Anda di halaman 1dari 8

Rangkuman ekskursi Jakarta

Tanggal : Minggu,12 April 2009


Destinasi : Kelapa Gading, Kemayoran, Rasuna Epicentrum, Mega Kuningan, SCBD,
Kemang.
Dosen : M. Ridwan Kamil, ST., MUD.

Destinasi 1 ( Kelapa Gading)

Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia yang semakin hari semakin padat oleh
penduduknya bisa membuat pertumbuhan kota ini menjadi melebar ke kota – kota
sekitarnya seperti tangerang, bekasi dan depok. Hal ini yang membuat batas kota tersebut
menjadi tidak terasa, yang seharusnya tidak terjadi pada kota Jakarta sebagai ibu kota
Negara, seperti contoh gerbang kota Jakarta menjadi ”blur” ketika kita mulai masuk area
koridor jalan utamanya (kesan sebagai penerima kota tidak ada). Karakter daerah Jakarta
Utara (Kelapa Gading) sangat berbeda dengan daerah lain, karena pada awalnya derah ini
adalah derah perdagangan dimana banyak sekali pedagang – pedagang cina (medan,
surabaya, kalimantan, dll) yang datang dan menempati daerah ini. Maka arsitektur
kotanyapun berubah, seiring dengan perkembangan dan sejarah penduduknya. Daerah ini
menjadi daerah yang apatif, dengan tipe daerah kota yang sangat erat dengan
perdagangan maka arsitektur kota yang timbul adalah banyaknya ruko – ruko yang
bertebaran di sepanjang koridor jalan utama di derah Kelapa Gading ini. Ada beberapa
aspek positif di daerah ini, pemerintah daerah Jakarta Utara memberikan kebebasan
dalam pengelolaan tanahnya kepada pihak swasta, hal ini tentunya memberikan stimulus
positif bagi pertumbuhan kota ini karena dengan adanya campur tangan dari pihak swasta
maka perencanaannya menjadi teratur (karena efektifitas lahan yang teratur), sangat
berbeda jika pemerintah sendiri yang mengatur mengenai pengelolaan tanahnya, akan
menjadi stimulus negatif karena banyaknya kepentingan dan campur tangan dari
pemerintah itu sendiri yang mengakibatkan daerah ini menjadi daerah yang lebih negatif
(dalam hal perencanaan kota), namun dengan adanya kuasa dari pihak swasta sebenarnya
ada pula dampak negatif yang ditimbulkan, wajah serial vision arsitektur kotanya menjadi
lebih terasa perbedaannya namun itu lebih baik setidaknya dibandingkan dengan campur
tangan pemerintah.
Suatu kawasan tidak akan bisa tumbuh jika tidak ada faktor komersial
didalamnya, begitupun yang terjadi di daerah kelapa gading ini, sudah tentu fungsi
komersial disini yang dimaksud adalah mall (pusat perbelanjaan). Pada dasarnya ada
beberapa karakteristik dari mall itu sendiri, pertama mall yang bersifat general (umum,
contoh : plasa senayan, senayan city, grand indonesia, pacific place, dll) dimana karakter
mall ini menggabungkan antara bisnis komersial dan komersialisasi makanan secara
seimbang atau bahkan lebih banyak bisnis komersialnya, kedua mall yang bersifat
komersialisasi makanan, untuk mall ini dominasi makanan lebih terasa dibandingkan
dengan bisnis komersial dan ini dilakukan untuk tujuan tertentu. Untuk di kelapa gading
ini (mall kelapa gading) karakteristik mall yang ada adalah komersialisasi makanan,
karena daerah ini sudah sangat padat dengan area perdagangan maka karakterisasi mall
yang sesuai adalah komersialisasi makanan. Namun sayangnya penataan jalur kota (jalan
dan pedestrian) masih kurang baik untuk daerah ini, aktivitas perdagangan yang tidak
menuntut untuk adanya penataan pedestrian, membuat daerah ini menjadi mati akan
pejalan kaki. Sangat minim sekali area – area pejalan kaki yang tersedia. Selain fungsi
komersial dan perdagangan, sudah pasti sebuah perencanaan kawasan kota memiliki
daerah hunian tentunya, nah yang unik pada daerah ini adalah, tipologi bangunan hunian
pun ikut berubah. Hal ini bisa terjadi karena banyak sekali penghuni di daerah ini yang
merupakan etnis keturunan, setelah tragedi 1998 tipologi bangunan hunian daerah ini
menjadi sangat berubah, muncul apa yang disebut dengan ”fear of architecture” dimana
arsitektur menjadi wadah dan aplikatif dari penghuni yang merasa ketakutan oleh orang
lain, kita bisa lihat banyaknya pengaman – pengaman kompleks, pagar – pagar yang
didesain sangat tinggi dan massif. Jika kita melihat tipologi deretan mall di koridor jalan
utama kelapa gading seperti mall of Indonesia dan sekitarnya, kualitas dari skala manusia
dalam perencanaan kota sangat kurang terbukti dengan adanya pedestrian yang sangat
tidak manusiawi dengan skala horizontal manusia, jalan yang tidak seimbang dengan
level normal (turun 2 meter dari jalan yang ada, hal ini dikarenakan pada awalnya daerah
ini adalah rawa).

