Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN AKHIR

PANCASILA

PELAKSANAAN PANCASILA SEBAGAI ETIKA DI BIDANG


GEOLOGI STUDI KASUS: PENAMBANGAN GALIAN C DI
KENDAL, KALIWUNGU YANG TIDAK SESUAI DENGAN SOP

Disusun Oleh:
Nabilah Afifah Habni Harahap 21100116120006
Aprilia Dian Pertiwi 21100116120019
Garindra Yogiswara 21100116120020
Yonas Rio Pambudi 21100116120021
Selvi Elviana Putri 21100116120033
Nurjayanti 21100116120037
Exaudi El Shaddai 21100116140065
Fransthony Gilbert Butarbutar 21100118140053

DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO

OKTOBER
2019
BAB I
URAIAN KASUS

1.1 Latar Belakang Kasus


Di dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa
“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Kata “dikuasai” dalam pasal ini mengandung arti bahwa negara diberi
kebebasan untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan atau
pengusahaan bahan galian tambang yang diberikan seluas luasnya untuk
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebelum melakukan kegiatan
usaha pertambangan pasir harus memiliki izin, setiap usaha pertambangan
harus mempunyai izin yang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 35 UU
MINERBA “usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk izin usaha
pertambangan (IUP)”. Pada kenyataannya masih banyak usaha
pertambangan yang tidak memiliki izin usaha pertambangan.
Pada hakekatnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
merupakan suatu keilmuwan multidisiplin yang menerapkan upaya
pemeliharaan dan peningkatan kondisi lingkungan kerja, keamanan kerja,
keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, serta melindungi tenaga kerja
terhadap resiko bahaya dalam melakukan pekerjaan serta mencegah
terjadinya kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja,
kebakaran, peledakan atau pencemaran lingkungan kerja. Undang-undang
yang telah mengatur tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yaitu
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 Tentang
Keselamatan Kerja. Undang-Undang tersebut selanjutnya diperbaharui
menjadi Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang
menyebutkan bahwa setiap pekerja/buruh berhak untuk memperoleh
perlindungan atas Keselamatan dan kesehatan kerja serta moral dan
kesusilaan. Selain itu, Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan juga memberikan ketentuan mengenai kesehatan kerja dalam
Pasal 23, menyebutkan bahwa kesehatan kerja dilaksanakan agar seluruh
pekerja dapat bekerja dalam kondisi kesehatan yang baik tanpa
membahayakan diri mereka sendiri atau masyarakat, dan agar mereka dapat
mengoptimalkan produktivitas kerja mereka sesuai dengan program
perlindungan tenaga kerja.

