya.

180
21

Keesokan paginya, aku terbangun dan segera


bangkit dari tempat tidur tetapi langsung
tersungkur ke lantai kamarku. Sial. Aku tidak ingat
kalau kakiku terkilir. Aku bertumpu pada tempat
tidurku lalu berusaha berdiri. Begitu berhasil
bangun dari lantai, aku langsung duduk di
ranjangku. Berdiri saja sudah membuat nafasku
tersengal. Aku mengatur napasku sambil berharap
Justin tiba-tiba lupa ingatan dan tidak muncul di
rumahku pagi ini. Aku tidak bisa membayangkan
akan ada kehebohan apa di sekolah nanti jika
Justin memang menjemputku. Mengingat betapa
kami saling membenci satu sama lain sebelumnya,
Justin yang terang-terangan menunjukan bahwa dia
menyukaiku saja sudah mulai membuat kehebohan
di sekolah, apalagi jika aku datang dengan
lenganku melingkar di lehernya dengan tertatih-
tatih dan dia yang secara tersirat memelukku?. Bisa-

181
bisa anak-anak lain berpikir mereka terbangun di
dunia yang salah pagi ini. Pintu kamarku di ketuk
lalu kepala Alexa muncul ke dalam. "mom bilang
kau tidak usah sekolah hari ini. Dad akan
mengantarmu ke rumah sakit untuk memeriksa
kakimu dan mungkin membelikanmu tongkat"
katanya, lalu segera menghilang dari kamarku. Aku
mendesah. Apa yang akan kulakukan jika aku tidak
sekolah?. Belum-belum aku sudah membenci
pergelangan kakiku yang terkilir ini. Aku bangkit
dari tempat tidurku dan dengan pelan melangkah
ke arah balkonku. Lagi-lagi aku nyaris terjungkal
karena Justin sedang melompati pembatas anatar
balkon kami. "ah kau sudah bangun rupanya.
Grandma bilang, kata ibumu kau tidak akan masuk
sekolah hari ini?" tanyanya, membantuku duduk di
ayunanku. Aku mengangguk. "ayahku akan
mengajakku ke rumah sakit dan membeli tongkat.
Mungkin". Dia tampak terkejut. "apa? Jangan
membeli tongkat!" teriaknya pelan. Aku

182
mengerutkan kening menatapnya. "kenapa tidak
boleh?" "kalau kau membeli tongkat, aku tidak bisa
menggendongmu nanti". Dia pura-pura sedih. Aku
memutar bola mataku. "apa yang salah denganmu?
Kau ini terobsesi untuk menggondongku, ya? Dari
kemarin isi otakmu itu saja" omelku. "isi otakku
kan kau" ujarnya, menatapku polos. Aku
menempeleng kepalanya. "kau sinting. Berhenti
mengatakan hal-hal menggelikan" kataku. Dia
cemberut, lalu melipat tangannya di dada.
"menggelikan? Ini romatis, tahu! Kau ini
sebenarnya seorang gadis atau bukan? Gadis
normal pasti akan senang jika dipuji. Kerjamu
malah menempeleng kepalaku terus"
jawabnya. Aku mendengus. "bagaimana bisa aku
senang dipuji?. Kau dulu selalu membuat darahku
mendidih dan ingin memenggal kepalamu.
Sekarang kau justru mengatakan hal-hal seperti itu.
Kau justru membuatku ketakutan." sergahku. Dia
menggeleng-gelengkan kepalanya. "kau sungguh

183
tidak dapat dipercaya, Alexis. Gadis mana yang
dipuji justru malah ketakutan?"
tanyanya. "sudahlah. Tutup mulutmu. Sebaiknya
kau bersiap-siap untuk sekolah" kataku. Dia tertawa
lalu mengacak-acak rambutku. "baiklah, baiklah.
Sampai ketemu pulang sekolah. Jaga dirimu.
Jangan sampai kau terjatuh di tangga dan malah
mematahkan kakimu" ujarnya. Aku menjulurkan
lidahku padanya lalu dia melompat kembali ke
balkonnya dan masuk ke kamarnya. Belum satu
menit dia masuk ke kamarnya, dia keluar lagi dan
langsung melompat ke balkonku. "aku lupa. Ayo,
ku antar kau kembali ke kemarmu" katanya, meraih
tanganku. Aku tertawa. Dia benar. Aku butuh
bantuan untuk masuk ke dalam kamarku. Setelah
membantuku duduk di atas tempat tidurku, dia
keluar dari kamarku dan kembali ke kamarnya
untuk bersiap-siap

***

184
Ayahku membelikanku tongkat. Well, setidaknya
aku tidak perlu dibantu untuk berjalan lagi. Dokter
di rumah sakit mengatakan, aku harus melatih
kakiku berjalan jika ingin cepat sembuh. Jadi begitu
sampai rumah aku langsung berlatih berjalan
meskipun harus tertatih-tatih. Aku berjalan
mengelilingi ruang tamu. Aku sedang berjalan ke
arah sofa di ruang tamu ketika telepon rumahku
berdering. Ibuku keluar dari dapur dan segera
mengangkatnya. "kediaman keluarga Jhonson? Ya.
Saya sendiri" sapa ibuku. "oh Asrama Wildenburg?"
tanya ibuku. Aku langsung menoleh mendengar
nama asrama itu. Itu adalah asrama dimana Alexa
akan pindah Sabtu nanti. "oh dua hari lagi?". Ibuku
melirikku sekilas. Aku menelan ludah. Firasatku
buruk. "baiklah. Saya akan menyuruhnya bersiap-
siap. Terima kasih" kata ibuku, lalu menutup
telponnya. "siapa mom?" tanyaku. Ibuku duduk di
sampingku sambil mendesah. "Asrama Wildenburg.
Keberangkatan Alexa dipercepat. Dia berangkat

185
lusa" jelasnya. Aku terkesiap. Lalu aku mendengar
sesuatu terjatuh di depan ruang tamu. Aku dan
ibuku menoleh lalu tersentak melihat Alexa berdiri
di sana.

***

Alexa menatapku dan ibuku bergantian dengan


ekspresi tidak percaya. Bagus. Sangat bagus.
Sekarang dia pasti shock berat. Alexa berlari ke
kamarnya dan meninggalkan tasnya yang tadi
terjatuh dari pundaknya. Aku dan ibuku berdiri
bersamaan. Ibuku tampak sangat khawatir. "tenang,
mom. Aku akan bicara padanya" kataku,
tersenyum. Ibuku mengangguk lalu mengelus
pundakku. Aku tertatih-tatih melangkah ke arah
tangga. Di depan tangga aku mendesah lalu pelan-
pelan melangkah ke atas. Ah aku benar-benar benci
kakiku saat ini. Harusnya aku bisa berlari ke atas
dan sampai dalam hitungan detik. Bukannya
menghabiskan berabad-abad seperti sekarang. Aku

186
akan langsung punya cucu begitu sampai atas, kalau
begini caranya. Aku nyaris melonjak kegirangan
begitu sampai di puncak tangga. Aku mengatur
napasku sebentar lalu segera melangkah ke kamar
Alexa. Aku mengetuk pintunya lalu
membukanya. Alexa berbaring di ranjangnya,
menutupi wajahnya dengan bantal sambil terisak.
Aku masuk dan duduk di tepi ranjangnya. "Lex..."
panggilku. Alexa melepas bantal dari wajahnya lalu
terduduk. Dia sesenggukan. Matanya merah,
pipinya basah. "aku tidak mau pergi Lexis. Tidak
secapat ini" isaknya. Tiba-tiba saja air mataku
menetes dan aku ikut menangis bersamanya. Aku
memeluknya. "aku juga tidak Lex. Tapi kita bisa
apa?" tanyaku. "aku baru sebentar tinggal di sini.
Masa aku harus pindah lagi?" lanjutnya. Aku
terkekeh lalu melepaskan pelukanku. "bodoh. Kau
tidak akan pindah ke negara baru. Kau hanya
pindah sejauh 5 mil dari sini. Kau bicara seakan-
akan kau akan pindah ke galaksi lain" kataku. Alexa

187
cemberut sambil melipat tangannya di dada.
"Alexis! Kau bukannya menghiburku!. Malah
membuatnya seperti bahan bercandaan". Aku
malah tertawa melihat Alexa. "kau sendiri yang
membuatnya begitu. Aku bahkan masih bisa
berkunjung ke asramamu setiap akhir minggu"
kataku, lagi. Alexa makin cemberut. "kau
menyebalkan" gumamnya. "dan kau berlebihan"
balasku, mengacak-acak rambutnya. Dia menepis
tanganku lalu tertawa. Aku ikut tertawa
bersamanya. Lalu dia memelukku. "terima kasih
Alexis. Aku merasa lebih baik" katanya. "ah aku
tidak melakukan apa-apa. Kau mau memberiku apa
sebagai rasa terima kasih?" tanyaku, jahil. Dia
menempeleng kepalaku lalu tertawa lagi. "kau tidak
bisa diajak bersedih" ujarnya. Aku ikut tertawa.
"aku kan bukan gadis yang kelewat melowdramatis
sampai menangis di kasur dan menutupi wajahku
dengan bantal" sindirku. Alexa memukul kepalaku
dengan bantalnya. "tutup mulutmu!. Aku juga tidak

188
melowdramatis" kesalnya. Aku terbahak-bahak lalu
bangkit dari ranjangnya. "baiklah, aku keluar saja.
Sebaiknya kau istirahat" kataku, melangkah keluar
dari kamarnya. "terima kasih, Alexis" katanya,
tersenyum. "kapan saja untukmu" balasku,
menutup pintu kamarnya.

***

Aku sedang berayun-ayun pelan di balkonku saat


ada atu pesan masuk baru masuk ke handphoneku.
Aku membukanya dan hnyaris menjerit ketika aku
tahu pesan itu dari Kevin, temanku di New
York. "Alexis, masih ingat aku?" tulisnya. "Kevin!
Tentu saja aku ingat!. Aku rindu padamu"
balasku. "baguslah kalau begitu. Aku juga. Ohya,
teman-teman di New York juga merindukanmu"
katanya, lagi. "ah aku juga sangat merindukan
mereka. Bagaimana kabar Melly?" tanyaku. Melly
adalah sahabatku selama aku tinggal di New York.
Sifatnya sedikit mirip dengan Bree. Aku dan Melly

189
hampir tidak terpisahkan. Terkadang aku masih
mengiriminya e-mail. Aku tersenyum mengingat
teman-temanku di New York. "dia baik. Kelewat
baik mungkin. Dia jadian dengan Daniel, si
bintang sekolah" balas Kevin lagi. "benarkah?! Oh
Tuhan Melly pasti sangat senang. Melly sudah
menyukai Daniel sejak hari pertama
sekolah!" "sangat. Mereka seperti memiliki dunia
sendiri. Aku bagaikan pria lajang menyedihkan"
jawab Kevin. Aku tertawa membaca balasan Kevin.
Selalu sangat mudah mengobrol dengannya. "ohya
omong-omong, kau sedang apa?" tanyaku. "aku
sedang tidak di New York sekarang"
balasnya. "benarkah? Dimana kau?" tanyaku,
lagi. "rumahmu" balasnya, lagi. Aku
membelalakkan mata membaca balasan Kevin. "hai
Alexis". Aku menoleh dan terkesiap melihat Kevin
berdiri di balkonku sambil tersenyum lebar.

