Subtema: Antropologi Sustainable Development Goals yang dikenal dengan istilah SDGs merupakan hal yang menjadi perhatian banyak kalangan saat ini. Pasalnya, SDGs merupakan integrasi dari sekumpulan tujuan yang mencakup hampir semua sektor kehidupan. SDGs sebagai revisi Millenium Development Goals atau MDGs yang disusun pada bulan September tahun 2000, memang diharapkan mampu bersifat universal dengan merangkul negara maju bahkan negara-negara berkembang. Hasil revisi MDGs menjadi SDGs mengubah 8 goals menjadi 17 goals dengan 169 sasaran pembangunan (Hoelman, Parhusip, Eko, Bahagijo, & Santono, 2016; UNDP, 2000). Salah satu tujuan yang ditambahkan dalam SDGs adalah kesetaraan gender yang merupakan tujuan kelima (UNDP, 2000). Senang sekali rasanya ketika dunia mulai sadar bahwa setiap individu perlu dipandang dan diperlakukan secara adil, tanpa harus melihat identitas diri mereka, seperti gender. Isu gender antara perempuan dan laki-laki sebenarnya sudah diperjuangkan lebih dulu oleh kaum feminisme terkait kedudukan perempuan yang sering kali ‘tertinggal’ ataupun ‘diakhirkan’. Bayangkan saja jika kaum perempuan tidak memperoleh hak yang setara dengan kaum laki-laki. Perempuan akan dilarang untuk bersekolah, berkarir, dan beragam keterbatasan aktivitas lainnya (Sakina & Siti, 2017). Perempuan dalam berbagai konteks, baik kepercayaan, agama, ataupun suku, selalu dipandang lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini secara otomotatis akan memunculkan budaya patriarki. Misalnya, pada pandangan agama Hindu yang menyatakan bahwa wanita selalu memikirkan syahwat, suka marah, bahkan bersikap palsu dan tidak jujur. Pada pandangan agama Yahudi disebutkan bahwa seorang istri harus tunduk kepada suami, seperti tunduknya seorang hamba kepada Tuhannya. Demikian pula pandangan agama Islam yang menjelaskan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali bersama dengan mahramnya. Pandangan dan serangkaian aturan memang memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki (Kencana, 2012). Lalu, pertanyaannya apa yang sebenarnya membuat kaum perempuan sampai diperlakukan sedemikian rupa? Jawabannya sederhana, karena perempuan itu sensitif tetapi sangat berharga. Sensitifitas perempuan yang membuat mereka lebih emosional dibanding laki-laki. Akibatnya, seringkali perempuan tidak menghadirkan logika dalam berperilaku padahal mereka begitu berharga. Ketidakberadaan logika akan menjadi ancaman terhadap keberhargaannya. Oleh karena itu, perempuan senantiasa harus dijaga dan dibatasi, serta dipandang tidak mampu untuk menjaga dan memelihara keberhargaan mereka (Idrus, 2005; Khairani & Putri, 2009). Lebih lanjut, pandangan wanita sebagai hal yang berharga tetapi harus dijaga juga diterapkan pada suatu kebudayaan di Indonesia, yakni suku Bugis. Suku Bugis secara geografis terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di daerah Sulawesi Selatan. Nilai mendasar dan filosofis yang dikenal dari masyarakat Bugis adalah siri’ yang dapat diartikan sebagai rasa malu, harga diri, atau kehormatan. Masyarakat Bugis sangat menjaga, memelihara, dan mempertahankan siri’ yang mereka miliki. Bahkan dalam sebuah pesan moral yang dikenal dengan istilah pappasang tau riolo disebutkan bahwa masyarakat Bugis itu hidup hanya karena siri (siriemmi rionroang rilino). Bagi mereka, orang yang sudah tidak memiliki siri’ (tena siri’ na) berarti