1.2 Kecelakaan Akibat Kerja


Menurut Per 03/Men/1994 bab I pasal 1 butir 7 mengenai Program
JAMSOSTEK, pengertian kecelakaan kerja adalah kecelakaan berhubung
dengan hubungan kerja ,termasuk penyakit yang timbul karena hubungan
kerja demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat
dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan biasa
atau wajar dilalui. Kecelakaan adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak
diharapkan. Tidak terduga karena di belakang peristiwa itu tidak terdapat
unsur kesengajaan, dan tidak diharapkan karena peristiwa kecelakaan
disertai dengan kerugian material ataupun penderitaan dari yang paling
ringan sampai yang paling berat. Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan
yang berkaitan dengan hubungan kerja pada perusahaan.
Hubungan kerja disini dapat diartikan bahwa kecelakaan terjadi
dikarenakan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaan.
Kecelakaan selalu ada penyebabnya, dan cara penggolongan sebab-sebab
kecelakaan diberbagai negara juga tidak sama. Secara umum, sebab-sebab
kecelakaan kerjadapat digolongkan sebagai berikut:
1.Tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe
human acts)
Umumnya bahaya-bahaya kecelakaan yang disebabkan oleh faktor ini
antara lain:
 Bekerja pada mesin yang bukan haknya, melupakan keamanan atau
peringatan.
 Bekerja dengan kecepatan dan berbahaya (terlalu cepat, terlalu
lambat atau tergesa-gesa).
 Tidak memperhatikan peraturan, mengganggu orang lain, marah-
marah dan bercanda.
 Lupa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) misalnya sumbat
telinga, masker, helm, topi dan sebagainya.
2. Keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe conditions).
Sebab-sebab kecelakaan yang ditimbulkan oleh keadaan lingkungan yang
tidak aman meliputi: kendaraan, mesin, debu, bahan kimia dan lain-lain.
Antara lain dapat dikelompokkan sebagai berikut:
 Perkakas, alat-alat dan bahan-bahan yang rusak, misalnya
karenasudah tua, pecahdan lain-lain.
 Pengamanan mesin yang tidak baik atau alat-alat perkakas
yangsama sekali tanpaalat pengaman, misal gir, ban berjalan, mata
pisau, pisau, rantai dan lain-lain.
 Keadaan lingkungan kerja yang tidak diinginkan. Misalnya banyak
timbunan, suhu yang tidak tepat, pertukaran udara yangkurang, tidak
ada penghisap debu, keadaanlingkungan yang tidak sehat dan lain-
lain.
 Tata rumah tangga yang tidak baik.

1.3 Pertambangan Pasir sebagai Usaha Sektor Non-Formal


Secara umum sektor non-formal adalah lingkungan usaha tidak
resmi, karena lapangan pekerjaan diciptakan dan diusahakan sendiri oleh
pencari kerja seperti wiraswasta. Usaha yang paling menguntungkan dari
sektor nonformal adalah membuka rumah makan di tempat-tempat yang
ramai, membangun usaha pertambangan pasir tradisional, serta unit usaha
kecil yang melakukan kegiatan produksi atau distribusi barang dan jasa
untuk menciptakan lapangan kerja dan memberikan penghasilan. Mereka
yang terlibat dalam unit kegiatan tersebut bekerja dengan berbagai
keterbatasan, baik modal, fisik, tenaga, maupun keahlian.
Keberadaan pertambangan pasir mempunyai banyak peranan
penting bagi masyarakat sekitar. Secara tidak langsung dapat
mempengaruhi kehidupan ekonomi dan social masyarakat. Dalam bidang
ekonomi, pertambangan tersebut dapat menambah penghasilan bagi para
penambangnya, terutama dalam meningkatkan taraf hidup. Dalam bidang
sosial, mereka dapat menjadikan pertambangan tersebut sebagai tempat
berkumpul dan berinteraksi antar sesama penambang, bahkan pembeli.
Pasir sebagai material pokok dalam pembangunan fisik mempunyai
fungsi yang sangat vital. Sehubungan dengan hal tersebut, pertambangan
pasir memegang peranan yang sangat penting, namun hal tersebut tidak
lantas membuat penambang pasir bisa hidup dengan keyakinan mampu
memenuhi kebutuhan ekonominya.
BAB II
SAJIAN FAKTA

