Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi istregritas tulang,

penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan tetapi faktor lain seperti proses

degenerative juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Brunner &

Suddarth, 2008). Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress atau beban yang lebih

besar dan kemampuan tulang untuk mentolelir beban tersebut. Fraktur dapat

menyebabkan disfungsi organ tubuh atau bahkan dapat menyebabkan kecacatan

atau kehilangan fungsi ekstremitas permanen, selain itu komplikasi awal yang

berupa infeksi dan tromboemboli (emboli fraktur) juga dapat menyebabkan

kematian beberapa minggu setelah cedera, oleh karena itu radiografi sudah

memastikan adanya fraktur maka harus segera dilakukan stabilisasi atau perbaikan

fraktur. (Brunner & Sudart, 2002)

Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat terdapat lebih dari 7 juta orang

meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami

kecacatan fisik. Usman (2012), menyebutkan bahwa hasil data Riset Kesehatan

Dasar (RIKERDAS) tahun 2011, di Indonesia terjadinya fraktur yang disebabkan

oleh cedera yaitu karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma tajam atau

tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775

orang (3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, mengalami fraktur

sebanyak 1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam atau tumpul, yang

1
mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). Depkes (2009) dan menurut data

Depkes 2005 kalimantan timur korban fraktur akibat dari kecelakaan berkisar

10,5%, sedangkan bedasarkan data yang diperoleh dari catatan medical record di

rumah sakit islam samarinda, data pada tahun 2012 (periode Januari-Juni)

didapatkan 14 kasus fraktur, sedangkan untuk bulan Juli ada 7 kasus fraktur.

Dampak masalah dari fraktur yaitu dapat mengalami perubahan pada

bagian tubuh yang terkena cedera, merasakan cemas akibat rasa sakit dan rasa

nyeri yang di rasakannya, resiko terjadinya infeksi, resiko perdarahan, ganguan

integritas kulit serta berbagai masalah yang mengganggu kebutuhan dasar lainnya,

selain itu fraktur juga dapat menyebabkan kematian. Kegawatan fraktur

diharuskan segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan klien dari kecacatan

fisik. Kecacatan fisik dapat dipulihkan secara bertahap melalui mobilisasi

persendian yaitu dengan latihan range of motion (ROM). Range of motion adalah

latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat

kesempurnaan kemampuan menggerakkan persendian secara normal dan lengkap

untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005). Pasien

harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Hal tersebut

perlu dilakukan sedini mungkin pada klien post operasi untuk mengembalikan

kelainan fungsi klien seoptimal mungkin atau melatih klien dan menggunakan

fungsi yang masih tertinggal seoptimal mungkin.

2
B. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian fraktur

2. Untuk mengetahui klasifikasi fraktur

3. Untuk mengetahui etiologi fraktur

4. Untuk mengetahui pathway fraktur

5. Untuk mengetahui manifestasi klinis fraktur

6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik fraktur

7. Untuk mengetahui proses penyembuhan tulang

8. Untuk mengetahui faktor penyembuhan fraktur

9. Untuk mengetahui penatalaksanaan fraktur

10. Untuk mengetahui komplikasi fraktur

11. Untuk mengetahui asuhan keperawatan fraktur

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis

dan luasnya.

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang

dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Lukman dan

Ningsih, Nurna, 2009 : 25)

Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. (Doenges. 2000 : 761)

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis

dan luasnya. (Smeltzer, dkk. 2001 : 2357)

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan yang

umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Mansjoer, dkk. 2000 : 346)

B. Klasifikasi

Klasifikasi fraktur secara umum :

1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan

cruris).

2. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur :

a. Fraktur komplit (Garis patah melalui seluruh penampang tulang atau

melalui kedua korteks tulang).

b. Fraktur tidak komplit (Bila garis patah tidak melalui seluruh garis

penampang tulang).

4
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :

a. Fraktur komunitif

Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

b. Fraktur segmental

Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.

c. Fraktur Multiple

Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang

sama.

4. Berdasarkan posisi fragmen :

a. Fraktur undisplaced (Tidak bergeser)

Garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan

periosteum masih utuh.

b. Fraktur displaced (Bergeser)

Terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen.