tidak lagi menjadi manusia, melainkan binatang (olo’kolo’). Mereka pun rela mati demi mempertahankan siri, dibanding hidup tanpa siri’ (Idrus, 2005; Mustari, 2016; Rahayu & Suhaeb, 2018). Idrus (2005) menekankan perempuan sebagai siri’ sebuah keluarga. Akibatnya, semua orang dalam suatu keluarga bertanggung jawab penuh dalam menjaga dan mempertahankan perempuan yang dimiliki keluarga. Misalnya, seorang anak perempuan yang harus dijaga oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, pamannya, sepupu laki-lakinya, dst. Pandangan keberhargaan yang berlebihan ini, yang sebenarnya mendasari perilaku-perilaku ketidaksetaraan gender antara laki- laki dan perempuan. Pasalnya, mereka akan merasa sangat insecure dan memunculkan berbagai perilaku yang tidak disadari dapat membatasi kaum perempuan (Mustari, 2016). Sehingga, memungkinkan munculnya fenomena ketidaksetaraan gender di budaya Bugis. Padahal masyarakat Bugis sebenarnya juga memiliki local knowledge atau nilai budaya filosofis yang dapat memperjuangkan kesetaraan gender. Nilai ini seringkali dikaitkan dengan nilai pertama, yang dikenal dengan istilah siri’ na pacce (siri’ dan pacce). Istilah pacce dapat diartikan kebersamaan atau kolaboratif yang mengacu pada sikap saling menghargai, meghormati, dan menunjukkan empati kepada individu lain. Pacce pada konsep gender dapat dilihat dari sikap masyarakat Bugis yang mampu menerima gender ketiga, keempat, dan kelima yang dikenal dengan istilah calabai (biologis laki-laki, tetapi berperan sebagai perempuan–tomboi), calalai (biologis perempuan, tetapi berperan sebagai laki- laki–waria), dan bissu (kombinasi dua gender). Manifestasi penerimaan gender tersebut dilihat dari peran penting yang diberikan masyarakat Bugis, misalnya calabai sebagai indo’ botting (perias pengantin) atau bissu sebagai orang kepercayaan Raja Bugis (Nurohim, 2018). Lalu pertanyaan yang muncul, ketika Masyarakat Bugis bisa menerima gender ketiga, keempaat, dan kelima, kenapa kesetaraan dua gender antara perempuan dan laki-laki tidak bisa dioptimalkan? Jawabannnya, karena masyarakat Bugis lebih mengutamakan siri’ dan mengabaikan pacce. Oleh karena itu, masyarakat Bugis perlu kembali memaknai nilai-nilai pacce. Tiga turunan nilai dari prinsip pacce yaitu sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi (Made, 2017). 1. Sipakatu secara harfiah dapat diartikan sebagai memanusiakan manusia. Nilai ini menghendaki individu untuk memandang dan memperlakukan individu lain sebagai ‘manusia’ yang merupakan makhluk mulia ciptaan Tuhan YME. Manifestasi tingkah laku dari nilai ini adalah sikap saling menghargai dan menghormati, serta membangun hubungan harmonis dengan individu yang lain. 2. Sipakainge berarti saling mengingatkan pada hal kebenaran satu sama lain. Nilai ini mengacu pada sifat manusia yang mudah sekali tergoda untuk melakukan hal-hal yang salah dan melanggar nilai-nilai moral. Oleh karenanya, setiap individu diharapkan untuk bersikap open minded terhadap kritik dan saran dari individu lain. Intinya, masyarakat Bugis diharapkan bisa melakukan hal yang baik secara bersama-sama. 3. Sipakalebbi berarti saling menghargai dengan memberikan pujian atau apresiasi satu sama lain. Hal ini mengacu pada sifat manusia yang senang dengan nilai-nilai keindahan. Oleh karenanya, tiap individu juga diharapkan bisa memberikan dukungan dan semangat melalui perkataan positif