Observasi dilakukan di Plantaran, Kaliwungu Selatan, Kendal pada hari


Minggu, 29 September 2019 pukul 07.30 WIB sampai selesai. Selain melakukan
pengamatan, penulis juga melakukan wawancara untuk memperoleh informasi
yang diperlukan dari para pekerja penambang pasir di daerah tersebut.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor ER.08/MEN/VII/2010 Tentang Alat Pelindung Diri pada Pasal 1
menjelaskan bahwa Alat Pelindung Diri (APD) adalah suatu alat yang mempunyai
kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau
seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. Dalam sektor formal, Alat
Pelindung Diri (APD) disediakan secara gratis oleh perusahaan yang menaungi
sebagai salah satu bentuk tanggung jawab dan fasilitas yang diterima oleh para
pekerjanya. Adapun penambangan pasir adalah pekerjaan sektor informal, dimana
tidak ada perusahaan atau pengusaha yang menaunginya. Adapun urusan
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) bergantung penuh pada kesadaran dan
keinginan setiap individu untuk memakainya.
Tingkat kesadaran para pekerja pencari pasir di Penambangan Pasir
Plantaran, Kaliwungu Selatan, Kendal akan pentingnya Alat Pelindung Diri (APD)
masih sangat rendah, pemahaman mereka akan bahaya penyakit dan kecelakaan
yang akan diderita juga dianggap permasalahan yang tidak terlalu serius. Para
pekerja di sana juga memiliki kendala berupa upah pembelian pasir hasil pencarian
mereka selama berhari- hari masih terlalu sedikit jika harus digunakan untuk
membeli Alat Pelindung Diri (APD).
Berdasalkan hasil observasi, Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) hanya
dilakukan oleh lebih dari 10 pekerja penambangan pasir, itupun Alat Pelindung Diri
(APD) yang mereka gunakan tidak ada. Sepatu Karet atau Sepatu Pengaman untuk
penggunaan sarung tangan, masker, kaca mata pengaman, dan penutup Telinga
tidak ada satu pun pekerja penambangan pasir di daerah Plantaran, Kaliwungu
Selatan yang memakainya.
Berdasarkan hasil dari wawancara, akibat yang ditimbulkan dari
ketidaksadaran penambang pasir akan keselamatan dirinya menghasilkan beberapa
pekerja penambang yang hampir tewas akibat eksvator (Gambar 1) yang jatuh serta
longsor yang sering terjadi di daerah tersebut. Terdapat masyarakat sekitar
penambangan yang tewas akibat K3 yang berada di pertambangan tidak sesuai
dengan SOP, sehingga menimbulkan bencana yang merugikan warga.

Gambar 1. Salah satu alat berat yang berada di daerah Plantaran, Kaliwungu
BAB III
IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB

3.1 Kegiatan Penambangan yang Menyalahi Aturan


Pertambangan adalah kegiatan, teknologi, dan bisnis yang berkaitan
dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi, eksplorasi, evaluasi,
penambangan, pengolahan, pemurnian, pengangkutan, sampai pemasaran.
Secara sadar atau tidak sebagian besar peralatan, kendaraan, dan aksesoris
yang kita gunakan atau kenakan untuk menunjang kehidupan lebih baik
merupakan buah hasil dari pengolahan bahan galian tambang. Dari benda
yang berukuran sangat kecil, misalnya peniti atau jarum hingga berukuran
besar, seperti pondasi rumah dan bangunan yang terdiri dari besi atau baja
ringan. Aksesori mahal yang kita kenakan, jam atau kalung yang berbahan
emas atau nikel, hingga perabotan rumah tangga sekalipun. Terlalu banyak
kategori peralatan yang bisa disebutkan merupakan hasil olahan dari bahan
galian tambang.
Kegiatan pertambangan rakyat sudah menjadi kegiatan turun
menurun yang dilakukan warga lokal daerah tersebut untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Secara tradisional kegiatan penambangan ini
kebanyakan mengesampingkan faktor lingkungan, kesehatan dan
kemananan. Isu ini telah menjadi pembiaran yang cukup lama hingga
menjadi budaya bagi daerah lokal. Mungkin disini peran tokoh masyrakat
dan kepala daerah harus mampu menggabungkan komponen masyarakat
lokal dengan perusahaan yang melakukan kegiatan penambangan di daerah
yang sama. Tidak jarang konflikpun sering terjadi antara perusahaan dengan
para penambang lokal. Hal ini terkait dengan sengekta lahan tambang.
Seperti tujuan awal dari kehadiran industri pertambangan di suatu daerah,
sepatutnya kegiatan pertambangan mampu meningkatkan taraf hidup dan
perkenomian sekitar daerah tambang.
Pada kasus pertambangan galian C di Kendal, Kaliwungu ini sudah
memakan korban dikarenakan kecerobohan pekerja, ada korban dimana
tertimun pasir karena keruntuhan tapi masih selamat. Adapun tidak adanya
HSE (Health and Savety Environtment) memiliki dampak yang sangat
besar, dan dapat menyebabkan kecelakaan lapangan yang tidak diinginkan.
Diantaranya adalah kesalahan HSE yang telah dilakukan berupa tidak
memakai helm proyek, tidak memakai sepatu safety, itulah yang dilakukan
beberapa warga disana untuk melakukan pekerjaan tambang. Adapun hal
ini terjadi karena beberapa factor diantaranya adalah :
a. Tidak adanya arahan atau pengawasan khusus dari pihak atas atau yang
bertanggung jawab mengenai keselamatan kerja
b. Pekerja atau warga yang bekerja menganggap tidak penting adanya safety,
dikarenakan tidak adanya SOP yang berlaku
c. Pekerja lebih memilih untuk tidak menggunakan safety dikarenakan lebih
nyaman dengan tidak memakai dibandingkan harus ribet dengan peralatan
lapangan
d. Harga perlengkapan khusus lapangan yang mahal bagi pekerja, dikarenakan
tidak ada pihak yang menyediakan atau membelikan.
e. Tidak adanya pelatihan professional mengenai prosedur penambangan
galian C