5. Berdasarkan sifat fraktur (Luka yang ditimbulkan)

a. Faktur tertutup (Closed)

Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,

disebut juga fraktur bersih (Karena kulit masih utuh) tanpa

komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang

berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu :

1) Tingkat 0

Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak

sekitarnya.

5
2) Tingkat

Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan

subkutan.

3) Tingkat 2

Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian

dalam dan pembengkakan.

4) Tingkat 3

Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan

ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur terbuka (Open/compound)

Bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan

dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

c. Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :

1) Grade I

Luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.

2) Grade II

Luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.

3) Grade III

Sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak

ekstensif.

6. Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme

trauma:

6
a. Fraktur transversal

Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat

trauma angulasi atau langsung.

b. Fraktur oblik

Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu

tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.

c. Fraktur spiral

Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan

trauma rotasi.

d. Fraktur kompresi

Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong

tulang ke arah permukaan lain.

e. Fraktur avulsi

Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada

insersinya pada tulang.

7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :

a. Tidak adanya dislokasi

b. Adanya dislokasi

1) At axim : Membentuk sudut

2) At lotus : Fragmen tulang berjauhan

3) At longitudinal : Berjauhan memanjang

4) At lotus cum contractiosnum : Berjauhan dan memendek

7
8. Berdasarkan posisi frakur

Sebatang tulang terbagi menjadi 3 (Tiga) bagian :

a. 1/3 proksimal

b. 1/3 medial

c. 1/3 distal

9. Fraktur kelelahan

Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

10. Fraktur patologis

Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

C. Etiologi

Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan

pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan

sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh

kendaraan bermotor. (Reeves, 2001 : 248)

Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama

pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.

Menurut Oswari E (1993), adapun penyebab fraktur antara lain :

1. Kekerasan langsung

Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik

terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka

dengan garis patah melintang atau miring.

8
2. Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat

yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah

bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

3. Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan

dapat berupa pemuntiran, penekukan dan penekanan, kombinasi dari

ketiganya dan penarikan.

Menurut Long (1996 : 356), adapun penyebab fraktur antara lain :

1. Trauma langsung

Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat

rudapaksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang

mengakibatkan fraktur.

2. Trauma tak langsung

Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang

jauh dari tempat kejadian kekerasan.

3. Fraktur patologik

Struktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,

peradangan, neuplastik dan metabolik).

9
D. Pathway

Etiologi

Trauma (Langsung atau tidak langsung), patologi

Fraktur (Terbuka atau tertutup)

Perubahan integritas Perubahan fragmen tulang Fraktur terbuka


tulang kerusakan pada jaringan dan ujung tulang
pembuluh darah menembus otot dan
Ketidakstabilan posisi fraktur, kulit
apabila organ fraktur Perdarahan lokal
digerakkan Luka
Hematoma pada
Fragmen tulang yang patah daerah fraktur
Gangguan
menusuk organ sekitar
integritas kulit
Aliran darah ke daerah
distal berkurang atau
Gangguan rasa
terhambat
nyaman nyeri
Kuman mudah
masuk
Sindroma kompartemen (Warna jaringan pucat,
Keterbatasan aktivitas nadi lemah, sianosis,
kesemutan) Resiko tinggi
Defisit perawatan diri infeksi
Kerusakan neuromuskuler

Gangguan fungsi organ distal

Gangguan
mobilitas fisik

10
E. Manifestasi Klinis

a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragme tulang di

imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai

alamiah yang dirancang untuk menimbulkan gerakan atar afragmen

tulang.

b. Setelah fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung

bergerak secara alamiah (Gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada

fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (Terlihat maupun

teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan

ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena

fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang tempat melengketnya

otot.

c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang karena kontraksi otot yang

melekat diatas dan bawah tempat fraktur.

d. Saat diperiksa dengan tangan teraba derik tulang yang disebut krepitus

akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (Uji kreptus dapat

berakibat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).

e. Pembegkakan dan perubahan warna lokal pada kulit karena trauma dan

perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah

beberapa jam atau hari.

f. Tidak semua tanda dan gejala diatas terdapat pada setiap fraktur.

Diagnosis fraktur tergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan

sinar X.