190
22

"Hai Alexis". Aku menoleh dan terkesiap melihat


Kevin berdiri di balkonku sambil tersenyum
lebar. "Kevin? Apa yang kau lakukan di sini?"
tanyaku, nyaris berteriak. Dia tertawa lalu
melangkah ke arahku dan menarikku ke
pelukannya. Aku tertawa bersamanya. Oh betapa
aku rindu bocah ini. Kevin adalah anak laki-laki
yang paling dekat denganku, seperti Dylan. Well
sebenarnya aku memang cukup akrab dengan anak
laki-laki di New York, tapi Kevin dan Dylan
berbeda, kami lebih seperti sahabat. Biasanya kami
kemanapun selalu berempat. Aku, Melly, Kevin
dan Dylan. Kami berempat bahkan sering bertukar
rahasia. "apa yang kau lakukan di sini, Kev?"
tanyaku lagi, setelah dia kembali mendudukkanku
di ayunan. "ayahku sedang ada pekerjaan di
Stratford. Karena aku tahu kau tinggal di sini
sekarang, aku memintanya untuk ikut"

191
jawabnya. Aku tersenyum. "ah kau tumbuh sangat
cepat. Coba lihat dirimu. Kau tampan sekali. Aku
tidak percaya kau belum punya kekasih"
ledekku. Dia tertawa lalu mengerutkan kening
begitu melihat kakiku. "ada apa dengan kakimu?"
tanyanya. Aku menunduk menatap kakiku lalu
tersenyum kecut. "terkilir. Latihan Cheers"
jawabku, mengangkat bahu. Dia terkekeh. "tidak
heran. Kau bahkan tidak bisa melakukan senam
dengan selamat" gumamnya. "tutup mulutmu. Aku
cukup mahir berolahraga" sergahku. "benar. Tapi
kau punya masalah dengan melamun. Biar
kutebak, kau pasti terkilir karna saat latihan kau
juga melamun" tebaknya. Aku memukul lengannya
pelan. Sial. Dia mengenalku sangat baik. "sejak
kapan kau di Stratford? Bagaimana kau bisa tahu
rumahku?" tanyaku, lagi. "tiga hari yang lalu. Well,
aku sering mengirimi Alexa pesan singkat. Aku juga
menelponnya beberapa kali" jelasnya. "apa? Kau
memberitahu Alexa? Bukannya aku? Sebenarnya

192
sahabatmu itu siapa? Aku atau Alexa?" kesalku. Aku
cemberut dan melipat tanganku di dada. Dia
tertawa lalu mengacak-acak rambutku. Aku ikut
tertawa bersamanya. "Alexis?". Aku dan Kevin
seketika menghentikan tawa kami saat kudengar
suara Justin dari balkon sebelah. Aku menoleh dan
melihatnya masih mengenakan seragamnya.
Nafasnya sedikit tersengal da tasnya saja masih
menggantung di pundaknya. Oh Tuhan anak ini
benar-benar. Dia bisa kan meletakkan tasnya dulu?.
Aku berani taruhan dia pasti berlari pulang dari
sekolah. "hai Justin. Kau sudah pulang?" tanyaku.
Aku mengambil tongkatku lalu berdiri dan
melangkah ke arahnya. "lihat! Aku sudah punya
tongkat. Sebaiknya kau buang obsesimu yang ingin
menggendongku jauh-jauh" Justin memutar bola
matanya. "aku mendengar tawamu dari kamar. Jadi
aku datang untuk melihat" katanya, mengangkat
bahu. Aku menepuk keningku. "ohya Justin, ini
Kevin sahabatku dari New York. Kevin, ini Justin

193
tetangga sebelah kamarku". Aku memperkenalkan
mereka. Mereka bersalaman. "wah kalian sepertinya
cocok. Apa ini takdir kamar kalian bersebelahan?".
Kevin menyikutku sambil menaik-naikan
alisnya. Aku memutar bola mataku lalu mencubit
pipinya. "jaga mulutmu Kevin Jerry Holmes"
kataku. Aku tersenyum. Sepertinya mereka
akur. "baiklah. Sebaiknya aku mengganti seragamku
dulu. Sampai nanti Alexis dan senang bertemu
denganmu Kevin" kata Justin, lalu masuk ke
kamarnya. Apa? Itu saja? Dia keluar hanya untuk
mengatakan itu? Pasti ada sesuatu yang salah. Aku
kembali duduk di ayunanku bersama Kevin dan
menceritakan kehidupanku di sini dan New York
setelah aku pindah. Aku tertawa tanpa henti
sepanjang pembicaraan kami. Selalu sangat mudah
bergaul dengan Kevin.

***

194
Malam harinya, setelah makan malam aku kembali
duduk di ayunanku. Kevin sudah kembali ke hotel
tempat dia menginap. Dia menginap tidak jauh
dari rumahku. "anak itu sudah pulang?". Aku
menoleh dan melihat Justin keluar dari kamarnya.
"namanya Kevin dan ya, dia sudah pulang ke
hotelnya" "dia akan kesini lagi besok?" tanyanya,
melompat ke balkonku lalu duduk bersamaku di
ayunan. Aku mengangguk. "dia bilang begitu" "oh"
jawabnya. Aku menoleh tapi dia sedang tidak
menatapku. Aku membiarkannya lalu mendongak
menatap langit. Kami diam untuk beberapa
saat. "dia itu... siapamu sebenarnya?" tanyanya,
ragu. Aku menoleh padanya lagi. "sahabatku di
New York" jawabku. "kau tidak pernah bilang". Dia
mengerutkan keningnya. Aku menaikkan alisku.
"kau ingin tahu?" tanyaku. Dia mengangguk. Aku
menarik napas lalu menceritakan sahabat-
sahabatku di New York. "oh ya Justin, asrama Alexa
hari ini menelpon. Alexa akan berangkat lusa". Aku

195
mendesah. Dia tampak terkejut. "benarkah?
Keberangkatannya dipercepat?" tanyanya. Aku
mengangguk lalu menunduk sambil lagi-lagi
mendesah. Justin menarikku ke dalam pelukan.
"tidak apa-apa. Kalau kau sedih atau kesepian, aku
akan selalu menghiburmu, kau mengerti?"
katanya. Aku mengangguk lagi lalu membalas
pelukannya. "Alexis, aku ingin menanyaimu
sesuatu, boleh?" tanyanya, melepas pelukannya lalu
menatapku serius. Aku mengerutkan kening lalu
mengangguk. "mm...maukah... kau mau... ah
bagaimana aku memulainya?". Dia tergagap lalu
menagak-acak rambutnya, frustasi. Aku terkekeh
lalu mengelus tangannya. "katakanlah pelan-pelan"
ujarku. Dia tampak terkejut aku berani mengelus
tangannya. Dia menatapku lagi. "maukah kau
menjadi kekasihku?". Aku terkesiap. Nafasku
tercekat. Jantungku rasanya berhenti berdetak.
Justin terdiam menunggu jawaban dariku. Aku
mengerjap-ngerjapkan mata menatapnya. "apa

196
katamu tadi?" tanyaku, polos. Dia memutar bola
matanya dan mendesah frustasi sambil menarik-
narik rambutnya. Aku ingin tertawa terbahak-bahak
saat itu juga tetapi kutahan. Aku tetap menatapnya
polos. Dia balas menatapku dengan raut tersiksa
dan rasanya ingin menelanku.
"kau.tidak.dengar.apa.yang.ku.katakan?". Dia
memejamkan mata dan menggertakan gigi. Aku
mengangguk. "bisakah kau mengulanginya?". Dia
mendengus. "ah lupakanlah!" geramnya, lalu
berdiri. Aku tertawa terbahak-bahak lalu menahan
lengannya. "aku bercanda, aku bercanda" kataku,
menariknya untuk kembali duduk. Dia menatapku
tidak percaya. "kau APA?!" teriaknya,
membelalakkan matanya. Aku menahan tawaku
susah payah. "jangan salahkan aku. Kau sering
mengerjaiku. Aku hanya ingin balas dendam. Dan
astaga, kau harusnya lihat wajahmu! Itu tadi sangat
luar biasa". Aku menjerit tertahan. Dia mendengus
lalu kembali bangkit dan melangkah ke arah

197
balkonnya. Aku berdiri dari ayunanku. "Justin
jangan marah. Aku hanya bercanda" kataku. Aku
melangkah mengejarnya dengan susah payah tapi
justru malah terjatuh. Melihatku tersungkur, Justin
sontak berbalik dan nyaris berlari ke arahku.
"Alexis kau tidak apa-apa? Kau terluka?" tanyanya,
khawatir. Aku menjulurkan lidahku padanya. "aku
bercanda lagi" kataku, lagi-lagi tertawa kelewat
geli. Dia terkesiap lalu mencubit kedua pipiku. "asal
kau tahu, Alexis Jhonson, jika membunuh
seseorang diperbolehkan, akan ku lakukan
sekarang juga. Kau tahu? Biar aku masuk neraka
dan menyeretmu bersamaku" ujarnya, masih
mencubit pipiku. Aku merintih lalu cemberut saat
dia melepaskan cubitannya dari pipiku. Sekarang
dia yang tertawa sementara aku merengut dan
mengelus-elus pipiku dan mengutuknya dalam
hati. Perlahan dia menghentikan tawanya dan
menatapku lekat-lekat. Dia terdiam. Begitupun aku.
Ya Tuhan, wajahnya sangat dekat dengan wajahku.

198
Kelewat dekat malah. Dapat ku rasakan hembusan
nafasnya teratur menerpaku. Aku berani bertaruh
dia juga bisa merasakan hembusan nafasku samar-
samar. "jadi...". Dia menggantungkan kalimatnya.
Masih menatapku lekat-lekat. Sial. Aku ingin sekali
berpaling. Tetapi mata coklatnya seperti membuat
tubuhku tidak bekerja sesuai perintah otakku. Aku
menunduk -setelah berusaha mati-matian keluar
dari tatapan mematikannya- lalu mendesah.
"maafkan aku" jawabku. "hanya saja waktunya tidak
tepat. Justin, kau pasti tahu bagaimana perasaanku,
walaupun aku tidak pernah mengatakannya. Dan
dengan masalah kepergian Elexa ke asrama, aku
belum bisa" jelasku. Justin terdiam. Dia bahkan
tidak bergerak. Aku khawatir jangan-jangan dia
malah tertidur. Aku mendongak dan melihatnya
sedang menatapku tidak percaya. Dia seperti
kehilangan akal sehatnya untuk sepersekian detik.
Lalu dia mengerjap satu kali dan mengatur
ekspresinya. Dia menunduk. Tetap tidak

199
mengatakan apa-apa. Aku mengangkat dagunya
dengan jariku. Kepalanya terangkat, tetapi matanya
tetap melihat ke bawah. "Justin, lihat aku" pintaku,
pelan. Dia menatap mataku. Tampak jelas rasa
kaget dan kesedihan tergambar di matanya. Dia
menatapku sendu. "Justin, dengar, aku bilang aku
belum bisa. Bukan tidak akan pernah bisa. Kau
tahu benar bagaimana hubungan kita selama ini.
Dan kumohon, jangan sedih" ujarku. Dia
mengangguk, tetapi matanya kembali menatap
lantai. Aku mengerang. "oh ayolah, jangan lakukan
ini padaku. Justin, kumohon" pintaku, lagi. Dia
mendongak dan menatapku lagi lalu tersenyum
sendu. "aku tahu, aku minta ma-" "jangan meminta
maaf Justin. Kau tidak salah apa-apa"
potongku. Dia mendesah. "baiklah. Aku mengerti.
Hanya saja, kau tahu, ini sulit. Sakit, lebih
tepatnya. Kau juga tahu perasaanku padamu,
bukan?" tanyanya. Aku mengangguk. Dia mendesah
lagi. "itulah sebabnya. Aku rasanya ingin mengutuk

200
diriku sendiri jika terjadi sesuatu padamu saat kau
terjatuh kemarin ketika latihan Cheers. Seperti,
aku bahkan bisa saja menerjang orang yang
membuatmu terjatuh jika kau sampai tidak
sadarkan diri kemarin" katanya. Dalam hati, aku
bersyukur tidak pingsan kemarin. Bisa-bisa Jessica
diterjang olehnya jika aku sampai tergeletak. "aku...
terlalu menyukaimu". Dia mengakuinya sambil
mendesah. Aku ikut mendesah. "aku tahu. Aku
minta maaf membuat ini semua sulit untukmu.
Tapi aku akan tetap bersamamu. Kau mengerti?"
tanyaku, tersenyum. Dia mengangguk lalu ikut
tersenyum dan memelukku lagi. Aku juga
memeluknya. "aku akan menunggu, Alexis"
ucapnya, pelan. Aku mengangguk. "bagus.
Tunggulah aku"

201
23

Besoknya, aku tetap tidak masuk sekolah. Aku sih


senang-senang saja tidak masuk sekolah. Selain
kakiku masih sedikit nyeri, aku juga sedang tidak
bersemangat belajar. Alexa, dia tetap masuk hari ini
untuk mengucapkan salam perpisahan pada teman-
teman sekolahnya karena besok dia akan pindah ke
asrama. Pagi-pagi setelah sarapan, aku sedang
duduk di sofa ruang keluarga dan mengganti-ganti
channel TV saat Kevin mucul di hadapanku. Dia
langsung menghempaskan tubuhnya di sampingku-
yang membuatku terguncang-guncang di sofa-
dengan senyuman lebar. Sangat Kevin. Tersenyum
dimanapun, kapanpun. "hai Kev. Pagi sekali"
sapaku. "aku mau mengajakmu jalan-jalan hari ini"
katanya. Aku menatapnya bingung. "ohya?
Kemana?" tanyaku. "banyak tempat"
jawabnya. "tapi...". Aku menunjuk kakiku yang di
perban. Dia menepuk-nepuk pundakku. "tenang