Gambar 2. Pekerja yang Tidak Memakai Perlengkapan Khusus


BAB IV
ANALISIS FAKTA PRIMER MAUPUN SEKUNDERNYA

Demokrasi Pancasila adalah suatu paham demokrasi yang sumbernya


berasal dari falsafah hidup bangsa Indonesia yang digali berdasarkan kepribadian
rakyat Indonesia itu sendiri. Falsafah hidup bangsa Indonesia tersebut kemudian
melahirkan dasar falsafah negara Indonesia, yaitu Pancasila yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945. Jadi Demokrasi itu dilaksanakan berdasarkan kekeluargaan
dan musyawarah untuk mufakat untuk kesejahteraan rakyat, Kebebasan individu
dijamin namun tidak bersifat mutlak dan harus disesuaikan dengan tanggung jawab
sosial.
Seperti penjelasan diatas yang menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila
memiliki tujuan untuk mewujudkan falsafah hidup bangsa Indonesia yang
berdasarkan kepribadian rakyat Indonesia.
Namun kenyataannya, hingga saat ini Demokrasi Pancasila belum bisa
dikatakan berjalan dengan baik dalam implementasinya. Salah satunya adalah kasus
yang diangkat berdasarkan survei yang telah dilakukan yaitu Penambangan galian
C di Kendal, Kaliwungu. Semarang. Jawa Tengah.
Dilihat dari hasil yang diperoleh di lapangan, tambang galian C ini dapat
menambah lapangan kerja bagi warga serta dapat meningkatkan kesejahteraan dan
penghasilan bagi pekerja. Tetapi masalah yang terdapat pada penambangan galian
C adalah pada Standard Operasional Prosedur (SOP). Contohnya, para pekerja tidak
memakai alat pelindung diri ( APD ) selama bekerja, penambangan dilakukan
secara tradisional. Kemudian, jika dilihat dari data sekunder, pada pasal 86 ayat 1
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa setiap
pekerja/buruh berhak untuk memperoleh perlindungan atas Keselamatan dan
kesehatan kerja serta moral dan kesusilaan. Dari hal tersebut, pihak penyelenggara
sudah menyalahi aturan dalam hal ketenagakerjaan, dimana pihak penyelenggara
seharusnya menyediakan dan memperhatikan para pekerja guna mencegah dan
mengurangi resiko yang terjadi selama proses pengerjaan proyek tersebut.
BAB V
KORELASI JUDUL DENGAN TEMA