11
F. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”

menggunakan sinar rontgen (X-ray). Untuk mendapatkan gambaran tiga

dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2

proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan

proyeksi tambahan (Khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi

yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan

X-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan

hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada X-

ray :

a. Bayangan jaringan lunak

b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau

biomekanik atau juga rotasi.

c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction

d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos X-ray (Plane X-ray) mungkin perlu tehknik khususnya

seperti :

a. Tomografi

Menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup

yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur

yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur

lain juga mengalaminya.

12
b. Myelografi

Menggambarkan cabang-cabang syaraf spinal dan pembuluh darah di

ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.

c. Arthrografi

Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena rudapaksa.

d. Computed tomografi scanning

Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana

didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

2. Pemeriksaan Laboratorium

a. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan

tulang.

b. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan

kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5),

aspartat amino transferase (AST), aldolase yang meningkat pada tahap

penyembuhan tulang.

3. Pemeriksaan lain-lain

a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas

Didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.

b. Biopsi tulang dan otot

Pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi

lebih di indikasikan bila terjadi infeksi.

13
c. Elektromyografi

Terdapat kerusakan konduksi syaraf yang diakibatkan fraktur.

d. Arthroscopy

Didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang

berlebihan.

e. Indium imaging

Pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.

f. MRI

Menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna

D, 1995)

G. Proses Penyembuhan Tulang

Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur

merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan

membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh

aktivitas sel-sel tulang. Ada 5 (Lima) stadium penyembuhan tulang, yaitu :

1. Stadium satu (Pembentukan hematoma)

Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah

fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang

rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium

ini berlangsung 24-48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.

2. Stadium dua (Proliferasi seluler)

Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi

fibro kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum dan bone marrow

14
yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus

masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast

beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari

terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang

patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,

tergantung frakturnya.

3. Stadium tiga (Pembentukan kallus)

Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan

osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai

membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh

kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi

sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur

dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan

periosteal. Sementara tulang yang imatur (Anyaman tulang) menjadi lebih

padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu

setelah fraktur menyatu.

4. Stadium empat (Konsolidasi)

Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang

berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan

memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis

fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang

tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang

15
lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk

membawa beban yang normal.

5. Stadium lima (Remodelling)

Fraktur telah dijembati oleh suatu manset tulang yang padat. Selama

beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses

resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih

tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang

tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk dan akhirnya

dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya. (Black, J.M, et al, 1993

dan Apley, A.Graham,1993)

H. Faktor Penyembuhan Fraktur

Menurut Muttaqin (2008 : 75), faktor-faktor yang menentukan lama

penyembuhan fraktur adalah sebagai berikut :

1. Usia penderita

Waktu penyembuhan tulang anak-anak jauh lebih cepat dari pada

orang dewasa. Hal ini di sebabkan karena aktivitas proses osteogenesis

pada periosteum dan endoesteum serta proses pembentukan tulang pada

bayi sangat aktif. Apabila usia bertambah proses tersebut semakin

berkurang.

2. Lokasi dan konfigurasi fraktur

Lokasi fraktur memang berperan penting. Penyembuhan fraktur

metafisis lebih cepat penyembuhannya dari pada fraktur diafisis. Di

samping itu konfigurasi fraktur seperti fraktur tranversal lebih lambat

16
penyembuhannya di bandingkan dengan fraktur oblik karena kontak yang

lebih banyak.

3. Pergeseran awal fraktur

Pada fraktur yang periosteumnya tidak bergeser penyembuhannya

dua kali lebih cepat di bandingkan dengan fraktur yang bergeser.

4. Vaskularisasi pada kedua fragmen

Apabila fragmen mempunyai vaskularisasi yang baik,

penyembuhannya tanpa komplikasi. Bila salah satu sisi fraktur mempunyai

vaskularisasi yang jelek sehingga mengalami kematian.

5. Reduksi serta imobilisasi

Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk

vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya. Imobilisasi yang

sempurna akan mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang

akan mengganggu penyembuhan fraktur.

6. Waktu imobilisasi

Bila imobilisasi tidak di lakukan sesuai waktu penyembuhan

sebelum terjadi union, kemungkinan akan terjadi non-union sangat besar.

7. Faktor adanya infeksi dan keganasan local

8. Cairan sinovial

Cairan sinovial yang terdapat di persendian merupakan hambatan dalam

penyembuhan fraktur.