ke individu lain. Hal ini bisa menjadi energi positif terhadap individu penerima apresiasi, serta mendukung terciptanya hubungan yang harmonis. Sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi ibarat sebuah proses yang berujung pada penciptaan hubungan harmonis yang positif antar individu (pacce). Hubungan tersebut dimanifestasikan dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati, tidak mencela dan mencaci maki individu lain. Selain itu, dalam penerapannya, masyarakat Bugis tidak boleh membeda-bedakan individu yang satu dengan individu lainnya. Senantiasa melakukan hal-hal baik dengan saling memberikan dukungan dan semangat, serta teguran berupa kritik jika diperlukan (Made, 2017). Prinsip pacce suku Bugis yang mengedepankan hubungan harmonis positif dapat menjadi dasar optimalisasi kesetaraan gender di lingkungan tersebut. Pasalnya nilai tersebut akan membuat masyarakat Bugis untuk mengesampingkan perbedaan status antara laki-laki yang maskulin dengan perempuan yang feminim demi membangun suatu hubungan baik. Ditambah lagi, keinginan untuk menunjukkan hal-hal baik tentu membutuhkan peran dan kontribusi banyak pihak. Pemahaman keterbatasan dan kelebihan dari tiap-tiap golongan membuat masyarakat Bugis lebih mengutamakan kolaborasi untuk saling menguatkan dan mengingtakan demi mencapai hal baik yang diharapkan . Intinya, siri’ na pacce perlu diterapkan secara konsisten. Siri’ tanpa pacce akan membuat masyarakat Bugis bersikap arogan dengan mementingkan kepentingan pribadi, bahkan bisa membuat mereka menindas orang lain. Hal ini yang akan memicu fenomena-fenomena ketidaksetaraan gender. Sedangkan, pacce tanpa siri’ akan memunculkan kelompok-kelompok yang berperilaku menyimpang dengan mengabaikan kehormatan dan haraga diri mereka. Oleh karena itu, siri’ dan pacce harus dilakuka selaras dengan tidak memeberatkan pada satu bagian (Musnur, 2018; Rahayu & Suhaeb, 2018). Selanjutnya, hal lain yang menjadi kesulitan dalam pencapaian tujuan kesetaraan gender secara umum adalah kesenjangan hak yang diberikan dan hak yang diharapkan oleh perempuan. Perempuan-perempuan masyarakat Bugis bahkan di dunia, perlu sadar bahwa yang diperjuangkan dalam tujuan kelima SDGs adalah ‘kesetaraan gender’ atau ‘equity gender’. Kesetaraan yang berasal dari kata setara atau equity, bukan kesamaan yang berasal dari kata sama atau equality. Intinya, bukan kesamaan perlakuan antar perempuan dan laki-laki, tetapi kesetaraan dengan manifestasi keadilan. Kesetaraan mengacu pada pembagian hak dan kewajiban yang proporsional. Tuntutannya bukan untuk mendapat 50:50 antar perempuan dan laki-laki, tetapi memperoleh proporsi yang pas sesuai dengan konteks dan situasi yang dihadapi. Pemilihan istilah gender pun tidak semata- mata menguraikan antara laki-laki dan perempuan. Penekanannya pun bukan secara biologis atau jenis kelamin (sex), tetapi perbedaan antara maskulin dan feminim oleh pandangan masyarakat yang merupakan identitas gender (Mustari, 2016; Puspitawati, 2013). Pada konteks seperti ini, perempuan memang perlu rendah hati untuk sadar atas keterbatasan dan juga kelebihan yang dimilikinya. Umumnya, dunia ini baik karena ingin menjaga, melindungi, dan mempertahankan kehormatan dari setiap kaum perempuan. Disisi lain kaum pria pun perlu sadar bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama manusia, mereka tidak dituntut untuk membatasi