202
saja. Aku membawa mobil. Lagipula, memangnya
kau tidak bosan seharian di rumah saja?" katanya,
sumringah. "mobil? Memangnya kita akan pergi
jauh?" tanyaku, lagi. Dia memutar bola matanya.
"kau banyak tanya, Alexis.cukup ikuti apa kataku
saja, oke?". Dia menarik tanganku, memintaku
berdiri. Aku juga memutar bola mataku lalu
mengangguk. Aku meraih tongkatku lalu berdiri.
Dia membantuku melangkah ke arah pintu depan.
Kami berpapasan dengan ibuku. "kupinjam Alexis
untuk seharian Mrs. Jhonson. Dia akan pulang
dengan selamat" katanya pada ibuku. Ibuku
terkekeh lalu mengangguk sambil membukakan
pintu depan untukku dan Kevin. Aku mencium
pipinya sambil pamit lalu melangkah keluar
bersama Kevin. Aku menganga. Aku benar-benar
seperti menjatuhkan mulutku. Kevin berdiri di
samping mobil Porsche hitam keluaran terbaru.
Aku tahu dia memang cukup kaya. Tapi tidak
pernah menyangka sekaya ini. Mobil itu, bodinya

203
mulus dengan kap dapat dibuka kebelakang dan
sangat licin. Aku berani bertaruh debu saja pasti
tidak tega menempel di sana. Kevin tertawa melihat
reaksiku. Aku tersadar dari ketololanku lalu
menggeleng-gelengkan kepala. "apa ini? Kau tiba-
tiba jadi anak pengusaha paling kaya di New York
ya? Aku tidak pernah melihat mobil ini"
kataku. Kevin mengangkat bahunya. "well, bisa
dibilang begitu. Bisnis ayahku mengalami
kemajuan yang cukup pesat beberapa bulan
terakhir. Itu juga alasan mengapa ayahku ke sini"
jelasnya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku lagi.
"dunia benar-benar bisa berubah dalam waktu
dekat. Jangan-jangan sebentar lagi aku akan
mendengar kabar kalau ayahmu membeli
Disneyland karena kelebihan uang"
ceracauku. Kevin memutar bola mataku. "selalu
berlebihan" gumamnya. Aku terkekeh lalu
berdehem. "baiklah, bisakah kita pergi sekarang
Mister?" tanyaku, mengangkat dagu dan bicara

204
seperti bangsawan. Kevin terkekeh lagi lalu juga
berdehem. "tentu saja Ma'am" jawabnya dengan
nada sepertiku dan membukakan pintu
untukku. Aku tertawa lalu masuk ke dalam
mobilnya. Yang tidak kusadari adalah, Justin yang
ingin berangkat sekolah menyaksikan kejadian tadi
dengan ekspresi shock dan kesal.

***

Aku baru kembali ke rumah saat hari sudah gelap.


Kevin membawaku ke tempat-tempat yang belum
aku kunjungi di Stratford -walaupun aku sudah
cukup lama tinggal disana. Aku tertawa bersamanya
seharian. Aku selalu bisa melupakan masalahku
jika sudah bersamanya -aku bahkan lupa besok
malam Alexa akan ke asrama. Aku melambai pada
Kevin di dalam mobilnya. Dia tersenyum dan balas
melambai padaku lalu mulai meninggalkanku. Aku
memandangi mobilnya sampai hilang di tikungan.
Serius! Aku benar-benar tidak bisa

205
menyembunyikan kekagumanku setiap melihat
mobil hitam keren itu. Aku berbalik lalu tertatih
pelan ke dalam rumah. Setelah mandi dan makan
malam, aku bergegas ke balkonku. Aku tidak
bertemu Justin seharian karena pergi dengan
Kevin. Lagi-lagi aku nyaris terkena serangan
jantung saat melihat Justin sudah duduk di
ayunanku. Awalnya dia tidak menyadari
keberadaanku. Dia tampak melamun dan kelihatan
sedih. Ada apa dengannya?. Apa dia punya
masalah?. Dia menarik nafas panjang lalu
membuangnya perlahan. Dia sadar dari lamunanya
lalu menoleh dan tersenyum begitu menyadari aku
berdiri di sana. "ah Alexis, kau sudah lama di sana?
Maaf aku ke balkonmu tidak bilang dulu" katanya,
masih tersenyum. Aku menatapnya aneh.
Senyumnya seperti dipaksakan. Aku mengacuhkan
pendapatku lalu duduk di sampingnya. "besok
malam Alexa berangkat" lirihku. Justin mengelus-
elus pundakku. "itu pasti yang terbaik untuknya"

206
katanya. Aku mendesah. "aku tahu. Tapi aku tetap
tak ingin dia pergi". Justin merangkulku. "tenang
saja. Aku akan selalu ada untukmu. Tak peduli apa
pun yang terjadi". Dia meyakinkanku. Yang
anehnya terdengar seperti meyakinkan dirinya
sendiri.

***

Besoknya, Kevin kembali mengajakku jalan-jalan.


Dia bahkan mengajak Alexa hari ini. Dia bilang,
dia ingin membuat Alexa senang sebelum dia pergi
ke asrama. Apa sih?. Alexa kan hanya pindah ke
asrama yang tidak terlalu jauh dari sini. Seakan-
akan dia mau pindah ke galaksi lain saja. Kevin
menjemputku dan Alexa pagi-pagi sekali. Aku
bahkan tidak sempat keluar ke balkonku untuk
menyapa Justin. Aku pasrah saja mereka
menyeretku ke mana. Reaksi Alexa sama dengan
reaksiku saat melihat Porsche hitam kevin. Dia
bahkan sempat mengerjap-ngerjapkan mata

207
meyakinkan dirinya. Aku dan Kevin tertawa
bersama melihat reaksinya. "kalian memang kakak-
adik" kata Kevin, menggeleng-gelengkan kepala
sambil tertawa. "whoa Kev, mobilmu keren!". Alexa
berseru setelah sadar dari ketidak-
percayaannya. Kevin membantuku masuk ke
mobilnya sambil terus mengoceh. Tepat sebelum
aku memasukkan kepalaku ke mobilnya, aku
melihat Justin di balkonnya memandangi kami
dengan tatapan dingin. Aku mau menyapanya
tetapi Kevin keburu menutup pintu
mobilnya. Kevin mengajakku dan Alexa ke taman
ria. Aku mengomelinya panjang pendek sepanjang
waktu selama kami di taman ria. Yang benar saja?.
Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus
mengajakku ke sini? Taman ria?. Apa dia lupa
kakiku ini tidak bisa diajak bermain?. Aahh aku
berada di titik paling besar kebencianku pada
kakiku saat ini. Hasilnya, aku hanya duduk sendiri
selama mereka mencoba berbagai wahana yang

208
ingin sekali ku naiki kalau kakiku baik-baik
saja. Kevin juga mengajakku dan Alexa makan es
krim. Kami bercerita seru tentang hal-hal yang
pernah terjadi waktu aku dan Alexa masih di New
York. Tertawa mengingat hal-hal konyol yang kami
lakukan. Untungnya, Alexa juga cukup dekat
dengan sahabat-sahabat New York-ku. Jadi dia
santai saja mengobrol dengan Kevin. "maksudmu?"
tanyaku. Saat dia mengatakan dia juga akan pergi
begitu Alexa berangkat. Dia mendongak. "aku akan
kembali ke New York" jawabnya, tersenyum. Aku
mengerang. "benarkah? Kenapa cepat sekali? Kau
baru tiga hari di sini" kataku. Kevin tersenyum
kecil. "pekerjaan ayahku sudah selesai di Stratford.
Lagipula, dia bilang dia rindu rumah"
jawabnya. Aku mendesah. Aku bisa apa? Aku tak
mungkin memaksanya tetap tinggal padahal
ayahnya terbang kembali ke New York. Kevin
mengantarkan aku dan Alexa sebelum matahari
terbenam. Well, karena malam ini Alexa akan

209
pindah ke asrama. Untung saja Alexa sudah
mengepak sejak beberapa hari yang lalu. Jadi kami
tidak lagi repot. Begitu sampai rumah, aku tak
sempat mengunjungi balkonku untuk sekedar
mengecek apakah ada Justin, karena Alexa akan
segera berangkat. Mobil dari asrama Wildenburg
sudah ada di rumah dan ayahku, ibuku serta Alexa
berusaha memindahkan koper-kopernya ke bagasi
mobil itu. Ternyata, Grandpa Bieber, Justin dan
Jaxo-yang kelihatan sangat sedih- membantu kami.
Mereka ikut mengangkut koper Alexa yang kelewat
banyak keluar. Heran, sebenarnya Alexa ingin
kemana sih?. Bawaanya seperti dia ingin ke belahan
dunia lain saja. Aku menggerutu dalam hati
melihat barang-barang Alexa yang tak ada
habisnya. Justin tidak menegurku selama
membantu keluargaku. Dia bahkan tidak
memandangku. Ada apa lagi ini?. Aku salah
apa?. Selesai memindahkan barang-barang Alexa,
aku, keluargaku bersama Grandpa, Justin dan Jaxo

210
melepas Alexa. Alexa memeluk aku, ayah dan
ibuku satu persatu sambil menangis
sesenggukan. "jaga dirimu, Alexis. Aku
menyayangimu" ujarnya. Aku sebenarnya berusaha
untuk tidak menangis dari tadi. Tapi melihat Alexa
menangis aku tidak tahan dan ikut menangis
bersamanya. "aku juga menyayangimu, Lex"
balasku. Ibuku juga menangis, hanya saja tidak
sekeras aku dan Alexa. Setelah Alexa pergi, aku
segera pergi ke kamarku dan langsung ke balkonku.
Aku duduk di ayunan menunggu Justin. Aku ingin
tahu kenapa dia mendiamkanku. Aku
menunggunya cukup lama, tapi dia tidak keluar
juga. Seandainya kakiku baik-baik saja, aku akan
melompat ke balkonnya sekarang juga. Aku
mengeluarkan handphoneku dan mengiriminya
sms yang menyuruhnya untuk keluar. Setelah
sekitar dua puluh menit, Justin baru keluar dari
kamarnya. Dia keluar dari kamarnya dan tidak
datang ke balkonku. Dia kenapa sih?. Aku

211
menyuruhnya untuk datang ke balkonku. Ia
melangkah dengan malas tapi akhirnya sampai di
sampingku. "kau kenapa? Kau mendiamkanku tadi.
Aku melakukan sesuatu yang salah?" cecarku. "tidak
ada apa-apa. Mungkin aku kelelahan" jawabnya,
singkat. Mendongak menatapku dan tersenyum-
masih senyum yang dipaksakan. Aku menatapnya.
"pasti ada sesuatu" kataku. Dia mendesah. "Alexis
aku baik-baik saja. Kau yang harusnya tidak baik-
baik saja. Adikmu yang pergi ke asrama, kan?". Aku
mengangguk. "aku tahu. Tapi aku bisa
menerimanya. Aku hanya tidak mau kau marah
padaku. Aku tidak punya teman sekarang. Apalagi,
Kevin sudah kembali ke New York" ujarku. Tepat
setelah itu, ada telepon masuk ke handphoneku.
Kevin. Aku segera bangkit dan sedikit menjauh dari
Justin. Mengangkat telpon dari Kevin. "hai Kevin.
Yeah, dia sudah berangkat. Pesawatmu kapan?
Nanti malam?. Baiklah hati-hati ya Kev. Sampaikan
salamku pada Melly dan Dylan. Katakan aku

212
merindukan mereka. Aku tahu. Aku juga
menyayangimu. Bye" kataku. Aku berbalik dan
melihat wajah Justin memerah karena marah. Dia
bangkit dan melangkah ke arahku. "kau bilang apa
padanya? Kau menyayanginya? Apa maksudmu?
Berani-beraninya kau mengatakan itu di depanku?"
teriaknya