17
I. Penatalaksanaan

Prinsip penanganan fraktur meliputi :

1. Reduksi

Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada

kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, mengembalikan

fragmen tulang ke posisinya (Ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan

manipulasi dan traksi manual. Alat yang digunakan biasanya traksi, bidai

dan alat yang lainnya. Reduksi terbuka dengan pendekatan bedah. Alat

fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku.

2. Imobilisasi

Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna.

Mempertahankan dan mengembalikan fungsi status neurovaskuler selalu

dipantau meliputi peredaran darah, nyeri perabaan, gerakan. Perkiraan

waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang yang

mengalami fraktur adalah sekitar 3 bulan.

J. Komplikasi

Menurut Muttaqin (2008 : 76), komplikasi fraktur adalah sebagai berikut :

1. Komplikasi awal

a. Kerusakan arteri

Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan tidak adanya

nadi, CRT menurun, sianosis pada bagian distal.

18
b. Sindrom kompartemen

Merupakan komplikasi yang serius yang terjadi karena terjebaknya

otot, tulang, syaraf dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Hal ini

disebabkan oleh edema atau perdarahan yang menekan otot syaraf dan

pembuluh darah, atau karena tekanan dari luar seperti gips dan

pembebatan yang terlalu kuat.

c. Fat embolism syndrome

Komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang

panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan marrow

kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan kadar oksigen dalam

darah menjadi rendah. Hal tersebut ditandai dengan gangguan

pernafasan, takikardi, hipertensi, takipnea dan demam.

d. Infeksi

Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada jaringan.

Pada trauma ortopedi, infeksi dimulai pada kulit dan masuk ke dalam.

Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetapi dapat juga

karena penggunaan bagan lain daam pembedahan, seperti pin (ORIF &

OREF) dan plat.

e. Syok

Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya

permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan oksigenasi menurun.

19
2. Komplikasi lanjut

a. Mal union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya,

tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi pemendekan atau

union secara menyilang misalnya pada fraktur tibia-fibula.

b. Delayed union adalah merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi

sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal

ini terjadi karena suplai darah ke tulang menurun. Delayed union

adalah fraktur yang tidak sembuh setelah waktu 3 bulan (Tiga bulan

untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota gerak bawah).

c. Non union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak

didapatkan konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (Sendi palsu).

Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi, tetapi dapat juga terjadi

bersama-sama infeksi..

20
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan

1. Riwayat penyakit sekarang

Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang,

pertolongan apa yang didapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah

tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan,

perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainnya. Adanya trauma

lutut berindikasi pada fraktur tibia proksimal. Adanya trauma angulasi

akan menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek, sedangkan

trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur

adalah kecelakaan lalu lintas darat.

2. Riwayat penyakit dahulu

Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah

tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti

kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit

menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat

beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes

menghambat penyembuhan tulang.

3. Riwayat penyakit keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit patah tulang

tibia adalah faktor presdiposisi terjadinya fraktur. Seperti osteoporosis

21
yang sering terjadi pada beberapa kasus dan kanker tulang yang

cenderung diturunkan secara genetik.

4. Pola fungsi kesehatan

a. Pola nutrisi dan metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan

sehari-harinya seperti kalium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya.

Untuk membantu penyembuhan tulang.

b. Pola eliminasi

Klien dapat cenderung mengalami gangguan eleminasi BAB seperti

konstipasi dan gangguan eleminai urine akibat adanya program

eleminasi dilakukan ditempat tidur atau karena klien bedrest.

c. Pola istirahat

Klien dapat cenderung mengalami perubahan istirahat tidur namun

tidak berarti. Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pola

istirahat terganggu seperti timbulnya rasa nyeri yang hebat dan

dampak hospitalisasi.

d. Pola aktivitas

Umumnya klien tidak dapat melakukan aktivitas (Rutinitas)

sebagaimana biasanya yang hampir seluruh aktivitas dilakukan di

tempat tidur.

22
e. Pola personal hygine

Klien masih mampu melakukan personal hygiene, namun harus ada

bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan klien di tempat

tidur.

5. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : GCS/kesadaran

TTV : Biasanya tidak normal karena ada gangguan fisik.

a. Kepala

Inpeksi : Tidak ada gangguan yaitu normal, simetris, tidak ada

benjolan.