Destinasi 2 ( Kemayoran )

Berangkat dari fungsi awal daerah ini adalah sebagai landasan pacu pesawat yang
ditinggalkan atau memang sudah tidak digunakan kembali. Pemerintah Jakarta Utara
berinisiatif untuk menghidupkan daerah ini yang tadinya merupakan daerah mati.
Beberapa cara yang ditempuh adalah membuat superblok – superblok yang berfungsi
sebagai hunian, cara ini pada dasarnya bisa efektif jika memang ditunjang dengan sarana
prasarana kota yang memadai, banyaknya superblok – superblok di daerah ini membuat
daerah ini menjadi daerah yang sangat padat akan tower – tower apartment. Namun
banyak sekali ternyata kekurangan – kekurangan yang terjadi di daerah ini.
Pertama, pada dasarnya secara fungsi sudah baik untuk menempatkan fungsi
hunian di daerah ini namun perencanaan dalam skala kotanya yang kurang memadai
seperti blok – blok area hunian yang masih terpisah satu dengan lainnya sehingga tidak
bisa memunculkan karakteristik interconnected dalam skala horizontal manusia.
Ketimpangan perencanaan arsitektur yang membuat hal ini bisa terjadi, podium yang
terlalu ”menyendiri” membuat daerah ini menjadi mati karena tidak adanya
interconnected tadi. Dan juga fungsi podium yang kurang bisa ”terbuka” dengan daerah
jalan utama kemayoran. Fungsi dari podium selain untuk memisahkan fungsi antara
publik dan privat, juga untuk ”menetralkan” vista dan karakter ruang horizontal dari skala
manusia menjadi skala vertical tower. Sehingga bentukan – bentukan ruang yang terjadi
akan lebih terasa dengan skala manusia dan membuat penghuni – penghuni tersebut bisa
menikmati transisi antar podium, karena hal itu yang bisa menghidupkan daerah kawasan
sebuah superblok dalam skala kota. Interconnected link sangat dibutuhkan pada daerah
ini, selain itu perencanaan yang salah dalam skala kota yang lainnya adalah minimnya
sarana pedestrian (aplikasi dari interconnected link tadi), padahal banyak sekali lahan
yang terbuang pada sisi – sisi jalan utama kemayoran yang terbengkalai (dengan lebar
kurang lebih 10 meter), sangat disayangkan memang lahan yang sangat potensial untuk
dijadikan area pejalan kaki dan komersial yang bisa menghidupkan daerah tersebut
ternyata dibiarkan begitu saja.
Kedua, jalan utama kemayoran adalah bekas landasan pacu pesawat terbang,
sehingga memiliki lebar jalan yang cukup lebar (hampir 50 meter), namun sayangnya
perencanaan kota yang buruk dalam hal desain jalan utama, membuat daerah ini menjadi
lebih mati lagi. Kita tidak bisa hanya mengandalkan area pedestrian saja untuk
mengaktifkan kareteristik fungsi pada suatu daerah, juga harus ditunjang dengan faktor
utama yakni jalan yang di desain lebih manusiawi dengan mengutamakan skala
horizontal manusia. Dengan lebar jalan 50 meter akan sangat terasa pembagian blok
kanan jalan dengan blok kiri jalan, terlebih dengan desain penampang jalan yang terkesan
seadanya maka karakteristik pengunjung akan menimbulkan stimulus negatif untuk
daerah ini dan akibatnya cukup banyak investor yang merugi akibat kurangnya minat
pasar akan daerah ini sebagai daerah hunian, contoh beberapa tower yang masih belum
laku terjual, bahkan area podium yang selayaknya lebih cepat terjual dibandingkan
dengan area tower, pada daerah ini tidak terjadi. Penampang yang terjadi adalah berupa
pemisah jalan yang terbuat dari beton pembatas jalan yang diatasnya dilengkapi dengan
tanaman yang tidak efektif dan fungsional, jika desain penampang jalan seperti ini
bagaimana bisa menghidupkan daerah ini menjadi daerah yang lebih aktif? Apalagi yang
bersifat komersialisasi lahan yang mengarah pada eksploitasi daerah hunian.
Faktor terakhir adalah, dengan adanya fungsi lain yang masih tanggung untuk
dieksploitasi yakni pekan raya Jakarta, desain dari fungsi ini sangat tidak mencerminkan
tipologi sebagai area yang selayaknya disebut tempat eksibisi. Hubungan antara
enterance dengan penampang jalan tidak terasa bersambungan (tidak adanya daerah
penyambung berupa pedestrian dan drop off). Bagi pengendara kendaraan masih bisa
untuk menikmati fungsi ini, namun bagi pejalan kaki tidak akan merasakan hal tersebut,
karena skala horizontal manusia berupa pedestrian tidak tersedia.
Masih banyak pekerjaan rumah bagi perencana – perencana masa depan untuk
merubah kawasan ini menjadi kawasan yang lebih hidup, menjadi kawasan yang penuh
dengan gairah komersial, dan mejadi daerah yang pantas dan manusiawi untuk dihuni
sebagai skala kota.