213
24

"Kau bilang apa padanya? Kau menyayanginya? Apa


maksudmu? Berani-beraninya kau mengatakan itu
di depanku?" teriaknya. Aku baru mau
memprotesnya tetapi dia keburu
memotongku. "diam, Alexis! Kau tahu benar
perasaanku padamu. Aku sudah jutaan kali
mengatakannya padamu. Dan kau mengatakan kau
menyayanginya di depan mataku?!. Apa kau
menolakku karena dia? Kenapa? Karena dia
memiliki mobil bagus dan dia kaya? Aku tidak
menyangka kau serendah ini" lanjutnya. Plak. Aku
menamparnya. "jaga mulutmu!. Kau pikir kau siapa
bicara seperti itu padaku? Aku menyayanginya? Iya.
Aku memang menyayanginya. Tapi sebagai sahabat.
Asal kau tahu saja, aku sempat berpikir untuk
menerimamu setelah malam ini. Sekarang aku
bahkan tidak mau melihat wajahmu!". Aku ikut
berteriak padanya. Dia tampak terkejut mendengar

214
perkataanku. "kau mau...". Dia tergagap. Aku
melotot padanya. Menahan diriku untuk tidak
mencaci makinya jika aku membuka mulutku.
Berani-beraninya dia berkata seperti itu padaku!.
Aku memang berpikiran untuk menerimanya,
tetapi setelah apa yang dia katakan, rasanya aku
ingin membunuhnya sekarang juga. "sebaiknya kau
kembali ke kamarmu sebelum aku mencekik
lehermu. Aku tidak mau melihat wajahmu". Aku
mengusirnya. Kemarahan di matanya berganti
menjadi penyesalan. "Alexis, aku..." "tutup
mulutmu dan pergi!" bentakku. Dia menunduk.
Aku menatapnya murka. Dapat kurasakan mataku
mulai basah. Tidak. Alexis kau tidak boleh
menangis. Tidak di depannya. Dia mendongak dan
matnya merah. Kurasa dia juga ingin menangis.
"Alexis....". Dia memohon. "pergi". Aku memotong
perkataanya sambil menatapnya dengan dingin.
Aku berbalik dan melangkah masuk ke kamarku
dan langsung menutup pintunya dengan

215
kasar. Aku duduk di atas tempat tidurku. Menutup
wajahku dengan kedua telapak tanganku lalu
menangis sendiri. Aku tidak menyangka dia
berkata seperti itu padaku. Dia bilang aku apa?
Rendah? Dia tidak cukup lama mengenalku untuk
mengatakan hal semacam itu. Tiba-tiba pintu
kamarku di ketuk lalu ibuku membukanya pelan.
Aku cepat-cepat menghapus air mataku lalu
menatapnya. Dia tersenyum lalu duduk di
sampingku. Ibuku mengelus rambutku
pelan. "Alexis jangan menangis. Mom tahu kau
kesal dan sedih" katanya. Aku sedikit terkesiap.
Apa? Dia tahu aku bertengkar dengan Justin? Aku
menatap ibuku. "mom juga sedih Alexa pergi. Tapi
ini yang terbaik untuk Alexa. Kau pasti sedih dan
merasa kesepian. Tapi kau akan terbiasa nanti"
lanjutnya. Aku nyaris mendesah lega. Dia mengira
aku menangis karena Alexa. Aku mengangguk dan
memeluknya. Menangis dalam pelukannya

216
sementara ibuku mengelus rambut dan
punggungku pelan.

***

Aku terbangun keesokan paginya dengan sakit


kepala luar biasa. Aku duduk di atas tempat
tidurku sambil memegangi kepalaku. Sial. Sakit
kepala ini bisa membunuhku. Aku merasakan
mataku bengkak. Pasti aku menangis semalaman
lagi. Aku ingat aku menangis di pelukan ibuku
hingga terlelap. Sepertinya ibuku menidurkanku di
kasur semalam. Aku bangkit dari tempat tidurku
dan langsung melangkah ke balkonku tanpa repot-
repot mengambil tongkatku. Aku butuh udara
segar. Aku tertatih keluar menuju balkonku dan
nyaris mati shock saat melihat Justin tertidur di
ayunanku. Apa dia di sini semalaman? Dia gila atau
apa? Aku menatapnya dingin. Melihat wajahnya
mengingatkanku akan perkataannya semalam dan
itu membuatku membencinya. Kepalanya bergerak

217
sedikit lalu dia terbangun. Dia sama kagetnya
denganku saat dia mendongak dan melihatku
berdiri di sana. Dia bangkit lalu menatapku. Ragu-
ragu mendekatiku. Matanya merah dan sedikit
bengkak. Apa... dia juga menangis semalam? Aku
nyaris ingin memeluknya tetapi aku kembali
teringat semalam dia mengataiku rendahan. Aku
menatapnya sinis lalu membuang muka. Aku
melangkah ke ujung balkonku. "Alexis"
panggilnya. Aku tidak menjawab. Aku menarik
napas dalam-dalam, menenangkan diriku. Dia
mulai lagi. "Alexis, aku..." "sebaiknya kau kembali
ke rumahmu, Justin" potongku, datar tanpa
menoleh. Dapat kurasakan dia
mendesah. "maafkan aku" bisiknya, lalu melangkah
kembali ke kamarnya. Aku memejamkan mataku.
Membiarkan satu tetes air mata mengalir turun
melewati pipiku.

***

218
Keeseokan harinya, aku sudah bisa masuk sekolah.
Aku tidak bertemu atau pun mengobrol dengan
Justin seharian kemarin. Aku masih tidak bisa
memaafkannya. Setelah rapih dengan seragam, aku
tertatih ke balkonku. Aku berdiri di ujung
balkonku sambil menghirup udara pagi. Ini sedikit
membuatku tenang. Aku berbalik dan sedikit
terkesiap melihat Justin sedang memandangiku.
Aku mengacuhkannya dan masuk ke dalam
kamarku.

***

"Ah Alexis! Aku merindukanmu. Kau ini. Masa


hanya karena terkilir kau sampai tidak masuk
sekolah?" kata Casey, begitu melihatku. Yang lain
terkekeh di sampingnya. "asal kau tahu saja, aku
kesulitan berjalan dua hari kemarin. Aku bahkan
harus pakai tongkat" jawabku. "benarkah? Lalu
mana tongkatmu?" tanya Sam. "ku tinggal di
rumah. Aku tidak akan mau berkeliaran sepanjang

219
sekolah dengan tongkat." kataku. Mereka semua
tertawa lalu kami berpisah masuk ke kelas kami
masing-masing. Aku masuk ke kelas bahasa Jerman.
Tidak ada Justin. Bagus sekali. Tuhan sepertinya
memihak padaku hari ini. Aku duduk bersama
Casey dan Victoria di depan kami. Aku tidak bicara
apa-apa soal diriku dan Justin pada mereka.

***

"Baiklah, Alexis. Katakan apa yang terjadi anatara


dirimu dan Justin, sebenarnya?" tanya Bree,
menatapku lurus, saat jam makan siang. Aku
mengerutkan kening menatapnya. "apa
maksudmu?" tanyaku. "Justin memandangimu sejak
tadi. Dan tatapannya sangat sedih. Dia juga tidak
konsentrasi dalam kelas sebelumnya" kata Ari. Dia
sekelas dengan Justin tadi. Aku mendesah. "aku
bertengakar dengannya" desahku. "lagi?" jerit
Sam. Aku melotot padanya, dia menutup
mulutnya. "ada apa lagi?" tanya Bree, menepuk

220
pundakku.
Aku mendesah lalu menceritakan semuanya pada
teman-temanku. "dia apa?!" jerit Victoria. Aku
membekap mulutnya. "pelankan suaramu. Kita di
kafetaria" geramku. "ya. Dia memintaku untuk
menjadi kekasihnya" lanjutku. "lalu kau jawab apa?"
tanya Ari. "aku menolaknya" jawabku. "kau APA?"
mereka semua berteriak secara bersamaan. Aku
melotot pada mereka semua. "kau mau aku
mekanjutkan ceritaku atau mau berteriak-teriak
seperti kerasukan?" tanyaku. Mereka terkekeh lalu
menutup mulut mereka. Aku melanjutkan
ceritaku. "jadi dia salah paham?" tanya Casey. Aku
mengangkat bahu. "yang jelas aku tidak mau bicara
padanya" kataku. "tapi dia terlihat sangat tersiksa,
Alexis. Dia bahkan melihatmu seperti dia ingin
bunuh diri" kata Bree. Aku mendengus. Aku tidak
peduli. Yang jelas dia sudah benar-benar
membuatku marah.

221
***

Kelas berikutnya, olahraga. Aku keluar dari ruang


ganti bersama Bree, Casey dan Sam. Olahraga hari
ini bebas. Aku dan yang lain memutuskan bermain
basket. Sebelum mulai bermain basket, aku melihat
Justin duduk di pinggir lapangan. Aku menatapnya
sekilas. Dia melihatku dengan tatapan paling sendu
yang pernah aku lihat. Dan itu membuatku ingin
menghampirinya dan menghiburnya. Aku
mengurungkan niatku-masih terlalu kesal padanya-
lalu mengalihkan pandanganku dan memulai
bermain basket dengan teman-temanku.
Mengacuhkan Justin dan tatapannya pada
punggungku.

222
25

Besok paginya, aku tidak terkejut melihat Justin


duduk di balkonnya sambil menatap ke balkonku.
Aku yang tadinya ingin segera membuang muka,
terhenti. Sesuatu di wajahnya menarik perhatianku.
Dia... tampak pucat. Dia memandangiku dengan
kuyu dan ada lingkaran hitam di sekililing matanya.
Sebenarnya apa yang sudah dia lakukan?. Tidak
tidur semalaman atau apa? "aku minta maaf"
ujarnya. Aku memutar bola mataku. Sejak kemarin,
itu adalah kata-kata yang diucapkannya jika
bertemu denganku. 'maafkan aku', 'aku sungguh
menyesal'. Semacam itulah. Dia menatapku lekat-
lekat. Aku mendesah. "aku pasti memaafkanmu
Justin. Tapi tidak sekarang. Belum. Aku belum
bisa" kataku, membelakanginya. "aku
merindukanmu" ujarnya, lagi. Dia menunggu
responku. Tahu aku tidak akan menjawabnya, dia
bangkit lalu masuk ke kamarnya. Aku menoleh dan

223
menatap pintu kamarnya yang sekarang tertutup.
Aku sangat ingin memaafkannya. Sangat ingin
sampai-sampai ingin rasanya aku melompat ke
balkonnya dan menggedor pintu kamarnya
sekarang juga. Apalagi dengan tatapan sendu dan
wjah pucatnya. Aku benar-benar khawatir dan
rasanya ingin memaafkannya dan melupakan
semuanya sekarang juga. Tapi, ada bagian dari
diriku yang tidak membiarkanku. Bagian ini, ingin
membuat dia mengerti betapa besar dampak kata-
katanya tempo hari. Aku mendesah lalu
memandang lurus ke depan. Mengapa hubunganku
dengannya jadi begini rumit?. Dulu, aku selalu
bertengkar dengannya sampai-sampai kami bisa saja
mengebom rumah masing-masing hanya karna
salah bicara. Begitu keadaan berubah dan dia suka
padaku-perubahan yang sangat luar biasa-, aku kira
kami akan bisa mengenyahkan perseteruan-
perseteruan diantara kami. Tapi, aku salah. Justru
pertengkaran diantara kami selalu menjadi sesuatu

224
yang serius. Bukan seperti pertengakaran sepele
dan tidak penting kami dulu. Sekarang, kami selalu
berakhir menyakiti hati satu sama lain. Aku
mendesah lagi. Lalu kembali menatap pintu
kamarnya. Aku akan memaafkanmu, Justin. Pasti.
Tapi belum saat ini. Aku belum bisa.

***

Aku datang cukup pagi, jadi aku punya banyak


waktu luang. Aku membenci waktu luang sedang
ada masalah. Itu membuat pikiranmu berkelana
kemana-mana. Membuatmu berpikir tentang masa
lalu, membuatmu berpikir tentang masalah-
masalahmu, atau membuatmu memikirkan
kesalahan-kesalanmu dulu. Aku tidak suka
memikirkan bagian masa lalu yang itu. Tidak lama
kemudian, anak-anak lain mulai berdatangan. Dan
akupun bersyukur tidak harus melamun sendirian
dan menjadi sangat menyedihkan.