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.

b. Leher

Inspeksi : Tidak ada gangguan yaitu tidak ada penonjolan, refleks

menelan ada.

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.

c. Wajah

Inspeksi : Wajah terlihat simetris, jika terdapat fraktur terdapat

edema atau memar.

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.

d. Mata

Inspeksi : Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva, tidak ada

anemis, namun apabila kalau ada perdarahan maka konjungtiva

anemis.

23
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.

e. Telinga

Inspeksi : Simetris, tidak ada serumen yang keluar.

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.

f. Mulut dan gigi

Inspeksi : Mukosa bibir lembab, gusi tidak ada perdarahan.

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.

g. Thoraks

Inspeksi : Gerak dada simetris, tidak ada edema.

Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan, fokal fremitus teraba di

seluruh lapang paru.

Perkusi : Sonor, tidak ada suara redup atau suara tambahan.

Auskultasi : Vesikuler, tidak terdapat suara nafas tambahan ronchi

atau wheezing.

h. Jantung

Inspeksi : Simetris, tidak tampak ictus cordis

Palpasi : Ictus cordis teraba di Ics 5

Perkusi : Pekak

Auskultasi : S1 S2 tunggal

i. Abdomen

Inpeksi : Bentuk datar, simetris

Palpasi : Turgor baik, hepar tidak teraba

Perkusi : Suara timpani

24
Auskultasi : Peristaltik usus meningkat atau menurun.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder

terhadap fraktur.

2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan meurovaskuler

(Nyeri).

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (Prosedur

invasif).

C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi


No
Keperawatan (NOC) (NIC)
1 Nyeri akut Tujuan : Manajemen nyeri

berhubungan Setelah dilakukan 1. Kaji secara

dengan spasme otot tindakan keperawatan menyeluruh tentang

dan kerusakan diharapkan nyeri nyeri termasuk

sekunder terhadap berkurang atau hilang lokasi, durasi,

fraktur 1. Level Nyeri frekuensi,

Kriteria Hasil : intensitas dan

a. Laporkan faktor penyebab

frekuensi nyeri 2. Observasi isyarat

b. Kaji frekuensi non verbal dari

nyeri ketidaknyamanan

25
c. Lamanya nyeri terutama jika tidak

berlangsung dapat

d. Ekspresi wajah berkomunikasi

terhadap nyeri secara efektif

e. Kegelisahan 3. Berikan analgetik

f. Perubahan TTV dengan tepat

2. Kontrol Nyeri 4. Berikan informasi

Kriteri Hasil : tentang nyeri

a. Mengenal faktor seperti penyebab

penyebab nyeri, berapa lama

b. Gunakan tindakan akan berakhir dan

pencegahan antisipasi

c. Gunakan tindakan ketidaknyamanan

non analgetik dari prosedur

d. Gunakan 5. Ajarkan tekhnik

analgetik yang non farmakologi

tepat (Misalnya :

relaksasi, guide,

imagery, terapi

musik, distraksi)

