Anda di halaman 1dari 3

Muhammad Sabili Fikri / 201910040311415 / IKOM H

Sistem Pemerintahan Indonesia

Pendekatan Teori dan Praktik

Oleh : Ahmad Yani, Jurnal Volume V Issue 2 31 Juli 2018 Hal. 248-258.
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/eJLH/article/download/7004/5711/. Dibuka pada Hari/Tanggal
: Jumat, 20 Desember 2019, penerbit : Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.

I. Pendahuluan

Sistem pemerintahan secara umum memiliki pengertian sebagai sistem yang terdiri dari
berbagai macam komponen, di mana tiap-tiap komponennya menjadi satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dan menjadi satu tatanan yang utuh. Suatu sistem pemerintahan di setiap negara
pada umumnya memiliki satu sistem dan tujuan pokok yang sudah pasti, yaitu untuk menjaga
kestabilan suatu negara itu sendiri dan juga sistem pemerintahan tersebut harus memiliki
landasan yang kokoh, tidak bisa digoyahkan oleh siapapun.

Indonesia sendiri merupakan negara yang berbentuk kesatuan dengan prinsip otonomi
daerah yang luas. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik konstitusional, sedangkan
sistem dari negara Indonesia adalah sistem presidensial. Bentuk pemerintahan republik
merupakan pemerintahan yang mandat kekuasaannya berasal dari rakyat, melalui mekanisme
pemilihan umum dan dipimpin oleh presiden. Sedangkan, sistem presidensial adalah sistem
negara yang dipimpin oleh seorang presiden.

II. Pembahasan

Indonesia merupakan negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini didasarkan
pada kesepakatan para pendiri bangsa dalam siding Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BUPK) yang diselenggarakan pada 29 Mei–1 Juni dan 10-17 Juli 1945. Sistem
pemerintahan presidensial ini memiliki ciri-ciri yang khas sebagaimana juga yang dianut oleh
negara Amerika Serikat. Ciri-ciri tersebut yaitu, sistem yang didasarkan atas asas pemisahan
kekuasaan, antara presiden sebagai pemimpin eksekutif dengan para menteri tidak memiliki
pertanggung jawaban bersama, presiden tidak dapat membubarkan DPR, dan presiden dipilih
oleh Dewan Pemilih.

Sistem pemerintahan parlementer adalah didasarkan atas asas defusion of powers yang
antara lain presidensial separation of powers dan parlementer defusion of powers. Pada sistem
parlementer, baik pemerintah maupun parlemen itu dapat saling membubarkan. Sistem
parlementer ini sendiri telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan yang digunakan oleh
Indonesia sejak tahun 1949-1959 dengan konstitusi yang berbeda, yaitu Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950.

Dari rangkaian-rangkaian perjalanan sistem pemerintahan Indonesia, apabila dikatakan


sistem pemerintahan presidensial, Indonesia tidak menganut asas pemisahan kekuasaan.
Berkaitan dengan sistem pemerintahan, pada umumnya dibedakan menjadi dua sistem utama,
yaitu sistem presidensial dan parlementer, diluar kedua sistem tersebut merupakan sistem
campuran atau kuasa parlementer atau kuasa presidensial, tetapi ada juga yang menyebutnya
sistem referendum.

Konsep sistem pemerintahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemikiran politik
Montesqieu yang menawarkan gagasan pemisahan kekuasaan serta Jhon Locke yang
menawarkan gagasan pembagian kekuasaan. Inti dari konsep Montesqieu adalah agar tidak
terjadi pemusatan kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang sewenang-wenang, maka
kekuasaan perlu dipisahkan.