Setelah dilakukan nya analisis terhadap studi kasus ini, dapat kita
hubungkan antara Tema yakni Demokrasi Pancasila yang berlandaskan pada
Kelima Sila, dengan judul studi kasus yang telah di telaah secara faktual dari
narasumber dan data lapangan, dalam hal penambangan galian yang tidak sesuai
dengan SOP yang berlaku di dalam Negara Republik Indonesia.
Pada dasarnya rumusan pancasila yang sampai saat ini kita kenal sudah
ada dan hidup di dalam diri bangsa Indonesia sejak zaman dahulu. Nilai - nilai
pancasila berasal dari kristalisasi nilai – nilai budaya masyarakat Indonesia. Sila
keempat yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan” telah diterapkan masyarakat Indonesia dalam
hidup berdemokrasi. Oleh karena itu, eksistensi setiap sila – sila merupakan
gambaran dari pola kehidupan sehari-hari dan budaya luhur masyarakat Indonesia
yang sebenarnya telah tumbuh dan hidup lama sebagai ciri khas bangsa, kemudian
nilai-nilai luhur itu dirumuskan oleh the founding fathers menjadi dasar Negara
Indonesia yaitu pancasila.
Hukum telah berupaya memberikan pengaturan yang jelas berkenaan
dengan pertambangan rakyat. Pengaturan tentang pertambangan bersandar pada
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat”. Bunyi Pasal tersebut sejalan dengan Sila ke-5 dari
Pancasila, yaitu kedua-duanya bermakna keadilan sosial.
Eksistensi pertambangan rakyat secara hukum sebenarnya sudah diatur
dalam Undang- Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara dimana di dalamnya juga terdapat ketentuan
tentang pertambangan rakyat. Apa yang telah ditegaskan dalam ketentuan hukum
dalam hal ini Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tentang Pengelolaan
Pertambangan Umum sepatutnya dapat dinikmati oleh masyarakat tanpa
terkecuali, tetapi hal ini harus didukung dengan budaya hukum masyarakat
terhadap hukum. Berkenaan dengan hal itu, hukum dapat diartikan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia masyarakat,
mencakup juga lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan
36
untuk mewujudkan kaidah-kaidah hukum itu dalam kenyataan. Makna proses
(processes) dalam pengertian hukum tersebut mengacu pada pendekatan
bagaimana hukum itu bekerja dalam masyarakat, dan oleh karena itu menyangkut
budaya hukumnya.
Kompleksnya kegiatan pertambangan rakyat yang tidak memenuhi
persyaratan perizinan sebagaimana telah ditentukan menjadi penyebab kerusakan
lingkungan sehingga perlu diupayakan pengelolaan yang melibatkan rakyat
dengan pendekatan budaya hukum bangsa berdasarkan Pancasila yang mengacu
pada nilai-nilai Pancasila yang termaktub dalam kelima silanya yang berkarakter
Ketuhanan, humanistik, demokratik, nasionalistik dan berkeadilan sosial, yaitu:
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai bahwa harus ada
keharmonisan antara alam dengan manusia demi keseimbangan kehidupan
dunia akhirat, perilaku penambang rakyat dalam menambang cenderung
berlebihan, terlalu bernafsu untuk menghasilkan pendapatan yang banyak dan
instant. Hal ini tentu telah menesampingkan nilai religius moral sehingga
terkesan mementingkan kepuasan duniawi daripada akhirat dengan
megesampingkan keseimbangan antara manusia dan alam.
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yaitu , unsur solidaritas dan
kerjasama dengan menjunjung tinggi nilai peradaban, sopan santun, harkat
martabat manusia dan keseimbangan antar pelaku pertimahan harus
diperhatikan, wacana yang cenderung membelah kepentingan harus dihindari
begitu pula kerjasama yang harmonis harus menjadi acuan
c. Sila Persatuan dan Kesatuan, pertambangan mineral timah yang melibatkan
rakyat (penambang rakyat) harus dilakukan berdasarkan prinsip kekeluargaan
dengan menguatkan kebersamaan antara pelaku dan penikmat bisnis
pertimahan.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, yaitu dalam rangka pengelolaan pertimahan
dengan penambang rakyat, usaha-usaha musyawarah dengan
mengesampingkan persoalan politik, memperkuat peran rakyat dalam konteks
pertambangan rakyat dengan tidak mengabaikan kepentingan rakyat yang lebih
luas.
e. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yaitu, penataan
pertambangan timah bagi rakyat harus menjamin distribusi yang merata.