kaum perempuan demi mempertahankan posisi mereka. Akan tetapi, kaum laki-laki diberi tugas lebih untuk menghormati dan menjaga keberhargaan kaum perempuan. Oleh karena itu, istilah yang digunakan dalam memperjuangkan hak kaum perempuan adalah kesetaraan gender (Gunawan, 2016; Puspitawati, 2013). Pencapaian dari tujuan kesetaraan gender, membutuhkan kolaborasi dari kaum perempuan dan kaum lelaki secara umum. Mereka perlu memahami dengan baik kodrat dan tanggung jawab mereka. Intinya, perempuan memang berharga dan merupakan siri’ keluarga Bugis. Disisi lain, perempuan pun merupakan manusia yang juga makhluk ciptaan Tuhan YME sama dengan laki-laki. Tanggung jawab kaum laki-laki adalah menjaga dan melindungi siri’ keluarga – perempuan, bukan membatasi aktivitas mereka ataupun memberikan perlakuan yang tidak adil. Percayalah, perbedaan diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain untuk mewujudkan kolaborasi demi pencapaain tujuan bersama. Oleh karenanya kita perlu pacce untuk senantiasa hidup harmonis satu sama lain. Daftar Pustaka Gunawan, L. (2016). Kesetaraan Dan Perbedaan Laki-Laki Dan Feminisme. Societas, 3. Hoelman, M. B., Parhusip, B. T. P., Eko, S., Bahagijo, S., & Santono, H. (2016). Sustainable Development Goals-SDGs Panduan Untuk Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) dan Pemangku Kepentingan Daerah. Sustainable Development, 1–92. Idrus, N. I. (2005). Siri’, Gender, and Sexuality among the Bugis in South Sulawesi. Antropologi Indonesia, 29(1), 38–55. https://doi.org/10.7454/ai.v29i1.3527 Kencana, U. (2012). Wanita dalam Pandangan Agama dan Bangsa, 7, 87–102. Khairani, R., & Putri, D. E. (2009). Perbedaan Kematangan Emosi Pada Pria Dan Wanita Yang, 3, 20–21. Made, M. R. (2017). Internalisasi Budaya Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi, dan Pammali pada Kegiiatan Operasional Perusahaan dalam Upaya Peningkatan Efektivitas Sistem Pengadalian Internal. Skripsi UIN Makassar. Musnur, I. (2018). Simbolisasi dan Implementasi Pacce (Solidaritas) sebagai Analogi Representasi Kebersamaan dalam Masyarakat Bugis. Jurnal Desain & Seni, 5, 77–98. Mustari, A. (2016). Perempuan dalam Struktur Sosial dan Kultru Hukum Bugis Makassar, 9(1), 127–146. Nurohim, S. (2018). Identitas Dan Peran Gender Pada Masyarakat Suku Bugis. Sosietas, 8(1), 457–461. https://doi.org/10.17509/sosietas.v8i1.12499 Puspitawati, H. (2013). Konsep, Teori dan Analisi Gender. Gender Dan Keluarga: Konsep Dan Realita Di Indonesia., 4(Zeitlin 1995), 1–16. https://doi.org/10.1017/S0033583501003705 Rahayu, S. R. I., & Suhaeb, F. (2018). Siri ’ Na Pacce Culture Of Bugis-Makassar In The Context Of Modern Life ( Overview Historicality And Theory Jean Baudrillard Simulation ). International Journal of Management and Applied Science, (7), 62–65. Sakina, A. I., & Siti, D. H. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki Di Indonesia. Share : Social Work Journal, 7(1), 71. https://doi.org/10.24198/share.v7i1.13820 UNDP. (2000). SDGs Booklet. Retrieved from https://www.undp.org/content/dam/undp/library/corporate/brochure/SDGs_B ooklet_Web_En.pdf Biodata Penulis
Nama Lengkap : Siti Nur’ainun Zakiyah
Alamat : Jl. Jetisharjo JT II No. 418 B, Yogyakarta Email : sitinurainunzakiyah@gmail.com No. Telp Aktif : 085299529988 No. Whatsapp : 085299529988 Media Sosial : @ainunzakiyah_ (Instagram & Twitter) Siti Nur’ainun Zakiyah (Facebook)