Gagasan pemisahan muncul demi terjaminnya kebebasan politik rakyat dan perlu ada
pemisahan kekuasaan Negara. Menurut Montesqieu, kebebasan politik sulit dijaga atau
dipertahankan bila kekuasaan Negara tersentralisasi atau dimonopoli oleh seorang penguasa atau
lembaga politik tertentu. Montesqieu mengatakan, apabila kekuasaan legislatif dan eksekutif
disatukan pada tangan yang sama ataupun pada badan penguasa-penguasa yang sama, tidak
mungkin ada kemerdekaan bila kekuasaan mengadili tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan
legislatif dan eksekutif. Berdasarkan hal tersebut, maka sistem pemerintahan adalah hubungan
antara penyelenggara negara atau lembaga-lembaga yang melaksanakan kegiatan pemerintah
dalam arti luas tatanan untuk mencapai tujuan Negara dengan adanya pemisahan kekuasaan yang
dapat menjamin kehidupan bernegara.

Untuk menghnidari adanya penafsiran sepihak yang dapat dilakukan oleh salah satu lembaga
negara, Yusril Ihza Mahendra dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia pada 24 April 1998 mengemukakan bahwa penafsiran terhadap
konstitusi bukanlah sesuatu yang mutlak. Kalimat yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945
telah mengingatkan semua pihak agar jangan memutlakkan penafsirannya terhadap UUD 1945
serta menganggap penafsiran itu sebagai kebenaran final yang tidak dapat diubah atau
diperbarui. Dengan demikian, secara realitas politik maupun secara konseptual kewenangan
lembaga negara selalu terkooptasi oleh satu lembaga politik tertentu yang menyebabkan tidak
mampu menjalankan fungsi dan kewenangannya yang mencerminkan sistem check dan balances.
Secara konseptul, maka Indonesia dalam sistem kenegaraannya lazim digunakan oleh Negara
dengan sistem pemerintahan parlementer bukan presidensiil.
Meskipun telah merdeka selama hampir 73 tahun negara Indonesia, akan tetapi dalam
menyelenggarakan sistem pemerintahan seakan masih dalam tahap mencari format ideal yang
sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. PraktIk ketatanegaraan yang terjadi kurang
mencerminkan jiwa dan semangat UUD 1945. Rumusan singkat dan aturan-aturan yang hanya
bersifat pokok dalam UUD 1945 diharapkan akan mempermudah praktik penyelenggaraan
pemerintah Negara melalui pengaturan undang-undang. Tetapi, di sisi lain ternyata mudah
disimpangi sesuai selera penyelenggara negara. Dari hal inilah terjadi prakitk korupsi, kolusi,
dan nepotisme.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) pada tahun
1999 menyimpulkan bahwa perlunya perubahan terhadap UUD 1945. LIPI menganggap terdapat
cacat dalam bawaan dalam UUD 1945, seperti minimnya pengaturan terhadap muatan pasal
menyangkut HAM, tidak terdapat mekanisme check and balances, lemahnya sistem distribution
of power antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dan juga lembaga eksekuif tidak
pernah menjadikan pemerintahan yang demokratis.

Berbeda halnya dengan UUDS 1950. Kedaulatan rakyat itu dilakukan oleh pemerintah
bersama-sama dengan DPR, yang produknya itu adalah undang-undang. Dengan demikian, di
dalam sistem UUDS 1950, undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Dalam UUDS 1950
terdapat ketentuan tentang Konstituante sebagai lembaga yang dibentuk atas dasar Pemilihan
Umum (Pemilu) dan bertugas untuk membentuk undang-undang dasar yang baru.

III. Penutup

Dari pembahasan yang dapat kita liat di atas, dapat disimpulkan bahwa secara realitas politik
ataupun konseptual kewenangan lembaga-lembaga negara selalu terkooptasi oleh suatu lembaga
politik tertentu. Hal inilah yang membuat tidak mampunya fungsi dan kewenangan yang
mencerminkan sistem check and balances berjalan.

Secara praktik dalam menjalankan fungsi dan kewenangan, lembaga negara tidak
mencerminkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut pemisahan kekuasaan, tetapi
lebih dekat pada sistem pembagian kekuasaan. Hal tersebut merupakan hal yang lazim
digunakan oleh negara yang memiliki sistem pemerintahan bukan presidensiil.

Anda mungkin juga menyukai