2. Bunyi butir-butir Pancasila sila ke-4:


1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia
Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan.
5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai
sebagai hasil musyawarah.
6) Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
nurani yang luhur.
9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan
persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai
untuk melaksanakan permusyawaratan.
3. Makna sila keempat pancasila antara lain:
1) Kerakyatan
Berasal dari kata ‘rakyat’, berarti sekelompok orang yang bertempat
tinggal di suatu wilayah. Hal ini menjelaskan bahwa pancasila
menganut paham bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan
rakyat/sistem demokrasi di mana segala sesuatunya berasal dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
2) Hikmat Kebijaksanaan
Berarti penggunaan rasio/akal sehat yang selalu mengedepankan
persatuan dan kesatuan bangsa. Kepentingan rakyat dilaksanakan
bersama secara sadar, jujur, bertanggung jawab, serta didorong oleh
niat yang baik.
3) Permusyawaratan
Suatu cara yang secara khas dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk
mengambil keputusan berdasarkan pendapat bersama sehingga
kebulatan pendapat/mufakat dapat tercapai.
4) Perwakilan
Suatu sistem yang mengusahakan peran rakyat untuk mengambil
bagian-bagian dalam kehidupan berbangsa serta bernegara.
Perwakilan dalam hal ini dilakukan melalui badan-badan perwakilan
seperti MPR dan DPR.
5) Makna Simbol

(Sumber: ----)
Gambar 1. Kepala Banteng
Simbol sila keempat pancasila adalah kepala banteng. Banteng berasal dari bahasa
latin Bos Javanicus atau biasa disebut dengan lembu liar adalah hewan
sosial yang hidup secara berkelompok. Kepala banteng dipilih mewakili
sila keempat karena dianggap dapat mewakili tenaga rakyat.

Dalam penulisan ini, berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya,


dapat disimpulan sebagai berikut :
Pertama, pembangunan hukum dipandang sebagai upaya mengubah
tatanan hukum dengan perencanaan secara sadar dan terarah dengan memacu
masa depan yang berlandaskan kecenderungan-kecenderungan yang teramati.
Jadi pembangunan hukum berarti pembaharuan tatanan hukum yang
mencakup tiga komponen, yaitu; komponen substansi hukum, komponen
kelembagaan hukum dan komponen budaya hukum yang mencakup sikap dan
perilaku para pejabat dan warga masyarakat berkenaan dengan komponen-
kpmponen lainnya dalam proses penyelenggaraan kehidupan masyarakat
berhukum.
Kedua, Pancasila menjadi landasan atas budaya hukum bangsa
Indonesia. Hukum harus berdasarkan pada Pancasila, produk hukum boleh
dirubah sesuai dengan perkembangan zama n dan pergaulan masyarakat,
tentunya Pancasila harus menjadi kerangka berfikir. Pancasila dapat
memandu budaya hukum nasional dalam berbagai bidang.