225
***

Aku melangkah pelan-pelan menuju rumah.


Berjalan kaki pulang kerumah juga adalah salah
satu hal yang membuat pikiranmu tidak melakukan
apa-apa. Jadi pikiranmu bebas memikirkan apa saja.
Dan aku, tentu saja memikirkan Justin. Justin tidak
masuk sekolah hari ini. Dia tidak ada di setiap
kelasku yang juga kelasnya dan tidak melihatnya
saat jam makan siang. Teman-temannya bahkan
menanyakan tentang dirinya kepada ku.
Sebenarnya ada apa dengannya?. Aku melewati
rumah keluarga Bieber dan aku melihat Grandma
baru ingin masuk ke dalam. Aku
mendekatinya. "hai Grandma" sapaku. Grandma
yang sedang melangkah masuk berbalik lalu
tersenyum dan menghampiriku. "hello Alexis. Kau
baru pulang sekolah?" balasnya. Aku mengangguk
dan tersenyum. "Grandma dari mana?"
tanyaku. "aku? Aku dari rumah sakit"

226
jawabnya. Aku mengerutkan kening. "rumah sakit?
Memangnya siapa yang sakit?" tanyaku, lagi. Dia
mendesah lalu menunduk. O-ow. Pertanda buruk.
Dia mengangkat kepalanya lalu menatapku sedih.
"Justin" lirihnya. Aku tersentak. Kepalaku serasa
dihantam beban seberat ratusan ton. "apa?!"

***

Aku tidak percaya. Otakku seakan tidak mau


memproses informasi yang aku dapatkan. Aku
sedang melamun di kamarku, kembali mencerna
kata-kata Grandma tadi. Justin masuk rumah sakit?.
Kenapa?. Well, aku tahu tadi pagi dia terlihat
pucat, tapi, apa sampai harus dirawat?. Memangnya
separah itu? Pintu kamarku diketuk lalu ibuku
masuk ke dalam kamarku. "kau sudah dengar?"
tanyanya, duduk disampingku di atas tempat
tidur. Aku menatapnya bingung. "dengar
apa?". "soal Justin" lanjutnya. Aku mendesah lalu
mengangguk. "kau... tidak mau menjenguknya?"

227
tanyanya, ragu. Aku mendelik. "memangnya aku
harus?". Ibuku yang mendesah kali ini. "setahu
mom kau akrab dengannya" kata ibuku. Aku
menatapnya terkejut lalu menunduk. "aku sedang
tidak ingin bertemu dengannya" jawabku. "tapi
menurut mom, dia sangat ingin bertemu
denganmu" katanya, lagi. Aku mendongak dan
menatapnya serius. Dia tersenyum lalu menepuk
bahuku pelan. "sebaiknya kau ganti bajumu"
katanya lagi, bangkit dan melangkah ke arah
pintu. "mom, memangnya kita mau kemana?"
tanyaku. Ibuku memutar bola matanya.
"menjenguk Justin tentu saja" katanya, keluar dari
kamarku. Aku terpaku di atas tempat tidurku. Apa
aku harus menjenguknya?.

***

Tadi, ibuku menelpon Grandma dan kebetulan


Grandpa yang menjawab. Dia bilang, Grandma
sudah kembali ke rumah sakit bersama Jaxo. Dia

228
juga memberi tahu ibuku kamar dimana Justin
dirawat. Jadi, sekarang aku tertatih bersama ibuku
mencari-cari kamar Justin. Aku melihat Jaxo keluar
dari sebuah ruangan lalu aku segera
menghampirinya. "ini... kamar Justin?" tanyaku,
menunjuk rungan di belakangnya. "bukan. Ini
toilet. Memangnya kau tidak lihat tandanya?"
katanya, dingin. Aku menoleh dan terkesiap
melihat penunjuk toilet laki-laki di dinding sebelah
pintu itu. Sial. Harusnya aku lihat-lihat dulu. Jaxo
melangkah mendekati ibuku lalu dia mengantar
aku dan ibuku menuju kamar Justin di rawat. Kami
masuk ke sebuah kamar dan melihat Grandma
sedang duduk di sofa sambil membaca sebuah
majalah. Grandma berdiri begitu melihat ibuku
lalu mereka berpelukan dan menanyakan kabar,
hal-hal seperti itulah. Setelah berbasa-basi dengan
ibuku, Grandma memelukku. "kau tidak bilang
ingin kesini tadi, Alexis" katanya. Aku hanya
tersenyum. Mana aku tahu aku mau kesini atau

229
tidak. Ibuku yang tiba-tiba mengajakku ke
sini. Ibuku menatap Justin yang sedang berbaring
di atas tempat tidur. "dia baru saja tertidur. Dia
sangat gelisah sepanjang pagi. Katanya, dia ingin
sekolah. Tadi siang dia bahakan mengigau. Dia
menyebut namamu, Alexis" kata Grandma,
menoleh ke arahku. Aku tersentak lalu menunduk
karena malu. Dasar Justin. Saat dia tidur saja, dia
bisa membuat pipiku memerah. Anak ini benar-
benar. Aku melangkah ke arah tempat tidurnya lalu
duduk di sampingnya. Dia, benar-benar sangat
pucat. Dia bahkan seperti mayat hidup. Aku tahu
tubuhnya cukup kurus sebelumnya. Tapi sekarang
dia bahkan lebih kurus lagi. Apa benar dia
mengigaukan namaku saat tidur?. Apakah dia
sebegitu ingin aku memaafkannya sampai-sampai
dia memimpikannya?. Ah fakta bahwa dia
mengigau namaku membuatku ingin
membangunkannya sekarang dan memberitahunya
bahwa aku sudah disini. Aku mendesah sambil

230
terus menatap wajahnya. Wajah yang biasa tertawa
bersamaku. Wajah yang sering memasang ekspresi-
ekspresi lucu dan jahil yang sering membuatku
jengkel. Ah sial. Aku jadi
menrindukannya. Seseorang menepuk bahuku.
Aku menoleh dan melihat Jaxo sedang
menatapku. "bisa kau ikut aku sebentar?"
tanyanya. Aku mengangguk lalu bangkit dan
mengikutinya keluar dari kamar Justin. Kami
berjalan sedikit lebih jauh dari kamar Justin lalu
Jaxo berhenti dan menatapku. "apa kau tahu
kenapa kakakku bisa dirawat?" "eh... karena dia
sakit?". Aku melemparkan pernyataan itu sebagai
pertanyaan. Dia memutar bola matanya. "apa kau
tahu kenapa dia sakit?" tanyanya. Aku
menggeleng. "tidakkah kau ingin tahu?" tanyanya,
lagi. Aku diam. Menunggu. Sebenarnya dia mau
mengatakan apa sih?. Kenapa dia bertele-tele?.
Kenapa tidak langsung mengatakan
maksudnya?. "karena kau" katanya. Aku mengerjap.

231
"maaf, apa katamu?". "kakakku sakit karena kau"
ulangnya.

232
26

Aku tersentak. "apa?". "kakakku sakit karena kau"


ulangnya. "aku mendengarmu. Tapi apa
maksudmu?" tanyaku, memutar bola mataku. "aku
tahu kakakku bertengkar denganmu. Dan aku tahu
kau benar-benar marah padanya" katanya. Aku
kembali tersentak. "dari mana kau tahu?"
tanyaku. "ayolah aku tinggal satu rumah
dengannya. Tentu aku tahu apa yang dialami
kakakku. Lagipula dia sangat berisik". Dia memutar
bola matanya. "berisik katamu?". Aku mengerutkan
kening.

***

Aku kembali ke kamar Justin. Ibuku dan Grandma


baru saja keluar untuk mencari makanan bersama
Jaxo. Aku duduk di sofa sambil memikirkan
perkataan Jaxo tadi. "kakakku tidak mau makan
sejak tiga hari yang lalu. Dia tidak mau keluar dari

233
kamarnya. Tadi pagi, aku menemukannya
tergeletak di kamar dan tangannya berlumuran
darah" kata Jaxo. "berlumuran apa?!" kataku,
terkesiap. Jaxo mengangguk. "Dia meninju tembok
hingga terluka cukup parah. Kurasa selain tidak
punya tenaga karena tidak makan apa-apa, tekanan
darahnya juga turun" lanjut Jaxo. Aku tersadar dari
lamunanku karena Justin bergerak. Dia bangun.
Jujur saja, aku kesal luar biasa padanya. Bukan
hanya tidak makan, dia juga menyakiti dirinya
secara fisik. Saking kesalnya, aku ingin memaki-
makinya sekarang juga. Tapi kutahan. Bisa-bisa dia
langsung bunuh diri kalau ku maki-maki. Aku
menarik napas lalu menghampirinya. "kau sudah
bangun?" tanyaku. Dia tampak sedikit terkejut
melihatku. "Alexis? Apa yang kau lakukan di sini?".
Dia duduk di atas di kasurnya. "kau tidak mau
dijenguk? Baiklah, aku pulang saja" kataku,
mengangkat bahu. Aku baru mau melangkah
keluar tetapi Justin lebih dulu memegang tanganku

234
lalu menarikku ke dalam pelukan. "siapa yang tidak
mau dijenguk olehmu?" gumamnya. "aku rindu
sekali padamu" lanjutnya. Aku diam saja.
Membiarkan dia memelukku. Tidak lama, dia
mepas pelukannya lalu menatapku. "aku sungguh-
sungguh minta maaf atas perkataanku kemarin.
Aku tidak seharusnya mengatakan hal-hal seperti
itu. Aku hanya kesal melihatmu pergi dengan
Kevin. Kau tampak senang bersamanya". Dia
menunduk. Aku tersentak. Tunggu. Apa
maksudnya dia... whoa. Dia cemburu? "kau
cemburu pada Kevin?". Aku menaik-naikan
alisku. Dia mendongak lalu memutar bola matanya-
walaupun aku tahu dia tersipu. "apa? Yang benar
saja. Tidak, aku tidak cemburu". Dia membela
diri. Aku terkekeh. "benarkah?. Baguslah kalau
begitu. Karena aku berpikiran untuk mejadikan
Kevin pacarku" kataku, jahil. Dia terkesiap. "APA?!
Tidak! Kau tidak bisa melakukannya! Kau mau aku
mati bunuh diri?". Dia panik. Aku tertawa

235
terbahak-bahak. "memangnya kenapa? Kau kan
tidak cemburu. Jadi aku tidak punya halangan"
kataku, lagi. Dia baru mau memberikan argumen
lain tapi kemudian menutup mulutnya lagi lalu
mendesah. "terserah apa maumu Alexis" jawabnya.
Dia kembali berbaring dan kali ini
membelakangiku. Aku tersenyum. Terkadang dia
sungguh naif dan mudah ditipu. Aku menepuk
bahunya dan membalikkan badannya. "aku
bercanda" kataku. Dia tetap tidak mau menatapku.
Dia bahkan memajukan bibirnya. Lagi-lagi aku
tertawa. "baiklah kalau kau marah padaku. Aku
akan pergi pada Kevin yang bersedia menerimaku".
Aku melangkah keluar, lagi. Dia langsung menarik
tanganku. "jangan kau berani-berani pergi kesana"
geramnya. Aku memutar bola mataku. "kau ini
kenapa sih? Sebentar-sebentar baik, lalu marah-
marah. Kau ini punya dua kepribadian, ya?"
kesalku. "aku tidak peduli kau mau bilang apa.
Yang jelas, kau milikku, kau mengerti?"