Destinasi 3 (Rasuna Epicentrum )

Terletak dikawasan segitiga emas Jakarta (sudirman, thamrin dan rasuna) yang
merupakan daerah sentra bisnis jakarta. Merencanakan sebuah superblok di daerah ini
tidaklah mudah, karena karakterisitik daerah ini sangat berbeda dengan karakterisitk
daerah lainnya. Daerah ini sangat kental dengan area bisnis yang bersifat perkantoran,
skala kota yang terjadi adalah banyaknya tower – tower kantor yang membuat skyline
kota, namun area ini masih tetap bisa hidup dengan skala manusianya dengan adanya
podium yang bisa saling berhubungan (dihubungkan dengan pedestrian).
Skala horizontal yang sudah terjadi harus dihubungkan bahkan lebih baik jika
dihidupkan. Dengan letak site yang berada di tengah – tengah koridor fungsi dan
karakterisitik pedestrian dalam skala kota, membuat perencana harus berfikir untuk bisa
menghubungkan bahkan menghidupkan daerah ini. Yang terjadi adalah fungsi ini menjadi
sentra dari daerah ini (sentra dalam hal skala horizontal manusia), desain jalan yang tidak
menggunakan aspal pada area enter menciptakan ruang tersendiri bagi pengunjung yang
akan memasuki area epicentrum, karakter spatial yang terjadi adalah pengunjung tidak
merasa berada di area bisnis yang super sibuk. Penampang pada jalan ini pun didesain
dengan sempurna, yakni perbandingan skala yang sesuai antara kendaraan, pejalan kaki
dan trem. Sangat berbeda dengan superblok yang lain, bahwa untuk menciptakan
interconnected link antar fungsi yang berbeda dalam satu kawasan, tidak hanya dengan
pedestrian, namun perencana membuat jalur trem mini yang bisa berhenti pada setiap
fungsi, bahkan trem tersebut bisa masuk pada fungsi tertentu yang bersifat publik.
Perencana mencoba untuk membuat area penerima sebagai area dalam dan area dalam
sebagai area penerima (dalam bangunan mall), sehingga kualitas ruang yang terjadi
membuat fungsi ini menjadi lebih hidup. Pengunjung tidak akan pernah merasa ”asing”
karena berada di daerah penerima begitu pula sebaliknya area penerima tidak akan pernah
menganggap pengunjung mejadi ”asing”.
Jika kita perhatikan, banyak sekali aspek desain arsitektur pada setiap bangunan
di daerah epicentrum ini yang memiliki bentukan – bentukan yang meliuk – liuk. Hal ini
didesain untuk menciptakan karakter spatial, hubungan antar bangunan dan vista dalam
skala horizontal yang lebih terasa. Sehingga tidak akan pernah ada tempat yang memiliki
karakter yang serupa antar sesamanya, dan hal ini yang justru membuatnya menarik,
pengalaman – pengalaman yang terjadi akan terasa berbeda disetiap sudut setiap dan
antar bangunan. Selain itu, perencana juga ingin membuat karakter spatial pada setiap