Ketiga, pengelolaan pertambangan mineral yang melibatkan rakyat


dengan pendekatan budaya hukum bangsa berdasarkan Pancasila sehingga
tetap mengacu pada nilai -nilai Pancasila yang termaktub dalam kelima
silanya yang berkarakter Ketuhanan, humanistik, demokratik, nasionalistik
dan berkeadilan sosial sehingga tercapai keadilan.
Sementara yang perlu disadarkan adalah: Pancasila menjadi landasan atas
budaya hukum bangsa Indonesia. Hukum harus berdasarkan pada Pancasila,
produk hukum boleh dirubah sesuai dengan perkembangan zaman dan pergaulan
masyarakat, tentunya Pancasila harus menjadi kerangka berfikir. Pancasila dapat
memandu budaya hukum nasional dalam berbagai bidang.
BAB VI
SOLUSI PERMASALAHAN

Persoalan perizinan merupakan hal yang paling penting dalam kegiatan


pertambangan, karena kegiatan pertambangan akan bersinggungan dengan banyak
hal. Kegiatan pertambangan yang dilakukan harus memperhatikan faktor-faktor
lain yang berkaitan dengan pertambangan tersebut seperti lingkungan hidup,
kehutanan, perkebunan, sumber daya air, perpajakan, cagar budaya, sumber daya
hayati dan ekosistem, serta peraturan daerah kabupaten/provinsi setempat yang
mempunyai wilayah pertambangan dan pertambangan itu sendiri, sehingga dalam
penerbitan izin suatu usaha pertambangan harus ada sinkronisasi antara Undang-
undang, seperti UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, UndangUndang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, serta peraturan daerah yang
mempunyai wilayah pertambangan, dan peraturan-peraturan lainnya.
Sehingga terhadap usaha pertambangan yang tidak mempunyai izin oleh
undang-undang diancam dengan ketentuan-ketentuan pidana yang berdasarkan
undang-undang. Sebagai contoh ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara yang
secara tegas menetapkan sanksi pidana bagi pelaku usaha penambangan illegal
yang tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat
(IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan ancaman pidana
kurungan, penjara, denda, pidana dengan pemberatan, pidana tambahan yang dapat
berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum, serta dapat
dilakukan perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana,
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan kewajiban
membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. Sehingga dalam penanganan
kasus penambangan galian C tanpa izin (ilegal) harus mengacu pada penegakan
hukum yang responsif dan membangun.
Melakukan penegakan hukum yang adil oleh pihak kepolisian, dalam
prakteknya bekerjasama dengan masyarakat dan juga instansi terkait, seperti Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu. Tahapan penegakan, biasanya pihak kepolisian
mendapat laporan dari masyarakat yang tinggal di sekitar tempat penambangan,
kemudian pihak kepolisian melakukan penyelidikan sebelum melakukan
penangkapan dan penghentian penambangan guna menemukan alat bukti. Selain
mendapatkan laporan dari masyarakat setempat, pihak kepolisian juga melakukan
operasi langsung di lapangan terhadap penambangan galian C (penambangan
batuan). Apabila kegiatan penambangan tidak dilengkapi izin maka polisi akan
menindak tegas dan memproses sesuai hukum yang berlaku, agar usaha
penambangan yang ada dapat berjalan dengan tertib sesuai ketentuan Undang-
Undang yang berlaku.
Bagi para pelaku penambangan illegal diberikan sanksi yang tegas berupa
pidana denda terhadap, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar,
maka diganti dengan kurungan di penjara. Selain itu dalam permasalahan tambang
illegal ini, dapat dilakukan pengelolaan SDA yang berkelanjutan oleh pihak
pemerintah untuk menegakkan hukum secara tegas terhadap penambang dan
oknum aparat/pejabat. Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan
kegiatan usaha pertambanganmineral dan batubara. Serta memperketat proses
penjualan produk dari hasil penambangan liar.

.
BAB VII
REFERENSI

https://www.caseyresearch.com/articles/mining-and-environment-facts-vs.-fear-1

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa setiap


pekerja/buruh berhak untuk memperoleh perlindungan atas Keselamatan dan
kesehatan kerja serta moral dan kesusilaan

Warga sekitar Bapak Asroni

Anda mungkin juga menyukai