236
katanya. Aku mendelik. "siapa yang milikmu? Aku
tidak" balasku. "tidak. KAU memang milikku."
lanjutnya. Aku mendelik lagi.
"tidak". "ya" "tidak" "ya" "tidak. Aku BUKAN
milikmu" kataku, bersikeras. "belum" jawabnya,
mengangkat bahu. Aku diam. Well, aku tidak tahu
kalau itu. Dia tersenyum melihatku kalah. Aku
mendengus lalu tidak sengaja menyentuh
tangannya. Dia menjerit lalu segera menarik
tangannya yang ternyata diperban. Aku
menatapnya aneh lalu aku sadar. Dia memukul
tembok dengan tangannya. Seketika aku kembali
marah. Semua kekesalanku padanya kembali. "ada
apa dengan tanganmu Justin?" tanyaku,
memejamkan mata menahan amarah. Dia diam
saja. Tidak berani menatapku. Aku membuka mata
lalu melotot padanya. "katakan!" geramku. Dia
menunduk-masih tidak mau bicara. Aku menghela
napas kasar lalu mengangkat dagunya supaya
menatapku. "kenapa kau melakukannya?" tanyaku,

237
masih kesal. Dia tersentak. "kau... tahu?". Aku
menggertakan gigi saking kesalnya. "mengapa kau
memukul-mukul tembok dengan tanganmu?! Apa
yang sebenarnya kau pikirkan?. Jika punya masalah,
coba selesaikan dengan cara yang benar. Bukannya
menyakiti diri sendiri seperti orang tolol!". Aku
memaki-makinya. "ku kira kau cukup pintar untuk
bisa membedakan mana tindakan yang benar
ataupun bodoh dan tidak berujung menjadi remaja
sinting kelewat menyedihkan. Setidaknya hal ini
menunjukan intelektualitasmu di hadapanku"
lanjutku. Matanya berkilat marah. "tutup mulutmu,
Alexis! Kau tidak tahu rasanya jadi aku! Jadi
sebaiknya kau diam saja!" desisnya Aku bersedekap
di depannya. "benarkah? Kalau begitu, buat aku
mengerti!. Harusnya kau mencari cara agar aku
memaafkanmu-" "yang benar saja? Kau tidak pernah
mau mendengarkanku. Kau bahkan selalu
membuang muka jika melihatku. Kau mau aku
berlutut di kakimu baru kau memaafkanku?"

238
potongnya. "berpikirlah Justin!. Biasanya kau selalu
punya cara untuk membuatku memaafkanmu
bahkan disaat aku ingin membunuhmu. Bukannya
menyakiti diri sendiri dan dengan perlahan
membunuh dirimu!". Dia tidak menjawab. Kami
menatap masing-masing dengan kemarahan yang
menyala-nyala. Aku benar-benar tidak habis pikir.
Bisa-bisanya dia melakukan hal-hal menggelikan
seperti itu. Apa yang terlintas dalam pikirannya
sebenarnya?. Kami masih saling bertatapan. Aku
benar-benar marah atas apa yang sudah dia
lakukan. Dan dia sepertinya marah karena aku
marah padanya. Kami melotot pada satu sama lain.
Aku tidak akan menyerah. Aku ingin dia mengerti
bahwa aku sangat kesal dan menentang
tindakannya. Saking kesalnya sampai-sampai ingin
rasanya kutembak kepalanya dengan pistol. Dia
orang pertama yang mengalihkan pandangan
sementara aku tetap melotot padanya. Dia
mendesah lalu kembali menatapku. Tatapannya

239
berbeda sekarang. Bukan lagi kilatan kemarahan
tetapi secercah kesedihan dan... penyesalan?. "aku
minta maaf" bisiknya, kembali menunduk. Aku
memutar bola mataku. "jangan meminta maaf,
Justin. Bagaimana kalau aku tidak memaafkanmu?
Kau akan melakukan hal sinting lagi? Menusuk
jantungmu dengan pisau operasi berhubung kita di
rumah sakit?" sinisku. Dia mendesah dan tetap
menunduk. "aku tau perbuatanku salah-". "jelas.
Lalu kenapa tetap kau lakukan?" potongku. Dia
mendongak. Ekspresinya kembali kesal. "bisakah
kau membiarkan aku bicara? Berhentilah
memotong perkataanku" geramnya. Aku
mendengus. Tapi toh tetap ku kunci mulutku
rapat-rapat. "kau tidak tau rasanya. Saat kau
menyukai sesorang-sangat menyukainya- dan kau
melakukan satu kesalahan kecil lalu dia tidak mau
melihatmu lagi" ujarnya, menerawang. Aku baru
mau menyahutnya lagi tetapi dia kembali
bicara. "kau tidak tahu rasanya cemburu, Alexis.

240
Aku melihatmu tertawa bersama Kevin dan setelah
itu kau bahkan seperti enggan bicara denganku"
lanjutnya, mendongak menatapku. "rasanya aku
kesal, bukan, marah. Aku mungkin murka.
Rasanya aku ingin melompat dari balkonku dan
menarikmu keluar dari Porsche hitam Kevin waktu
itu. Bisakah kau mengerti itu?" tanyanya,
menatapku lekat-lekat. Matanya sarat kesedihan
yang dalam. Aku diam. Sepertinya, aku mengerti.
Aku merasakannya waktu dia mengobrol dengan
Riley waktu itu. Aku menunduk. "tetap saja aku
tidak akan membenarkan perlakuanmu. Dan satu
lagi, apa yang kau lakukan itu bukanlah hal kecil
waktu itu" sergahku. "aku tahu. Aku tidak pikir
panjang sebelum mengatakan hal-hal itu". Dia
menyesal. Aku berpaling, lalu mendesah. Dia
menggenggam tanganku. "aku minta maaf, Alexis.
Atas semuanya" katanya, dia menatapku
nanar. Aku menoleh ke arahnya. "aku
memaafkanmu Justin. Tapi aku masih tidak bisa

241
menerima apa yang sudah kau lakukan"
balasku. Dia kembali kesal. "aku tahu aku sudah
melakukan kesalahan. Tapi ini tak ada
hubungannya denganmu" desisnya. Aku tersentak.
Apa katanya?. Aku menarik tanganku dari
genggamannya keras-keras. "apa?" tidak ada
hubungannya denganku?. Aku beri tahu padamu,
kau melakukannya karenaku, jadi bagian mana dari
ini semua yang tidak ada hubungannya denganku?"
geramku. Aku mundur menjauhinya. "kau pikir
aku akan merasa tenang mengetahui alasan utama
kau menyakiti dirimu karena aku? Jika kau tetap
melakukan hal-hal konyol seperti ini, Justin, aku
bersumpah kau tidak akan pernah melihatku lagi"
desisku. Dia terkesiap mendengar kata-kataku. Dia
baru mau mengatakan sesuatu saat pintu kamarnya
terbuka. Ibuku, Grandma dan Jaxo masuk. Mereka
segera menghampiri Justin yang membeku. Mereka
sepertinya menyadari ketegangan antara aku dan
Justin. "baiklah, kami pulang dulu. Cepat sembuh

242
Justin". Ibuku berpamitan. Aku juga berpamitan
pada Grandma dan Jaxo. "aku akan menemuimu
lagi saat kau sudah sehat. Cepat sembuh" kataku,
menatap Justin dingin lalu segera melangkah keluar
dari kamarnya.

243
27

Aku membanting pintu kamar di belakangku lalu


duduk di kasurku sambil menenangkan detak
jantungku. Aku menarik napas dalam-dalam lalu
menghembuskannya dari mulutku. Luar biasa,
hanya adu mulut dengan Justin saja sudah
membuatku seperti ini. Lama-lama aku bisa terkena
stroke. Tak lama, pintu kamarku di ketuk dan
ibuku masuk lalu duduk di sampingku. "kau tidak
apa-apa, sayang?" tanyanya. Aku mendesah lalu
mengangguk. "well, kau tampak kesal setelah
menjenguk Justin. Kau sepertinya marah padanya"
lanjutnya. Aku memandanginya. Bingung.
Haruskah aku memberi tahunya?. Aku rasa tidak.
Aku menunduk dan kali ini menggeleng. Ibuku
mendesah. Dia mengelus pelan bahuku. "baiklah
kalau kau tidak mau cerita padaku. Tapi apa pun
yang terjadi antara kau dengan Justin, coba
dengarkan penjelasannya. Berusahalah untuk

244
mengerti perasaannya". "tapi mom, dia juga harus
mengerti perasaanku! Kalau aku terus yang
mencoba memahaminya, yang ada aku malah ingin
bunuh diri" keluhku. Ibuku tersenyum. "sayang,
cobalah melihat dari sudut pandangnya. Coba
bayangkan jika kau jadi dia. Dia pasti
melakukannya karena sesuatu. Lagipula, semua
melakukan kesalahan. Itukan yang namanya
manusia?" lanjutnya. "tapi tetap saja, mom. Dia
sudah melakukan tindakan yang sinting"
kataku. "Alexis, semua orang pernah berlaku
sinting. Bahkan kau ataupun aku. Lagipula,
memaafkan sesorang atas satu kesalahannya bukan
sesuatu yang sulit, bukan?". Ibuku menaikkan
kedua alisnya. Aku memandanginya. Dia sejujurnya
benar. Dan aku-sejujurnya- sudah memaafkan
Justin atas perkataannya tempo hari. Tapi, apa yang
sudah dia lakukan kemarin itu lain cerita.
Memukul-mukul tembok?. Apa yang sebenarnya
coba dia buktikan?. Aku mendesah lalu tersenyum

245
pada ibuku. Aku memeluknya erat. "mom benar.
Aku akan mencoba berpikir dari sudut
pandangnya" kataku. "itu baru anak mom. Cobalah
melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Dan
kau akan bisa memecahkan semua masalah dan
tetap berlaku adil" bijaknya, melepas pelukanku
lalu mengelus pipiku. Aku terus tersenyum
padanya. "trims mom. Aku merasa lebih baik
sekarang" kataku. Ibuku balas tersenyum.
"kapanpun dan apapun untukmu sayang" ujarnya.
Kami berpelukan sekali lagi lalu dia keluar dari
kamarku.
Setelah ibuku keluar dari kamarku, aku mulai
berpikir tentang kata-katanya. Ibuku sangat benar.
Aku sepertinya mengerti soal cemburu itu. Aku
pernah merasa luar biasa kesal waktu melihatnya
dengan Riley dulu-kalau itu bisa dibilang
cemburu. Tapi tetap saja menyakiti diri sendiri itu
tolol. Tidak, itu tidak bisa ditolerir. Tapi ibuku
bilang aku harus membayangkan jika aku menjadi

246
Justin. Dia mungkin sangat frustasi. Saking
frustasinya hingga melakukan tindakan tolol itu.
Baiklah, itu bisa ditolerir. Asal dia tidak akan
melakukan hal-hal semacam itu lagi. Tak peduli
apapun masalah yang dia hadapi. Dia maupun aku
butuh waktu untuk menenangkan diri. Terutama
dia. Sepertinya otaknya harus disetting ulang
supaya kembali ke pikiran normalnya. Setidaknya,
aku tidak akan menemuinya. Tidak sampai dia
benar-benar sehat. Tapi, bagaimana aku tahu kalau
dia sudah sehat?. Aku menjentikkan jariku lalu
segera mengambil ponselku dan langsung
menelpon Alexa. Dia mengangkatnya pada dering
ketiga. "hai Lex, apa kabar?" sapaku. "hai Lexis. Aku
baik. Kau bagaimana?" jawabnya. Dia tampak
bahagia. "aku juga. Begitupun mom dan dad.
Bagaimana asramamu?" tanyaku, mencoba
mengulur waktu. "hebat!. Asramanya keren.
Apalagi ada anak laki-laki di sini" ujarnya
antusias. Aku memutar bola mataku. "aku sudah

247
bisa menebak. Well, Lex, aku ingin menanyakan
sesuatu". Aku berhenti. "apa itu?". Dia menungguku
bicara. Aku tidak menjawab. "Alexis?"
panggilnya. "kau punya nomor ponsel Jaxo?"
tanyaku, akhirnya. Dapat kudengar Alexa kaget.

***

Aku menimbang-nimbang. Ragu. Aku membolak-


balik ponsel di tanganku. Sebentar ingin
menelpon, sedetik kemudian kubatalkan.
Haruskah aku menelponnya?. Aku menarik napas
lalu menekan tombol hijau di ponselku. "halo?".
Suara Jaxo terdengar di seberang. Aku tercekat.
Mati kau Alexis! Cepat bicara. Kau sudah
mengubur harga dirimu untuk meminta tolong
pada bocah sialan ini. "halo?" ulang Jaxo. Aku
berdehem. "hey Jaxo. Ini aku, Alexis" kataku
akhirnya. Kurasakan dia terkesiap di
seberang. "siapa?" tanyanya syok. "Alexis. Jaxo, aku
tetangga sebelah rumahmu yang tadi siang baru

248
bertemu di rumah sakit". "aku tahu. Apa maumu?"
tanyanya, langsung. Aku menarik napas. "begini,
aku benar-benar kesal pada kakmu tadi-" "aku tahu"
potongnya. Aku memutar bola mataku. "iya, aku
marah padanya dan mengatakan tidak akan
menemuinya hingga dia sembuh. Jadi, aku butuh
bantuanmu" kataku. Dia ragu sejenak. "bantuan
seperti apa maksudmu?" tanyanya. "aku butuh kau
memberitahuku perkembangan kondisi kakakmu"
kataku cepat-cepat. "apa? Untuk apa?". Dia
terkesiap. "untuk mengetahui apakah kakakmu
sudah sehat atau belum. Duh". Aku memutar bola
mataku lagi. "jadi kau bisa menemuinya jika dia
sudah sehat, begitu?" tanyanya, lagi. "benar. Jadi,
kau mau membantuku?" "apa untungnya
buatku?" "anggap saja, jika kau membantuku, kau
akan terbebas dari rencana-rencanaku untuk
membunuhmu" kataku. "yang benar saja" desisnya.
Dapat kurasakan dia memutar bola
matanya. "kumohon? Kumohon?". Aku membuat

249
suaraku semenyedihkan mungkin. Dia tampak
berpikir. Dan setelah beberapa detik yang terasa
beberapa abad untukku, dia mengatakan "baiklah".