ruang luar menjadi lebih terasa lagi dengan mendesain seperti pulau – pulau pada setiap
ruang luar yang tercipta, dan setiap pulau tersebut dikonversikan dengan tenant yang
tidak biasa, dan hal ini membuat setiap pulau menghadirkan ”warna” arsitektur yang
berbeda. Dan sudah tentu dengan hadirnya ”warna” arsitektur yang berbeda akan timbul
pula kualitas dan karakter ruang luar yang berbeda pula.
Segmentasi fungsi pada daerah ini sangat terencana dengan baik, dengan enter
yang sudah berbeda dengan para tetangganya, lalu disambut dengan gedung bakrie tower
(yang merupakan landmark kawasan ini, tower ini memiliki fungsi kantor yang tidak
mempunyai podium, karena sebagai bangunan landmark) dan didepannya adalah river
front (yang memang sudah ada pada awalnya), khusus untuk riverfront ini perencana
ingin membuat sebuah welcoming gate yang terkesan menyambut dengan air mancur
yang berasal dari kali yang tersedia (tentunya dengan proses pengalihan jalur kali dan
proses netraliasasi air kali). Setelah kita melewati bakrie tower, kita akan menjumpai mall
(yang dimana merupakan area center pada kawasan ini), desain mall yang cukup berbeda
dengan bakrie tower tadi membuat gedung bakrie tower lebih terasa sebagai sebuah
gedung landmark. Skala horizontal manusia di depan mall sangat terancang dengan baik,
dengan desain pedestrian yang cukup lebar (kurang lebih 17 meter, sampai ke ujung river
front) maka ruang luar yang tercipta akan sangat terasa. Bila kita memasuki area mall,
mall disini memiliki karakteristik fungsi yang bersifat komersialisasi makanan, oleh
karena itu tidak adanya batasan realitas visual yang terjadi pada area penerima ini dan itu
terdesain sampai ke area belakang bangunan mall ini (oleh karena itu disebut sebagai area
penerima sebagai area dalam dan area dalam sebagai area penerima). Selanjutnya ada
bangunan yang bisa dijadikan icon pada kawasan ini, yakni bangunan coin. Namun
sayang sekali, bangunan ini sudah gugur sebelum waktunya terbangun, dikarenakan
pihak developer yang kekurangan dana untuk memenuhi target pembangunan
Area ini terpisah dengan adanya kali ditengah – tengahnya, pihak URBANE
hanya terlibat dalam perencanaan wilayah dan arsitektur pada sebelah kanan kali,
sedangkan sebelah kiri kali diserahkan pada perencana lain (dimana bangunan tersebut
semuanya telah selesai terbangun), dan memiliki fungsi yang berbeda. Untuk sebelah kiri
kali memiliki karakteristik fungsi sebagai hunian middle, sedangkan pada area kanan kali
memiliki tema work hard play hard and good design is a good business, dimana sangat
tersirat jelas dengan tema seperti itu karakteristik tipologi fungsi apa yang akan terjadi.

Destinasi 4 (Mega Kuningan)