2 Gangguan integritas Tujuan : Scin surveillance

kulit berhubungan Setelah dilakukan 1. Observation

26
dengan imobilisasi tindakan keperawatan ekstremitas edema,

fisik diharapkan gngguan ulserasi,

integritas kulit tidak kelembaban

terjadi 2. Monitor warna

1. Integritas jaringan kulit

kulit dan membran 3. Monitor

mukosa temperatur kulit

Kriteria Hasil : 4. Inspeksi kulit dan

a. Sensasi normal membran mukosa

b. Elastisitas normal 5. Inspeksi kondisi

c. Warna insisi bedah

d. Tekstur 6. Monitor kulit pada

e. Jaringan bebas daerah kerusakan

lesi dan kemerahan

f. Adanya 7. Monitor infeksi

pertumbuhan dan edema

rambut dikulit

g. Kulit utuh

3 Gangguan mobilitas Tujuan : Exercise therapy :

fisik berhubungan Setelah dilakukan ambulation

dengan kerusakan tindakan keperawatan 1. Bantu klien untuk

meurovaskuler diharapkan klien dapat menggunakan

27
(Nyeri) meningkatkan mobilisasi fasilitas alat bantu

pada tingkat yang paling jalan dan cegah

tinggi kecelakaan atau

1. Mobility level jatuh

Kriteria Hasil : 2. Tempatkan tempat

a. Keseimbangan tidur pada posisi

penampilan yang mudah

b. Memposisikan dijangkau atau

tubuh diraih klien

c. Gerakan otot 3. Konsultasikan

d. Gerakan sendi dengan fisioterapi

e. Ambulansi jalan tentang rencana

f. Ambulansi kursi ambulansi sesuai

roda kebutuhan

4. Monitor klien

dalam

menggunakan alat

bantu jalan yang

lain

5. Instruksikan klien

atau pemberi

pelayanan

ambulansi tentang

28
tekhnik ambulansi

4 Resiko tinggi infeksi Tujuan : Teaching diases proses

berhubungan Setelah dilakukan 1. Deskripsikan

dengan trauma tindakan keperawatan proses penyakit

jaringan (Prosedur diharapkan infeksi tidak dengan tepat

invasif) terjadi 2. Sediakan informasi

1. Deteksi infeksi tentang kondisi

Kriteria Hasil : klien

a. Mengukur tanda 3. Diskusikan

dan gejala yang perawatan yang

mengindikasikan akan dilakukan

infeksi 4. Gambaran tanda

b. Berpartisipasi dan gejala penyakit

dalam perawatan 5. Instruksikan klien

kesehatan untuk melaporkan

c. Mampu kepada perawat

mengidentifikasi untuk melaporkan

potensial resiko tentang tanda dan

2. Pengendalian infeksi gejala yang

Kriteria Hasil : dirasakan

a. Pengetahuan

tentang adanya

29
resiko infeksi

b. Mampu

memonitor faktor

resiko dari

lingkungan

c. Membuat strategi

untuk

mengendalikan

resiko infeksi

d. Mengatur gaya

hidup untuk

mengurangi

resiko

e. Penggunaan

pelayanan

kesehatan yang

sesuai

30
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis

dan luasnya.

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang

dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Lukman dan

Ningsih, Nurna, 2009 : 25)

Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. (Doenges. 2000 : 761)

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis

dan luasnya. (Smeltzer, dkk. 2001 : 2357)

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan yang

umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Mansjoer, dkk. 2000 : 346)

Menurut Oswari E (1993) adapun penyebab fraktur antara lain :

1. Kekerasan langsung

2. Kekerasan tidak langsung

3. Kekerasan akibat tarikan otot

Klasifikasi Fraktur :

1. Berdasarkan sifat fraktur :

a. Fraktur tertutup

b. Fraktur terbuka

31
2. Berdasarkan komplit atau tidak komplit fraktur :

a. Fraktur komplit

b. Fraktur inkomplit

3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungan dengan mekanisme tauma :

a. Fraktur transversal

b. Fraktur oblik

c. Fraktur spiral

d. Fraktur kompresi atau fraktur komunitif

Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu :

1. Stadium satu (Pembentukan hematoma)

2. Stadium dua (Proliferasi seluler)

3. Stadium tiga (Pembentukan kallus)

4. Stadium empat (Konsolidasi)

5. Stadium lima (Remodelling)

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, jadi

kelompok mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Pembahasan dalam

makalah ini (Fraktur) merupakan masalah yang sering terjadi di kehidupan

masyarakat, oleh karena itu kelompok menyarankan agar para pembaca

memahami tentang isi makalah ini.

32
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Widya
Medika : Jakarta.
Henderson, M.A. 1992. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yayasan Essentia Medika :
Yogyakarta.
Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Edisi 3 EGC : Jakarta.
Oswari, E. 1993. Bedah dan Perawatannya. PT Gramedia Pustaka Utama :
Jakarta.
Price, Evelyn C. 1997. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia :
Jakarta.
Price Sylvia, A. 1994. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid
2 . Edisi 4. Jakarta : EGC.
Smeltzer Suzanne, C. 1997. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart.
Edisi 8. Vol 3. Jakarta : EGC.
Tucker,Susan Martin. 1993. Standar Perawatan Pasien. Edisi V, Vol 3. Jakarta :
EGC.
Mansjoer, Arif, et. al. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius.
Sudart dan Burnner. (1996). Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. Vol 3. EGC :
Jakarta.

33

Anda mungkin juga menyukai