***

"Dia gila. Dia benar-benar gila". Bree menggeleng-


gelengkan kepalanya. Aku mengangguk menyetujui
pendapatnya. Aku sedang ada di kafetaria bersama
teman-temanku. Saat ini adalah jam makan siang.
Aku menceritakan semuanya pada teman-temanku.
Semuanya. Bahkan tindakan sinting Justin yang
menyakiti dirinya sendiri. Seperti aku, mereka
semua kaget bukan main-dan tentu saja
menganggap Justin kehilangan akal sehatnya. "tapi
itu mungkin saja dilakukan" kata Victoria. Aku
memutar bola mataku. Victoria adalah satu-satunya
yang menganggap tingkah Justin ini normal. Dia
sepertinya menganggap benar apa yang dilakukan
Justin. Mungkin jika Justin memintanya mencabut
nyawanya, dia tetap membenarkan tindakan

250
itu. "Vic, ayolah! Apa yang benar dari tindakan itu?"
gerutuku. "Alexis, Justin juga remaja, kan?"
tanyanya. "benar. Lalu apa?". "tahukah kau remaja
biasanya melakukan hal-hal kelewat sinting saat
patah hati?. Bahkan biasanya lebih parah dari kasus
Justin" katanya. Aku berpikir sejenak. Well,
Victoria benar. Aku pernah mendengar kalau Kate-
siswi junior- bahkan menyilet-nyilet tangannya
karena patah hati. Aku bergidik. Jika Justin
melakukan hal itu, akan kugorok lehernya
sekalian. "kau harus bicara padanya Alexis" kata
Ari, memandangiku. "aku sudah bicara padanya.
Tapi aku selalu ingin mencekik lehernya" jawabku,
frustasi. Mereka semua mendesah. Aku juga
mendesah. Betapa satu tindakan Justin ini
membuatku sangat marah.

***

Sepulang sekolah, aku mendapati rumahku kosong


-aku punya kunci rumah sendiri. Aku menemukan

251
catatan yang di tempel di pintu kulkas. Ternyata
ibuku sedang ke rumah sakit menjenguk Justin.
Aku mengangkat bahu lalu beranjak ke
kamarku. Aku sedang mebolak-balik halaman buku
Sejarahku ketika satu pesan baru masuk ke
ponselku. Aku membukanya. Jaxo. "kakakku tidak
mau makan. Dia kembali tidak sadarkan diri pagi
ini. Tekanan darahnya terus menerus menurun"
tulisnya. Aku langsung menelpon nomor
Jaxo. "ceritakan. Semuanya" kataku saat Jaxo
mengangakatnya. "Justin kembali tidak sadarkan
diri pagi ini-" "bagaimana bisa?" potongku. "dia
belum makan apa-apa sejak kau datang kesini. Dia
bahkan mencoba melepas infus di tangannya"
jelasnya. Aku tersentak. "dia apa? Bisa-bisanya?"
geramku. Aku menarik napas. "lanjutkan". "tadi
pagi, Grandpa menemukannya tergeletak di lantai.
Sepertinya saat ingin bangun dari tempat tidur, dia
malah pingsan" lanjut Jaxo. Napasku memburu
karena kesal sekarang. Aku mencoba menenangkan

252
detak jantungku. "lalu?" "dokter bilang, tekanan
darahnya terus turun. Demi Tuhan, Alexis, dia
sangat sulit diberitahu. Aku, Grandma bahkan
Grandpa sudah memaksanya untuk makan tapi dia
justru malah membentakku" kesalnya. Aku
mendesah. "aku akan bicara padanya. Akan ku
telpon dia. Terima kasih Jaxo" kataku,
akhirnya. "sama-sama" jawabnya, lalu menutup
telponnya. Aku mendesah lagi. Mengatur napasku
sambil menenangkan diriku. Setelah merasa cukup
tenang, aku menelpon ponsel Justin. "Alexis?". Dia
menjawab saat deringan pertama. "hai Justin"
jawabku. "hey. Ada apa?" tanyanya. "kudengar kau
pingsan pagi ini" kataku, langsung. Dapat
kurasakan dia mengejang di seberang. "mengapa
kau tidak memakan makananmu?" lanjutku. Dia
tidak menjawab. "Justin?" panggilku. "aku... tidak
selera" jawabnya. Aku memutar bola mataku. "yang
benar saja? Justin, kau ini sebenarnya mau sembuh
atau tidak?" "aku mau-" "bagaimana kau bisa

253
sembuh, kalau kau justru mau melepas infusmu?
Kau ini. Makan tidak mau dan ingin melepas
infusmu. Kau mau bunuh diri?" sinisku. "Alexis
aku...". Dia tampak ragu. "kau apa? Justin cobalah
pikirkan nenek dan kakekmu. Bagaimana perasaan
mereka jika melihatmu seperti ini?" lanjutku. Dia
tidak menjawab. "serius Justin, kau akan
membuatku tersiksa karena rasa bersalah jika kau
tidak sembuh juga" tambahku. "aku minta maaf"
katanya. Aku mendengus. "berhentilah meminta
maaf Justin!. Kau sudah cukup minta maaf. Aku
tidak mau lagi mendengarmu mengatakan itu"
desisku. "aku sangat menyesal, Alexis" katanya,
lagi. "aku tahu, Justin. Tapi kalau kau tidak
berusaha untuk sembuh, penyesalanmu tidak ada
gunanya. Kalu kau pikir aku main-main soal
menemuimu saat kau sudah sembuh, kau salah.
Jangan harap kau akan melihatku sebelum kau
sehat". Dengan itu aku menutup telponnya. Aku

254
tahu Justin pasti syok mendengarnya. Tapi dia
harus dibuat sadar.

255
28

Sudah berlalu satu minggu sejak aku menelpon


Justin. Sekarang, kakiku sudah sembuh
sepenuhnya. Setiap hari juga aku menelpon Jaxo
untuk menanyakan kabar Justin. Justin sudah
pulang ke rumahnya tiga hari yang lalu. Tentu saja
aku belum menemuinya. Jaxo bilang, keadaanya
sudah kembali sehat, hanya luka di tangannya yang
belum sembuh. Justin beberapa kali mencoba
menelponku, tapi tak pernah kuangkat. Memang
sih aku bilang dia tidak akan bertemu denganku,
tapi aku tidak mau bicara dengannya dan dia malah
mengira aku main-main. Malam ini, aku sedang
bersiap-siap untuk tidur saat kudengar keributan
dari kamarnya. Aku cepat-cepat mematikan lampu
kamarku lalu berbaring di kasurku. Justin dengan
berisik keluar dari kamarnya lalu melompat ke
balkonku. Aku menutupi diriku dengan selimut.
Berpura-pura tidur. Dia sudah ada di depan pintu

256
kacaku. Aku bisa melihat bayangannya berdiri di
sana. Dia ragu-ragu sejenak, lalu mengetuk pintu
kacaku. "Alexis?" bisiknya. Aku tercekat. Dia benar-
benar nekat. Aku diam tidak menjawab. "kau sudah
tidur?" bisiknya lagi. Aku memutar bola mataku.
Tidak aku sedang membuat rencana untuk
melemparmu ke galaksi lain, Justin. Rasanya ingin
ku teriakan kata-kata itu. Dia sepertinya duduk di
ayunanku. "tidak apa kalau kau sudah tidur.
Padahal aku rindu padamu" katanya, yang
sepertinya untuk dirinya sendiri. "sudah satu
minggu lebih kita tidak bertemu, apakah dia juga
merindukanku?" tanyanya, lagi-lagi pada dirinya
sendiri. Aku terkekeh pelan. Dia benar-benar sudah
gila. Untuk apa bicara pada dirinya sendiri?.
Sepertinya masuk rumah sakit membuat
kemampuan otaknya menurun. Aku mendengarnya
bersenandung pelan sambil berayun-ayun di
ayunanku. Aku terdiam. Whoa. Suaranya cukup
bagus. Sepertinya dia berbakat. "selamat malam

257
Alexis. Mimpi indah" bisiknya, lalu pergi dari
balkonku

***

Keesokan harinya, aku bangun seperti biasa.


Setelah sarapan, aku pamit pada orang tuaku.
Dalam perjalanan ke sekolah, aku mendapat telpon
dari Jaxo. "dimana kau?" tanyanya langsung. "dalam
perjalanan ke sekolah. Ada apa? Kakakmu sudah
masuk sekolah?" balasku. "belum. Dia masih sedikit
lemas. Gila, dia benar-benar ingin bertemu dirimu,
Alexis. Dia bersikeras ingin sekolah hari ini.
Padahal jelas-jelas dokter belum mengizinkannya.
Grandma sampai mengancam tidak akan
membukakan pintu kalau dia sampai keluar
rumah" kata Jaxo. Aku ternganga. "wow. Aku
memang sungguh menawan, bukan? Sampai-sampai
kakakmu itu berlaku seperti itu?" kataku,
jahil. "yang benar saja" gumam Jaxo. Aku tertawa.
"tapi seruis, Jaxo, semalam dia ke balkonku"

258
lanjutku. "apa?!". Dia tampak kaget. "dia datang dan
mengetuk pintuku tapi aku pura-pura tidur"
jawabku, mengangkat bahu. "kau ini kejam sekali.
Dia kan sudah sembuh, Alexis". Dapat ku rasakan
Jaxo menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku
terkekeh. "baiklah, baiklah. Sore ini aku mampir ke
rumahmu, ya? Bye, Jaxo". Aku menutup telponnya
tanpa menunggu jawaban darinya.