80% karakteristik fungsi pada kawasan ini adalah perkantoran dan komersial
sisanya adalah hunian, dengan banyaknya tower – tower akibat eksploitasi fungsi maka
akan tercipta sebuah ruang dengan skala horizontal manusia yang cukup signifikan dan
terencana dengan baik. Tidak seperti apa yang terjadi di kemayoran, interconnected link
yang terjadi di sini lebih terasa dan lebih manusiawi dengan skala horizontal manusia.
Setiap tower memiliki podium yang seimbang guna mencapai tingkat skala horizontal
manusia, dan interconnected link yang terjadi sangat terasa dengan adanya pedestrian
yang cukup lebar (kurang lebih 4 meter) membuat area kuningan ini terasa lebih hidup
(dalam skala horizontal manusia) dibandingkan dengan kemayoran. Pedestrian yang ada
tidak hanya pada satu sisi jalan saja, namun di sisi jalan yang lain (yang tidak memiliki
fungsi yang sama) terdapat pedestrian yang terencana dengan baik. Penanda kawasan
seperti lampu jalan, signing jalan, dll didesain dengan karakterisktik yang serupa,
sehingga terciptanya vista kawasan (batas kawasan yang terjadi secara visual) yang
sangat jelas, ketika kita sudah tidak lagi melihat lampu jalan atau signing jalan khas
kuningan maka berarti kita sudah tidak berada di area kuningan tersebut.
Podium pada masing – masing tower ini terdesain dengan baik, penempatan
fungsi komersial pada area podiumnya membuat suasana menjadi lebih hidup dan bisa
membangun karakter spatial dalam skala horizontal manusia. Interconnected link antara
podium dengan pedestrian didesain dengan menyambungkan secara langsung koridor
luar podium dengan pedestrian di depannya, hal ini membuat pejalan kaki tidak akan
pernah bisa merasakan diversifikasi ruang luar, dan itu sangat positif bagi perencanaan
sebuah kawasan. Pada dasarnya, aspek – aspek seperti ini sudah menjadi design guideline
bagi setiap perencana skala kota / masterplanner. Memang tidak semua podium
menerapkan hal yang sama, kita bisa mengambil contoh pada tower hotel J.W. Marriot,
sejak kejadian bom yang menimpa hotel ini, pihak hotel mengubah perencanaan ruang
luar (hanya pada daerahnya saja) yang lebih apatif. Sebuah ”fear of architecture” yang
terulang disini, dimana ketakutan dan trauma pihak hotel akan serangan bom terjadi
kembali lagi di aplikasikan dengan desain pedestrian yang diambil guna sebagai daerah
checking dan metal detector. Sangat disayangkan memang area ini menjadi pengganggu
bagi kelangsungan interconnected link yang sudah terencana pada kawasan ini.
Selain itu, terdapat pula fungsi hunian yang terletak dibelakangnya. Dimana
hunian disini ditujukan bagi para pengusaha – pengusaha kaya, pejabat dan duta besar
negara. Hubungan fungsi district komersial bisnis dengan hunian mewah tercipta dengan
baik disini. Bukaan jalan yang cukup lebar, membuat perbedaan fungsi tersebut menjadi
tidak berarti. Namun, memang ada batas global yang secara kasat mata bisa terlihat
antara kapling hunian dengan kapling komersial bisnis. Kewenangan area antar pihak
pengelola gedung membuat beberapa area menjadi tidak ramah terhadap para pejalan
kaki (contoh seperti J.W. Marriot), ada beberapa tower lain yang tidak menyediakan
lahan bagi pejalan kaki yang cukup memadai. Pedestrian yang dibuat sangat minimal
(tetapi tidak membuatnya menjadi buruk), membuat para pejalan kaki menjadi tidak
nyaman dan merasa seperti ”penjara visualisasi”, maksudnya disini adalah lebar
pedestrian yang tadinya sekitar 4 meter tiba – tiba pada fungsi tertentu menyempit
menjadi sekitar 2 meter (skala 2 orang berjalan berdampingan). Hal ini membuat para
pejalan kaki tidak bisa merasa fleksibel untuk berjalan di pedestrian tersebut, belum
ditambah lagi dengan pengurangan area pedestrian tersebut dikarenakan penempatan sign
/ lampu jalan yang mengambil area pejalan kaki tersebut.

Destinasi 5 (SCBD)

Serupa halnya dengan mega kuningan, SCBD memiliki karakteristik fungsi yang
hampir serupa dengan mega kuningan. Namun dalam design guidline nya memang masih
kurang baik dibandingkan dengan mega kuningan tersebut. Hal ini bisa terjadi, karena
fungsi – fungsi yang ada cukup berbeda dengan fungsi di mega kuningan. SCBD
memiliki karakter fungsi yang sangat kental dengan area bisnis, sehingga membuat
desain podium (hal yang paling utama dalam perencanaan kawasan) menjadi sedikit lebih
privat. Interconnected link nya kurang terjadi, yang disebabkan oleh perbedaan desain
podium tadi, secara umum karakteristik fungsi podiumnya lebih mengarah kepada area
penerima saja (drop off) tidak semua podium disini menempatkan komersialisasi
makanan yang sudah tentu bisa membuat kawasan ini menjadi lebih hidup (dalam
konteks human behaviour). Dominasi kendaraan lebih terasa disini, karena seperti yang
telah dijelaskan tadi bahwa karakter fungsinya lebih mengarah kepada sentra bisnis
sesuai dengan namanya SCBD (Sudirman Central Bisnis District).
Namun memang pada dasarnya merancang sebuah kawasan baik itu yang
memiliki karakter fungsi spatial harus memiliki beberapa aspek dasar perencanaan
wilayah seperti desain podium yang bisa bersatu dengan pedestrian kawasan sehingga
bisa tercipta interconnected link antar bangunan, desain pedestrian yang memiliki skala
horizontal manusia, dan juga tidak lepas aspek vegetasi yang memadai sehingga
membuat para pejalan kaki merasa nyaman untuk bisa menikmati kawasan secara partial
maupun menyeluruh.
Dengan begitu, sudah dapat dipastikan bahwa itu akan menjadi stimulus positif
bagi perkembangan kawasan tersebut secara berkelanjutan. Dan apa yang terjadi setelah
itu, adalah peningkatan mutu tata guna lahan dan eksklusifitas kawasan lebih meningkat,
dan pada akhirnya membuat kawasan ini menjadi target pasar bagi para pebisnis –
pebisnis Indonesia. Bagaimanapun juga bahwa SCBD memiliki karakter kawasan yang
cenderung introvert, setiap bangunan sibuk dengan fungsinya masing – masing tanpa
menghiraukan hubungan bangunan yang ada di sekelilingnya seperti yang terjadi pada
Pacific Place. Mall ini terlalu ”sibuk” dengan aktivitas drop off yang mengakomodir
semua fungsi yang ada di dalamnya, sebetulnya mixed use development seperti ini bisa
menjadi anchor pada kawasan ini. Namun sayangnya, tidak adanya interconnected link
antar bangunan yang sesuai dengan skala horizontal manusia yang membuat bangunan ini
menjadi kurang hidup. Desain podium yang terlalu tinggi sehingga membuat para pejalan
kaki yang ingin memasuki area komersial pada lantai podium menjadi tidak nyaman
dengan adanya ramp yang cukup jauh atau jumlah anak tangga yang cukup banyak. Hal
ini tentunya sangat berbeda ketika kita berada di mega kuningan, para pejalan kaki sangat
diprioritaskan. Kemudahan – kemudahan aksebilitas fungsi membuat mega kuningan
lebih nyaman dibandingkan dengan SCBD. Ada hal lain yang cukup berbahaya bagi
perencanaan kawasan SCBD, yakni minimnya tenant pada daerah podium yang
”membuka” diri dengan akses pejalan kaki, hal ini tentunya sangat membuat podium
hanya berfungsi sebagai area penerima saja bukan dijadikan sebagai ”power of place”
dan ”placemaking magnet” pada sebuah area primer dalam sebuah bangunan.

Destinasi 6 (Kemang)