***

Sepulang sekolah, aku memang memutuskan untuk


menjenguk Justin. Aku sudah bilang pada ibuku,
dan ibuku merasa senang aku mau berbaikan
dengan Justin. Aku hanya tersenyum padanya. Aku
sudah mengirim pesan ke Jaxo. Jaxo sudah bilang
pada Grandma kalau aku mau mampir. Aku
langsung panik, karena aku ingin datang tanpa
sepengatahuan Justin. "tenang saja. Kakakku tidak
tahu kau akan datang". Itulah jawaban Jaxo. Aku
mendesah lega mendengarnya. Setelah mengambil

259
buah-buahan yang sudah di siapkan ibuku, aku
kembali mengirim pesan ke Jaxo untuk
menungguku di depan rumahnya. Setelah itu, aku
keluar dan sudah melihat Jaxo di depan pintu
rumahnya. "masuklah. Kakakku sedang di kamar,
mungkin menangis seperti orang gila karena gadis
yang dia sukai bersikap kelawat kejam" kata
Jaxo. Aku nyengir lalu masuk ke dalam bersama
Jaxo. Grandma menyambutku. Dia langsung
memelukku. "senang sekali kau mau datang, Alexis.
Aku hampir gila mendengar Justin memaksa ingin
bertemu denganmu. Dia itu seperti ingin bertemu
kekasihnya saja". Grandma memutar bola
matanya. Aku tersipu. Malu. Justin sialan. Apa yang
Grandma pikirkan sekarang?. Dia benar-benar
membuatku malu. Aku segera naik ke lantai atas
menuju kamar Justin. Aku berdiri di depan
kamarnya. Aku membuka pintunya pelan lalu
mengintip ke dalam. Justin tidak melihatku. Dia
sedang memandangi ponselnya lalu menaruhnya di

260
telinga. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku nyaris
tertawa terbahak-bahak melihat nama Justin tertera
di layar ponselku. Aku berdehem lalu mengangkat
telpon darinya. "hai, Alexis" katanya. Aku sekuat
tenaga menahan tawaku. "hai Justin. Ada apa?"
jawabku. "kau... Ada di mana sekarang?"
tanyanya. Aku terkekeh lalu membuka pintu
kamarnya. "di kamarmu"

***

Justin tampak luar biasa kaget melihatku berdiri di


hadapannya. Matanya membelalak dan mulutnya
menganga. Aku tertawa melihat ekspresinya. Dia
segera bangkit dari tempat tidurnya lalu berlari ke
arahku dan menyerangku dengan pelukan yang
sangat erat-kelewat erat malah. "Justin... butuh
udara... tidak bisa bernapas". Aku meronta-ronta di
dalam pelukannya. Dia tertawa lalu melepaskan
pelukannya dan mengacak-acak rambutku. "astaga,
aku rindu sekali padamu Alexis. Rasanya ingin

261
kudobrak rumahmu hanya untuk bertemu
denganmu" katanya. Aku terkekeh. "aku juga rindu
padamu Just-". "Benarkah? Kau sungguh-sungguh?
Demi Tuhan, Alexis kalau aku tidak ingat kau
butuh bernapas akan kupeluk kau sampai mati
sekarang". Dia memotong perkataanku nyaris
menjerit. "kalau aku sampai mati, Justin, Alexa dan
orang tuaku akan mebalaskan dendam. Percayalah"
kataku, tertawa. "aku akan menghilangkan bukti
sebelum ketahuan" jawabnya, menjulurkan
lidahnya padaku. "kalau begitu aku kan
menghantuimu" balasku. "aku tidak keberatan.
Kalau dihantui oleh hantu secantik ini, aku rela
dihantui selamanya" jawabnya lagi, mengangkat
bahu. Aku memutar bola mataku lalu tertawa. Dia
ikut tertawa lalu kembali memelukku-kali ini tidak
terlalu erat. "senang sekali kau ada di sini"
gumamnya. Aku mengangguk lalu melepas
pelukannya dan mengajaknya kembali ke
kasurnya. "aku sudah sehat, Alexis" katanya, saat ku

262
suruh kembali berbaring. Aku bersikeras. "aku
tidak peduli. Berbaring. Sekarang" perintahku. Dia
memutar bola matnya. Tapi toh melakukan apa
yang kuperintahkan. Tiba-tiba pintu kamarnya
diketuk. Aku berdiri lalu membukakannya dan
melihat Grandma berdiri di luar bersama nampan
dengan mangkuk dan beberapa obat-obatan di
atasnya. "aku membuat sup ayam. Berikan ini pada
Justin" katanya, tersenyum. Aku mengangguk
"terimaka kasih Grandma.". Aku baru mau berbalik
saat Grandma memanggilku. "apa kalian
berpacaran?" tanya Grandma tiba-tiba. Aku
tersentak. Pertanyaan macam apa ini?. Aku benar-
benar malu sekarang. Aku bahkan berani bertaruh
wajahku pasti sudah sangat merah. Aku
menggeleng. "tidak. Dia menggelikan" kataku. "aku
dengar itu!". Justin berteriak dari dalam. Aku
memutar bola mataku. "dan dia memiliki telinga
yang besar". "dengar yang itu juga!". Dia berteriak
lagi. Aku dan Grandma sama-sama kesal. "dan dia

263
menyebalkan" kataku, lagi. "aku masih dengar".
Justin lagi. Aku mendengus. "dan aku sangat ingin
membunuhnya sekarang" geramku. "aku tidak
dengar yang satu itu. Aku berani sumpah"
jawabnya. Aku dan Grandma sama-sama memutar
bola mata. "kau benar. Dia menyebalkan" kata
Grandma, lalu beranjak pergi. Aku masuk ke
kamar Justin membawa nampan tadi dan
meletakkannya di meja di sebelah kasurnya. "suapi
aku?" mohonnya. Aku mendengus. "kau mau aku
menyuapimu? Mati saja kau" kataku. "aku kan sakit,
Alexis. Berjingkrak-jingkrakan denganmu tadi
menguras sisa-sisa tenagaku". Dia memelas. Aku
mendesah lalu mengambil sup dari Grandma lalu
duduk di pinggir kasurnya. Aku menyuapinya satu
sendok penuh sup itu. Begitu sup itu sampai di
dalam mulutnya, dia langsung mengambil tisu dan
membuang supnya. "sialan, Alexis! Itu panas"
omelnya, menjulur-julurkan lidahnya karena
kepanasan. Aku tertawa terbahak-bahak

264
melihatnya. Dia cemberut, lalu melipat tangannya
di dada. "maafkan aku, aku luap meniupnya dulu"
kataku, menahan tawa. Aku meniup satu sendok
lagi lalu kembali meyuapinya. Setelah lebih dari
setengah supnya habis, dia minta berhenti. Aku
meletakkan mangkuknya di atas meja lalu
mengambil obat-obatannya. "kau minum obatmu
dulu" kataku, memberikan obat padanya. Dia
mengambilnya lalu segera meminumnnya. Aku
tersenyum. "bagaimana tanganmu?" tanyaku. Dia
menunduk dan tidak menjawab. Aku tersenyum
lalu meraih tangannya. Aku membuka perban yang
melilit lukanya. Lukanya sudah membaik. Mungkin
beberapa hari akan sembuh. Aku pergi ke bawah
lalu kembali dengan membawa air hangat, obat
merah dan perban baru. Aku membersihkan
lukanya dengan air hangat. Lalu memberinya obat
merah dan memerbannya lagi. "aku sungguh
menyesal-". "sssttt tidak apa-apa" potongku. "kenapa
kau baru datang sekarang? Aku setengah mati ingin

265
bertemu denganmu, tahu?. Kau nahkan tidak
menjawab telponku" gerutunya. "aku ingin kau
sehat sempurna Justin. Aku tidak ingin
kehadiranku justru membuatmu melakukan
tindakan-tindakan aneh, bukannya istirahat"
jawabku. Dia tersenyum lalu mengelus pipiku. "kau
tahu? Kata-katamu di rumah sakit membuatku
takut". Aku mengerutkan kening. "takut kenapa?"
tanyaku. "takut aku benar-benar tidak akan
melihatmu lagi" lirihnya. Aku tersenyum lalu
mengelus tangannya. "tenanglah. Aku bilang aku
akan menemuimu saat kau sehat. Dan aku di sini
kan sekarang?" kataku. Dia langsung memelukku.
"aku sangat menyayangimu Alexis. Jadilah pacarku"

266
Epilog

Aku melempar topi togaku. Dalam sekejap topiku


lenyap di antara ratusan topi lain di langit. Dan
detik berikutnya topi-topi itu berhamburan
menimpa murid-murid yang ada di bawahnya. Aku
bersama teman-temanku tertawa lepas sambil
berpelukan. "aku tidak menyangka, Alexis, kau
akhirnya sudah tiga bulan menjalin hubungan
dengan Justin" kata Victoria. Aku tesenyum. Hari
ini tepat tiga bulan aku menjadi pacar Justin. Aku
menerima cintanya di rumahnya waktu
itu. "sungguh menarik, bukan? Kalian dulu
berusaha untuk membunuh satu sama lain.
Sekarang kalian kemana saja selalu berdua" kata
Casey. "aku tidak mau banyak komentar tentang
hubunganmu Alexis, yang jelas aku senang
melihatmu bersama Justin. Kalian sungguh
mengagumkan". Ari memelukku. "omong-omong,
kalian sudah daftar kuliah?" tanya Bree. "aku sudah

267
diterima di Perancis. Fashion design" kata Ari. "aku
dan Vic masuk di kampus yang sama di sini.
Stratford University" kata Bree merangkul bahu
Victoria. "aku akan kuliah di Atlanta" kata
Casey. "aku... dapat Oxford" aku Sam malu-
malu. "APA?!". Kami semua menjerit
bersamaan. "hebat sekali Sam! Aku tidak tahu kau
daftar di sana" kataku antusias. "orangtuaku tinggal
di London. Jadi aku mati-matian belajar supaya bisa
kuliah di Oxford" jelasnya. Kami semua menjerit
lagi lalu berpelukan bersama. "Alexis!". Aku
menoleh dan melihat Justin berlari menghampiri
kami. Aku melambai padanya. Dia sampai di
tempat kami dengan senyum yang luar biasa
lebar. "kau sudah ditelpon? Aku sudah" katanya,
girang. Dia tampak begitu senang sampai-sampai
ingin meledak. Aku mengerutkan kening. "tenang
Justin, tenang. Ditelpon oleh siapa?"
tanyaku. "Juilliard" lanjutnya masih kelewat
girang. Aku menggeleng. "tidak. Memangnya

268
mereka bilang apa?". Wajah Justin berubah
seketika. "kau... tidak ditelpon?" tanyanya, tak
percaya. Aku menggeleng. "mereka bilang aku
diterima" katanya, senormal mungkin. Tapi aku
tahu ada sedikit rasa kebahagiaan di balik
suaranya. Aku menjerit lalu segera memeluknya.
"benarkah? Astaga Justin! Selamat!" jeritku. Justin
membalas pelukanku. Lalu menatapku
sedih. Tawaku lenyap saat perlahan-lahan aku
menyadari maksudnya. Dia ditelpon karena lulus.
Dia ditelpon. Kalau aku tidak ditelpon... Aku
terkesiap. Tiba-tiba perasaan sedih mulai
menggerogotiku. Justin yang melihat perubahan
ekspresiku langsung memelukku. "tidak apa-apa
Alexis." ujarnya. Aku mengangguk. Sial. Aku ingin
menangis rasanya. Lalu tiba-tiba kurasakan ponsel
di kantung togaku bergetar. Aku berniat
mengambilnya tapi Justin belum melepaskan
pelukannya. "aku akan selalu mendukungmu, Lex.
Apapun yang terjadi. Percayalah". Dia masih

269
memelukku. "aku percaya padamu, Justin.
Sekarang, bisa kau lepaskan aku?" kataku. Justin
mendesah lalu melepaskan pelukannya. Aku cepat-
cepat mengambil ponselku. Nomor tidak dikenal.
Aku segera mengangkatnya. "halo? Ya saya sendiri.
Mr. Jack? Dari Juilliard?". Aku nyaris menjerit saat
mengucapkan nama kampus itu. "apa? Aku
diterima? Benarkah? Oh Tuhan terima kasih Mr.
Jack. Baik, aku akan berusaha. Terima kasih.
Semoga harimu menyenangkan". Aku menutup
telponnya. Aku menatap Justin lalu menjerit. Aku
memeluknya sangat erat. "Justin aku diterima. Aku
diterima. Ya Tuhan, Juilliard!" Justin tertawa lalu
mengangkatku dan memutar-mutar tubuhku.
"selamat untukmu sayang. Aku tahu kau akan
mendapatkannya" katanya, lalu
menurunkanku. Teman-temanku menjerit-jerit
sambil memelukku. "wow Alexis, wow. Juilliard"
kata Vic. Aku tertawa. "aku tahu" kataku. "aku tidak
tahu kau menyukai bidang seni. Akting? Menari?

270
Atau bernyanyi?" tanya Bree. "bernyanyi dan
menari, sepertinya. Justin suka membuat lagu. Jadi
terkadang kami bernyanyi bersama. Dan kau tahu
aku anggota pemandu sorak di sini"
jawabku. "pasangan musisi dan penari, eh?" tanya
Ari, terkekeh. Aku dan Justin tertawa. "aku akan
memberi tahu teman-temanku. Sampai nanti,
sayang" katanya, mengecup pipiku lalu pergi. Aku
mengedarkan pandangan ke sekeliling lapangan. Di
kejauhan, aku melihat Riley berpelukan dengan
Steve lalu melambai padaku. Aku balas melambai
padanya. Hebat bukan? Masa-masa SMA? Semua
mungkin saja terjadi. Dari anak cowok
menyebalkan yang seakan-akan mengajakmu
berperang, teman yang menyukai musuhmu,
sahabat yang luar biasa keren, dan yang mudah
ditemui, tentu saja kisah cinta. Kau bisa saja
menyukai siapapun. Dan orang itupun mungkin
saja tidak pernah kau bayangkan. Bahkan musuh
bebuyutanmu. Well, itu kan yang namanya SMA?

271

Anda mungkin juga menyukai