Fenomena yang terjadi pada daerah ini memang sudah menjadi icon bagi kawasan
jakarta selatan yang tentunya sangat berbeda karakter wilayahnya dengan jakarta utara.
Jika tadi kita sudah singgung mengenai karakter jakarta utara yang didominasi oleh etnis
keturunan yang mempunyai karakter jiwa pedagang, maka untuk jakarta selatan memiliki
karakter yang lebih ”santai”, karena memang pada awalnya kawasan ini didesain untuk
kawasan hunian oleh pemerintah Belanda. Dampak yang terjadi sekarang, penataan
kawasannyapun menjadi lebih manusiawi dalam skala horizontal manusia, penampang
jalan utama area taman surapati sangat terdesain dengan baik. Lebar jalan yang cukup,
meskipun pedestrian disini memang sedikit kurang memenuhi persyaratan, namun untuk
perencanaan kawasan ini pada dasarnya tidak mengutamakan hal itu, karena karakter
hunian tidak memiliki aktivitas luar rumah yang tinggi, tidak seperti daerah binis dan
komersial dimana orang sangat butuh kenyamanan skala pedestrian untuk mewadahi
aktivitas fungsi jam luar rumah. Koridor jalan taman surapati memberikan makna hunian
yang sangat kental, dimana parameter bangunan (pagar) tidak didesain tinggi (tidak
seperti yang terjadi di jakarta utara), dan pagar tersebut rata – rata memiliki sifat
transparan hal ini untuk mencapai vista dan kenyamanan skala horizontal manusia yang
melewatinya. Setiap orang yang berada di jalan tersebut tidak akan merasa ”terkekang”
oleh adanya blok – blok yang ditimbulkan dari setiap rumah di sampingnya. Untuk unsur
vegetasi, karena daerah selatan merupakan daerah resapan maka pohon – pohon yang
timbul sangat rindang dan desain vegetasi yang baik pada penampang jalan adalah antara
bertemunya ujung daun dari rumbai pohon antar sesamanya (bersebrangan), sehingga
penetrasi matahari masih bisa muncul, dan unsur ruang kota menjadi lebih nyaman.
Kemang sekarang sudah beralih fungsi menjadi sentra komersialisasi lifestyle,
namun itu tidak didukung pula dengan kemandirian setiap bangunan dalam hal
penciptaan lapangan parkir yang memadai dan berpengaruh positif pada kawasan, banyak
sekali bangunan – bangunan disini yang memiliki lahan parkir yang berbatasan langsung
dengan jalan utama sehingga membuat jalan kemang ini menjadi macet dan padat.
Ditambah dengan lebar jalan yang memang sudah tidak bisa dilebarkan lagi, namun
terkadang hal itu bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung yang sedang
berada di kawasan ini. Ada hal baru yang bisa dibilang cukup aneh dalam karakterisasi
dalam sebuah kawasan yakni dengan adanya hunian dengan sifat vertical strata title.
Sebuah tower apartment yang hadir di kawasan kemang adalah pencitraan yang buruk
mengenai kawasan ini, dan karakter kawasan kemang yang cenderung mengarah ke
horizontal settlement akan membuat kawasan ini menjadi ”buyar” akan kekuatan hunian
horizontal.
Kesimpulan

Dalam perencanaan sebuah kawasan yang berujung pada perencanaan kota, unsur
skala adalah hal yang paling utama guna mewadahi manusia untuk bisa menikmati
kawasan tersebut secara global dan partial. Untuk mencapai titik kenyamanan skala
manusia pada perencanaan sebuah wilayah, banyak sekali aspek – aspek yang bisa
diterapkan namun memang itu semua tergantung pada fungsi (baik secara partial maupun
menyeluruh) yang ada pada sebuah kawasan.
Kawasan kelapa gading memiliki karakter fungsi sebagai perdagangan sehingga
kurangnya pedestrian di kawasan ini tidak dijadikan sebagai hambatan utama, sangat
berbeda dengan kawasan mega kuningan, epicentrum dan SCBD yang sudah tentu skala
horizontal manusia (dalam hal ini aspek pedestrian dan interconnected link antar podium)
harus diperhatikan. Upaya – upaya para masterplanner untuk menciptakan inteconnected
link sangat beragam tergantung pada kebutuhan dan karakter spatial pada sebuah
kawasan, seperti contoh di epicentrum, dengan tema work hard play hard and good
design is a good business maka bagi perencana dituntut untuk menghasilkan sesuatu
kreasi yang lebih dibandingkan dengan kawasan yang lainnya. Tidak hanya
interconnected link saja namun karakter spatial sangat dibutuhkan disini, sehingga
hubungan antar bangunan dan singgungan – singgungan fungsi bisa tercipta. Dan hal ini
tidak terlihat pada Kemayoran yang sudah tentu sebagai fungsi hunian interconnected
link harus tercipta.
Jika kita bisa menilai dan mengurutkan semua destinasi kawasan dengan konteks
skala horizontal manusia yang baik adalah :
1. Rasuna Epicentrum.
2. Mega Kuningan.
3. SCDB.
4. Kemayoran.
5. Kelapa Gading.
Khusus untuk daerah kemang tidak bisa dikategorikan dengan yang lainnya,
karena memang kawasan kemang tidak bisa disamakan dengan kawasan yang lainnya.
Namun pada dasarnya memang kawasan kemang menjadi kawasan yang cukup baik dan
layak sebagai kawasan hunian.

Anda mungkin juga menyukai